Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN HIRSPRUNG

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Sakit Kronis dan Terminal

Disusun Oleh Kelompok 4:

1. Arik Wahyuningtyas (2223005)


2. Lella isma septia pertiwi (2223021)
3. Lusiana Agus susanti (2223022)
4. Yudha Ricky Setiawan (2223041)

PROGRAM STUDI ALJ S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan
gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal
dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung
adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia
akan tetapi yang paling sering pada neonatus.
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana
tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan
abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi
usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah
keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke
bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian
tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi
ganglion. Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran
hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung. 2
Insiden keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih
banyak diserang dibandingkan perempuan (4:1). Biasanya, penyakit hisprung terjadi
pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan
cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan
kardiovaskuler. Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu
adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir,
muntah berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga
dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit
hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti
pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal
dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1.2.1. Bagaimana konsep dasar penyakit Hisprung ?
1.2.2. Bagaimana konsep askep pada pasien yang menderita Hisprung ?

1.3. TUJUAN
1.3.1. Mengetahui konsep dasar penyakit Hisprung.
1.3.2. Memahami konsep askep pada pasien yang menderita Hisprung.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus
kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi
“kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap
individu. Penyakit hirschsprung atau megakolon kongenital adalah tidak adanya sel-
sel ganglion dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Dan ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi
usus spontan (Manalu, 2021).
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus (Ngastiyah, 2016).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab
gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi
aterm dengan berat lahir < 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan.
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi
mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus (Donna, 2017).

2.2. Etiologi
a. Adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam
dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk
berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
b. Tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
c. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah
kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
d. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”. 2. Kegagalan sel neural
pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada
myenterik dan submukosa dinding pleksus (Manula,2021).
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid, ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.5
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang Kelainan dapat melebihi sigmoid,
bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama
banyak pada anak laki maupun prempuan. (Ngastiyah, 2016).

Gambar 1. Skema gambaran segmen aganglionik megacolon

A. Tipe short segmen rectosigmoid, B. Tipe Long segmen colonic (warna


hitam mengindikasikan segmen aganglionik dan stenosis. A A’ : subdivisi anal
canal normal (1). Lower rectum, (2). Upperrectum, (3). Rectosigmoid junction
(4). Bagian di proksimal. A, C’ : gambaran klasik, yaitu zona aganglionik pada
rectum dan rectosigmoid junction ; B D’: segmen aganglionik pada rectum
dan colon dan B E’: aganglionik dari anus sampai duodenum termasuk seluruh
colon, ileum dan jejunum. B,F’: aganglionik dimulai dari flexura lienalis
sampai ileum terminal.
Gambar 2. Tipe zona aganglionik

Tipe 1: zona aganglionik pada rectosigmoid dan segmen yang menyempit


adalah pada bagian proksimalnya; Tipe 2: Zona aganglionik adalah bagian
yang seluruhnya mengalami penyempitan; Tipe 3: segmen stenosis anular
pada batas antara segmen yang berganglion dan yang aganglionik; Tipe 4:
Slight anular stenosis pada batas segmen yang berganglion dan aganglionik
tanpa perubahan kaliber colon; Tipe V: Double aganglionic contracted
segments dengan segmen yang berganglion tampak dilatasi. (Majdwati, 2009)

