Anda di halaman 1dari 14

BAB I

KONSEP DASAR TEORI

A. Cholelithiasis
1. Pengertian
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
2. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang
paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.3 Sementara itu, komponen utama
dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan
empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang,
semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara
lain :
a. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
b. Usia lebih dari 40 tahun .
c. Kegemukan (obesitas).
d. Faktor keturunan
e. Aktivitas fisik
f. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
g. Hiperlipidemia
h. Diet tinggi lemak dan rendah serat
i. Pengosongan lambung yang memanjang
j. Nutrisi intravena jangka lama
k. Dismotilitas kandung empedu
l. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
m. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan
kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
n. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru
orang Afrika)
3. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting
dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan
kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid
yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam
empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang
lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris
yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.
4. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
a. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50%
kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
1) Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan
oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit.
Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas
dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat
yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat
antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu
pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
2) Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
c. Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-
50% kolesterol.
5. Manifestasi klinik
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik.
Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama
ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign).
Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan
muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali
terulang.
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-
tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri
ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat
berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau
dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung
empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi
ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang- kadang batu dapat
menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering
menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
6. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak
menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan. Pilihan penatalaksanaan antara lain:
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian
dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
c. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya
batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% pasien.10 Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an
sukses.Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi
kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
d. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-
pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan
yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya- manfaat pad
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah
benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk
pasien yang sakitnya kritis.
g. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter
dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke
usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang
dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja
biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.
B. Laparoskopi Cholesistectomy
Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau keyhole surgery
merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen melalui irisan kecil (biasanya
0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah tradisional yang memerlukan irisan yang
lebih besar, dimana tangan ahli bedah masuk ke badan pasien. Beberapa praktisi kadang-
kadang menggunakan istilah yang salah yaitu bedah mikroskopik, ini mengacu pada irisan
yang kecil. Laparoskopi mencakup operasi dalam abdomen dan pelvis. Teknologi ini
menggunakan lensa teleskop untuk mendapatkan gambaran yang jelas pada layar monitor.
Operator dalam melaksanakan operasi menggunakan hand instrument. Lapangan operasi
pada abdomen diperluas dengan dimasukkannya gas karbondioksida. Laparoskopi bedah
sekarang menjadi standar untuk pengelolaan pasien kolelitiasis.
Kolesistektomi terbuka merupakan tindakan pembedahan abdomen yang besar, dimana
ahli bedah mengambil kandung empedu melalui irisan panjang 10-18 cm. Kolesistektomi
terencana pertama dilakukan oleh Karl Lungenbach dari Jerman pada tahun 1882. Lebih
dari satu abad, kolesistektomi terbuka menjadi standar pengelolaan kolelitiasis
simtomatis. Pasien biasanya harus menginap di rumah sakit untuk beberapa hari dan
membutuhkan pemulihan beberapa hari di rumah. Teknik ini memberikan banyak
keuntungan yaitu meningkatkan pemulihan pasien dengan mengurangi nyeri, waktu
tinggal di rumah sakit lebih pendek, dan lebih cepat kembali ke aktivitas harian yang
normal. Bedah laparoskopi berhubungan dengan insisi kulit yang kecil, sehingga membuat
kondisi setelah operasi lebih menyenangkan bagi pasien. Pendekatan ini juga lebih hemat
bagi penyelenggara kesehatan.
Laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur laparoskopi yang paling sering
dijalankan. Pada prosedur ini, instrumen 5-10 mm (seperti grasper, gunting, clip
applicator) dapat dimasukkan oleh ahli bedah ke dalam abdomen melalui trokar (pipa
lubang dengan pengunci agar gas karbon dioksida tidak keluar).
Laparoskopi kolesistektomi umumnya menggunakan empat port, yaitu (1) Port untuk
laparoskop yang ditempatkan dekat umbilicus (port A), ukuran port tergantung dari
ukuran laparoskop yang akan dipergunakan (10 mm atau 5 mm); (2) Port untuk operasi
merupakan port operasi utama, diletakkan di bawah liver sedikit di kanan ligamentum
falsifarum (port B) dan diletakkan setelah visualisasi laparoskopi dapat terlihat dengan
jelas, untuk menghindari cidera arteri epigastrica inferior pada sarung rectus, maka
dibutuhkan transiluminasi dinding abdomen; (3) dan (4) Port pembantu, jumlahnya dua
buah, ditempatkan pada lateral sarung rectus dan di bawah tepi bawah liver (port C dan
D).
Pneumoperitoneum dapat dilakukan dengan menggunakan veress needle atau secara
open. Kemudian ditempatkan empat trokar dengan posisi seperti yang terlihat pada
Gambar 2. Proses laparoskopi disajikan pada Gambar 3. Laparoskop digunakan untuk
melihat seluruh rongga abdomen. Usus halus dimobilisir. Lobus kiri hepar diangkat untuk
memperlihatkan kandung empedu. Kandung empedu dipegang dengan forcep yang tidak
traumatik. Tarik kandung empedu ke arah luar untuk memperlihatkan Calot’s triangle.
Peritoneum dekat leher kandung empedu dibuka untuk identifikasi ductus cysticus.
Selanjutnya, dilakukan klip tiga buah pada ductus cysticus, sedangkan ductus cysticus
dipotong dengan meninggalkan dua buah klip. Arteri cystica diidentifikasi dengan cara
klip dua buah dan dipotong diantaranya. Kandung empedu dibebaskan dari perlekatannya
di liver, kemudian dikeluarkan melalui port A atau B.

C. Anestesi Umum

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU).
Anestesi umum adalah hilang kesadaran yang bersifat reversibel yang disebabkan
oleh agen anestetik dengan kehilangan sensasi nyeri di seluruh tubuh. Anestesi berarti
suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri bisa juga disebut sebagai suatu keadaan yang
ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam
hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri
atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara
inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O,
halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan
secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan
molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.
1. Obat Anastesi Umum
a. Agen Induksi Intravena

Pada pasien dewasa yang menerima anestesi umum, anestesiologis ingin


mencapai stage III anestesi secepatnya. Agen IV biasanya lebih disukai
dibandingkan anestesi inhalasi karena bereaksi lebih cepat dan tidak
menghasilkan bau tidak menyenangkan (halothane)

1) Barbiturat.
Barbiturat yang biasa digunakan adalah methohexital, thiopental, dan thiamylal.
Obat lain yang dapat digunakan adalah diazepam, midazolam, lorazepam,
etomidate, ketamine, dan propofol.
a) Methohexital memiliki onset yang cepat dan merupakan short acting
barbiturate. Digunakan untuk anestesi umum pada prosedur yang
singkat (kurang dari 30 menit). Dosis yang digunakan untuk induksi
anestesi umum adalah 1mg/kg.
b) Thiopental (Penthotal) dan thiamylal (Surital) onset dari obat ini sekitar
30-40 detik dan durasinya lebih lama dari methohexital.
Kontraindikasi untuk pemberian barbiturat adalah penderita asma dan
porphyria.
2) Benzodiazepin.
Benzodiazepin dapat digunakan untuk induksi anestesi umum. Benzodiazepin
yang dapat digunakan adalah diazepam, midazolam, dan lorazepam.
Benzodiazepin memiliki efek yang lebih lambat dan gradual dibandingkan
dengan barbiturat.
3) Agen lain
a) Ketamin dapat digunakan sebagai agen induksi secara intravena maupun
intramuscular. Biasanya digunakan pada anak atau anak yang menderita
asma karena memiliki efek bronchodilatasi. Penggunaan ketamin harus
bersama dengan atropine atau glikopirolat untuk menurunkan sekresi
airway.
b) Propofol (diisopropylphenol) adalah agen anestesi IV non barbiturat yang
digunakan ketika diperlukan onset yang cepat dan durasi yang singkat.
4) Opioid (Agonis dan Agonis/Antagonis)
Opioid digunakan untuk maintenance pada anestesi umum. Anestesi
diinduksi oleh agen induksi intravena short acting lalu dipertahankan oleh
opioid dengan dosis yang periodik. N2O-)2 digunakan untuk meminimalisir
dosis opioid. Opioid yang digunakan untuk anestesi umum adalah morfin,
mepheridine, fentanyl, sulfentanyl, alfentanyl, dan ramifentanyl.
5) Agen Neuroleptik
Neuroleptik dihasilkan ketika obat neuroleptik (tranquilizer) dan
analgesik opioid diberikan secara bersamaan untuk menghasilkan karakteristik
sebagai berikut:
a) Rasa kantuk tanpa kehilangan kesadaran secara total
b) Sikap acuh tak acuh secara psikologis terhadap lingkungan
c) Tidak ada gerakan volunter
d) Analgesia
e) Amnesia
Pada praktiknya neuroleptantesia biasanya dihasilkan oleh kombinasi
obat neuroleptic, opioid, N20-02, dan muscle relaxant. Agen
neuroleptanesthesia yang paling sering digunakan adalah innovar. Innovar
merupakan kombinasi dari dreperidol 2,5 mg/ml dan fentanyl 0,05 mg/ml.
Innovar merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mendapatkan
kondisi neuroleptik.
6) Anesthesia Dissociative
Anestesi disosiatif dihasilkan oleh ketamin. Pada kondisi disosiatif,
pasien tampak bangun (matanya terbuka dan dapat melakukan gerakan
involunter) namun tidak sepenuhnya sadar. Setelah administrasi intravena
ketamin, analgesia dan ketidaksadaran terjadi 30 detik kemudian. Dosis ketamin
yang biasa digunakana dalah 1-2 mg/kg dengan 0,5mg/kg/min. Kebanyakan
digunakan pada anak-anak. Digunakan pada prosedur bedah yang tidak
memerlukan relaksasi otot skeletal atau memiliki kesulitan dalam menjaga jalan
napas misalnya pada koreksi luka atau luka bakar di wajah karenaa pada
prosedut ini sulit untuk menggunakan intubasi.
Anestesia disosiatif kontraindikasi pada pasien pada bedah intraokular
dan pasien yang memiliki riwayat kenaikan tekanan CSF, cerebrovascular
accident (CVA), dan tekanan darah tinggi karena efek samping dari ketamin
adalah kenaikan tekanan darah, detak jantung, dan tekanan intraokular.
7) Muscle Relaxants (Neuromuscular Blocking Drugs)
Agen ini memberikan relaksasi otot skeletal untuk memudahkan
intubasi trakea dan pengontrolan ventilasi mekanis. Obat-obat ini mengganggu
transmisi impuls dari saraf motorik ke otot pada skeletal neuromuscular
junction. Muscle relaxant biasanya diperlukan pada anestesi umum outpatient
dengan durasi yang lama, pasien memerlukan intubasi. Terdapat 4 cara kerja
dari muscle relaxant:
a) Defisiensi blok. Defisiensi blok ini mengganggu sintesis atau transmisi
asetilkolin. Contoh obat yang bekerja dengan cara ini adalah neomycin,
kanamycin, dan streptomycin.
b) Nondepolarizing block atau dikenal sebagai competitive blok. Obat ini
berikatan dengan reseptor kolinergik, mencegah asetilkolin berikatan
dengan reseptor. Contoh obat nondepolarizing block adalah metocurine,
vecuronium, atracurium, mivacurium, dan gallamine.
c) Depolarizing Block (Phase I Block). Obat ini bekerja mirip seperti
asetilkolin namun dengan waktu yang panjang. Obat ini bekerja
menghasilkan kontraksi otot yang disebut fasciculations, diikuti dengan
perlemahan otot yang panjang. Dua obat yang menghasilkan efek ini adalah
succinylcholine dan decamethonium.
d) Dual block atau disebut juga desensitization block. Pada dual block,
membrane berdepolarisasi lalu perlahan-lahan repolarisasi. Obat memasuki
serabut saraf dan berekerja sebagai agen nondepolarisasi.
Nondepolarizing muscle relaxant lebih sering digunakan ketika
pembedahan daripada depolarizing agent karena durasinya yang lebih panjang.
Depolarizing agent digunakan untuk intubasi endotracheal, laryngoscopy,
bronchoscopy, esophagoscopy, dan prosedur singkat lainnya. Obat-obat yang
sering digunakan sebagai agen muscle relaxant adalah succinylcholine,
tubocurarine, dan pancuronium.
b. Anastetik Inhalasi
Anestetik inhalasi paling sering digunakan dalam anestesi umum karena
dapat dikontrol. Obat-obat yang sering digunakan untuk anestesi inhalasi adalah
N2O, halothane, enflurane, isoflurane, desflurane, dan sevoflurane. Saat ini yang
paling sering digunakan adalah N2O. Fungsi utama dari N2O adalah untuk
memperkuat aksi dari obat lain. Dengan administrasi N2O (bersamaan dengan
O2), obat primer pada anestesi umum dapat diberikan dengan dosis yang lebih
kecil dan konsentrasi yang lebih rendah.
Halothane dikenalkan pada tahun 1956 pada praktik anestesi dan
memiliki efek anestesi dan pembedahannya sendiri yaitu tidak mudah terbakar
sehingga dokter bedah dapat menggunakan electrocautery dan extensive
electronic monitoring oleh anestesiologis. Kerugian dari halothane adalah dapat
menyebabkan efek hepatotoksisitas. disaritmia jantung dan dapat menyebabkan
tremor selama recovery pada pasien dengan suhu tubuh yang rendah.
Teknik Sedasi Inhalasi pada pasien secara umum dibagi menjadi 3 fase :
fase perkenalan , fase injeksi dan perawatan dan fase penyembuhan.
1) Flow rate (liter per menit) dari 100% oksigen diberikan, dan penutup hidung
ditempatkan pada hidung pasien. Pasien diinstruksikan untuk membenarkan
posisi penutup hidung hingga terasa nyaman.
2) Flow rate yang benar dicapai ketika pasien bernapas dengan 100% oksigen.
3) Presentase N2O yang dimulai, biasanya 20%. N2O kemudian dititrasi dengan
kenaikan 10% tiap 60 detik.
4) Ketika pasien merasa telah nyaman dan lebih relax, level yang ideal untuk sedasi
klinis telah dicapai
5) Ketika level yang ideal dari sedasi telah dicapai, anastesi lokal dapat diberikan
dan rencana perawatan dental dapat dilakukan
6) N2O kemudian dihilangkan, dan pasien diberikan 100% oksigen murni. Oksigen
diberikan 3 sampai 5 menit atau lebih lama jika tanda klinis dari sedasi tetap ada.
7) Pasien dapat meningalkan tempat praktek dengan tidak didampingi bila benar-
benar telah pulih dari sedasi.
2. Tahap-tahap Anestesi
a. Stadium I
Stadium induksi atau eksitasi volunter, dimulai dari pemberian agen anestesi sampai
menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas
dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
b. Stadium II
Stadium eksitasi involunter, dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia.
c. Stadium III
Pembedahan/operasi, terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak.
Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-
gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial
semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah
dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola
mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.

3. Status Fisik Pasien Berdasarkan ASA


Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi
sistem klasifikasi status lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian
ditambahkan Kriteria status fisik pasien sebelum operasi menurut ASA (American
Society of Anesthesiologist). Status tersebut adalah sebagai berikut:
a. ASA I : Pasien yang normal dan sehat
b. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan.
c. ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat.
d. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang merupakan ancaman bagi
kehidupan
e. ASA V : Pasien yang tidak dapat diharapkan untuk bertahan hidup tanpa operasi
f. ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan dikeluarkan untuk tujuan
donor.
Jika pembedahan darurat, klasifikasi status fisik yang diikuti dengan “E”
misalnya “3E”. Kelas 5 biasanya keadaan darurat dan karena itu biasanya “5E”. Kelas
“6e” tidak ada dan hanya dicatat sebagai kelas “6″, karena semua pengambilan organ
pada pasien mati otak dilakukan segera. Darurat sekarang didefinisikan sebagai bila
keterlambatan dalam pengobatan secara signifikan akan meningkatkan ancaman
terhadap kehidupan pasien atau bagian tubuh. Dengan definisi ini, sakit parah karena
patah tulang, batu ureter atau nifas (melahirkan) bukan merupakan darurat.
Skala yang mereka diusulkan hanya pada pra operasi pasien saja, bukan
prosedur pembedahan atau faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hasil bedah.
Mereka berharap ahli anestesi dari seluruh bagian negara akan mengadopsi “istilah
umum mereka,” membuat perbandingan statistik morbiditas dan kematian mungkin
dengan membandingkan hasil untuk “prosedur operasi dan kondisi pra operasi
pasien”.
Penyakit lokal juga dapat mengubah status fisik namun belum disebutkan dalam
klasifikasi ASA. Sistem klasifikasi ini mengasumsikan bahwa usia pasien tidak ada
hubungannya dengan kebugaran fisik, dimana tidak benar. Neonatus dan orang tua,
bahkan denagan tidak adanya penyakit sistemik, toleransinya dinyatakan serupa
anestesi buruk dibandingkan dengan orang dewasa muda. Demikian pula klasifikasi
ini mengabaikan pasien dengan keganasan (kanker). Sistem klasifikasi ini tidak dapat
diperbaiki ke bentuk yang lebih dijabarkan dan ilmiah, mungkin karena sering
digunakan untuk penggantian biaya.
Beberapa dokter anestesi sekarang mengusulkan bahwa seperti pengubah suatu
‘E’ untuk darurat, sebuah ‘pengubah P’ untuk kehamilan harus ditambahkan dengan
nilai ASA
D. Asuhan Keperawatan Peri Anestesi
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi
meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien, pemeriksaan
sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler (bleeding),sistem
persyarafan (brain), sistem perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem
tulang, otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan, USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan
diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre
anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
2) Dx : Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d vasodilatasi
pembuluh darah dampak obat anestesi.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit
sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Pola nafas tidak efektif b/d penurunan tingkat kesadaran.
2) Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
3) Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post
anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan,
tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi tertahan
efek dari general anestesi.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
3) Dx : Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
4) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.

Anda mungkin juga menyukai