Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian

Penyakit hisprung merupakam gangguan perkembangan,

malformasi congenital yang dikarakterisktikkan oleh tidak adanya sel

ganglion intrinsic parasimpatis dari plexus myentericus dan sub mukosa

sepanjang saluran pencernaan. Aganglionosis menandakan kegagalan

enteric nervous system (ENS), dimana sel – sel neural crest gagal

menginversi saluran gastrointestinal selama perkembangan embrionik

(Miao et al., 2009).

Penyakit hisprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan

oleh kelainan inervasi usus, di mulai dari sfingter ani interna dan meluas

ke proximal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Hisprung adalah

penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering terjadi pada

neonatus, dengan insiden 1:1500 kelahiran hidup.Laki-laki lebih banyak

daripada perempuan 4:1 dan ada insiden keluarga pada penyakit segmen

panjang. Hisprung dengan bawaan lain termasuk sindrom down, sindrom

laurance moon-barderbield dan sindrom wardenburg serta kelainan

kardiovaskuler. (Behrman, 2009).

Penyakit hisprung disebabkan oleh tak adanya sel ganglion

kongenital dalam pleksus intramuscural usus besar.Segmen yang terkena

bisa sangat pendek. Tampil pada usia muda dengan konstipasi parah.
Enema barium bisa menunjukkan penyempitan segmen dengan dilatasi

colon di proksimal. Biopsi rectum bisa mengkonfirmasi diagnosis, jika

jaringan submukosa di cakup. Terapi simtomatik bisa bermanfaat, tetapi

kebanyakan pasien memerlukan pembedahan (G. Holdstock, 2000)

Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel

ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus.

(Ngastiyah, 2005). Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang

mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas

sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).

2. Etiologi

a. Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional

yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus

mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio

kaudal di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel

ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Sebagian besar

segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon

sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada

kolon. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)

b. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.

c. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal

eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding

pleksus. (Suriadi, 2001 : 242).


3. Manifestasi klinis

a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.

b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat

tinja seperti pita.

c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.

d. Nyeri abdomen dan distensi.

e. Gangguan pertumbuhan.

(Suriadi, 2001 : 242)

a. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan

ketiadaan evaluai mekonium.

b. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang

membaik secara spontan maupun dengan edema.

c. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan

yang diikuti dengan obstruksi usus akut.

d. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan

demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.

e. Gejala hanya konstipasi ringan.

(Mansjoer, 2000 : 380)

a. Masa Neonatal :

1) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.

2) Muntah berisi empedu.

3) Enggan minum.

4) Distensi abdomen

b. Masa bayi dan anak-anak :


1) Konstipasi

2) Diare berulang

3) Tinja seperti pita, berbau busuk

4) Distensi abdomen

5) Gagal tumbuh

(Betz, 2002 : 197)

4. Klasifikasi

Dua kelompok besar, yaitu :

a. Tipe kolon spastik


Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala

(konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri.Kadang konstipasi silih

berganti dengan diare.Sering tampak lendir pada tinjanya.Nyeri bisa

berupa serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah

bawah.Perut terasa kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi,

kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi.Buang air besar sering

meringankan gejala-gejalanya.
c. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi

yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak

dapat ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan.

Beberapa penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan

disertai sedikit nyeri.


Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam:
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%)
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%)
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%)

Colon-rectum
5. Patofiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya

kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa

kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian

proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau

tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya

evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga

mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya

akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal

sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,

2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol

kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke

segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan

terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi

obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S &

Wilson, 1995 : 141 ).


Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding

usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang

bervariasi.Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan

neuroblast dari usus proksimal ke distal.Segmen yang agangloinik terbatas pada

rektosigmoid pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-sel ganglion.

Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik

menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak di dapatkan


pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang

hipertrofi dengan konsentrasi asetikolinesterase yang tinggi di antara lapisan-

lapisan otot dan pada submukosa.


Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian

usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural.Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang

sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon

proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk

megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segemen pendek, daerah aganglionik

meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirschsprung

klasik.Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu 5 kali

lebih sering daripada anak perempuan.Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi

dari sigmoid disebut Hirschsprung segmen panjang.Bila aganglionosis mengenai

seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan

hamper seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.

6. Pathway
7. Tanda dan gejala
Setelah bayi lahir
a. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
b. Muntah berwarna hijau
c. Distensi abdomen, konstipasi.
d. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja/

pengeluaran gas yang banyak.


Gejala pada anak yang lebih besar karena gejala tidak jelas pada waktu

lahir.
a. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
b. Distensi abdomen bertambah
c. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
d. Terganggu tumbang karena sering diare.
e. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
f. Perut besar dan membuncit
8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung.Pada

foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,

meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa

Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke

arah daerah dilatasi.