2.6. Manifestasi Klinis


Penyakit Hirscprung harus dicurigai bila seorang bayi cukup bulan terlambat
mengeluarkan feses. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal,
tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Obstipasi (sembelit)
merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi
akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat
keluar (lebih dari 24 jam), perut kembung, dan muntah berwarna hijau. Pada
neonatus, kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3
hari atau bahkan lebih. Mungkin terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen
progresif dan muntah. Sementara itu, pada anak yang lebih besar kadang-kadang
ditemukan keluhan adanya diare atau enterokolitis kronik lebih menonjol daripada
tanda-tanda obstipasi (sembelit).
Kegagalan mengeluarkan feses menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus
besar, yang mengakibatkan perut menjadi kembung. Usus besar melebar, tekanan di
dalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan menjadi perintang
mukosa terganggu. Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu pertama
kehidupan, sedangkan yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan
tingkat keparahan bertambah seiring pertambahan usia anak. Pada anak yang lebih
tua biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan
pertumbuhan.
Kegagalan pertumbuhan yang disebabkan oleh hipoproteinemia akibat
enteropati pembuangan protein saat ini merupakan tanda yang lebih jarang
ditemukan. Penyakit Hirscprung sudah dapat diketahui pada awal perjalanan
penyakit. Bayi yang mendapat ASI tidak memperlihatkan gejala lebih parah,
dibandingkan bayi yang mendapat susu formula.
Tanda dan gejala bayi mengalami mengalami hirsprung:
a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja
seperti pita.
c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan distensi.
e. Gangguan pertumbuhan

2.6. Patogenesis
Penyakit hisprung timbul sebagai akibat kegagalan kranio kaudal migrasi
enteroneublas yang berasal dari neural crest di sepanjang saluran GI selama mingu
gestasi ke-5 sampai ke-12. Pada sejumlah keluarga dengan penyakit hisprung
herediter dapat dideteksi kelainan pada onkogen ret. Dukungan lain bagi peran
onkogen ini datang dari penelitian knock-out terhadap onkogen ret pada mencit.
Kelainan onkogen ret juga telah terdeteksi pada beberapa kasus penyakit hisprung
sporadik. Namun pada sebagian kasus tidak ada kelainan yang dapat terdeteksi pada
gen ini, sehingga dasar kemungkinannya bahwa faktor lain ikut berperan dalam
penyakit ini.
Karena hilanhnya persyarafan intrinsik rektum, terjadi ekspresi berlebihan
saraf berlebihan saraf parasimptis dan simpatis yang terutama nyata di lamina propria
dan muskulari mukosa. Efek konraktil neuropeptida Y dan zat lain dalm saraf-saraf
ini pada otot polos rektum tidak mengalami perlawanan karena karena tidak adanya
polipeptida usus vasoaktif dan saraf usus penghasil nitrat oksida yang menyebakan
relaksasi. Segmen aganglionik, sfingter internus dan kanalis anus tetap berkontraksi
sehingga timbul gejala obstruksi disertai dilatasi bgian proksimal dan hipertrofi kolon
(Rudolp, Jullien & Collin, 2006).

2.6. Pathway

2.7. Penatalaksanaan

a.Tindakan Konservatif
Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tanda
obstruksi rendah dengan jalan memasang slang anal dengan atau tanpa pembilasan
dengan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh digunakan karena bahaya
absorbsi air yang dapat mengakibatkan intoksikasi air. Hal tersebut disebabkan
oleh difusi air kedalam sirkulasi secara cepat pada usus yang dilatasi.
Penatalaksanaan gejala obstipasi dan pencegahan enterokolitis dapat dilkukan
dengan bilas kolon menggunakan garam faali. Cara ini efektif dilakukan pada
hisprung segmen pendek. Untuk tujuan yang sama, juga dapat dilakukan dengan
tindakan kolostomi di daerah ganglioner.

b. Tindakan Bedah Sementara


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hisprung adalah berupa
kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis
sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.

Gambar 3. Loop Colostomi

Sumber : Sudiyatmo, 2013

Ada dua tahap pembedahan utama dengan kolostomi loop atau double barrel
dimana diharapkan tonus dan ukuran usus dilatasi dan hipertrofi dapat kembali
normal dalam waktu 3-4 bulan.
c. Tindakan Bedah Definitif
a) Prosedur Duhamel

Gambar 4. Prosedur Duhamel

Sumber: Poerwadi, 2015

Dengan cara penarikan kolon normal kearah bawah menganastomosiskanya


dibelakang usus aganglionik. Selanjutnya dibuat dinding ganda yaitu selubung
aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.

b) Prosedur Swenson

Gambar 5. Prosedur Sweson


Sumber: Poerwadi, 2015
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomisiskanya end to end
pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang mengalami dilatasi dan
pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.

c) Prosedur Soave

Gambar 6. Prosedur Soave

Sumber: Poerwadi, 2015

Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh
kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat
dilakukanya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid
yang tersisa.

d) Prosedur Rehbein

Gambar 7. Prosedir Rehbein

Sumber: Poerwadi, 2015

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterio reresection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara anus aganglionik dengan rectum pada level otot
levator ani (2-3 cm di atas anal verge) menggunakan jahitan satu lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi sangat penting
businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

d. Penatalaksanaan Pascabedah
Penatalaksanaan pascabedah terdiri atas peraeatan luka, perawatan kolostomi,
observasi terhadap distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik,
dan peningkatan suhu. Selain itu beri dukungan kepada orang tua.
Menurut Karmini Yupono dan Ruddy Hartono, 2009 Terdapat prinsip anestesi
pada pasien hisprung, yaitu :
Prinsip anestesi pada pasien penyakut hisprung sama dengan pengelolahan anestesi
pada operasi pediatrik lainya. Tetapi, pada pasien dengan penyakit hisprung yang
di sertai adanya penyulit seperti sindrom aspirasi mekoneum dan
pneumomediastinum, maka persiapan operasi dan pengelolahan anestesia
membutuhkan perhatian khusus. Tindakan yang telah dilakukan antara lain koreksi
ketidak seimbangan elektrolit dan asam basa, hemoglobin hipoalbuminemia,
trombositopenia dan faal hemostasis. Jika ada indikasi sepsis, maka diberi
antibiotik sesuai kultur dalam hal ini meropenem dan amikasin.
Selain itu, dengan kondisi pasien yang sangat kritis tersebut, tatalaksana dengan
teknik anestesi general dapat lebih mencegah terjadinya gejolak hemodinamik.
Apabial gejolak hemodinamik itu terjadi akan lebih mudah diatasi apabila di
gunakan teknik general anestesi.
Perbedaan farmakokinetik pada neonatus dan dewasa disebabkan perbedaaan
komposisi cairan tubuh, dan perbedaan fungsi hepar dan ginjal neonatus dibanding
dengan dewasa. Perbedaan farmakodinamik disebabkan perbedaan respon organ
targetnya. Perbedaan-perbedaan ini menjadi dasar pemilihan jenis dan dosis obat
anestesi.

2.8. Pemeriksaan Dignostik

a. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang. Apabila
keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding abdomen. Saat
dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus melemah atau jarang.
Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat pula dilakukan
pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang kaku dan sempit,
saat jari ditarik terdapat explosive stool (Izadi,2007; Lorijn,2006; Schulten,2011).
b. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos abdomen posisi tegak

Gambar 8. Foto Polos Abdomen Penderita Hisprung Disease

Tampak gambaran udara dalam usus yang melebar.


Pada pemeriksaan foto polos abdomen posisi anteroposterior-supine, Lateral-
errect dan Left Lateral Decubitus (LLD) tampak dilatasi lumen colon dan tak
tampak udara usus pada regio pelvic dengan tanda-tanda obstruksi letak rendah.

2. Foto dengan barium enema


Untuk mencari letak sekum untuk membatu diagnosis malrotasi
usus.Barium enema kurang membantu penegakan diagnosis apabila
dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak tampak.
Gambar 9. Beberapa gambaran HD pada pemeriksaan Barium enema

Untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut diperlukan lagi pemeriksaan


barium enema.
Pemeriksaan barium enema pada HD sangat tergantung pada teknik
pemeriksaan, yaitu:
 Kateter lunak dimasukkan lewat anus kedalam rectum sampai ujung kateter
terletak persis di atas sfingter anal (tidak lebih 2,5 cm). Kateter tidak perlu
dioles dengan pelicin, balon kateter tidak usah dipasang dan kateter difiksasi
dengan cara kedua pantat saling dirapatkan atau kateter diplester pada paha
atau bokong. Ukuran kateter no.8 untuk neonatus dan no.10 untuk anak lebih
1 tahun.
 Bahan kontras yang digunakan larutan barium enema dengan pengenceran
30% dengan cairan nacl fisiologis. Kontras dimasukkan melalui kateter
dengan menggunakan spuit 5-10 ml.
 Pada posisi pronasi kontras barium dimasukkan dengan kontrol fluoroskopi,
kemudian posisi pasien dirubah menjadi lateral atau oblique.

3. Pemeriksaan Anorectal Manometry

Gambar 10. Pemeriksaan Dengan Anorectal Manometri

Sumber: Journal of Coloproctology, 2015

Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi


sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam
laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal
manometry.
Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter anal.
Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter anal,
tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti
distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada
bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%
(Schulten,2011).

4. Biopsi Rektal

Gambar 11. Pemeriksaan Dengan Biopsi Rektal

Sumber: fsboshasta.com

Dilakukan dibawah anestesi umum. Biopsi rektal dilakukan memastikan


keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi, merupakan langkah
penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada beberapa teknik, yang
dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan rektum. Hasil yang
didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel adekuat dan diambil
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada jaringan ditemukan sel
ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung dieksklusi. Namun
pelaksanaan biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di pilih teknik lain yang
kurang invasive, seperti Barium enema dan anorektal manometri, untuk
menunjang diagnosis (Lorijn, 2006; Schulten, 2011).

2.9. Komplikasi

a. Enterokolitis
Enterokolitis pascabedah merupakan komplikasi paling berbahaya yang ditandai
dengan adanya distensi abdomen, diare, muntah, dan demam. Hal ini terjadi
karena pada teknik ERPT, irisan operasi dilakukan dengan membuka dinding
perut bagian depan dan dalam posisi terlentang, mengeluarkan usus besar, dan
memotong rektum yang spastik kemudian dilakukan penyambungan usus besar
secara endorektal. Sebaliknya, pada teknik PSNRHD, irisan operasi adalah
melalui irisan intergluteal pada posisi telungkup tanpa mengeluarkan dan
memotong rektum. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian enterokolitis
pascabedah sebesar 42,3% dari 78 kasus dan 30% pada 135 penderita yang
dilakukan operasi.
Berdasarkan umur saat operasi, meskipun hasil analisis menunjukkan tidak
bermakna (p=0,49), kemungkinan untuk terjadinya enterokolitis pascabedah pada
umur kurang dari satu tahun adalah 0,74 kali dibandingkan umur operasi di atas
satu tahun. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya enterokolitis pascabedah. Berdasarkan kadar Hb,
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi akan lebih besar jika kadar Hb rendah.
Namun, hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa lama operasi merupakan
variabel yang paling dominan untuk terjadinya enterokolitis pascabedah (p=0,03)
(Rochadi, 2013).

b. Obstruksi usus
Obstruksi usus sendiri dapat diartikan sebagai adanya sumbatan mekanik yang
terjadi di usus baik secara parsial maupun total.
c. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
d. Konstipasi
Keadaan yang ditandai dengan susahnya keluar feses, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit disini dapat dikarenakan tubuh tidak dapat mengeluarkan zat sisa
dengan baik sehingga dapat mengakibatkan treganggunya fungsi keseimbangan
cairan dalam tubuh.
5. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Sweson atau Rehbein,
stenosis posterior berbentuk oval akbat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
6. Inkontinensia (post operasi)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA HISPRUNG
A. Pengkajian
1. Anamnesis
Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
a. Keluhan utama Klien
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan
pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen,
kembung, muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir,
distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.Tanyakan sudah berapa lama gejala
dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah
tersebut.
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan,
persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
d. Riwayat Nutrisi
Bagaimana masukan diet anak dan pola makan anak.
e. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan
rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
f. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita
Hirschsprung.
g. Riwayat social
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain.
h. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sulit BAB.
i. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem integument
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat
capilary refil, warna kulit, edema kulit.
b. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
c. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal,
frekuensi denyut nadi / apikal.
d. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
e. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus,
adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi
dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau.
Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan
merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara
dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
f. Sistem Muskoloskeletal
Gangguan rasa nyaman nyeri
g. Sistem Pendengaran
Fungsi pendengaran, kondisi telinga, ada tindaknya serumen
h. Sistem Saraf
Kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat kesadaran, status mental, tingkat
kenyamanan, adanya nyeri, kaji fungsi sensoris apakah normal atau mengalami
gangguan, kaji adanya hilang rasa, rasa terbakar/panas, kaji fungsi motorik.

i. Sistem Perkemihan
Kaji pola BAK, output/jumlah, warna, kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen,
frekuensi BAK, adanya dysuria dan hematuria, serta riwayat infeksi saluran
kemih.
B. Diagnosa Keperawatan

Pre operasi
1. Gangguan eliminasi BAB : Obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Post operasi
1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
2. Resiko infeksi b/d tindakan invasif
3. Nyeri b/d insisi pembedahan
4. Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan
kolostomi.

C. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami gangguan eliminasi degam kriteria defekasi normal,
tidak distensi abdomen.
Intervensi :
1) Monitor cairan yang keluar dari kolostomi
Rasional: Mengetahui warna dan konsistensi feses yang menentukan rencana
selanjuttnya.
2) Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian
cairan.
3) Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai
kebutuhan secara parenteral atau per oral.
Intervensi :
1) Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
2) Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori.
3) Pantau atau timbang berat badan
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan.
Kekurangan tubuh berhubungan dengan muntah dan diare
Tujuan :Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami
dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : mengetahui kondidi dan langkah selanjutnya
2) Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : untuk mengrtahui keseimbangan cairan tubuh.
3) Berikan cairan sesuai kebutuhan dan yang diprogramkan.
Rasional mencegah terjadinya dehidrasi
3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distensi abdomen
Tujuan :Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
1) Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya.
2) Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yang kerjanya pada sistem saraf
pusat.
Post Operasi
1.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi dan perbaikan pembedahan
Tujuan : memberikan peraatan perbaikan kulit setelah dilakukan operasi
Intervensi :
1) Kaji insissi pembedahan, bengkak dan drainage.
2) Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
3) Oleskan krim jika perlu.
2.Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
Tujuan :Kebutuhanrasa nyaman terpenuhi dengan kriteriatenang, tidak menangis,
tidak mengalami gangguan pola tindur.
Intervensi :
1) Observasi dan monitoring tanda skala nyeri
Rasional : mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnaya.
2) Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dan sentuhan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Kolaborasi dalam pemberian analgesik jika dimungkinkan
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yang kerjanya pada sistem saraf
pusat.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif.
Tujuan : Resiko infeksi dapat terkontrol dan bebas dari tanda-tanda infeksi, tanda
vital dalm batas normal dan hasil lab dbn.
Intervensi :
1) Monitor terapi insisi
2) Ganti popok dengan yang kering untuk menghindari kontaminasi feses.
3) Lakukan perawatan pada kolostomi atau perianal
4) Kolaborasi pemberian antibiotik dalam penatalaksanaan pengobatan terhadap
mikroorganisme.
4. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kebutuhan irigasi, pembedahan dan
perawatan kolostomi.
Tujuan : Pengetahuan keluarga pasien tentang cara menangani kebutuhan irigasi,
pembedahan dan perawatan kolostomi tambah adekuat.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan tentang kondisi yang dialami perawatan dirumah dan
pengobatan.
2) Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan
perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan kolostomi.
3) Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
4) Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya
bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
5) Ajarkan perawatan kolostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi
saat orang tua melakukan perawatan kolostomi.

D. Evaluasi

Pre operasi Hirschsprung


1. Pola eliminasi berfungsi normal
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
3. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
4. Nyeri pada abdomen teratasi
Post operasi Hirschsprung
1. Integritas kulit lebih baik
2. Resiko infeksi dapat berkurang
3. Nyeri berkurang atau hilang
4. Pengetahuan meningkat tentang perawatan pembedahan terutama pembedahan kolon
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3.
Jakarta : EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.

Manalu, Novita Verayanti., dkk. (2021). Keperawatan Sistem Pencernaan. Bandung:


Yayasan Kita Menulis.

Ngastiyah. (2016). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

Wong, Donna L. 2017. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),


Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai