Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN

PENDAHULUAN
CHOLELITHIASIS

DISUSUN OLEH :
GUSTIN NURHIDAYAH,AMK

DISUSUN UNTUK PERPANJANGAN STR

RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO


PURWOKERTO
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLELITHIASIS

A. Konsep Laparoscopy Cholelithiasis


1. Definisi
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan
membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran
empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu,
fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa
berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu
campuran.
Lokasi batu empedu bisa bermacam–macam yakni di kandung empedu,
duktus sistikus, duktus koledokus, ampula vateri, di dalam hati. Kandung empedu
merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah
lobus kanan hati. Empedu yangdisekresi secara terus menerus oleh hati masuk
kesaluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil
tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari
permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang akan bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung
dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang,duktus
koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula vateri sebelum
bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampula dikelilingi
oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter oddi.

2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang
paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan
susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu empedu dapat
terjadi dengan atau tanpa factor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor
resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu
empedu.
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitis pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena batu
empedu dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu
dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi batu
empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri daerah midepigastrium
b. Mual dan muntah
c. Tachycardia
d. Diaphoresis
e. Demam
f. Flatus, rasa beban epigastrium, heart burn
g. Nyeri abdominal atas kronik
h. Jaundice

4. PatofiEtilogi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu
campuran. Lebih dari 90 % batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol) atau batu campuran ( batu yang mengandung 20-50% kolesterol).
10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20% kolesterol.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan stasis
kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
kosentrasi kalsium dalam kandung empedu.Batu kandung empedu merupakan
gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam
menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan
berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang
terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama kelamaan tersebut bertambah
ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor motilitas kandung
empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu campuran.
5. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut
dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang
tersumbat disertai kuman kuman pembentuk pus.
b. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sitikus.
c. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan
nekrosis jaringan berbercak atau total.
d. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang ditimbulkan
oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi bebas lebih jarang
terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.
e. Pembentukan fistula
f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
g. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan
penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang
lain. Namun demikian, hanya 15% hingga 20% batu empedu yang mengalami
cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
b. Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai
prosedur diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
cepat serta akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan
ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan
radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG mendeteksi batu empedu dengan
akurasi 95%.
c. Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis
kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui
intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat
diekskresikan dalam system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran
empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan waktu yang lebih
lama untuk mengerjakannya, membuat pasien terpajan sinar radiasi, dan tidak
dapat mendeteksi batu empedu. Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus
yang dengan pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
d. Kolesistografi.
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pemeriksaan pilihan,
kolesistografi masih digunakan jika alat USG tidak tersedia atau bila hasil
USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayangannya akan tampak pada foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup asam iopanoat
(Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin) dan sodium ipodat
(Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam dosis oral, 10-12 jam sebelum
dilakukan pemeriksaan sinar-X. sesudah diberikan preparat kontras, pasien
tidak boleh mengkonsumsi apapun untuk mencegah kontraksi dan untuk
pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai riwayat alergi
terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien
mendapat preparat kontras oral pada malam harinya sebelum pemeriksaan
radiografi dilakukan. Foto rontgen mula-mula dibuat pada abdomen kuadaran
kanan atas. Apabila kandung empedu tampak terisi dan dapat mengosongkan
isinya secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat menyimpulkan
bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu. Apabila terjadi penyakit
kandung empedu, maka kandung empedu tersebut mungkin tidak terlihat
karena adanya obstruksi oleh batu empedu. Pengulangan pembuatan
kolesistogram oral dengan pemberian preparat kontras yang kedua mungkin
diperlukan jika kandung empedu pada pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak akan
memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat mengekskresikan
bahan kontras radiopaque kedalam kandung empedu pada pasien ikterik.
Pemeriksaan kolesistografi oral kemungkinan besar akan diteruskan sebagai
bagian dari evaluasi terhadap pasien yang telah mendapatkan terapi pelarutan
batu empedu.

B. Proses Keperawatan
1. Pengakajian
a. Pengkajian fase Pre Operatif
1) Pengkajian Psikologispasienmeliputi perasaan takut / cemas dan keadaan
emosi pasien
2) Pengkajian Fisik pasien pengkajian tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi,
pernafasan dan suhu.
3) Sistem integumen pasien apakah pasien pucat, sianosis dan adakah penyakit
kulit di area badan.
4) Sistem Kardiovaskuler pasien apakah ada gangguan pada sisitem cardio,
validasi apakah pasien menderita penyakit jantung ?, kebiasaan minum obat
jantung sebelum operasi., Kebiasaan merokok, minum alcohol, Oedema,
Irama dan frekuensi jantung.
5) Sistem pernafasan pasien apakah pasien bernafas teratur dan batuk secara
tiba-tiba di kamar operasi.
6) Sistem gastrointestinal pasien apakah pasien diare ?
7) Sistem reproduksi pasien apakah pasien wanita mengalami menstruasi ?
8) Sistem saraf pasien bagaimana kesadaran ?
9) Validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa, lavement, kapter,
perhiasan, Make up, Scheren, pakaian pasien / perlengkapan operasi dan
validasi apakah pasien alaergi terhadap obat ?
b. Pengkajian fase Intra Operatif
Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang diberi
anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang
diberi anaesthesi lokal ditambah dengan pengkajian psikososial. Secara garis
besar yang perlu dikaji adalah :
1) Pengkajian mental pasienBila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih
sadar atau terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang
sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak
cemas atau takut menghadapi prosedur tersebut.
2) Pengkajian fisikpasienTanda-tanda vital (bila terjadi ketidaknormalan maka
perawat harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli
bedah).
3) Transfusi dan infuse pasien. Monitor flabot sudah habis apa belum.
4) Pengeluaran urin pasien. Normalnya pasien akan mengeluarkan urin
sebanyak 1 cc/kg BB/jam.
c. Pengkajian fase Post Operatif
2) Status respirasi pasienMeliputi : kebersihan jalan nafas,
kedalaman pernafasaan, kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi
nafas.
3) Status sirkulatori pasienMeliputi : nadi, tekanan darah, suhu dan
warna kulit.
4) Status neurologis pasien meliputi tingkat kesadaran.
5) Balutan pasien meliputi : balutan luka
6) Kenyamanan pasien Meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah
7) Keselamatan pasien meliputi : diperlukan penghalang samping tempat
tidur, kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang
dan dapat berfungsi.
8) Perawatan pasien meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan,
kelancaran cairan.
9) Nyeri pasien meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang
memperberat atau
memperingan
2. Asuhan Keperawatan Perioperatif
NO. NANDA NOC NIC
1. Pre Operatif Tujuan : cemas dapat Penurunan kecemasan
Cemas b.d terkontrol. 1.Bina hubungan saling percaya
krisis Kriteria hasil : dengan klien / keluarga
situational 1.Secara verbal dapat 2.Kaji tingkat kecemasan klien.
Operasi mendemonstrasikan 3. Tenangkan klien dan
teknik menurunkan dengarkan keluhan klien dengan
cemas. atensi
2.Mencari informasi 4.Jelaskan semua prosedur
yang dapat menurunkan tindakan kepada klien setiap akan
cemas melakukan tindakan
3.Menggunakan teknik 5. Dampingi klien dan ajak
relaksasi untuk berkomunikasi yang terapeutik
menurunkan cemas 6. Berikan kesempatan pada
4.Menerima status klien untuk mengungkapkan
kesehatan. perasaannya.
7.Ajarkan teknik relaksasi
8. Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal yang
membuat cemas.
2. Pre Operatif Tujuan : bertambah-nya Pendidikan kesehatan : proses
Kurang pengetahuan pasien penyakit
Pengetahuan tentang penyakitnya. 1.Kaji tingkat pengetahuan klien.
b.d Pengetahuan: Proses 2.Jelaskan proses terjadinya
keterbatasan Penyakit penyakit, tanda gejala serta
informasi Kriteria hasil : komplikasi yang mungkin terjadi
tentang 1. Pasien mampu men- 3. Berikan informasi pada
penyakit dan jelaskan penyebab, keluarga tentang perkembangan
proses komplikasi dan cara klien.
operasi pencegahannya 4. Berikan informasi pada klien
2. Klien dan keluarga dan keluarga tentang tindakan
kooperatif saat yang akan dilakukan.
dilakukan tindakan 5. Berikan penjelasan
tentang pentingnya ambulasi
dini

6. Jelaskan komplikasi
kronik yang mungkin akan
muncul
3. Intra Tujuan : resiko 1. memasang arde electrocoter
Operatif combustio sesuai prosedur.
Resiko dapa 2. memfiksasi arde secara adekuat
cedera t diminimalisir 3.menggunakan power output
(combustio Ktriteria hasil : sesuai kebutuhan
b.d tidak terjadi combustio. 4.mengawasi selama pemakaian
pemajanan alat
peralatan
kesehatan
(pemasangan
arde
electrocouter)
4. Post Operatif Tujuan : kerusakan per- Pengelolaan jalan napas
Gangguan tukaran gas tidak terjadi 1. Kaji bunyi paru, frekuensi
pertukaran Status Pernapasan: nafas, kedalaman dan usaha
gas b.d efek ventilasi nafas.
samping dari Kriteria hasil : 2. Auskultasi bunyi napas, tandai
anesthesi. 1.Dispnea tidak ada area penurunan atau hilangnya
2.PaO2, PaCO2, pH ventilasi dan adanya bunyi
arteri dan SaO2 dalam tambahan
batas normal 3.Pantau hasil gas darah dan
3.Tidak ada gelisah, kadar elektrolit
sianosis, dan keletihan .Pantau status mental
Observasi terhadap sianosis,
terutama membran mukosa mulut
5.Pantau status pernapasan dan
oksigenasi
6Jelaskan penggunaan alat bantu
yang diperlukan (oksigen,
pengisap,spirometer)
7. Ajarkan teknik bernapas dan
relaksasi
8. Laporkan perubahan
sehubungan dengan pengkajian
data (misal: bunyi napas, pola
napas, sputum,efek dari
pengobatan)
.Berikan oksigen atau sesuai
dengan kebutuhan
5. Post Operatif Tujuan : kerusakan Perawatan luka
Kerusakan integritas kulit tidak 1. Ganti balutan plester dan debris
integritas terjadi. 2. Catat karakteristik luka
kulit b.d luka Penyembuhan Luka: bekas operasi
post operasi Tahap Pertama 3. Catat katakteristik dari
Kriteria hasil : beberapa
Kerusakan kulit 4. Bersihkan luka bekas
tidak ada operasi dengan sabun
Eritema kulit tidak ada antibakteri yang cocok
Luka tidak ada pus 5. Sediakan perawatan luka
Suhu tubuh bekas operasi sesuai kebutuhan
antara 36°C- 6. Ajarkan pasien dan anggota
37°C keluarga prosedur perawatan
luka
6. Post Operatif Tujuan : Nyeri Manajemen Nyeri :
Nyeri dapat teratasi. 1. Kaji nyeri
aku Kontrol Resiko secara komprehensif
t Kriteria hasil : ( lokasi,
b.d Klien melaporkan karakteristik, durasi, frekuensi,
prose nyeri berkurang dg kualitas dan faktor presipitasi ).
s scala 2-3 2.Observasi reaksi nyeri
pembedahan Ekspresi wajah tenang dari ketidak nyamanan.
klien dapat istirahat 3. Gunakan teknik komunikasi
dan tidur terapeutik untuk mengetahui
v/s dbn pengalaman nyeri klien
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
5. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis).
6. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi, distraksi
dll) untuk mengetasi nyeri.
.Kolaborasi
pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri.
.Evaluasi tindakan pengurang
nyeri.
ASUHAN KEPERAWATAN
PERIOPERATIF PADA TN.B DENGAN
CHOLELITHIASIS
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD Prof. Dr.
MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

DISUSUN OLEH :
GUSTIN NURHIDAYAH,AMK

DISUSUN UNTUK PERPANJANGAN STR

RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO


PURWOKERTO
2021
A. PENGKAJIAN
1. IdentitasKlien
a. Nama : Tn.B
b. Umur : 45 Tahun
c. Nomor Rekam Medis : 02190808
d. Ruang :Teratai
e. Dokter operator : dr. Kamal AW, Sp.B-KBD
f. DiagnosaKeperawatan : Cholelhitiasis
g. TindakanOperasi : Cholesictectomy
h. JenisAnestesi : General anastesi
i. Waktu : 08 Agustus2021
2. Resume Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn.B mengatakan nyeri seperti ditusuk tusuk, nyeri saat beraktivitas sudah lebih
dari 5 hari, nyeri daerah perut, skala nyeri 6, nyeri hilang timbul.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Tn.B mengatakan tidak memiliki keluhan lain selain yang dirasakan saat ini.
c. Status Etilogis
1) Tingkat Kesadaran : Composmenthis (GCS : 15)
2) Tanda-tandavital
TD : 130/80 mmHg HR :110
x/menit SpO2 : 98 % RR : 20 x/menit

S : 36,5°c
d. Status Psikososial
1) Subjektif
Klien mengatakan belum mengetahui dan khawatir dengan proses operasi
yang akan dijalani.
2) Objektif
Klien tampak cemas dan bertanya tingkat keberhasilan operasi

TD : 130/80 mmHg, HR : 110x/menit, SpO2 : 98%,S:36°C RR : 20x/menit


ekspresi wajah klien meringis. akral kulit teraba dingin.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala : mesosephal, tidakadalesi, tidak ada nyeri tekan
b) Mata : Isokor, sclera tak ikterik dan konjungtiva tak anemis
c) Hidung : bentuksimetris, tidakadaperdarahan, tidakadasekret
d) Telinga : Simetris, tidak ada perdarahan, dan tidak
mengalami gangguan
e) Mulut dan gigi : Mukosa lembab, mulut dan gigi bersih
f) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, nadi teraba
dan tidak ada krepitasi
g) Thorak : simetris kiri dan kanan, tidak ada krepitasi, tidak
ada retraksi dinding dada, bunyi nafas vesikuler.
h) Genetalia : tidak mengalami nyeri saat kencing, frekuensi BAK
5- 6/hari, urine berwarna kuning jernih.
i) Status mental : klien tampak cemas
j) Terapi yang sudah diberikan : Infus RL 500 ml
3. Analisa Data
No Tanggal/ja Data Fokus Masalah Etiologi TTD
m
1. 08/08/2021 S : Klien mengatakan belum Ansietas kurang Gustin
tahu dan khawatir dengan pengetahua
proses operasi yang akan n tentang
dijalani. prosedur
operasi
O : TD: 158 / 99 mmHg,
HR:108 x/menit, SaO2 : 98 %

2. 08/08/2021 S : - Resiko Pemakaian Gustin


O : Arde terpasang dengan combustio ESU
benar, pemakaian ESU
dengan power output cutting
30,
koagulasi 35
3. 08/08/2021 S : klien mengatakan Resiko Pengaruh Gustin
mengantuk tinggi obat
O : klien pindah dari meja cedera jatuh anestesi
operasi dengan bantuan
Klien dilakukan anestesi
general anastesi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur operasi
2. Risiko combustio berhubungan dengan pemakaian ESU
3. Risiko tinggi cedera jatuh berhubungan dengan pengaruh obat anestesi

C. Intervensi
No. Dx. Tujuan Intervensi TTD
Keperawatan
1 Anxietas Setelah dilakukan 1. Ucapkan salam Gustin
berhubungan tindakan 1x10 menit, dan
dengan diharapkan masalah memperkenalkan
kurang anxietas pada klien diri
pengetahuan teratasi dengan 2. Gunakan
tentang kriteria hasil : komunikasi
prosedur 1. Klien mampu terapeutik dan
operasi mengidentifikas dampingi
i dan klien selama
mengungkapkan operasi
perasaan cemas 4. Kaji tingkat
2. Klien mampu kecemasan dan
menirukan teknik adanya
untuk perubahan tanda-
mengurangi tanda vital
kecemasan 5. Jelaskan prosedur
3. Klien operasi yang akan
menunjukkan dilakukan
kecemasannya 6. Anjurkan klien
berkurang untuk berdoa
sesuai
keyakinannya
sebelum
operasi dimulai
2 Risiko Setelah dilakukan 1. Memasang arde Gustin
combustio tindakan keperawatan elektrocouter
berhubungan selama 1x30 menit sesuai prosedur
dengan diharapkan tidak terjadi 2. Memfiksasi
pemakaian combustio dengan arde dengan
ESU kriteria hasil : adekuat
1. Tidak terlihat tanda 3. Menggunakan
combustio power
output sesuai
kebutuhan
4. Mengawasi selama
pemakaian alat
3 Risiko tinggi Setelah dilakukan 1. Mengawasi Gustin
cedera jatuh tindakan keperawatan gerak dan posisi
berhubungan selama 1x10 menit klien
dengan diharapkan tidak terjadi 2. Memasang
pengaruh obat cedera dengan kriteria bed side
anestesi hasil : monitor
1. Bed reel 3. Memasang
pada bed pengaman
klien (bed reel)
terpasang pada bed klien
2. Klien tidak 4. Menjaga /
ditinggal tidak
sendirian meninggalkan
klien sendirian
D. Implementasi dan Evaluasi
No Tanggal/ Dx. Implementasi Respon Evaluasi TTD
jam Keperawatan
1 08/08/20 Anxietas 1. Mengucapkan salam 1. Klien membalas salam S : Klien mengatakan Gustin
21 berhubungan dan memperkenalkan 2. Klien mengatakan merasa merasa lebih tenang dan
dengan kurang diri nyaman saat didampingi cemasnya berkurang serta
pengetahuan 2. Menggunakan komunikasi 3. Klien mengatakan cemas siap untuk menjalani
tentang terapeutik dan karena baru pertama kali operasi O :
prosedur mendampingi klien operasi - Klien tampak tenang
operasi selama operasi 4. Klien mengatakan memahami - Ekspresi klien tampak
3. Mengkaji tingkat kecemasan prosedur operasi dan klien tenang, TD : 153/93,
dan adanya perubahan tanda- mengatakan cemasnya sedikit HR : 98 x/menit, SaO2 :
tanda vital berkurang dan klien mampu 98 %
4. Menjelaskan tentang prosedur mendemonstrasikan cara A : Masalah teratasi
operasi yang dilakukan dan mengontrol cemas sebagian
memberikan motivasi dan 5. Klien berdoa sebelum operasi P : Pertahankan intervensi
mendemonstrasikan cara 6. TD dan nadi stabil,
mengontrol kecemasan : klientidak muntah dan
teknik napas dalam dapat bekerja sama saat
5. Menganjurkan klien diberikan obat
untuk berdoa sebelum
operasi
2 08/08/20 Risiko 1. Memasang arde elektrocouter Tidak terjadi combustio S:- Gustin
21 combustio sesuai prosedur O : arde terpasang dengan
berhubungan 2. Memfiksasi arde benar
dengan dengan adekuat A : masalah teratasi
pemakaian 3. Menggunakan power P : hentikan intervensi
ESU output sesuai kebutuhan
4. Mengawasi selama pemakaian
alat
3 08/08/20 Risiko tinggi 1. Mengawasi gerak dan 1. klien tetap pada posisi S : klien mengatakan Gustin
21 cedera jatuh posisi klien yang aman kakinya masih terasa
berhubungan 2. Memasang bed side monitor kesemutan
dengan 3. Memasang pengaman .TTV klien : TD:134/88;HR : O: klien tidak mampu
pengaruh obat (bed reel) pada bed klien 90; SaO2 : 98 % fleksi lutut, nilai aldrette
anestesi 4. Menjaga / tidak score 8 A : masalah teratasi
meninggalkan klien 3. klien telah P : hentikan intervensi
sendirian terfiksasi dengan
aman

4. Klien merasa aman


ada yang mendampingi
DAFTAR PUSTAKA

Ahrendt. S.A and Pitt.H.A. 2004.Billiary Tract. In: Townsend C.M., Beauchamp R.D., Evers
B.M., Mattox K.M.,ed. Sabiston Textbook of Surgery. 17th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders. P. 1606-1608.

Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book). 2007. Gall Blader and
ExtrahepaticBilliary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R., Dunn
D.L., Hunter J.L., Pollock R.E, ed. Schwartz’s Manual Surgery. Eight edition. United
States of America: McGraw-Hill Books Company.

Concept of The Pathogenesis and treatment of cholelithiasis. World J Hepatol 2012; 4(2): 18-34
available from: URL: http://www.wjgnet.com/1948-5182/full/v4/i2/18.htm DOI:
http//dx.doi.org/10.4254/wjh.v4.i2.18.

Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology. Harrison’s 17th
Edition. China: 439-455.

Friedman LS. 2007. Liver, Biliary Tract,& Pancreas. In: LM Tierney, SJ McPhee, MA
Papadakis (eds), Current Medical Diagnosis & Treatment, 46e. New York, McGraw-
Hill

Laurentius A. Lesmana. 2006. PenyakitBatuEmpedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta :Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi Ke-4.h481-
483

R. Sjamsuhidayat. Wim de Jong. 2005. Saluran empedu dan hati. Dalam: R. Sjamsuhidayat,
Wim de Jong, ed. Buku Ajar IlmuBedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. h. 561,570-73
LAPORAN

PENDAHULUAN

FRAKTUR MAXILLA

Oleh:
GUSTIN NURHIDAYAH, AMK

DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU PERSYARATAN PERPANJANG STR

RSUD PROF DR MARGONO

SOEKARJO PURWOKERTO

2021
LAPORAN

PENDAHULUAN

FRAKTUR MAXILLA

A. DEFINISI
Fraktur maksila merupakan bagian dari trauma maxilofasial. Fraktur maxilofasial
atau fraktur wajah adalah putusnyakontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan
sendi. MenurutReksoprodjo (1995), fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang retak,
pecahatau patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulangbisa hanya
retakan saja atau bisa juga sampai hancur berkeping-keping.
Fraktur maksila adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi
akibat adanya trauma, periodontitis maupun neoplasia.
Secara anatomis maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan. Maksila
memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang
frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior – medial pada
prosesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral
lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga olehzygomatimaksilari(Stack & Ruggiero,
2006).
Maxila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang terbesar
setelah mandibula (Moe, 2013). Masing-masing maxila mempunyai bagian :
1. Corpus : yang berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding.
a. Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita.
b. Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi.
c. Facies infra temporalis yang menghadappostero-lateral
d. Facies anterior
2. Processus, terdiri dari empat, yaitu :
a. Processus frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis
b. Processus zygomaticus yang bersendi pada os zygomatikus
c. Processus alveolaris yang ditempati akar gigi
d. Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris
Corpus maksilaris merupakan bangunan berongga, berdinding tipis, terutama pada
facies nasalis. Rongga ini disebut sinus maksilaris, yang merupakan salah satu danyang
terbesar dari empat sinus paranasalis yang ada. Besar sinus bervariasi tergantung usia dan
perluasan processus. Dibawah mukosanya, pada dinding anteriordan posterior terdapat
anyaman syaraf yang dibentuk oleh cabang nervus maxilaris yang masuk melalui kanalis
alveolaris dan kanalis infraorbita bersama dengan vasanya untuk mensyarafi gigi rahang
atas. Akar gigi yang tumbuh pada processus alveolaris kadang dapat menembus sinus.
Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada maksila dan termasuk dalam
golongan otot mimik yang mendapat persyarafan motorik dari N VIII.