3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas

penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi

barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur


dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang

membaur dengan feces kearah proksimal kolon.Sedangkan pada

penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi

kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan

sigmoid.

b. Manometri anus

Pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara mengembangkan

balon di dalam rectum. Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum.Ano-

rektal manometri mengukur tekanan dari otot spinchter anal dan seberapa

baik seorang dapat merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang

penuh. Pada anak-anak yang memiliki penyakit Hirschsprung otot pada

rektum tidak relaksasi secara normal.Selama tes, pasien diminta untuk

memeras, santai, dan mendorong. Tekanan otot spinchter anal diukur

selama aktivitas.Saat memeras, seseorang mengencangkan otot spinchter

seperti mencegah sesuatu keluar.Saat mendorong seseorang seolah

mencoba seperti pergerakan usus.Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak

yang kooperatif dan dewasa.

c. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.

d. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada

penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase

(Darmawan K, 2004 : 17)


e. Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat

penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa

(Mansjoer,dkk 2000 hal 380)


f. Pemeriksaan colok anus, Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan

dan kadang disertai tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk

mengetahui bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada

usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.

9. Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik

di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan

motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani

internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
1) Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik

untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan

terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.


2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat

berat anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan

setelah operasi pertama (Betz Cecily & Sowden 2002 : 98)

Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,

Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang

paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal

bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah (Darmawan K

2004)

b. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui

pemasangan sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan

mekonium dan udara.


c. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang

terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis b e r a t

dan keadaan umum m e m buruk. Kolostomi dibuat di kolon

berganglion normal yang paling distal.


d. Terapi farmakologi
a) Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga

modifikasi diet dan wujud feses adalah efektif


b) Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam

megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak menekan feses

menggunakan tuba

10. Komplikasi
a. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh

ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi

yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan

abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca

operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.


Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini

beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala

peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,

kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau

peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda

dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.


b. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan

penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan

terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang


dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi

prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval

akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang

biasanya akibat prosedur Soave.

Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi

abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.Tindakan yang dapat dilakukan

bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga

sfinkterektomi posterior.
c. Enterokolitis
Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus.

Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin

dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi. Proses ini

dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi

pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang

terkena panjang
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis

adalah :
a) Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit.
b) Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi.
c) Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari.
d) Pemberian antibiotika yang tepat.

Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien

dengan endorektal pullthrough.Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan

kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis

menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial.Obtruksi usus pasca bedah

disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang

tersisa masih spastik.Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen


diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif

cair dan berbau busuk.Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling

parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi.Hal yang sulit pada megakolon

kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli

bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca

bedah.

d. Gangguan Fungsi Sfinkter


Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal

untuk menilai fungsi anorektal ini.Fecal soiling atau kecipirit merupakan

parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal

pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit

adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh

penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering.


e. Inkontensitas (jangka panjang).

BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan

merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan

dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus

sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan


anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan

seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki

dan perempuan (Ngastiyah, 2005).

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir.Trias yang

sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24

jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala

lain adalah muntah dan diare.


b. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional.

Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan

ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi,

muntah dan dehidrasi.Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa

minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun

ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi

abdomen, dan demam.Diare berbau busuk dapat terjadi.


c. Riwayat penyakit dahulu.
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat

kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.


Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit

Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang

menderita Hirschsprung. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit

ini diturunkan kepada anaknya.

3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat

dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.


b. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut

nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.


d. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
d. Sistem Gastrointestinal
e. Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising

usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen,

muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.


f. Pengkajian pasca operasi
1) Kaji integritas kulit meliputi tekstur, warna, suhu, kulit.
2) Amati tanda-tanda infeksi
3) Amati apakah ada kebocoran anastomisis
4) Amati pola eliminasi

4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.


a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau

terdapat gambaran obstruksi usus rendah.


b. Pemeriksaan
Barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus

yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen

yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.


c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat

peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.

5. Analisa data
DS :
a. Biasanya ibu klien mengatakan anaknya dengan Perut kembung
b. Ibu klien biasanya mengatakan Muntah berwarna hijau
c. Ortu klien biasanya mengatakan Diare
d. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya Demam
e. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya Sesak nafas
f. Ibu klien biasanya mengeluh anaknya Tidak nyaman
g. Ortu klien biasanya mengeluh anaknya Nyeri saat di pegang
DO :
a. Klien biasanya tampak Obstipasi
b. Biasanya Tampak Mekonium yang lambat keluar
c. Biasanya ada Obstruksi usus yang fungsional
d. Biasanya tampak Distensi abdomen
e. Biasanya klien Konstipasi selama beberapa minggu/ bulan
f. Biasanya tampak Obstruksi usus akut
g. Klien biasanya tampak Distress pernafasan
h. Biasanya Akral hangat

6. Diagnose keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Sowden, 2009. Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC:

Jakarta.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit.

Jakarta: EGC.

Hidayat, A A. 2008. Pengantar konsep dasar keperawatan. Edisi ke-2, Salemba Medika:

Jakarta

Nanda, 2013. Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2012-2014

Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit edisi ke-2 EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai