Anda di halaman 1dari 24

Laporan Pendahuluan Cholelithiasis

Di Ruang Elizabeth RS Immanuel

Oleh :
Levito Maitale
1490122107
PPN’29 Reguler

PROGRAM PROFESI NERS


INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG
BANDUNG
2022
CHOLELITHIASIS
1. Pendahuluan
Cholelithiasis merupakan kondisi yang paling banyak ditemukan,
kondisi ini menyebabkan 90% penyakit empedu. Cholelithiasis biasanya
timbul pada orang dewasa, antara usia 20-50 tahun dan sekitar 20%
dialami oleh pasien yang berumur diatas 40 tahun. Berdasarkan presentase
terjadinya cholelithiasis menunjukkan bahwa 13,1% dialami oleh pria dan
33,7% dialam oleh wanita. Wanita berusia muda memiliki resiko 2-6 kali
lebih besar mengalami cholelithiasis karena adanya peningkatan hormone
ekstrogen. (Cahyono, 2015
Di Asia, prevalensi kolelitiasis berkisar di angka 3‒10%..
Kolelitiasis pigmen coklat pada duktus koledokus lebih sering ditemukan
di Asia, hal ini berkaitan dengan infestasi parasit. Namun, seiring dengan
meningkatnya asupan pola diet Barat (Westernized diet) berpotensi
meningkatkan risiko kolelitiasis kolesterol. Untuk Indonesia sendiri belum
terdapat data epidemiologi kolelitiasis. Namun, pada sebuah studi yang
dilakukan di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado pada rentang bulan
Oktober 2015 hingga Oktober 2016, ditemukan kasus kolelitiasis sebanyak
113 kasus (Tuuk ALZ dalam Dwida, 2020)

2. Pengertian
Kolelithiasis berasal dari kata “ kole ” yang artinya empedu, “ lithia ” yang
artinya batu, dan “sis“ yang berarti adalah proses. Kolelitiasis adalah
adanya material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari
kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari
70% batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 20% tipe batu
kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Sebuah
ukuran batu empedu bisa bervariasi dan dapat sekecil butiran pasir atau
seperti bola golf.
3. Anatomi fisiologi

Anatomi
a. Kandung empedu
Kandung empedu merupakan sakus (kantong) yang berbentuk buah
pir dan melekat pada permukaan posterior hati oleh jaringan ikat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung
empedu memiliki fundus atau ujung yang memanjang badan atau
bagian utama, dan leher yang bersambung dengan duktus sistikus.
Kandung empedu memiliki lapisan jaringan seperti struktur dasar
saluran cerna dengan beberapa modifikasi (Elly Nurachman, 2011)
b. Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral
Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung
empedu, tetapi menahan aliran keluanya. Fungsinya sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum..
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
c. Pendarahan (Vaskularisasi)
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung ke dalam
vena porta.
d. Pembuluh limfe dan persarafan (innervasi)
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesicafellea. Dari sini, pembuluh limfë berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum. Saraf yang menuju ke kandung
empedu berasal dariplexus coeliacus.
Fisiologi
a. Sekresi empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di
dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati
sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum
mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu Empedu
melakukan dua fungsi penting yaitu :
1) Empedu memainkan peranan penting dalam pencemaan dan
absorpsi lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal
antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-
partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan
bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas.
Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir
lemak yang dicema menuju dan melalui membran mukosa
intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu
produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol
yang di bentuk oleh sel-sel hati.
c. Penyimpanan dan Pemekatan Empedu
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari.
Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati
disimpan dalam kandung empedu sampai diperlukan di duodenum.
Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml. Meskipun
demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml)
dapat disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium, klorida,
dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terns menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung antonal lecitin dan
4. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik
dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3%
protein dan 0,3% bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui
dengan pasti, namun faktor predisposisi yang paling penting adalah
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin
besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut
antara lain :
a. Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)
b. Usia lebih dari 40 tahun
c. Kegemukan (obesitas)
d. Faktor keturunan
e. Aktivitas fisik
f. Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)
g. Hiperlipidemia
h. Diet tinggi lemak dan rendah serat
i. Pengosongan lambung yang memanjang
j. Nutrisi intravena jangka lama
k. Dismotilitas kandung empedu
l. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)
m. Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati,
pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan penyakit ileus
(kekurangan garam empedu)
n. Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit
putih, baru orang Afrika)

5. Patofisiologi
Patofisiologi kolelitiasis adalah akibat substansi tertentu pada cairan
empedu yang meningkat, sehingga memiliki konsentrasi yang lebih tinggi
daripada pelarutnya. Cairan empedu yang terkonsentrasi menyebabkan
supersaturasi dan presipitasi sebagai kristal mikroskopik. Kristal ini
terperangkap dalam mukus kantung empedu dan membentuk lumpur bilier
(biliary sludge). Seiring berjalannya waktu, kristal ini menumpuk dan
saling menyatu membentuk batu makroskopik.
6. Pemeriksaan diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksan USG abdomen
dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau
duktus koleduktus yang mengalami dilatasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada
malam harinya sehinggan kandung empedu nya berada dalam keadaan
distensi
b. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisisan, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengososngkan
isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice, karena
liver tidak dapat menghantarkan media kontras kandung empedu yang
mengalami obstruksi.
c. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung
yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini
meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus
hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan
ke dalam duktus koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan
kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan
keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier.
e. Pemeriksaan darah
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 1
0.000/iu)
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu 
di duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml).
7. Penatalaksanaan
a. Non-bedah
1) Diet : Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein. Pemasangan
pipa lambung bila terjadi distensi perut. Observasi keadaan umum
dan vital sign. Dipasang infus program cairan elektrolit dan
glukosa untuk mengatasi syok. Pemberian antibiotik sistemik dan
vitamin K ( anti koagulpati ).
2) Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih
dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping
yang lebih sedikit
3) Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai
adalah methyl terbutyl eter.
4) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
5) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran
empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat
b. Bedah
1) Kolesistektomi terbuka
Indikasi yang paling umum untuk dilakukan kolesistektomi terbuka
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Operasi
ini merupakan standart terbaik untuk penanganan pasien dengan
koletiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang
dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris
2) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Kolesistektomi laparoskopik dilakukan
dengan membuat sayatan kecil sebesar lubang kunci pada kulit,
sebagai jalur masuk alat laparoskop.

8. Asuhan keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data

untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu

wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik (Bolat & Teke, 2020).

Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan, Data yang

dikumpulkan meliputi (Lestari et al., 2019) :


1) Identitas

a) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,

pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor

register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas

klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.

b) Identitas penanggung jawab

Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk

memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan,

data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan,

hubungan dengan klien dan alamat.

2) Riwayat Kesehatan

a) Keluhan utama

Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien

saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan

adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.

b) Riwayat kesehatan sekarang

Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui

metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama

keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri atau

gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar

kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat

mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)

yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.


c) Riwayat kesehatan yang lalu

Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau

pernah di riwayat sebelumnya.

d) Riwayat kesehatan keluarga

Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita

penyakit kolelitiasis

3) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan Umum :

i. Penampilan Umum

Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien

ii. Kesadaran

Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan

klien.

iii. Tanda-tanda Vital

Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi

(TPRS)

iv. Sistem endokrin

Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu.

Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan

teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung

empedu.

4) Pola aktivitas

i. Nutrisi

Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan


ii. Aktivitas

Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan

aktivitas dan anjuran bedrest

iii. Aspek Psikologis Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap

penyakit, dan suasana hati

iv. Aspek penunjang

 Darah lengkap : Leukositis sedang (akut).


 Billirubin & amilase serum : meningkat.
 Enzim hati serum-AST (SGOT) : ALT (SGOT), LDH :
agak meningkat, alkalin fosfat & S-nukleotidase,
ditandai obstruksi bilier.
 Kadar protombin : menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorpsi vit. K.
 Ultrasound : menyatakan kalkuli & distensi
empedu/duktus empedu.
 Kolangiopankreatografi retrograd endoskopik :
memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi
duktus koledukus melalui duodenum.
 Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan
gambaran dengan fluoroskopi antara penyakit kandung
empedu & kanker pangkreas.
 CT-Scan : dapat menyatakan kista kandung empedu.
 Scan hati : menunjukkan obstruksi percabangan bilier.
b. Analisa data
N DATA ETIOLOGI MASALAH
O
1 DS : Penumpukan Nyeri akut
 Nyeri daerah cairan yang
abdomen atas menjadi kristal
berat dan atau batu
menyebar ke
punggung atau Batu empedu
bahu kanan
 Nyeri datang Distensi batu

tiba-tiba & empedu

biasanya
Menggesek
memuncak dalam
mukosa saluran
30 menit.
empedu
 Otot tegang atau
kaku bila kuadran
Nyeri hebat pada
kanan atas
kuadran atas dan
ditekan
nyeri tekan daerah
DO :
epigastrium
 Gelisah
( terutama saat
 Takikardia
inspirasi )
 RR meningkat
 Napas pendek dan Nyeri akut
dangkal
 Lemah
2 DS : batu empedu Hipertermi
 Pasien
mengatakan Menyumbat aliran
lemas getah penkreas
DO :
 Demam Aliran balik getah
empedu (duktus
 Menggigil
kolekditus ke
 Suhu meningkat
pankreas)
 Gelisah
 Takikardia
Iritasi lumen
 RR meningkat
 Napas pendek Inflamasi
dan dangkal
Peningkatan suhu
tubuh

hipertermia

3 DS : iritasi lumen Defisit nutrisi


 nyeri
epigastrium, inflamasi
tidak dapat
makan permeabilitas

 flatus (kentut) kapiler

 dyspepsia
Peningkatan
enzim SGOT &
DO :
SGPT
 Lemah
 Penurunan berat
Bersifat iritatif di
badan.
saluran cerna
 Anoreksia,
mual/muntah Peristaltik

 Tidak toleran menurun

terhadap lemak
& makanan Rasa mual

pembentukan gas muntah


meningkat
 Regurgitasi
berulang
Defisit nutrisi

4 DS : Iritasi lumen Resiko


 Lemas ketidakseimbanga
DO : Inflamasi n cairan
 urine gelap,
pekat, feses Permeabilitas

warna tanah liat meningkat

Cairan shif ke
peritoneum

Resiko
ketidakseimbanga
n cairan

c. Diagnosa keperawatan
1) Nyeri akut
2) Hipertermi
3) Defisit nutrisi
4) Resiko ketidakseimbangan cairan

d. Intervensi keperawatan
NO DX TUJUAN INTERVENSI
1 Nyeri akut Tupan: 1. Manajemen nyeri
Tingkat nyeri Observasi
menurun dan tidak  Identifikasi lokasi,
ada nyeri karakteristik,
durasi, frekuensi,
Tupen kualitas, intensitas
Setelah dilakukan nyeri
tindakan 3 x 24 jam  Identifikasi skala
diharapkan tingkat nyeri
nyeri menurun  Monitor pemberian
dengan kriteria analgetik
hasil: Terapeutik
 Skala nyeri  Berikan teknik
menurun nonfarmakologis
 Gelisah (terapi musik/pijat)
menurun  Kontrol lingkungan
 Anoreksia  Fasilitasi istirahat
menurun tidur
 TTV dalam Edukasi
rentang normal  Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
 Jelaskkan strategi
pereda nyeri
Kolaborasi :
 Pemberian
analgetik jika perlu

2 Hipertermi Tupan: 1. Manajemen


Termoregulasi hipertermia
membaik dan tidak Observasi
ada hipertermi  Identifikasi
penyebab
Tupen: hipertermia
Setelah dilakukan  Monitor suhu tubuh
tindakan 3 x 24 jam Terapeutik
diharapkan  Sediakan
termoregulasi lingkungan yang
membaik dengan dingin
kriteria hasil :  Longgarkan atau
 Mengigil lepaskan baju
menurun  Berikan cairan oral
 Takikardi
 Ganti linen setiap
menurun
hari
 Suhu tubuh Edukasi
membaik
 Anjurkan tirah
 TTV dalam baring
rentang normal Kolaborasi
 Pemberian cairan
dan elektrolit IV,
bila perlu

3 Defisit nutrisi Tupan: 1. Manajemen nutrisi


Status nutrisi Observasi
membaik dan  Identifikasi status
kebutuhan nutrisi nutrisi
terpenuhi  Identifikasi alergi
dan intoleransi
Tupen: makanan
Setelah dilakukan  Monitor BB
tindakan 3 x 24 jam  Monitor asupan
diharapkan status makanan
nutrisi membaik Terapeutik
dengan kriteria  Lakukan oral
hasil: hygiene
 Nafsu makan  Berikan makanan
meningkat secara menarik dan
 BB meningkat suhu yang sesuai
 Porsi makan Edukasi
yang dihabiskan  Anjurkan posisi
meningkat dudu jika mampu
 Anjurkan diet yang
di programkan
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
mediakasi sebelum
makan
 Kolaborasi dengan
ahli gizi
4 Resiko Tupan: 1. Manajemen cairan
ketidakseimban Keseimbangan Observasi
gan cairan cairan meningkat  Monitor status
dan volume cairan hidrasi
tetap terjaga  Monitor BB
 Monitor hasil lab
Tupen:
 Monitor status
Setelah dilakukan
tindakan 3 x 24 jam hemodinamik
diharapkan Terapeutik
keseimbangan cairan  Catat intake-output
meningkat dengan dan hitung cairan
kriteria hasil : balance 24 jam
 Asupan cairan  Berikan asupan
meningkat cairan
 Haluaran urin Kolaborasi
meningkat  Pemberian diuretik,
 Turgor kulit jika perlu
membaik
 BB meningkat
DAFTAR PUSTAKA

(Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,


2013). (2018). Riset Kesehatan Dasar.

Alhawsawi, Z. M., Alshenqeti, A. M., Alqarafi, A. M., Alhussayen, L. K., &


Turkistani, W. A. (2019). Cholelithiasis in patients with paediatric sickle cell
anaemia in a Saudi hospital. Journal of Taibah University Medical Sciences,
14(2), 187–192. http://doi.org/10.1016/j.jtumed.2019.02.007

AlKhlaiwy, O., AlMuhsin, A. M., Zakarneh, E., & Taha, M. Y. (2019).


Laparoscopic cholecystectomy in situs inversus totalis: Case report with
review of techniques. International Journal of Surgery Case Reports, 59, 208–
212. http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.05.050

Arif Kurniawan , Yunie Armiyati, R. A. (2017). Pengaruh Pendidikan Kesehatan pre


operasi terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi di RSUD Kudus,
6(2), 139–148.

Baloyi, E. R. J., Rose, D. M., & Morare, N. M. T. (2020). Incidental gastric


diverticulum in a young female with chronic gastritis: A case report.
International Journal of Surgery Case Reports, 66, 63–67.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.11.030

Bini, J., Chan, J. C., Rivera, C., & Tuda, C. (2020). IDCases Sporadic leptospirosis
case in Florida presenting as Weil ` s disease. IDCases, 19, e00686.
http://doi.org/10.1016/j.idcr.2019.e00686

Bolat, H., & Teke, Z. (2020). Spilled gallstones found incidentally in a direct
inguinal hernia sac: Report of a case. International Journal of Surgery Case
Reports, 66, 218–220. http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2019.12.018

Bruno, L. (2019). Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi. Journal of Chemical


Information and Modeling (Vol.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Ferreira Junior, E. G., Apolinario Costa, P., Freire Golveia Silveira, L. M., Valois
Vieira, R., Lima Martins Soares, H. A., Menon Loureiro, B., … Coelho
Ferreira Rocha, J. R. (2019). Localized pancreatic Castleman disease
presenting with extrahepatic dilatation of bile ducts: A case report and review
of published cases. International Journal of Surgery Case Reports, 54, 28–33.
http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2018.11.006

Harahap, E. E. (2019). Melaksanakan Evaluasi Asuhan Keperawatan Untuk


Melengkapi Proses Keperawatan.

Andalas, U. (2017). 1 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2018, 1–5.

Nanda, D. (2020). Asuhan Keperawatan Aplikasi NANDA, (6), 1–7.

Kusuma, N. &. (2016). dengan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia.

Lestari, P. H., Setiawan, A., Pusat, J., Ilmu, F., Universitas, K., & Barat, J. (2019).
Pelaksanaan intervensi cakupan informasiku melalui pendekatan asuhan
keperawatan keluarga sebagai upaya pencegahan perilaku seksual berisiko
pada remaja, 11(1).

Musbahi, A., Abdulhannan, P., Bhatti, J., Dhar, R., Rao, M., & Gopinath, B. (2019).
Outcomes and risk factors of cholecystectomy in high risk patients: A CASE
SERIES. Annals of Medicine and Surgery.
http://doi.org/10.1016/j.amsu.2019.12.003

Nathaniel, A., Seja, G. P., Perdana, K. K., Daniel, R., Lumbantobing, P., &
Heryandini, S. (2018). Perilaku Profesional Terhadap Pola Makan Sehat, 1(2),
186–200.

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Putri Sella Agustin, P. S. P. (2016). Pengaruh Pola Makan Tidak Seimbang dan
Kurangnya Aktivitas Fisik Menyebabkan Terjadinya Obesitas. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Rahmawati, A., Sudarmanto, Y., & Hasan, M. (2019). The Risk of Work Posture
Did Not Affect on Worker’s Disability Index with Low Back Pain Complaints
in PT Muroco Jember. Journal of Agromedicine and Medical Sciences, 5(1),

Anda mungkin juga menyukai