Anda di halaman 1dari 19

Askep Kolelitiasis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.
Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi
dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu
pada 10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita
ini menjalani pembedahan. Dua per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis
dimana pasien tidak mempunyai keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri
kolik tahunan hanya 1-4%. Sementara pasien dengan gejala simtomatik batu
empedu mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada episode
selanjutnya. Risiko penderita batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah
serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan
penyulit akan terus meningkat.
Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan
ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau
saat operasi untuk tujuan yang lain
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut
dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu
saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada beberapa
keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu
intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu
primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan
pasien di negara Barat.
Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik.
Pada sekitar 80% dari kasus, kolesterol merupakan komponen terbesar dari batu
empedu. Biasanya batu - batu ini juga mengandung kalsium karbonat, fosfat atau
bilirubinat, tetapi jarang batu- batu ini murni dari satu komponen saja.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang kelompok angkat dalam makalah ini, antara lain :
1. Bagaimana konsep kolelitiasis?

2. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

1. Menjelaskan konsep kolelitiasis.

2 Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.


1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi kandung empedu.

2. Menjelaskan definisi kolelitiasis.

3. Menjelaskan klasifikasi batu empedu.

4. Menjelaskan etiologi kolelitiasis.

5. Menjelaskan manifestasi klinis kolelitiasis.

6. Menjelaskan patofisiologi kolelitiasis.

7. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic kolelitiasis.

8. Menjelaskan penatalaksanaan kolelitiasis.

9. Menjelaskan komplikasi kolelitiasis.

10. Menjelaskan prognosis kolelitiasis.


11. Menjelaskan WOC kolelitiasis
12. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan keperawatan
pada klien dengan kolelitiasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh
hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar
dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan
bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak
orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan
ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.
Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi
setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan
di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan
garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam
kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum
melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang
normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam
dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat
untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua
keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R,
2005)
2.2 Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu
adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu.
Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan
batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise
Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran
empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan
komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari
batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung
kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).
2.3 Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun
yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya
tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2. Usia lebih dari 40 tahun .
3. Kegemukan (obesitas).
4. Faktor keturunan
5. Aktivitas fisik
6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7. Hiperlipidemia
8. Diet tinggi lemak dan rendah serat
9. Pengosongan lambung yang memanjang
10. Nutrisi intravena jangka lama
11. Dismotilitas kandung empedu
12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam
empedu)
14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih,
baru orang Afrika)
2.4 Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran
makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga)
golongan:

1. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
1. Supersaturasi kolesterol

2. Hipomotilitas kandung empedu

3. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

4. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat
disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi
parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas
dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang
tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala.
Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala
klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non
spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang
tidak jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik
karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier
dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik
bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15
menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar
sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada malam hari, kekambuhannya dalam
waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas yang berulang
merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di
perut kanan atas, namun nyeri mungkin jugaterlokalisir di epigastrium. Nyeri pada
kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga
berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus. Tekananpada kandung empedu
bertambah sebagai usaha untuk melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan,
perut kanan atas atau epigastrium biasanya dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan atas
yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala
klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang
akut, jaundice, failure to thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10%
dijumpai dengan gejala asimptomatik.Mual dan muntah juga umum terjadi.
Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik
terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangansangat bervariasi. Pada
pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi
inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada
kandung empedu.
Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung empedu,
kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering
berupakolesistitis akut dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas yang dapat
menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba masa pada lokasi nyeri
tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada perut kanan atas yang
dapat menyebar sampai daerah epigastrium. Tanda khas (Murphys sign) berupa
napas yang terhenti sejenak akibat rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan palpasi
dalam di daerah subkosta kanan.

2.6 Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu
yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu
pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam
empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga
tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air.
Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari
garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam
empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari
larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat
saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas,
atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih
pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion
ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi
normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya
enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena
kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang
bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase

Presipitasi / pengendapan

Berbentuk batu empedu

Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping
itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Penggunaan
ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koleduktus yang mengalami dilatasi.
Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan.
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila
pasien jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung
empedu yang mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal. (Williams 2003)
ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya
dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat
optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars
desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk
menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta
evaluasi percabangan bilier.
(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Pemeriksaan Laboratorium
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.000/iu)
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus
utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)

1.

2.8 Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang
menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan
kolelitiasis yang asimptomatik.
2.8.1 Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC
dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :

1. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein

2. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.

3. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign

4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.

5. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan
daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang
10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20
mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko
tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini
dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu
yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan
iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu
kandung empedu
4. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung
dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu
melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter
dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus.
Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat

2.8.2 Penatalaksanaan Bedah


Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan
untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu
di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi
pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan
biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris
yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Asimtomatik

2. Obstruksi duktus sistikus

3. Kolik bilier

4. Kolesistitis akut

5. Perikolesistitis

6. Peradangan pankreas (pankreatitis)

7. Perforasi

8. Kolesistitis kronis

9. Hidrop kandung empedu

10. Empiema kandung empedu


11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis
sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada
bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi

2.10 Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2
cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak
yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin
memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan
kolesistektomi.
2.11 WOC

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan .
Data yang dikumpulkan meliputi :
3.1.1 Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada
individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun.
Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas, dan mual muntah.

1. Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,


paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas
(Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal
menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi
nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien
merasakan nyeri/gatal tersebut.
Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang menjalar ke punggung , dan
bertambah berat setelah makan disertai dengan mual dan muntah.

1. Riwayat penyakit dahulu

Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi.

1. Riwayat kesehatan keluarga

Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok
manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.

1. Riwayat psikososial

Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan mempercayakan


sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap tindakan yang dilakukan
oleh rumah sakit asal cepat sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri
tidak timbul sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.

1. Riwayat lingkungan

Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena kolelitiasis


dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.
3.1.3 Pemeriksaan fisik

1. Keadaan Umum

Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :

1. Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)

2. Auskultasi : peristaltik (+)

3. Perkusi : timpani

4. Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak
teraba, massa (-)

5. Sistem endokrin

Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit
ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
3.1.4 Pola aktivitas

1. Nutrisi

Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan

1. Aktivitas

Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran


bedrest

1. Aspek Psikologis

Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.

1. Aspek penunjang

1. Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum


meningkat).

2. Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter


3.2 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Pasien mengeluh Sumbatan empedu / Nyeri
nyeri di daerah ulu hati koleltiasis
DO : nyeri tekan di
epigastrium
Aliran balik cairan empedu
ke hepar

Proses radang di sekitar


hepatobilier

Infeksi

Nyeri
DS : - Penurunan peristaltik Penurunan volume cairan
DO : pasien lemah, mata karena efek kolelitiasis
cowong, turgor kulit buruk
Makanan tertahan di dalam
lambung

Peningkatan rasa mual

Mual / muntah

Penurunan volume cairan


DS : Pasien mengatakan Penurunan peristaltik Nutrisi kurang dari
perutnya tidak enak karena karena efek kolelitiasis kebutuhan tubuh
mual muntah
DO : Distensi abdomen Makanan tertahan di dalam
lambung

Peningkatan rasa mual

Mual / muntah

Peubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh
3.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Intervensi Rasional

Observasi dan catat lokasi, beratnya


(skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, Membantu membedakan penyebab
hilang timbul, kolik). nyeri dan memberikan informasi tentang
kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya
Tingkatkan tirah baring, biarkan komplikasi, dan keefektifan intervensi.
pasien melakukan posisi yang nyaman.
Meningkatkan istirahat,
Kolaborasi : Pertahankan status memusatkan kembali perhatian, dapat
puasa, masukan / pertahankan meningkatkan koping.
penghisapan NG sesuai indikasi.
Tirah baring pada posisi fowler
Kolaborasi : Berikan obat sesuai rendah menurunkan tekanan
indikasi; antikolinergik. intraabdomen.

Membuang secret gaster yang


merangsang pengeluaran kolesistokinin
dan kontraksi kandung empedu.

Menghilangkan reflex
spasme/kontraksi otot halus dan
membantu dalam manajemen nyeri.

Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, distensi, dan
hipermotilitas gaster.
Intervensi Rasional
Pertahankan masukan dan haluaran akurat, Memberikan informasi tentang status
perhatikan haluaran kurang dari masukan, cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan
peningkatan berat jenis urine. Kaji penggantian.
membrane mukosa/kulit, nadi perifer, dan Muntah berkepanjangn, aspirasi gaster,
pengisian kapiler. dan pembatasan pemasukan oral dapat
Awasi tanda / gejala menimbulkan deficit natrium, kalium dan
peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, klorida.
kram abdomen, kelemahan, kejang, kejang Menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
ringan, kecepatan jantung tak teratur, Menurunkan mual dan mencegah muntah.
parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising Mempertahankan volume sirkulasi dan
usus, depresi pernapasan. memperbaiki ketidakseimbangan.

Kolaborasi : Pertahankan pasien puasa


sesuai keperluan.

Kolaborasi : Berikan antimetik.

Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit,


dan vitamin K.

Risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan
memaksa diri atau pembatasan berat badan sesuai aturan; mual/muntah.
Intervensi Rasional
Kaji distensi abdomen, sering bertahak, Tanda non-verbal ketidaknyamanan
berhati-hati, menolak bergerak. berhubungan dengan gangguan pencernaan,
nyeri gas.
Perkirakan/hitung pemasukan kalori juga Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan
komentar tentang napsu makan sampai nutrisi. Berfokus pada masalah membuat
minimal suasana negative dan mempengaruhi
Berikan suasana menyenangkan pada masukan.
saat makan, hilangkan rangsangan Untuk meningkatkan napsu
berbau. makan/menurunkan mual.

Kolaborasi : Konsul dengan ahli diet/tim Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi
pendukung nutrisi sesuai indikasi. individual melalui rute yang paling tepat.
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan
Tambahkan diet sesuai toleransi, meminimalkan rangsangan pada kandungan
biasanya rendah lemak, tinggi serat, empedu.
batasi makanan penghasil gas dan
makanan/makanan tinggi lemak.

BAB IV
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada
saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah
kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum diketahui secara pasti.
Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan maupun
non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein, dan tinggi
kalori agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu. Oleh karena
itu, asuhan keperawatan yang baik diperlukan dalam penatalaksanaan kolelitiasis
ini sehingga dapat membantu klien untuk dapat memaksimalkan fungsi hidupnya
kembali serta dapat memandirikan klien untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia.
6.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya
dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam tentang
penyakit kolelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih aktif dalam
memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan penyakit kolelitiasis.
Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan bersama oleh semua pihak, maka
komplikasi dari kolelitiasis akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Andessa, 2011, Asuhan Keperawatan Kolelitiasis, diakses tanggal 4 Oktober 2011
pukul 12.00 WIB. http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-
kolelitiasis.html
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 1
Oktober 2011 pukul 10.00
WIB <http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-
serta-askepnya/>
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pasien kolelitiasis, diakses tanggal 2 Oktober
2011 pukul 10.30 WIB <perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-
keperawatan-pasien-dengan.html>
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi
2: 2009; Buku kedokteran EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.

Anda mungkin juga menyukai