Disusun Oleh :
1. Jihan Sajidah (P07120216057)
2. Galuh Ayu Nur Widati (P07120216058)
3. Umi Kalsum Mustalqimah (P07120216059)
B. Klasifikasi
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, Hirschprung dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Penyakit hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki- laki dibanding anak
perempuan.
2) Penyakit hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak baik laki – laki maupun perempuan.
C. Etiologi
Penyebab dari Hirschprung yang sebenarnya tidak diketahui, tetapi Hirschsprung atau
Mega Colon diduga terjadi karena :
o Faktor genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan Down syndrom.
o Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
D. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong
( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat
berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian
yang rusak pada Mega Colon (Cecily Betz & Sowden, 2002:196).
Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut,
menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi
obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 :
141 ).
Aganglionic mega colon atau hirschprung dikarenakan karena tidak adanya
ganglion parasimpatik disubmukosa (meissher) dan mienterik (aurbach) tidak ditemukan
pada satu atau lebih bagian dari kolon menyebabkan peristaltik usus abnormal. Peristaltik
usus abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa pencernaan di kolon yang
berakibat timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi megakolon dan pasien mengalami
distensi abdomen. Aganglionosis mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna menjadi tidak
berfungsi lagi, mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan terhambat. Penumpukan
sisa pencernaan yang semakin banyak merupakan media utama berkembangnya bakteri.
Iskemia saluran cerna berhubungan dengan peristaltik yang abnormal mempermudah
infeksi kuman ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis. Apabila tidak segera ditangani
anak yang mengalami hal tersebut dapat mengalami kematian (kirscher dikutip oleh Dona
L.Wong,1999:2000)
E. Pathway
Anoreksia
Nyeri Gangguan
keseimbangan
Gangguan cairan
Gangguan nutrisi kurang
integritas kulit dari kebutuhan
Resiko
infeksi
F. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama
setelahlahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan
empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317).
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi.
Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan
obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan
demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas.
Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau
busukyang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ).
Gejala Penyakit Hirshprung menurut ( Betz Cecily & Sowden, 2002 : 197)
1. Masa neonatal
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Enggan minum
d. Distensi abdomen
2. Masa bayi dan anak – anak
a Konstipasi
b Diare berulang
c Tinja seperti pita dan berbau busuk
d Distenssi abdomen
e Adanya masa difecal dapat dipalpasi
f Gagal tumbuh
g Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi
G. Komplikasi
Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan
elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.
Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit hirschprung
adalah:
a. Pneumatosis usus
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
b. Enterokolitis nekrotiokans
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
c. Abses peri kolon
Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik
distensi berlebihan dindingnya.
d. Perforasi
Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e. Septikemia
Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena iskemia
kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.
Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:
a. Gawat pernafasan (akut)
Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga mengganggu
ekspansi paru.
b. Enterokolitis (akut)
Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin.
c. Stenosis striktura ani
Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan relaksasi
karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan:
a Daerah transisi
b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c Entrokolitis padasegmen yang melebar
d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam
Pada bayi baru lahir, barium enema tidak selalu memperlihatkan gambaran yang
jelas dari penyakit apabila seluruh kolon tidak mempunyai sel ganglion. Hal ini terjadi
meskipun pengeluaran barium terlambat 24 jam setelah pemeriksaan diagnostik.
2. Biopsi isap rektum
Hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata untuk menghindari
daerah normal hipogang lionosis dipinggir anus. Biopsi ini dilakukan untuk
memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub mukosa atau pleksus saraf
intermuskular.
3. Biopsi rektum
Biopsi rektum dilakukan dengan cara tusukan atau punch atau sedotan 2 cm diatas garis
pektinatus memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub mukosa atau pleksus
saraf intermuskular.
4. Biopsi otot rektum
Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan aganglionosis otot
rektum.
5. Manometri anorektal
Dilakukan dengan distensi balon yang diletakan di dalam ampula rektum. Balon akan
mengalami penurunan tekanan di dalam sfingter ani interna pada pasien yang normal.
Sedangkan pada pasien yang megacolon akan mengalami tekanan yang luar biasa.
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
7. Foto rontgen abdomen
Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar normal
dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih kecil karena usus besar yang
tanpa ganglion tidak berelaksasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen akan
ditemukan usus melebar / gambaran obstruksi usus letak rendah.
I. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
2. Perawatan
1. Kaji, dan laporkan dengan segera setiap tanda-tanda enterokolitis.
2. Tingkatkan hidrasi yang adekuat.
3. Kaji fungsi usus.
a. Kaji pasase mekonium pada neonatus.
b. Perhatikan dan catat frekuensi dan karakteristik feses pada bayi dan anak yang
lebih besar.
c. Ukur lingkar abdomen secara periodik untuk mengkaji adanya peningkatan
distensi.
4. Tingkatkan nutrisi yang adekuat sesuai dengan usia anak dan kebutuhan nutrisi (Beri
makan sedikit tapi sering).
5. Berikan enema, sesuai program untuk mengatasi konstipasi.
6. Hindari mengukur suhu melalui rectum karena berpotensi merusak mukosa yang
lembut.
7. Beri obat-obatan yang diprogramkan, dapat mencakup :
a. Antibiotik sistemik diberikan dengan enema untuk mengurangi flora
intestinal. Pelunak feses diberikan untuk mengatasi konstipasi.
8. Turunksn ketidaknyamanan akibat dari distensi abdomen.
a. Tinggikan kepala tempat tidur.
b. Ubah posisi anak dengan sering.
c. Kaji adanya kesulitan bernapas dikaitkan dengan distensi.
9. Dukung anak dan orang tua.
a. Anjurkan anak dan orang tua untuk mengungkapkan perasaan dan
kekhawatirannya.
b. Anjurkan orang tua untuk mengunjungi dan berpartisipasi dalam perawatan
10. Persiapkan anak dan orang tua untuk setiap prosedur dan pengobatan, yang mencakup
:
a. Dilatasi anus secara manual, penatalaksanaan diet dan pembersihan dengan
enema sampai anak mempu menoleransi pembedahan.
b. Pembedahan untuk mengangkat segmen kolon aganglionik yang tidak
berfungsi, dilanjutkan dengan anastomosis dalam tiga tahap :
1) Kolostomi sementara sebelum pembedahan definitif untuk
mengistirahatkan usus dan meningkatkan berat badan anak.
2) Reanastomosis dengan menggunakan teknik penarikan
abdominoperineal sekitar 9 sampai 12 bulan kemudian.
3) Penutupan kolostomi sekitar 3 bulan kemudian setelah prosedur
penarikan abdominoperineal.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
Mekonium lambat keluar lebih dari 24-48 jam setelah lahir, perut kembung,
muntah berwarna hijau, dan nyeri abdomen.Pada kanak-kanak kadang terdapat diare
atau enterokolitis kronik disertai kehilangan cairan, elektrolit, dan protein yang
masif, secara cepat dan progresif menjadi sepsis dan syok.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diketahui adanya peningkatan kesulitan dalam defekasi yang
dimulai pada beberapa minggu pertama kehidupan, konstipasi sejak lahir dan
ditemukannya rektum yang kosong. Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini
diturunkan kepada anaknya.
5. Riwayat kesehatan lingkungan.
6. Imunisasi.
7. Kebutuhan nutrisi
Pola nutrisi didapatkan penurunan nafsu makan, minum, dan muntah berwarna
hijau, atau ada pembatasan klien pre op.
8. Kebutuhan eliminasi
Konstipasi, tinja seperti pita dan berbau busuk.
9. Riwayat penyakit keluarga
10. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan umum
Kesadaran compos mentis, keadaan umum lemah dan gelisah, suhu tubuh
meningkat bila terdapat enterokolitis, nadi cepat dan lemah, respirasi takipnea ,
BB menurun.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi.Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna
hijau.Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari
akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya
udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.
d. Sistem saraf.
SSP :Tidak ada kelainan, namun ada kelainan sel ganglion pada ususnya.
e. Sistem lokomotor/musculoskeletal
Gangguan rasa nyaman.
f. Sistem integumen.
Tidak ada kelainan
g. Sistem pendengaran
Tidak ada kelainan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien dengan penyakit
hirschprung adalah:
a. Diagnosa keperawatan pre operasi
1. Perubahan eliminasi alvi :konstipasi berhubungan dengan tidak adanya peristaltik
usus.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah
3. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan output yang berlebih
4. Gangguan rasa nyaman, Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
5. Ansietaskeluarga berhubungan dengan kurangnya informasi tentang pembedahan
kolostomi
Betz, Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC.
Asep Setiawan, et all, Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik (Pediatric Nursing) Edisi 3,
Jakarta : EGC
Chris Brooker. (2008). Ensiklopedia Keperawtan alih Bahasa Oleh Estu Tiar. Jakarta :
EGCDoengoes, Marilynn. E,.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Richard E. Behrma, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Alih Bahasa A. Samik Wahab Edisi 15. Jakarta : ECGR. Sjamsuhidayat dan Wim de
jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC