Anda di halaman 1dari 8

HISPRUNG

1. DEFINISI
Hirsprung adalah penyakit tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum atau
bagian rektosigmoid colon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya peristaltic serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily &
swoden, 2000). Kondisi ini merupakan kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm
dengan berat lahir 3 Kg. (Arief Mansjoer, 2000).
Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionik mega kolon.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persyarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari
anus keatas) yang tidak mempunyai persyarafan (ganglion), maka terjadi
kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap
individu.
2. KLASIFIKASI

Klasifikasi penyakit Hirschsprung menurut Sjamsuhidajat dan Wim de jong, (1997)


adalah sebagai berikut:

a. Hirschsprung segmen pendek


Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi
rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini
terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak
dari pada perempuan.
b. Hirschsprung segmen panjang
Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih
tinggi dari sigmoid.
c. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik
mengenai seluruh kolon.
d. Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik
meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
Dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu:

a. Tipe kolon spastik


Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi
periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan
diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri biasanya berupa serangan
nyeri tumpul; atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa
kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk
berkonsentrasi. Buang air besar sering meringankan gejala gejalanya.
b. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang
relative tanpa rasa nyeri. Diare mulai muncul secara tiba tiba dan tidak dapat
ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa
penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan sedikit nyeri.
3. ETIOLOGI

Penyebab penyakit hisprung disebabkan aganglionosis Meissner dan


Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah
proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan
sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.Diduga terjadi karena
faktor genetik dan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan
sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan anak FKUI, 1985 :

a. Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel Neural Crest embrional yang


berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mesenterikus dan
submukosa untuk berkembang kearah kranio kaudal di dalam dinding usus.
b. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion parasimpatis dari pleksus Aurbach
di kolon.
c. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian
bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada
kolon.
4. FAKTOR RISIKO
a. Faktor bayi
Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan
salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-
28 hari).
Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana
ada tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur
wajah, cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
b. Faktor ibu
Umur
Umur ibu yang semakin tua (>35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan
Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mendekati masa menopause.
Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat
dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal).
Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau
incest Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat
berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.
5. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
6. MANIFESTASI KLINIS HISPRUNG
Gejala pada neonates meliputi:
a. Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam tempo 24 hingga 48 jam karena
usus tidak mampu mendorong isinya ke arah distal.
b. Muntah dengan muntahan mengandung feses dan empedu sebagai akibat
obstruksi intestinal.
c. Distensi abdomen yang terjadi sekunder karena retensi isi usus dan obstruksi
usus.
d. Iritabilitas (anak menjadi rewel) akibat distensi abdomen yang ditimbulkan.
e. Kesulitan menyusu dan kegagalan tumbuh kembang yang berhubungan
dengan retensi isi usus dan distensi abdomen.
f. Dehidrasi yang berhubungan dengan kesulitan menyusu dan
ketidakmampuan mengkonsumsi cukup cairan.
g. Diare overflow yang terjadi sekunder karena peningkatan sekresi air ke dalam
usus disertai obstruksi usus.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK HIRSCHSPRUNG
a. Anamnesis
Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis
adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada
umumnya keluar >24 jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa
neonatus. Jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut
kembung, dan pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat
keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-
laki terdahulu meninggal sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami
obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses
akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak
sudah kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari
feses, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan
akan terjadi pembusukan.
c. Foto abdomen
Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi masih sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar. Foto polos abdomen pada penderita penyakit Hirschsprung
d. Enema barium
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit
Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu
adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
e. Biospsi
Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui
prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus
myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner). Di samping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi
pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada
serabut saraf parasimpatik. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat
yaitu dua, tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi
hisap meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap
rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.

f. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif yang
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan sfingter
anorektal. Dalam praktiknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini
memiliki dua komponen dasar yaitu transuder yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau
komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah hiperaktivitas pada segmen dilatasi, tidak adanya kontraksi
peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik, sampling reflex tidak
berkembang yang artinya tidak dijumpainya relaksasi sfingter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feses atau tidak adanya relaksasi spontan.
8. PENATALAKSANAAN MEDIS HISPRUNG
a. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu:
Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus
besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat
anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi
pertama (Betz Cecily & Sowden 2002 : 98)
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel,
Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering
dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana
mukosa aganglionik telah diubah (Darmawan K 2004)
b. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaannya
bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama
antara lain:
Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada
anak secara dini
Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana
pulang (FKUI, 2000)
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak anak
dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya
meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema.
Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta
situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total (NPT)
Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
a. Penanganan komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan
elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi
sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hidrasi intravena, dekompresi
nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena memiliki
peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
b. Penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif dilakukan
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube
berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik
prophylaksis telah menjadi prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya
enterocolitis.
c. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi
Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan usus
yang normal pada pasien post-operatif.
Tindakan bedah

3 jenis teknik yang sering digunakan adalah prosedur Swenson, Duhamel, dan
Soave. Apapun teknik yang dilakukan, membersihan kolon sebelum operasi
definitif sangat penting.
1. Prosedur Swenson
a. Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan
untuk menangani penyakit Hirschsprung
b. Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian
anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum bagian
distal
2. Prosedur Duhamel
a. Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai
modifikasi prosedur Swenson
b. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan beberapa
bagian rektum yang aganglionik dipertahankan
c. Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum dijahit.
Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang retrorektal
(diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side anastomosis
dilakukan pada rektum yang tersisa
3. Prosedur Soave
a. Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah
membuang mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik usus
ganglionik ke arah ujung muskuler rektum aganglionik
b. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal, tergantung dari
pembentukan jaringan parut antara segmen yang ditarik dan usus yang
aganglionik. Prosedur ini kemudian dimodifikasi oleh Boley dengan
membuat anastomosis primer pada anus

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media
aesulapius FKUI.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 1985. Ilmu Kesehatan Anak, Buku
Kuliah1, Infomedika, Jakarta.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto

Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (Penyakit Hirschsprung)

Behrmann, Kliegman, Arvin. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi


15, Jilid
II. Jakarta: EGC

Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC

Kowalak, Jennifer P. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai