BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan keperawatan
pada klien dengan kolelitiasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh
hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar
dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan
bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak
orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan
ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.
Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi
setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan
di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan
garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam
kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati.
Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum
melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang
normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam
dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat
untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah
pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua
keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R,
2005)
2.2 Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu
adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu.
Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan
batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise
Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran
empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan
komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari
batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung
kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).
2.3 Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun
yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya
tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka
kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
2. Usia lebih dari 40 tahun .
3. Kegemukan (obesitas).
4. Faktor keturunan
5. Aktivitas fisik
6. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
7. Hiperlipidemia
8. Diet tinggi lemak dan rendah serat
9. Pengosongan lambung yang memanjang
10. Nutrisi intravena jangka lama
11. Dismotilitas kandung empedu
12. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
13. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus (kekurangan garam
empedu)
14. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih,
baru orang Afrika)
2.4 Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran
makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga)
golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
1. Supersaturasi kolesterol
4. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat
terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat
disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi
parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas
dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang
tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.
Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.
2.6 Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu
yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol
merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu
pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam
empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga
tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air.
Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari
garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam
empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari
larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat
saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas,
atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih
pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion
ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi
normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya
enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena
kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan
karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang
bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
Presipitasi / pengendapan
Berbentuk batu empedu
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
1.
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang
menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan
kolelitiasis yang asimptomatik.
2.8.1 Penatalaksanaan Nonbedah
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC
dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan
daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang
10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20
mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko
tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini
dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu
yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan
iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu
kandung empedu
4. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1. Asimtomatik
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
2.10 Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2
cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak
yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin
memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan
kolesistektomi.
2.11 WOC
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan .
Data yang dikumpulkan meliputi :
3.1.1 Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada
individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun.
Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas, dan mual muntah.
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi.
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok
manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.
1. Riwayat psikososial
1. Riwayat lingkungan
1. Keadaan Umum
3. Perkusi : timpani
4. Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak
teraba, massa (-)
5. Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit
ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
3.1.4 Pola aktivitas
1. Nutrisi
1. Aktivitas
1. Aspek Psikologis
1. Aspek penunjang
Infeksi
Nyeri
DS : - Penurunan peristaltik Penurunan volume cairan
DO : pasien lemah, mata karena efek kolelitiasis
cowong, turgor kulit buruk
Makanan tertahan di dalam
lambung
Mual / muntah
Mual / muntah
Menghilangkan reflex
spasme/kontraksi otot halus dan
membantu dalam manajemen nyeri.
Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, distensi, dan
hipermotilitas gaster.
Intervensi Rasional
Pertahankan masukan dan haluaran akurat, Memberikan informasi tentang status
perhatikan haluaran kurang dari masukan, cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan
peningkatan berat jenis urine. Kaji penggantian.
membrane mukosa/kulit, nadi perifer, dan Muntah berkepanjangn, aspirasi gaster,
pengisian kapiler. dan pembatasan pemasukan oral dapat
Awasi tanda / gejala menimbulkan deficit natrium, kalium dan
peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, klorida.
kram abdomen, kelemahan, kejang, kejang Menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
ringan, kecepatan jantung tak teratur, Menurunkan mual dan mencegah muntah.
parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising Mempertahankan volume sirkulasi dan
usus, depresi pernapasan. memperbaiki ketidakseimbangan.
Risiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan
memaksa diri atau pembatasan berat badan sesuai aturan; mual/muntah.
Intervensi Rasional
Kaji distensi abdomen, sering bertahak, Tanda non-verbal ketidaknyamanan
berhati-hati, menolak bergerak. berhubungan dengan gangguan pencernaan,
nyeri gas.
Perkirakan/hitung pemasukan kalori juga Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan
komentar tentang napsu makan sampai nutrisi. Berfokus pada masalah membuat
minimal suasana negative dan mempengaruhi
Berikan suasana menyenangkan pada masukan.
saat makan, hilangkan rangsangan Untuk meningkatkan napsu
berbau. makan/menurunkan mual.
Kolaborasi : Konsul dengan ahli diet/tim Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi
pendukung nutrisi sesuai indikasi. individual melalui rute yang paling tepat.
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan
Tambahkan diet sesuai toleransi, meminimalkan rangsangan pada kandungan
biasanya rendah lemak, tinggi serat, empedu.
batasi makanan penghasil gas dan
makanan/makanan tinggi lemak.
BAB IV
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada
saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah
kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum diketahui secara pasti.
Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan maupun
non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein, dan tinggi
kalori agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu. Oleh karena
itu, asuhan keperawatan yang baik diperlukan dalam penatalaksanaan kolelitiasis
ini sehingga dapat membantu klien untuk dapat memaksimalkan fungsi hidupnya
kembali serta dapat memandirikan klien untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia.
6.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya
dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam tentang
penyakit kolelitiasis. Kepada para perawat, kami sarankan untuk lebih aktif dalam
memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan penyakit kolelitiasis.
Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan bersama oleh semua pihak, maka
komplikasi dari kolelitiasis akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Andessa, 2011, Asuhan Keperawatan Kolelitiasis, diakses tanggal 4 Oktober 2011
pukul 12.00 WIB. http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-
kolelitiasis.html
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pada kolelitiasis, diakses pada tanggal 1
Oktober 2011 pukul 10.00
WIB <http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-
serta-askepnya/>
Anonim, 2009, Asuhan Keperawatan pasien kolelitiasis, diakses tanggal 2 Oktober
2011 pukul 10.30 WIB <perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-
keperawatan-pasien-dengan.html>
Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi
2: 2009; Buku kedokteran EGC
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579.