B. Etiologi
Penyebab fraktur fasio maksila adalah trauma, misalnya diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cedera olahraga,
kecelakaan akibat peperangan, dan tindakan kekerasan serta fraktur patologis
(Fonseca &Walker, 2005).
Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya perhatian terhadap keselamatan jiwa pada saat berkendaraan,
seperti tidak menggunakan pelindung kepala atau helm, kecepatan dan rendahnya
kesadaran tentang etikaberlalu-lintas (Devadiga & Prasad, 2007).
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter, baik itu dokter
umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma wajah selama
praktiknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlian khusus dalam anatomi wajah,
latar belakang estetika, dankeahlian dalam penyembuhan luka sering kali mendapatkan
rujukan untuk menangani pasien trauma wajah.(Tiwana Paul, et al, 2006).
Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi
seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur
maksila pada anak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik itu
dari segi pola, maupun treatment. Dengan demikian, adanya frakturmaxillofacial harus
dapat didiagnosis danditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional
dan masalah estetika yang mungkin terjadi (Andrea et al, 2008).

C. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur maxila dikembangkan pertama kali oleh Rene Le Fort (1869-
1951), ahli bedah dari Lilie, dan Martin Wassmun (1892-1956), ahli bedah mulut dan
maksilofasial dari Berlin (Budiharja & Rahmat, 2012).dengan melaporkan penelitian
pada jenazah yang mengalami trauma tumpul pada wajah. Disimpulkan terdapat pola
prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma (Thornton,Talavera &
Garza, 2006) dibagi menjadi 3 tipe yaitu :
1. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I terjadi di atas level gigiyang menyentuh palatum, meliputi
keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum dan prosesus pterigoid.
Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus maksila (Fraioli,
2008). Dengan demikian dinding maksilari transversal bawah akan bergeser
terhadap tulang wajah lainnya maupun kranium (Hopper Richard A, 2006).
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung
dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Fraktur Le Fort I ini sering disebut
sebagai fraktur transmaksilari/ Guerin(Budiharja & Rahmat, 2012).
2. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan
fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding
sinus, fraktur pyramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris
dannasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena seperti pada fraktur Le Fort
I, bergeraknya lengkung rahang atas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan
saat pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar disbanding fraktur Le
Fort I, begitu juga dengan gangguan oklusinya, tidak separah pada Le Fort
I (Baumann, Troulis&Kaban, 2004).
3. Fraktur Le Fort III (craniofacial disjunction).
Fraktur jenis ini merupakan cedera yang terparah. Bagian tengah wajah benar-
benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii (Fraioli, 2008).
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,di mana bagian yang
terkena trauma dan besarnya tekanan yang dihasilkan dapat mengakibatkan
pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intracranial (Suardi,
2012).
D. Tanda dan Gejala
1. Fraktur Le fort I : tidak terdapat edema wajah, tidak ada ekimosis sirkumorbital dan
subkonjungtiva, maksila dapat turun kebawah atau ke arah lateral, pada intra orbital
terjadi maloklusi dan ekimosis, pada palpasi terlihat mobilitas maxila.
2. Fraktur Le Fort II dan III: terjadi ekimosis dan perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan hidung dan naso faring, pendataran atau pemanjangan profil muka, ada
kemungkinan terjadi parestesi daerah infra orbita dan cerebrocranial fluid rhinorrhea.
Pada trauma yang berat bagian tengah wajah akan terdesak kearah posteroinferior,
sehingga palatum bertemu denganlidah, edema, perdarahan dan pada akhirnya akan
menyumbat jalan nafas.
Secara umum, gejala klinis yang muncul diantaranya:
1. Nyeri ketika mulut dibuka dan daerah yang fraktur dipegang
2. Bentuk infra orbita asimetris
3. Edema
4. Hidung atau mulut mengeluarkan darah.
5. Terjadi kerusakan pada bagian hidung.
6. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak
berkontaknya rahang bawah dan rahang atas.
7. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila
penderita menggerakkan rahangnya atau pada saat dilakukan.

E. Patofisiologi
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi
menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-
dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi.
Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan
tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang
diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.
1. Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi.
Bagiananterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi
mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering
terganggu.
2. Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang
terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang
pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan
merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi
orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi,
namun jarang menyebabkan kematian.
3. Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma
langsung.
4. Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke
tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus
lacrimalis, atau saluran nasofrontal.
5. Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung
zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan
zygomaticotemporal.
6. Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah
tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan
tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan
lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
7. Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-
rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari
lokasi trauma langsung.
8. Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi
langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang
atas atau rahang bawah.
9. Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi
mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinis dilakukan berbeda pada masing-masing Le Fort :
1. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat
rasa nyeri.
2. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama
tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung
bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi
tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos
dan Computed Tomography (CT) scan.
3. Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi
dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral.
Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur maksila tahap awal meliputi pembebasan jalan
nafas, kontrol pendarahan, penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen
tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika pada awal kejadian jalan nafas mengalami perdarahan dan obstruksi maka harus
segera dilakukan tindakan, kadang diperlukan tracheostomy, dilanjutkan dengan reduksi
dan fixasi jika memungkinkan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilo
mandibular, dan suspensi kranio mandibular yang didapatkan dari pengawatan sirkum
zigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan
dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan
tekanan pada splint/arch bar (Fraioli, 2008).
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I.
Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan dasar orbita
juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding digital dan
splinting (Baumann, Troulis& Kaban, 2004).
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakanarch bar,
fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada
sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessuszigomatikus
ossis frontalis (Fitriana dan Syamsudin, 2013).
Manajemen pasca operasi terdiri dari perawatan secara umum pada pasien seperti
kebersihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, alamat, pekerjaan, asuransi kesehatan,
agama, suku bangsa, tanggal & jam mrs, nomer register, serta diagnosis medis.
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Kesehatan Saat Ini
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma
subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang mengakibatkan
terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
b. Palpasi.
Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary,
mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
c. Manipulasi Digital.
Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat bagian
anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang
satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan
terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
d. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea.
Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau
anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur
pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal
tersebut dapat dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.
e. Maloklusi Gigi.
Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur
maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan
membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih
dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang
dan bawah akan terjadi maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu
sama lain.
f. Aktifitas/Istirahat :
Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian tulang yang mengalami fraktur,
pembekaan dan nyeri.
g. Sirkulasi
Hypertensi, ansietas karena nyeri.Tachikardi, Nadi teraba lemah bahkan tidak ada pada
bagian distal yang cedera dan pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan jaringan
atau hematoma pada bagian yang terkena cedera.
h. Neurosensori
Hilang gerakan,Spasme otot, kesemutan (parastesia).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik (Luka insisi)
2. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan laserasi kulit dari bekas jahitan
post operasi
3. Resiko infeksi berhubungan dengan inflamasi bakteri
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Lakukan pengkajian
dengan agen cedera fisik keperawatan selama….jam diharapkan nyeri secara
nyeri akut dapat teratasi dengan komperhensif
kriteria hasil : b. Ajarkan teknik non farmakologi
a. Pasien mencoba c. Observasi reaksi non verbal
metode dan ketidaknyamanan
nonfarmakologis untuk d. Kolaborasi dengan tim
mengurangi nyerinya medis dalam pemberian
b. Skala nyeri berkurang obat
c. Pasien menyatakan
kenyamanan berkurangnya
nyeri
2. Kerusakan Integritas kulit Setelah dilakukan tindakan a. Anjurkan pasien untuk
berhubungan dengan laserasi keperawatan selama….jam diharapkan menggunakan pakaian
kulit dari bekas jahitan post tidak terjadi kerusakan integritas kulit yang longgar
operasi dengan kriteria hasil : b. Hindari kerutan pada
a. Integritas kulit yang baik bisa tempat tidur
dipertahankan (sensasi, c. Jaga kebersihan kulit agar
elastisitas, temperature, hidrasi, tetap bersih dan kering
pgmentasi) d. Mobilisasi pasien (ubah
b. Tidak ada luka/ lesi pada kulit posisi pasien) setiap dua jam
c. Perfusi jaringan baik sekali
d. Menunjukkan pemahaman e. Monitor kulit akan
dalam proses perbaikan kulit dan adanya kemerahan
mencegah terjadinya cedera f. Membersihkan , memantau
berulang dan meningkatkan proses
e. Mampu melindungi kulit dan penyembuhan pada luka yang
mempertahankan kelembapan ditutup dengan jahitan
kulit dan perawatan alami g. Kaji proses penyembuhan
area insisi
3. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji keadaan luka (konti-nuitas
dengan inflamasi bakteri keperawatan selama….jam diharapkan dari kulit) terhadap ada- nya:
tidak terjadi resiko infeksi dengan edema, rubor, kalor, dolor,
kriteria hasil : fungsi laesa.
a. Pasien bebas dari tanda b. Anjurkan pasien untuk tidak
dan gejala infeksi memegang bagian yang
b. Menunjukkan kemampuan luka.
untuk mencegah tinulnya infeksi c. Merawat luka dengan
c. Jumlah leukosit dalam meng- gunakan tehnik
batas normal aseptic
d. Menunjukkan perilaku d. Mewaspadai adanya
hidup sehat keluhan nyeri mendadak,
keterbatasan gerak, edema
lokal, eritema pada daerah
luka.
e. Kolaborasi dengan tim
medis lain dalam pemberian
terapi obat
DAFTAR PUSTAKA

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma Oral Dan Maksilofasial. Juwono L: Editor.Jakarta: EGC,
2011: p.33-171.
Doengoes (2010). Nursing Care Plans. Davis Plus.
Fitriana E, Syamsuddin E &Fathurrahman. (2013). Karakteristik, Insiden
Danpenatalaksanaan Fraktur Maksilofasial Pada Anak Di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran. p. 1-14.
Suardi EP, Jaya A, Maliawan S, Kawiyana S (2012). Fraktur Pada Tulang Maksila. Bali.
FK Universitas Udayana, p. 1-19.
Moe. K S (2013), Maxillary and Le Fort Fractures.Emedicine. Medscape.
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan
Keperwatan. Jakarta:EGC
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA
PADA TN.S DENGAN FRAKTUR ZIGOMA MAXILLA
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

Disusun Oleh:
GUSTIN
NURHIDAYAH,AMK

DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU PERSYARATAN PERPANJANG STR

RSUD PROF DR MARGONO

SOEKARJO PURWOKERTO

2021
A. PENGKAJIAN
1. Identifikasi pasien
Nama : Tn.G
Umur : 43 th
No rekam medis 02192020
Ruang : Seruni
Dokter operator : dr. Lucas Pedro B
SP.BM Diagnosa keperawatan : Fraktur Zigoma
Maxilla
Tindakan operasi : Reposisi fiksasi fraktur dentoalveolar
mandibula maxilla Jenis anestesi : General Anestesi
Waktu : 10 September 2021
2. Resume Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien post KLL, 3 hari yg lalu, benturan di wajah dan kepala, luka lebam di
wajah dan fraktur pada tangan kiri., nyeri pad wajah dan rahang, mual (-), muntah
(-), sesak (-), pingsan (-).
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah mengalami penyakit yang serius
seperti patah tulang. Pasien hanya pernah sakit demam dan typus + 3 thn
yang lalu.
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Pasien lemah, luka lebam di wajah, fraktur pada tangan kiri.
pasien tampak pucat dan lemah, dan kesulitan saat makan.
Kesadaran : Composmentis
TTV : Tensi 110/70 mmHg, Nadi 98x/mnt, suhu 37 C,RR
22x/mnt. Pemeriksaan Head to toe:
a. Kepala : Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada
benjolan,kulit kepala bersih.
b. Mata : konjungtiva merah berair , mata cekung, tampak lebam
berwarna merah keunguan di kelopak mata, dan terdapat brill hematom.
c. Mulut : Mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis, lidah bersih.
d. Hidung : bengkak, tidak simetris, terdapat luka lebam dan bercak darah
e. Telinga : Simetris, tidak ada benjolan, lubang telinga bersih.
f. Leher : Tidak ada pembesaran kenjar tyhroid, limphe, tidak ada bendungan
vena jugularis,tidak ada kaku kuduk.
g. Dada
1) Inspeksi : dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan
dinding dada simetris, tidak adaretraksi otot bantu pernapasan.
2) Palpasi : Tidak ada benjolan mencurigakan
3) Perkusi : paru-paru sonor, jantung dullness
4) Auskultasi : Irama nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada suara
nafas tambahan.
h. Perut
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/mnt
Palpasi : Turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik
Perkusi : Hipertimpan,perut kembung
i. Punggung : Tidak ada kelainan tulang belakang (kyfosis, lordosis,
skoliosis) tidak ada nyeri gerak.
j. Ekstremitas: Terdapat fraktur di 1/3 distal humerus sinistra. tangan kanan
terpasang infus.
k. Genetalia : jenis kelamin laki-laki, tidak odem, tidak ada kelainan.
l. Anus : Tidak ada benjolan mencurigakan,kulit daerah anus kemerahan.
4. Pengkajian Fungsional Gordon
a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan Keluarga mengatakan kesehatan
merupakan hal yang penting, jika ada keluarga yang sakit maka akan
segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Makan : Tn. “ G“ tidak nafsu makan, makan hanya 3 sendok, tapi sebelum
sakit mau menghabiskan 1 porsi makan.
Minum : Tn. “ G “ minumnya tidak terlalu banyak.
c. Pola Eliminasi
BAK :5x/hari BAB :1x/hari warna kuning kehitaman.
d. Pola Tidur atau Istirahat
Sebelum sakit Tn. G tidur 8 jam sekali, setelah sakit Tn.Gsering terbangun di
malam hari, kualitas tidur berkurang, tidur hanya 4-5 jam sehari.
e. Pola Aktivitas
Sebelum sakit, Tn. G mampu beraktifitas secara mandiri. Setelah sakit, Tn.G
membutuhkan bantuan orang lain dalam beraktifitas.
f. Pola Hubungan dan Peran
Tn. G kehilangan peran sebagai tulang punggung sebelum sakit, saat ini peran
tersebut digantikan oleh anaknya.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, dan pada indra perasa yaitu mulut, sedang pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta nyeri
yang dialami pasien.
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh pasien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak pasien.
5. Terapi yang sudah diberikan
Cairan RL 500 ml

B. Analisa Data
No Tanggal Data Fokus Masalah Etiologi Ttd

1. 10/09/2021 S : Tn.G mengatakan nyeri Nyeri Akut Agen Injury Fisik Gustin
pada wajah dan rahang saat
digerakan
O: Tampak luka lebam di
wajah, pasien tampak meringis
menahan nyeri

2. 10/09/2021 S: Tn.G mengatakan takut Ansietas Kurang Gustin


untuk dioperasi, dan tidak Pengetahuan
mengetahui prosedur operasi tentang Prosedur
yang akan dilakukan Operasi
O: Tensi 110/70 mmHg, Nadi
98x/mnt, suhu 37 C,RR
22x/mnt.

3. 10/09/2021 S : Tn.G mengatakan Gangguan Gangguan Gustin


kesulitan untuk melakukan mobilitas fisik Muskulokeletal
aktifitas karena adanya fraktur
pada wajah dan tangan
O: Pasien tidak dapat
melakukan mobilisasi secara
mandiri

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen Injury Fisik
2. Ansietas berhubungan dengan Kurang Pengetahuan tentang Prosedur Operasi
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Gangguan Muskulokeletal
D. Intervensi
No. Dx. Tujuan Intervensi Ttd
Keperawatan

1. Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan a. Lakukan Gustin


dengan Agen Injury Fisik tindakan 1x10 mnt pengkajian nyeri
keperawatan diharapkan secara
nyeri akut dapat teratasi komperhensif
dengan kriteria hasil : b. Ajarkan teknik
1.Pasien mencoba metode non farmakologi
nonfarmakologis untuk c. Observasi reaksi
mengurangi nyerinya non verbal dan
2.Skala nyeri berkurang ketidaknyamanan
3.Pasien menyatakan d. Kolaborasi dengan tim
kenyamanan medis dalam
berkurangnya nyeri pemberian obat

2. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan a. Ucapkan salam dan Gustin


dengan Kurang tindakan 1x10 menit, memperkenalkan
Pengetahuan tentang diharapkan masalah diri
Prosedur Operasi anxietas pada Pasien b. Gunakan komunikasi
teratasi dengan terapeutik dan dampingi
kriteria hasil : Pasien selama operasi
1. Pasien mampu c. Kaji tingkat
mengidentifikasi dan kecemasan dan adanya
mengungkapkan perubahan tanda-tanda
perasaan cemas vital
2. Pasien mampu d. Jelaskan prosedur
menirukan teknik untuk operasi yang akan
mengurangi kecemasan dilakukan
3.Pasien menunjukkan e. Anjurkan Pasien
kecemasannya untuk berdoa sesuai
berkurang keyakinannya
sebelum operasi
dimulai
3. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan a. Kaji derajat Gustin
berhubungan dengan tindakan 1x10 menit, imobilitas yang
Gangguan Muskulokeletal diharapkan masalah dihasilkan
gangguan mobilitas fisik oleh cedera/pengobatan
dapat berkurang: dan perhatikan
1. Pasien meningkat b. Instruksikan Pasien
dalam aktivitas fisik untuk/bantu dengan
2. Mengerti tujuan rentang gerak
dari mobilitas fisik pasien/aktif pada
3. Memverbalisasikan daerah yang sakit dan
perasaan dalam yang tak sakit
meningkatkan kekuatan c. Berikan/bantu dalam
dan mobilisasi Mobilisasi
kemampuan berpindah dini
d. Awasi TD dengan
melakukan aktivitas.
e. Perhatikan
keluhan pusing
f. Posisikan pasien
senyaman
mungkin
g. Bantu dalam pemenuhan
kebutuhan
E. Implementasi Dan Evaluasi
No. Tanggal/Jam Dx Keperawatan Implementasi Respon Evaluasi Ttd

1. 10/09/2021 Nyeri Akut a. Melakukan a. Pasien mengatakan nyeri S : Pasien mengatakan Gustin
berhubungan pengkajian nyeri pada wajah, nyeri skala 6 nyeri berkurang, nyeri
dengan Agen Injury secara komperhensif b. Pasien mampu melakukan hilang timbul
Fisik b. Mengajarkan teknik Teknik nafas dalam O: Pasien mampu
non farmakologi dengan baik melakukan Teknik nafas
c. Mengobservasi c. Pasien tampak dalam dengan baik, pasien
reaksi non verbal dan menyeringai menahan tampak lebih tenang
ketidaknyamanan sakit saat menggerakan A: Masalah teratasi
d. Melakukan kolaborasi wajah ataupun rahang sebagian
dengan tim medis d. Pasien mendapatkan P : Lanjutkan intervensi
dalam pemberian obat terapi sesuai program

2. 10/09/2021 Ansietas a. Mengucapkan salam 1. Pasien membalas salam S: Pasien mengatakan Gustin
berhubungan dan memperkenalkan 2. Pasien mengatakan merasa lebih tenang dan
dengan Kurang diri merasa nyaman saat cemasnya berkurang serta
Pengetahuan b. Menggunakan didampingi siap untuk menjalani
tentang Prosedur komunikasi terapeutik 3. Pasien mengatakan operasi
Operasi dan mendampingi cemas karena baru O:
Pasien selama operasi pertama kali operasi - Pasien tampak
c. Mengkaji tingkat 4. Pasien mengatakan tenang
kecemasan dan memahami prosedur operasi - Ekspresi Pasien
adanya perubahan dan Pasien mengatakan tampak tenang,
tanda-tanda vital cemasnya sedikit berkurang TD:153/93, HR : 98
d. Menjelaskan tentang dan Pasien mampu x/menit, SaO2 : 98
prosedur operasi yang mendemonstrasikan cara %
dilakukan dan mengontrol cemas A: Masalah teratasi
memberikan motivasi 5. Pasien berdoa sebelum sebagian
dan operasi P: Pertahankan intervensi
mendemonstrasikan
cara mengontrol
kecemasan: teknik
napas dalam
e. Menganjurkan Pasien
untuk berdoa sebelum
operasi
3. 10/09/2021 Gangguan a. Mengkaji derajat a. Pasien mengatakan tidak S : Pasien mengatakan Gustin
mobilitas fisik imobilitas yang bias berpindah tempat kesulitan melakukan
berhubungan dihasilkan tidur tanpa bantuan pindah tempat tidur
dengan Gangguan oleh cedera/pengobatan b. Pasien mengikuti tanpa bantuan,
Muskulokeletal dan perhatikan instruksi perawat dengan O: Pasien hanya
b. Menginstruksikan menggerakan anggota mampu bergeser saat
Pasien untuk/bantu tubuh yang tidak sakit berpindah tempat tidur
dengan c. Pasien mampu dengan bantuan
rentang gerak pasien/aktif menggerakan tubuh perawat
pada daerah yang sakit yang tidak sakit saat A: Masalah
dan yang tak sakit berpindah tempat tidur teratasi sebagian
c. Memberikan/bantu d. Pasien tidak P: Lanjutkan intervensi
dalam mobilisasi mengeluh pusing
Mobilisasi dini e. Pasien mengatakan
d. Memperhatikan keluhan posisi sudah nyaman
pusing f. Pasien meminta
e. Memposisikan pasien dibantu untuk
senyaman mungkin berpindah tempat tidur
f. Membantu dalam
pemenuhan kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA

Budiharja AS, Rahmat M. Trauma Oral Dan Maksilofasial. Juwono L: Editor.Jakarta: EGC,
2011: p.33-171.
Doengoes (2010). Nursing Care Plans. Davis Plus.
Fitriana E, Syamsuddin E &Fathurrahman. (2013). Karakteristik, Insiden
Danpenatalaksanaan Fraktur Maksilofasial Pada Anak Di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Bandung: FK Universitas Padjajaran. p. 1-14.
Suardi EP, Jaya A, Maliawan S, Kawiyana S (2012). Fraktur Pada Tulang Maksila. Bali.
FK Universitas Udayana, p. 1-19.
Moe. K S (2013), Maxillary and Le Fort Fractures.Emedicine. Medscape.
M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan
Keperwatan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai