Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“Asuhan Keperawatan Hisprung”

Dosen Pembimbing:

Delima, S.Pd. M.Kes

Kelompok 4 :

Mutia Tri Allda 193110180

Nabilla Rifdha Helmi 193110181

Najla Lidhiatul Fitri 193110182

Niken Pradilla Natasya 193110183

Putri Asani 193110184

Putri Indah Dewi 193110185

D3 KEPERAWATAN PADANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
Asuhan Keperawatan Hisprung
A. Definisi

Hisrsprung disebut juga hirschprung’s disease atau megacolon congenital yaitu tidak
didapatkannya syaraf simpatis dan para simpatis di tunica muscularis usus, terutama di colon
paling sering di rectosigmoid.

Hirsprung adalah penyakit yang tidak adanyan sel-sel ganglion dalam rectum atau
bagian rektcolon. Dan ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya
peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Snowden : 2000).
Kondisi ini merupakan kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada
neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 kg, lebih banyak laki-
laki daripada perempuan.  

Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang
tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam
menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar
yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu

Klasifikasi : Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena,


hirschsprung dibedakan menjadi dua tipe berikut :

1. Segmen Pendek  Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi
pada sekitar 70% kasus penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada
laki-laki dibandingkan anak perempuan. (Sacharin, 1986)
2. Segmen Panjang  Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat
mengenaiseluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki
peluang yang sama. (Sacharin, 1986).

B. Etiologi
Penyebab hirchsprung atau mega colon itu sendiri belum diketahui tetapi diduga
terjadi karena faktor genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan down syndrom,
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal
pada mnyentrik dan sub mukosa dinding plexus.

Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapiada


hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkandengan
neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery,1994). Gen lain
yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk selneurotrofik glial yang
diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dangen endothelin -3 (Marches,
2008).Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Downsyndrome, sekitar 5-15% dari pasien
dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers, 2001).

C. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir tidka bisa mengeluarkan Meconium dalam 24-28 jam pertama setelah
lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan
distensi abdomen. Gejala penyakit hirscprung adalah obstruksi usus letak rendah dan
penyakit dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut :

1. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan
evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi,
muntah dan dehidrasi.
2. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi
abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur
merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi
distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah. (Nelson)
3. Anak-anak
a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distensi abdomen
d. Adanya masa difecal dapat di alpasi
e. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi
4. Komplikasi
a. Obstruksi usus
b. Konstipasi
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
d. Entrokolitis
e. Struktur anal dan inkontinensial (pos operasi)

D.Patofisiologi

Istilah congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya


kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. 
Ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong
(peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkterrektum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian
yang rusak pada Mega Colon.

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrolkontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya  bagian usus yang  proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut
melebar.

Sel ganglion pada kolon


Kegagalan sel neural pada tidak ada/ sangat sedikit
masa embrio dalam dinding
usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub
Kontrol kontraksi dan
mukosa dinding plexus
relaksasi peristaltik
abnormal
Peristaltic tidak sempurna Spingter rectum tidak dapat
relaksasi

Obstruksi parsial Akumulasi benda padat, Feses tidak mampu


cair, gas melewati spinkter ani

Refluk peristaltic
Obstruksi di kolon Pelebaran kolon
(mega kolon)

Mual dan muntah Perasaan penuh

Resiko Kekurangan Defisit Nutrisi


Volume Cairan

Gangguan Rasa
Nyaman Intervensi pembedahan Gangguan defekasi

Kurangnya informasi Risiko Infeksi Nyeri Akut Konstipasi

Ansietas

E. Pemeriksaan Penunjang/Labor

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia darah  Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal  biasanya
dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yg sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan
elektrolit. 
b. Darah rutin  Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatiof.
c. Profil koagulasi  Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan
adanya udara dalam rectum. 
b. Barium enema
1) Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan
kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona
transisi
2) Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk
menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya peforasi. Foto segera
diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.
3) Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami
dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan
radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpetasi dan sering kali gagal
memperlihatkan zona transisi.
4) Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah
adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enemadilakukan.
3. Biopsi
Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat
ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan.
4. Tindakan Bedah Defiitif
a. Prosedur Swenson  Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah
definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada aktual, operasi yang dilakukan adalah
rektosigmoidektomi dengan presevarsi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm
rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah
aganglionik, sehingga dalam pengawasan operasi masih sering dijumpai spasme
rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode
operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan
hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.
b. Prosedur Duhamel  Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang aganglionik ke arah anal melalui bagian
posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side
c. Prosedur Soave  Prosedur ini sebenarnya pertama kali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun
oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah mencampakkan mukosa rektum yang
aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk ke
dalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.
d. Prosedur Rehbein  Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada
level otot levator ani (2-3 cm diatas ambang anal), menggunakan jahitan 1 lapis
yang dikerjakan ekstraperitoneal intraabdominal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

F. Pengkajian

1. Identitas  Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan
merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan
kelainan bawaan lain. ( Ngastiyah, 1997).
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama  Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias
yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah
dan diare. 
b. Riwayat kesehatan sekarang Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi
usus fungsional. Obstruksitotal saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan
ketiadaan evakuasimekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan
dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan,
enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat
terjadi
c. Riwayat kesehatan dahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi  Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum
dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk. 
b. Auskultasi  Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bisng usus.
c. Perkusi  Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi  Teraba dilatasi kolon abdominal.
G. Diagnosa Keperawatan (SDKI)

1. Defisit Nutrisi b.d saluran pencernaan mual dan muntah


2. Konstipasi bd obstruksi ketidakmampuan Kolon mengevakuasi feses
3. Resiko kekurangan volume cairan bd muntah, ketidakmampuan menyerap udara oleh
hal
4. Gangguan rasa nyaman b.d distensi abdomen (refluk peristaltik)
5. Nyeri akut dan cedera biologis (obstruksi parsial pada dinding usus)
6. Ansietas b.d prognosis penyakit, minimnya informasi, rencana pembedahan
7. Risiko infeksi b.d pasca prosedur pembedahan

H. Intervensi Keperawatan

Diagnosa (SDKI) Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)

Defisit Nutrisi b.d saluran Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi


pencernaan mual & muntah keperawatan selama 3x24 jam, 1 Identifikasi status nutrisi
diharapkan status nutrisi 2 Identifikasi makanan yang disukai
membaik dengan kriteria hasil : 3 Identifikasi kebutuhan kalori dan
1 Nyeri abdomen menurun jenis nutrien
2 Diare menurun 4 Monitor asupan makanan
3 Bising usus membaik 5 Monitor berat badan
6 Melakukan oral hygien sebelum
makan
7 Fasilitasi menentukan pedoman diet
8 Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
9 Ajarkan keluarga diet yang
diprogramkan
10 Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk
jumlah kalori dan jenis nutrien yang
di butuhkan
Konstipasi b. d obstruksi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Konstipasi
ketidakmampuan Kolon keperawatan selama 3x24 jam, 1 Periksa tanda dan gejala konstipasi
mengevakuasi feses diharapkan eliminasi fekal 2 Periksa pergerakan usus, karakteristik
membaik dengan kriteria hasil : feses (konsistensi, bentuk, volume,
1 Keluhan defekasi lama dan warna)
sulit menurun 3 Identifikasi faktor resiko konstipasi
2 Destensi abdomen menurun ( mis. Obat-obatan dll)
3 Peristaltik usus membaik 4 Monitor tanda dan gejala ruptur usus
5 Amjurkan diet tinggi dan serat
6 Lakukan masase abdomen
7 Jelaskan etiologi masalah dan alasan
tindakan kepada keluarga
8 Anjurkan peningkatan asupan cairan
9 Konsultasikan dengan tim medis
tentang penurunan/peningkatan
frekuensi suara usus

Gangguan rasa nyaman b.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri


distensi abdomen (refluk keperawatan selama 3x24 jam, 1 Identifikasi lokal, karakteristik, durasi,
peristaltik) diharapkan status kenyamanan frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
meningkat dengan kriteria hasil : 2 Identifikasi skala nyeri
1 Kesejahteraan fisik dan 3 Ajarkan teknik relaksasi sesuai usia
psikologis membaik anak
2 Erawatan sesuai kebutuhan 4 Fasilitasi istirahat dan tidur
meningkat 5 Kolaborasi pemberian analgetik, jika
3 Rileks meningkat perlu
4 Gelisah menurun
5 Pola tidur membaik
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A.Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan nada Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta : Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai