Anda di halaman 1dari 82

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN NY.

H DENGAN DIAGNOSA
KOLELITIASIS DILAKUKAN TINDAKAN LAPARASKOPI KOLESISTEKTOMY
DENGAN TEKNIK GENERAL ANESTESI ENDOTRACHEAL TUBE (ETT)
DIRUANG INSTALASI KAMAR OPERASI SENTRAL
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KUPANG
PADA TANGGAL 3 JANUARI 2024

Disusun Oleh:

ALBERTH ARNALDO RUKU

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

PRODI AHLI JENJANG D-IV KEPENATAAN ANESTESIOLOGI

DENPASAR

TAHUN AJARAN 2023/2024


LAPORAN PENDAHULUAN KOLELITIASIS

A. Konsep Teori Penyakit


1. Definisi
Cholelithiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu merupakan penyakit yang
didalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya. Cholelithiasis
adalah material atau kristal yang terbentuk di dalam kandung empedu (Musbahi
dkk., 2019).
Cholelithiasi berdasarkan patologi anatomi adalah adanya penumpukan empedu
secara histologis dalam jaringan hati. Kolestasis berdasarkan fisiologi adalah
terhambatnya aliran empedu ke usus. Kolestasis berdasarkan klinis adalah
akumulasi zat-zat di dalam aliran darah yang secara normal akan dieksresi dalam
empedu (bilirubin, kolesterol, asam empedu). Kolestasis dapat disebabkan
kelainan intrahepatic atau ekstrahepatik (soegeng soegijanto, 2016).
2. Klasifikasi Cholelithiasis
a. Cholelitiasis akibat kolestrol
Batu kolesterol, merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak
larut dalam air, kelarutannya bergantung pada asam empedu dan lesitin (fosfo
lipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu
akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati, mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh
kolesterol dan keluar dari getah empedu mengendap membentuk batu. Getah
empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya
batu empedu yang berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan
dalam kandung empedu (Nanda, 2020).
Batu kolestrol berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol (Nian, 2015).
Batu jenis ini bisa mencapai diameter 1,25 cm sehingga cukup besar untuk
memblokir saluran empedu. Jumlah batu kolesterol jarang mencapai lebih dari
dua. Batu kolesterol ini timbul jika seseorang terlalu banyak mengonsumsi
makanan yang banyak mengandung lemak jenuh (Hasanah, 2015).
b. Cholelitiasis pigmen
Batu yang terutama tersusun dari pigmen dan tersusun dari kolesterol. Batu
pigmen, akan terbentuk bila pigmen yang terkonjugasi dalam empedu
1
mengalami pengendapan sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu
semacam ini semakin besar pada pasien serosis, hemolisis dan infeksi
percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan hanya dikeluarkan
dengan jalan operasi (Nanda, 2020).
c. Cholelitiasis campuran
Batu campuran, batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu (Nian, 2015).
Batu campuran, yang terdiri dari campuran kolesterol dan pigmen empedu
yang berasal dari pemecahan lemak. Batu jenis ini paling umum dan dapat
berkembang secara bersamaan tetapi cenderung berukuran kecil-kecil
(Hasanah, 2015).
d. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat).
Batu ini berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium- bilirubinat sebagai komponen utama (Nian, 2015).
e. Batu pigmen hitam
Batu ini berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk
dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraks (Nian, 2015). Warna batunya
dominan kehitaman dan keras. Batu pigmen hadir dalam jumlah besar tetapi
ukurannya kecil-kecil. Kebanyakan terjadi karena penyakit (Uswatun Hasanah,
2015).
f. Genetik
Wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu 4 kali
lebih banyak dari pada laki-laki. Biasanya terjadi pada wanita berusia > 40
tahun, multipara, obesitas. Penderita batu empedu meningkat pada pengguna
kontrasepsi pil, estrogen dan klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi
kolesterol bilier. Insiden pembentukan batu meningkat bersamaan dengan
penambahan umur, karena bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan
menurunnya sintesis asam empedu juga meningkat akibat malabsorbsi garam
empedu pada pasien dengan penyakit gastrointestinal, pernah operasi resesi
usus dan diabetes melitus (Junior dkk., 2019).
Apabila keluarga inti anda (orangtua, saudara dan anak-anak) memiliki batu
empedu, maka anda berpeluang 1½ kali lebih mungkin untuk mendapatkan
batu empedu (Hasanah, 2015).

2
3. Etiologi
Cholelithiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal
kanan, kolon, lambung, pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati
dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah
kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava. Kuadran kanan atas
abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati. Kandung
empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan
dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu
duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang
terbentuk primer di dalam saluran empedu (Alhawsawi dkk., 2019).
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami
aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran
empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika
saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera
menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran
darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Berdasarkan jenis batu
yang terbentuk, faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu berbeda-beda.
Kondisi-kondisi yang menjadi faktor predisposisi terbentuknya batu pigmen
adalah penyakit hemolitik yang kronik, pemberian nutrisi parenteral total,
kolestasis kronik dan sirosis dan pemberian obat (Cefriaxone). Sedangkan faktor
predisposisi terbentuknya batu pigmen coklat adalah adanya infestasi parasit
seperti Ascharis lumbricoides. Untuk batu kolesterol, faktor resiko terjadinya
batu kolesterol adalah kegemukan, Jadi dari beberapa sumber penyebab dan
faktor resiko terjadinya batu pada kandung empedu (cholelithiasis) adalah
penyakit hemolitik dan penyakit spesifik nonhemolitik, wanita dengan usia lebih
dari 40 tahun dan menggunakan kontrasepsi hormonal, kegemukan, dan makanan
berlemak (Widodo, 2015).
Menurut Nian Afrian (2015) penyebab kolelitiasis adalah:
a. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormoneosterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi

3
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c. Body Mass Index (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta
mengurangi kontraksi / penggosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah diabetes, anemia,
sel sabit, trauma, dan ileus pralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.
4. Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam

4
empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan
bilirubin terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari
empedu sedang bilirubin terkonjugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari
aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel
epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang
permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah 11 epitel
terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah
dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses
tersebut kedalam empedu.
Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi
(bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari
darah oleh transporter pada membran basolateral, dikonjugasi intraseluler oleh enzim
UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut air dan
dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2. Mrp2 merupakan bagian yang
bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu
dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif
asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari
bilirubin terkonjugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan
iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan
aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi (Prof & Kupang, 2019).
5. Manifestasi klinis cholelithiasis
a. Rasa nyeri
1) Nyeri pada abdomen kanan atas yang dapat menjalar ke punggung dan bahu kanan
disertai dengan mual dan muntah, dan akan merubah posisinya secara terus-
menerus untuk mengeurangi intensitas neyri (Brunner dan Suddarth, (2013).
2) Individu dengan penyakit kandung empedu umumnya datang dengan nyeri
mendadak di daerah epigastrium atau kuadran kanan atas perut atau disebut kolik
bilier, digambarkan sebagai nyeri sedang hingga berat, stabil dan memuncak dalam
waktu 1 jam. Kolik bilier berangsurangsur sembuh dan dapat bertahan hingga 5
hingga 6 jam. Gejala lain mungkin termasuk nyeri alih di daerah subscapular kanan
dan/atau bahu, yang dikenal sebagai tanda Collins, nyeri punggung, mual, dan
muntah (Littlefield dan Lenahan, 2019).
b. Kolik bilier

5
1) Sebagian besar batu empedu (sekitar 80%) yang didiagnosis pada seseorang
terdiri dari kolesterol. Ketika batu empedu menyumbat saluran empedu, individu
tersebut mungkin mulai mengalami kejang yang menyakitkan di kuadran kanan
atas perut, yaitu disebut sebagai kolik bilier (Littlefield dan Lenahan, 2019).
2) Kolik bilier persisten yang berlangsung lebih dari 5 jam dan disertai demam atau
peningkatan jumlah sel darah putih harus menimbulkan kecurigaan kolesistitis
akut atau kolangitis. Individu dengan kolangitis akut ditandai dengan charcot
trias demam, penyakit kuning dan nyeri perut. Komplikasi seperti pankreatitis
batu empedu sekunder akibat kolangitis akut juga dapat muncul (Littlefield dan
Lenahan, 2019).
c. Ikterus
Ikterus biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Akibat obstruksi pengaliran
getah empedu ke dalam duodenum maka akan terjadi peningkatan kadar empedu
dalam darah. Hal ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada
kulit (Brunner dan Suddarth, 2013).
d. Ekskresi
1)Perubahan warna urin dan fases Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urin berwana sangat glap. Fases yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen
empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut clay-colored
(Brunner dan Suddarth, 2013).
2)Individu juga dapat melaporkan riwayat anoreksia, perasaan kenyang,
ketidakmampuan untuk makan makanan berlemak dan diare kronis. Jika batu
empedu menyumbat saluran empedu, orang tersebut mungkin menggambarkan
steatorrhea atau feses yang berminyak dan berbau busuk. Steatorrhea terjadi
akibat lemak tidak tercerna di duodenum karena kurangnya empedu (Littlefield
dan Lenahan, 2019)..
e. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak
(yaitu vitamin A, D, E dan K) (Brunner dan Suddarth, 2013).
f. Waktu pembetukan
Pembentukan batu empedu berlangsung lama, 10-15 tahun. Batu empedu bersifat bisu
atau silent stone, sering tanpa keluhan dan gejala nyata. Bergantung pada ukuran
dan jumlah batu empedu yang terbentuk serta lokasinya, keparahan gejala dapat
beragam. Gejala-gejala ini dapat mencakup: nyeri berat di daerah perut atas, sakit

6
kuning (terjadi ketika terjadi penyumbatan dalam waktu lama), demam (jika timbul
komplikasi), muntah-muntah (Nadesul, 2014).
g. Perubahan fisik
Tanda-tanda lain yang mungkin mengindikasikan adanya problem batu empedu:
bercak-bercak hitam/ kecoklatan atau tahi lalat di muka, bercak hitam yang
bernama ”liver spot” di tangan, ada lapisan putih/ kuning pada pangkal lidah, lidah
yang pecah, napas mulut tidak sedap dan sering sendawa, warna, bau, bentuk dari
faeces, juga bisa memberikan petunjuk adanya problem di hati, dll (Nadesul, 2014).
6. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
Beberapa diagnosis banding harus dipertimbangkan pada individu yang mengalami
dugaan kolelitiasis, termasuk penyakit tukak lambung, penyakit refluks
gastroesofagus, sindrom iritasi usus besar, pankreatitis, radang usus buntu,
hepatitis, infark miokard, dan batu ginjal. Maka dari itu untuk menegakkan
diagnose cholelithiasis diperlukan pemeriksaan penunjang berupa:
a. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi memiliki spesifisitas 98%, sensitivitas 95%, dan tingkat negatif palsu
1% hingga 4%. Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan
kolesistografi oral karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat
dilakukan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi. (Bini et al., 2020)
b. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu
yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan
sinar-X (Bini et al., 2020).
c. Koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikkan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat disekresikan ke dalam system
bilier, selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan
gambar kandung empedu dan percabangan bilier (Suratun dan Lusianah, 2012).
d. Kolesistografi
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Media
kontras yang mengandung iodium yang disekresikan oleh hati dan dipekatkan

7
dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal
akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya
akan tampak pada foto ro (Suratun dan Lusianah, 2012).
e. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam
esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan
ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier (Bini et al., 2020).
f. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras,
instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai
struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi
empedu dengan intensitas sinyal tinngi, sehingga metode ini cocok untuk
mendiagnosis batu saluran empedu (Bini et al., 2020).
g. Oral Cholecysto Gram (OCG)
OCG adalah prosedur sinar X di mana pasien mengunyah tablet yang mengandung
iodin. Iodin diserap oleh hati dan dikeluarkan dalam empedu, setelah pencitraan
sinar X selesai maka iodin tampak dalam kantung empedu, karena iodin padat,
maka tidak memungkinkan dilewati sinar X. Batu empedu tidak begitu padat,
sehingga dapat dilewati oleh sinar X mendeteksinya (Uswatun Hasanah, 2015).
h. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah lengkap: leukositosis sedang (akut)
2) Bilirubin dan amylase serum: meningkat
3) Enzim hati serum: AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ;
alkalin fosfat dan 5-nukleotidase: ditandai peningkatan obstruksi bilier.
4)Kadar protrombin: menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorpsi vitamin K.
5)ERCP: memeprlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus
melalui duodenum.
6)Kolangiografi transhepatik perkutaeus: pembedaan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik
ada)

8
7)CT Scan: dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu,
dan membedakan antara iketrik obstruksi/ non obstruksi.
8)Scan hati (dengan zat radioaktif): menunjukkan obstruksi per-cabangan bilier
9)Foto abdomen (multiposisi): menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, kalrifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu
10) Foto dada: menunjukkan pernapasan yang menyebabkan pe-nyebaran
nyeri (Suratun dan Lusianah, 2012).

7. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi nutrisi
Diet yang dilakukan biasanya berupa cairan rendah lemak dengan protein dan
karbohidrat tinggi dilanjutkan denngan makanan padat yang lembut, hindari
telur, krim, babi, maknan gorengan, keju, sayuran pembentukan gas, dan alkohol
(Brunner dan Suddarth, 2013).
b. Olahraga
Olahraga dianjurkan karena berteori untuk mempotensiasi pengosongan kandung
empedu melalui pelepasan cholecystokinin (enzim yang merangsang pelepasan
asam empedu ke dalam testis) dan meningkatkan motilitas kandung empedu.
Dalam satu tinjauan sistematis, uji coba cross-section dan case-control yang
besar menemukan penurunan risiko penyakit kandung empedu pada orang
dengan gaya hidup aktif (Littlefield dan Lenahan, 2019).
c. Farmakologi
1) Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal
2) Efek samping: diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga kontraindikasi
pada ibu hamil
3) Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu: chenodiol/chenix
4) Untuk mengurangi gatal-gatal: cholestyramine (Questran)
5) Menurunkan rasa nyeri: analgesic
6) Mengobati infeksi: antibiotik (Brunner dan Suddarth, 2013).
d. Penatalaksanaan bedah
1) Cholecystectomy laparaskopi: dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil yang
dibuat menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen ditiup
dengan gas karbon monoksid untuk membantu pemasangan endoskopi.
2) Cholecystectomy: Prosedur pembedahan yang dilakukan dengan membuat
sayatan cukup besar (sekitar 13 – 18 sentimeter) pada perut. Dokter bedah akan

9
menyayat lapisan kulit sampai menembus lemak dan otot untuk memudahkan
pengangkatan kantong empedu. Kantung empedu diangkat setelah arteri dan
duktus sistikus diligasi. Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung
empedu dan dibiarkan menjulur ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan
darah, cairan serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben.
3) Minikolesistektomi: Prosedur yang sama seperti cholecystectomy y akan tetapi
insiasi yang dilakukan berukuran kecil selebar 4cm.
4) Koledokostomi: Inisiasi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan
batu. Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam
duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drain.
5) Laparascopy cholestectomi : Kolesistektomi laparoskopi adalah prosedur
bedah invasif minimal untuk mengangkat kandung empedu yang sakit. Teknik
ini pada dasarnya telah menggantikan teknik terbuka untuk kolesistektomi rutin

B. Konsep Laparoacopy Cholestectomi

a. Definisi

Laparascopi adalah sebuah prosedur pembedahan mimimal invasive dengan


memasukan CO2 ke dalam rongga peritonium untuk membuat ruang antara dinding
depan perut dan organ viecera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam
rongga peritonium tersebut.

b. Indikasi Laparascopi Cholestectomi

- Kolesistitis (Akut/Kronis)
- Kolelitiasis simtomatik
- Diskinesia bilier- hipofungsi atau hiperfungsi
- Kolesistitis akalkulus
- Pankreatitis batu empedu
- Massa/polip kandung empedu

c. Kontraindikasi Laparascopi Cholestectomi

 Kontraindikasi absolut
- Ketidakmampuan untuk mentoleransi pneumoperitoneum atau anestesi umum
- Koagulopati yang tidak dapat diperbaiki
- Penyakit metastatik
10
- Peritonitis
- Obstruksi usus
- Koagulopati yang tidak terkontrol
- Hernia diafragmatik yang besar
- Penyakit paru obstruksi berat
 Kontraindikasi relative (tergantung keahlian operator)
- Cirrhosis hepatis
- Riwayat operasi abdomen dengan adhesi
- Gangrene dan emysema gall bladder
- Biliary enteric fistula
- Kehamilan
- Ventrculoperitoneal shunt

d. Teknik operasi

1. Penderita dalam posisi supine dan dalam narkose


2. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada dada bagian bawah dan seluruh
abdomen.
3. Dilakukan insisi lengkung di bawah umbilikus sepanjang 20 mm, insisi diperdalam
secara tajam dan tumpul sampai tampak linea alba.
4. Linea alba dipegang dengan klem dan diangkat, dibuat incisi vertikal sepanjang 10
mm
5. Dengan trokar peritoneum ditembus dan dimasukkan port lalu dimasukkan CO 2 ke
dalam kavum abdomen untuk menimbulkan pneumoperitoneum sehingga tekanan
abdomen cembung.
6. Melalui port umbilikal dimasukkan videoscope ke dalam cavum abdomen.
7. Tiga buah trocart dimasukkan dengan memperhatikan secara langsung tempat
penetrasi intra abdomen.
Trocart pertama dimasukkan di epigastrium ± 5 cm di bawah procesus
xyphoideus dengan penetrasi intraabdomen di sebelah kanan ligamentum
falciforme
Trocart kedua dimasukkan pada kwadaran kanan atas abdomen beberapa cm di
bawah costa terbawah pada linea midclavicula.
Trocart ketiga dimasukkan pada kuadran kanan atas setinggi umbilikus di
sebelah lateral dari trocart kedua. (gambar)

11
8. Posisi pasien diubah menjadi anti Trendelenburg ringan (10-15°) dan
sedikit miring ke kiri.
9. Gall bladder dipegang dengan grasper/ forcep dari port lateral (4),
kemudian didorong ke arah superior dan dipertahankan pada posisi ini.
10. Infundibulum dipegang dengan grasper dari port medial (3) dan ditraksi ke
arah caudal. Disecting forceps dimasukkan dari port epigastrium (2) dan
jaringan di sekitar duktus sistikus dan arteri sistika disisihkan sampai
kedua struktur tersebut tampak jelas.
11. A. Sistika dijepit dengan metal clip di bagian distal dan dua buah metal
klip di bagian proksimal kemudian dipotong.
12. Duktus sistikus yang telah terlihat jelas dijepit dengan metal clip sedekat
mungkindengan kandung empedu. Duktus sistikus bagian proksimal
dijepit dengan dua buah metal clip dan dipotong. (hati-hati jangan menarik
infundibulum keras, dapat menjepit duktus koledokus)
13. Videoscope dikeluarkan dari port umbilikus dan dipindah ke port
epigastric.
14. kantong empedu dibebaskan dengan menarik dengan grasping forceps dari
porte umbilikalis (1)

e. komplikasi

Komplikasi umum termasuk namun tidak terbatas pada pendarahan, infeksi, dan
kerusakan pada struktur di sekitarnya. Pendarahan adalah komplikasi umum karena
hati adalah organ yang sangat vaskular. Ahli bedah berpengalaman harus memiliki
pengetahuan tentang anomali anatomi arteri untuk mencegah potensi kehilangan
darah dalam jumlah besar. Komplikasi yang paling parah adalah cedera iatrogenik
pada saluran empedu/saluran hati. Cedera pada salah satu struktur ini mungkin
memerlukan prosedur pembedahan lebih lanjut untuk mengalihkan aliran empedu
ke usus. Prosedur ini biasanya memerlukan ahli bedah hepatobilier yang terlatih

12
khusus .Terakhir, meskipun bukan merupakan komplikasi, konversi ke prosedur
terbuka jarang terjadi karena pengalaman ahli bedah meningkat selama bertahun-
tahun. Konversi ke prosedur terbuka menghasilkan sayatan perut yang lebih besar,
menyebabkan masalah pengendalian nyeri yang signifikan pasca operasi, dan
menyebabkan bekas luka yang tidak menyenangkan secara kosmetik. Harap dicatat
bahwa konversi ke prosedur terbuka tidak boleh dilihat sebagai komplikasi tetapi
sebagai keputusan yang dibuat oleh ahli bedah berpengalaman untuk merawat
pasien dengan aman.
Kebocoran empedu dapat mempersulit prosedur dan menimbulkan nyeri perut
yang tidak jelas, demam, dengan atau tanpa ciri khas hiperbilirubinemia
langsung. Pasien dengan komplikasi biasanya muncul dalam minggu pertama
setelah operasi. Penatalaksanaan harus dimulai dengan ultrasonografi diagnostik
dan atau CT scan perut. Dalam kasus koledokolitiasis yang menetap, sfingterotomi
bilier wajib dilakukan. Kebocoran tingkat tinggi harus ditangani dengan
sfingterotomi dan pemasangan stent. Pemindaian HIDA untuk mengevaluasi
kebocoran empedu direkomendasikan jika temuan samar-samar pada CT atau
ultrasonografi.

13
C. Pertimbangan Anestesi

1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu
bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong,
2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh (Morgan & Mikhail, 2013).
Rees dan Grey membagi anestesia menjadi 3 (tiga) komponen yang
sering disebut trias anestesia, yaitu:
a. Hipnotika: pasien kehilangan kesadaran.
b. Anestesia: pasien bebas nyeri.
c. Relaksasi: pasien mengalami kelumpuhan otot rangka.
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum merupakan suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat
pemberian obat anestesi (Mangku & Senapathi, 2018).Anestesi umum atau
general anestesi adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan
hilangnya kesadaran reversible, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan
beberapa derajat relaksasi otot (Morgan & Mikhail, 2013).

b. Regional Anestesi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat
anestesi disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi.Anestesi
regional dibagi menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural,
spinal anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid dan
ekstradural epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural.(Brunner &
suddarth, 2012).

14
c. Local Anestesi
Anestesi lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau
blokade lorong natrium pada dinding saraf secara semntara terhadap
rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada seaf sentral atau
perifer.Anestesi lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh kerusakan
struktur saraf.( Said A. Latief, 2001)
3. Teknik Anestesi
Anestesi umum dibagi menjadi 3 teknik yaitu:
a. Anestesi Inhalasi
Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi inhalasi
merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi.
b. Anestesi Intravena
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan menyuntikan obat anestesia parentral langsung ke dalam
pembuluh darah vena (Mangku & Senapathi, 2018).
c. Anestesi Imbang
Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi imbang
merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atau obat anestesi umum yang lain.
2) Efek anelgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat anestesia umum, atau dengan cara analgesia regional
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau obat anestesi umum, atau dengan cara anestesi regional.

15
Tehnik Anestesi Regional yang umum digunakan menurut Modul IPAI 2018
antara lain :

a. Blok Subaraknoid
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya
diberikan satukali
b. Blok Epidural
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya
diberikan satu kali, obat diberikan terus-menerus melalui sebuah
selang kecil selama masih diperlukan

4. Rumatan Anestesi

a. Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan


tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi,
diantaranya:Meredakan kecemasan dan ketakutan, Memperlancar induksi
anesthesia, Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, Meminimalkan
jumlah obat anestetik, Mengurangi mual-muntah pasca bedah, Menciptakan
amnesia, Mengurangi isi cairan lambung, dan Mengurangi reflek yang
membahayakan.
1) Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang
dapat menekan mual dan muntah.
2) Diazepam merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis
rendah bersifat sediatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2- 0,5
mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-
1mg/kgBB intravena.
3) Midazolam dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai
awal dan lama kerja lebih pendek. Belakangan ini midazolam lebih
disukai dibandingkan dengan diazepam. Dosis 50% dari dosis
diazepam.

16
4) Antikolinegrik (Atropin) diberikan untuk mencegah hipersekresi
kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg
intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.(IPAI, 2018)

b. Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar


menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi
dan pembedahan. Sebelum melakukan induksi, perlu disiapkan STATICS
yaitu :
1) Scope : Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang. Blade Machintos untuk dewasa
dan Magill untuk anak-anak.
2) Tubes : Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Jenisnya antara lain
Endotracheal Tube(ETT), Laryngeal Mask Airway(LMA),
Nasotracheal tube (NTT) yang digunakan sesuai dengan indikasi dan
pertimbangan
3) Airway : Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) dan pipa
hidungfaring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas
4) Tape : Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
5) Introducer : Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan
6) Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
7) Suction : Penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya
Untuk anestesi spinal menggunakan bupivakain 10-12 mg. Untuk
operasi berdurasi pendek gunakan bupivakain dosis rendah (0.075%
7.5mg), mepivakain (1.5%,45 mg) atau procaine (10%, 100-150 mg).
Lidokain dapatdigunakan, namun dapat menyebabkan gejala neurologis
transien. Anestesi lumbar epidural menggunakan 1.5-2.0% lidokain
dengan epineprin 5 mcg/mL, 15-25, suplementasi dengan 5-10 mL bolus
apabila diperlukan. Suplementasi IV sedasi juga diperlukan. Pada anestesi
umum dilakukan induksi dengan Propofol yang merupakan derivat fenol
dengan nama kimia di-iso profil fenol. Berupacairan berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan
17
intravena dapat menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi
2-2,5 mg/kg. Intubasi endotrakeal tidak diperbolehkan untuk prosedur
operasi yang durasinya pendek, penggunaan LMA lebih disarankan untuk
kondisi ini.Untuk induksi gunakan propofol 1.5-2.5 mg/kg IV secara
bertahap. Rasa nyeri pada injeksi akan berkurang dengan terlebih dahulu
memasukkan lidocaine 1% 5-10 mL via oklusi vena. Apabila kadar
kalium plasma pasien normal, berikan suksinil Kolin (dosis 1- 2 mg/kgBB
IV) untuk fasilitasi intubasi, sedangkan apabila kadar kalium plasma
pasien tinggi gunakan atrakurium. Gunakan laringoskopi kemudian
semprotkan lidokain 4% 3-5 kali ke dalam laring-faring dan trakea agar
refleks batuk pada saat intubasi dapat ditekan.Kemudian lanjutkan dengan
intubasi endotrakeal dengan ukuran pipa yang sesuai. Setelah selesai, atur
posisi lateral ekstensi sesuai kebutuhan operator.
c. Pemeliharaan selama Anestesi. Digunakan inhalasi dengan Isofluran 2
vol%, Sevofluran 2 vol%, O2 2liter / menit dan N2O 2liter / menit.
Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 %. Gas
ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anestetik lain. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O
akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan
terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, diberikan O2 selama 5-
10 menit
d. Monitoring menurut Modul IPAI 2018 monitoring anestesi dibagi
menjadi 3 tahap yaitu : monitoring sebelum, selama dan sesudah operasi.
1) Monitoring Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat perlu dipersiapkan. Sedangkan pada bedah emergensi waktu yang
tersedia lebih singkat. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada monitoring
sebelum operasi antara lain :
a) Persiapan mental dan fisik.
(1) Anamnesa
Anamnesa untuk mengetahui keadaan pasien, riwayat penyakit,
pengobatan, operasi atau anestesi sebelumnya.
(2) Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

18
Pemeriksaan fisik meliputi tinggi badan, berat badan, vital sign,
keadaan umum, kondisi psikis, gizi, penyakit kardiovaskuler,
respirasi dan lain-lain. Untuk pemeriksaan laboratorium pasien
seperti Hb, HMT, AL, CT, BT, Ureum, Creatinin dan lain-lain.
b) Perencanaan tehnik dan obat anestesi.
c) Penentuan klasifikasi dan prognosis (sesuai dengan ASA). Persiapan
pra anestesi meliputi :
(1) Pengosongan saluran pencernaan (diberi cairan perinfus).
(2) Pengosongan kandung kemih.
(3) Pembersihan jalan nafas.
(4) Asesoris maupun kosmetik sebaiknya tidak dipakai.
(5) Informed consent.
(6) Pasien sebaiknya memakai pakaian bedah.
(7) Pemeriksaan fisik yang penting diulangi pada saat pasien
diruang persiapan operasi.

2) Monitoring Intra Anestesi


Monitoring Intra Anestesi yakni tingkat kedalaman anestesi, efektivitas
kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringan erta perubahan
respirasisecara praktis perlu diperhatikan tekanan darah, nadi, respirasi,
suhu warna kulit, keringat, cairan serta kesadaran pasien.
a) Tingkat kedalaman pasien sesuai dengan tingkat depresi terhadap
susunan saraf pusat yang antara lain dapat dilihat pada perubahan
tekanan darah, nadi, respirasi, pupil, pergerakan bola mata, reflek-
reflek dan kesadaran.
b) Kardiovaskuler. Fungsi jantung dapat diperkirakan dari observasi
nadi, bunyi jantung, pemeriksaan EKG, tekanan darah dan produksi
urin.
c) Respirasi .Pernafasan dinilai dari jenis nafasnya, apakah thorakal
atau abdominal, apakah ada nafas paradoksal retraksi intercostal atau
supraclavicula. Pemantauan terhadap tekanan jalan nafas, tekanan
naik bila pipa endotrakhea tertekuk, sekresi berlebihan,
pneumothorak, bronkospasme, dan obat-obat relaksan habis.
d) Suhu .Obat anestesi dapat memdepresi pusat pengatur suhu (SSP)
sehingga mudah dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan tehnik

19
anestesi. Pemantauan suhu tubuh terutama suhu pusat, dan usaha
untuk mengurangi penurunan suhu dengan cara mengatur suhu ruang
operasi, meletakkan bantal pemanas, menghangatkan cairan yang
akan diberikan, menghangatkan dan melembabkan gas-gas
anestetika..
e) Cairan. Pemantauan terhadap status cairan dan elektrolit selama
operasi dapat dilakukan dengan menghitung jumlah cairan atau
darah yang hilang dan jumlah cairan atau darah yang diberikan.
Kebutuhan cairan selama operasi meliputi kebutuhan standar
ditambah dengan kebutuhan sesuai dengan trauma dan stress akibat
operasi.
f) Analisa Gas Darah. Pemantauan oxygen delivery ke jaringan dan
eliminasi CO2 dapat dipantau dengan memeriksa analisa gas darah.
Indikasi pemeriksaan analisa gas darah antara lain: operasi besar
vaskular, operasi lung anestesi, anestesi dengan hipotensi kendali,
operasi otak.
3) Monitoring Pasca Anestesi
Monitoring pasca anestesi perlu dilakukan setelah pasien menjalani
pembedahan. Pada saat penderita berada diruang pemulihan perlu
dicegah dan ditanggulangi keadaan-keadaan yang ada sehubungan
dengan tindakan anestesi, antara lain :
a) Hipoksia. Disebabkan tersumbatnya jalan nafas. Penatalaksanaan :
dengan O2 3-4 L/menit, bebaskan jalan nafas, bila perlu pernafasan
buatan.
b) Irama jantung dan nadi cepat, hipertensi. Sering disebabkan karena
kesakitan, permulaan hipoksia atau penyakit dasarnya.
c) Hipotensi. Karena perdarahan, kurang cairan, spesial anestesi.
Penatalaksanaan : dengan posisi datar, infus RL dipercepat sampai
tensi normal.
d) Gelisah. Karena kesakitan atau sehabis pembiusan dengan ketamin,
pasien telah sadar tapi masih terpasang ganjal lidah/airway.
Penatalaksanaan dengan O2, analgetik, ganjal dilepas, atau kadang
perlu bantal
e) Muntah. Dapat menyebabkan aspirasi paru. Penatalaksanaan dengan
miringkan kepala dan badan sampai setengah tengkurap, posisi

20
trendelenberg, suctioning muntah sampai bersih.
f) Menggigil. Karena kedinginan, kesakitan atau alergi.
Penatalaksanaan dengan oksigenasi, selimuti, bila perlu beri
analgetika.
g) Hipersensitivita/Alergi sampai syok. Oleh karena kesalahan tranfusi
atau obat-obatan. Penatalaksanaan: stop tranfusi, ganti NaCl.
e. Reverse
Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi, berikan pasien
obat penawar pelumpuh otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau
edrophonium (0.5-1 mg/kg) bersamaan dengan agen anti kolinergik
(glikopirulat, 0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02 mg/kg). Untuk anestesi
general pantenkan jalan nafas, tanda tanda vital, oksigenasi, dan level
kesadaran pasien harus tetap di evaluasi saat pasien sudah berada di ruang
perawatan. Pengukuran yang kontinyu dari tekanan darah, denyut nadi,
dan laju pernafasan dilakukan setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai
stabil, dan setiap 15 menit setelahnya. Oximetri harus di monitor pada
semua pasien. Semua pasien yang dalam pemulihan anestesi umum harus
mendapatkan suplementasi oksigen dan monitor oximetri. Untuk pasien
sedasi berat dan hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi regional
harus mendapat suplementasi oksigen di ruang pemulihan. Sensori dan
motorik harus di catat regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di
monitor pada anestesi spinal dan epidural. Jalan nafas dibersihkan dengan
kateter suction. Setelah pasien nafas spontan dan adekuat, lakukan
ekstubasi.
f. Emergensi
1) Sulfas Atropin (SA) untuk mengatasi bradikardi akibat salah satu efek
samping dari laringoskopi
2) Aderenalin Epinefrin sebagai vasopressor apabila terjadi Cardiac
Arrest akibat tindakan laringoskopi intubasi
5. Resiko
Anestesi umum biasanya menjadi pilihan bila ada kontraindikasi dari
anestesi regional yaitu, pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan
intrakranial, infeksi pada lokasi jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok
hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung bera. Pasien biasanya lebih

21
memilih tertidur selama operasi sehingga menyebabkan general anestesi lebih
sering digunakan.
a. Efek terhadap kardivaskular.Obat anestetik inhalasi cenderung
meningkatkan tekanan atrium kanan yang bergantung pada dosis dan
sekaligus menggambarkan depresi fungsi miokardium
1) Penurunan tekanan arteri
2) Penurunan curah jantung
3) Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat depresi
langsung atas kecepatan atrium.
b. Efek terhadap sistem pernafasan.Obat anestesi akan menurunkan fungsi
pernafasan, meningkatkan ambang apnoe (kadar PaCO2 turun dimana
apnoe terjadi melalui tidak adanya rangsangan pernapasan yang
digerakkan oleh CO2) dan menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia.
1) Penurunan volume tidal
2) Peningkatan frekuensi pernafasan.
c. Efek terhadap otak. Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolik
otot sehingga meningkatkan aliran darah serebrum karena penurunan
tahanan vaskuler serebrum, yang kemudian akan meningkatkan volume
darah otak yang mengakibatkan meningkatkan tekanan intracranial.
1) Pusing
2) Kesadaran menurun
d. Efek terhadap ginjal. Obat anestetik menyebabkan penurunan filtrasi
glomerulus dan aliran plasma ginjal, serta meningkatkan fraksi filtrasi.
Semua obat anestetik cenderung meningkatkan tahanan vascular ginjal.
Penurunan aliran darah ginjal selama anestesi umum akan mengganggu
autoregulasi aliran darah ginjal.
1) Dapat terjadi penurunan produksi urine
e. Efek terhadap hati. Obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah
ke hati dan pada umumnya berkisar antara 15 sampai 45 persen dari aliran
darah sebelum anestesi dilakukan.
f. Efek terhadap otot polos uterus. Obat Nitrogen oksida mempunyai efek
yang kecil terhadap otot polos uterus. Akan tetapi isofluran, enfluran, dan
halotan relaksan otot uterus yang kuat. Efek farmakologi ini akan
menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang kuat untuk
memanipulasi janin intrauterine selama persalinan. Sebaliknya, selama

22
dilatasi dan kuretase pada abortus teurapetik, obat anestetik tersebut
mungkin dapat meningkatkan pedarahan.
g. Efek terhadap gastrointestinal. Obat anestesi menyebeabkan penurunan
motilitas usus sehingga dapat terjadi mual dan muntah
h. Perdarahan Inspeksi luka bedah terhadap perdarahan. Manifestasi klinis
meliputi gelisah, bergerak aktif, merasa haus, kulit dingin-basah-pucat,
nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir dan
konjungtiva pucat dan pasien melemah. Penatalaksanaan pasien
dibaringkan seperti pada posisi pasien syok.
i. Kenaikan Suhu Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38°C yang
diakibatkan oleh:
1) Puasa terlalu lama
2) Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
3) Penutup kain operasi yang terlalu tebal
4) Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
5) Infeksi
6) Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi
hipertermia maligna)
j. Hipertermia maligna. Hipertermi maligna sering kali terjadi pada pasien
yang dioperasi akibat gangguan otot yang disebabkan oleh agen anastetik.
Selama anestesi, agen anestesi inhalasi (halotan, enfluran) dan relaksan
otot (suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi malignan.
k. Hipotermia. Mengigil dapat terjadi akibat obat anestesi tiopental, halotan
atau enfluran atau anestesi spinal karena efek obat anestesi yang
menurunkan ambang dingin dan mempercepat pelepasan panas dengan
vasodilatasi.
Kelebihan anestesi epidural adalah menjaga hemodinamik lebih stabil
selama operasi, dosis obat dapat diberikan ulang melalui kateter dan sekaligus
dapat digunakan pada tatalaksana nyeri pasca operasi. Kekurangan dari epidural
adalah teknik yang lebih sulit serta waktu pemasangan dan onset yang lebih
lama dengan risiko blok parsial. Apabila operasi berlangsung lama dan
membutuhkan patensi jalan nafas maka kombinasi anestesi epidural dan
anestesi general dapat dijadikan pilihan.
Anestesi Spinal memiliki keungulan dimana onsetnya yang 12 kali lebih
cepat, pelaksanaan yang mudah, akan tetapi mengganggu hemodinamik

23
intraoperatif.Adapun efek yang diakibatkan penggunaan obat anestesi spinal
kepada organ tubuh antara lain (IPAI, 2018) :
a. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang
menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena,
b. Bradikardia karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis
T-2
c. Hipoventilasi Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
d. Mual Muntah. Bila terjadi mual muntah karena hipotensi, disamping itu
juga adanya aktifitas parasimpatik yang menyebabkan peningkatan
peristaltik usus, juga karena tarikan nervus dan pleksus khususnya N.
Vagus, adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pilorus dan
sphincter duktus biliverus, faktor psikologis dan hipoksia.
e. Penurunan Panas Tubuh (Shivering)
Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme
berkurang . Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah dapat menyebabkan
hipotermi
f. Nyeri punggung akibat dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma
pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Komplikasi neurologik
g. Retentio urine / Disfungsi kandung kemih dapat terjadi karena blokade
simpatik eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfinkter yang
mengakibatkan retensi urine

24
D. PERTIMBANGAN ANESTESI LAPARASCOPY
Pendekatan laparaskopi memiliki resiko sendiri berkaitan dengan Teknik
laparaskopi atau perubahan fungsi fisiologis akibat pneumoperitoneum. Maka dari
itu, Teknik anestesi untuk pembedahan laparascopi harus memperhatikan
perbedaan tersebut.

1. Insuflasi Karbon Dioksida


Pendekatan laparaskopi membutuhkan insulasi gas ke dalam rongga peritonium
untuk mendukung visualisasi. Insuflasi gas umumnya dilakukan melalui jarum
Veress di subumbilkus. Insulasi dilakukan dengan aliran rendah gas hinggah tercapai
tekanan yang inginkan. Tekanan intraabdomen di atas 15 mmHg harus dihindari
karena dapat menyebabkan komplikasi dan instabilitas kardiopulmonal yang
signifikan. Gas yang dapat digunkan untuk insulasi peritonium dalam operasi adalah
C02 karena tidak mudah terbakar, tidak meyebabkan luka bakar, dapat diserap
melalui proses difusi, dapat dikeluarkan melalui paru-paru dengan cepat, sangat larut
dalam darah. Resiko emboli CO2 lebih rendah dibandingkan dengan udara dimana
injeksi CO2 sebanyak 200 ml ke dalam vena perifer tidak bersifat letal, sedangkan
injeksi 20 ml udara dapat mengakibatkan kematian. Selain itu kadar CO2 dalam
darah dan udara ekspirasi dapat diukur dengan mudah dan eliminasinya dapat
ditingkatkan dengan hiperventilasi. Karbon dioksida merupakan salah satu akhir
metabolisme tubuh secara fisiologis. Bamun selama pembedahan laparaskopi karbon
dioksida yang diserap jauh lebih banyak daripada jumlah yang dihasilkan secara
fisiologis. Peningkatan konsentrasi dan tekanan CO2 memiliki konsekuensi biokimia
dan fisiologis yang sangat besar. Selain itu, CO2 memiliki efek local dan sistemik
yang dapat mengakibatkan hipertensi, takikardia, dan vasodilatsi serebri.
Karbon dioksida larut di plasma, cairan interstisial, dan air. Kelarutan CO2
dalam air dengan suhu 37 derajat sekitar 0,03 mmol/L/mmHg. Hamper seluruh
karbon dioksida yang diserap akan bereaksi dengan air, dengan katalis enzim
karbonik anhydrase di dalam eritrosit membentuk asam karbonat. Asam karbonat
dan ionnya memiliki peran penting sebagai penyangga asam basah darah.
Hiperkarbia dan asidosis respiratorik terjasi Ketika kapasitas kadar CO2 yang
berlebihan. Peningkatan konsentrasi asam karbonat dapat dikompensasi melalui
eliminasi paru-paru dalam bentuk CO2 dan H2O. asam karbonat yang dihasilkan
oleh laparoskopi dapat mengakibatkan iritasi peritonium dan menyebabkan nyeri
alih.

25
Selama 15 menit pertama setelah terjadinya pneumoperitoneum, PaCO2 akan
menigkat drastic diikuti dengan penurunan PetCO2 akibat gangguan ventilasi dan
perfusi. Setelah itu, nilai PaCO2 DAN PetCO2 cenderung stabil hinggah 30 menit
setelah terjadinya pneumoperitoneum. Peningkatan PaCO2 setelahnya harus dikaji
lebih lanjut karena dapat disebabkan oleh hal lain seperti emfisema subkutan.

2. Perubahan Fisilogis Selama Prosedur Pembedahan Laparaskopi


Pembedahan laparaskopi mengakibatkan perubhan fisiologi yang memengaruhi
berbagai system organ. Stress mekanis langsung yang dialami pasien serta stimulasi
neuroendikrin selama laparoskopi merupakan salah satu penyebab utama gangguan
fisiologi yang terajdi selama pembedahan, perubahan fisiologi yang terjadi juga
dapat di pengaruhi oleh penyakit/komorbiditas pasie, posisi pemebedahn, Teknik
pembedahan, dan pembiusan.
a. Sistem Kardiovaskuler
Hiperkabia menekan kontraktilitas miokardia dan laju kontraktilitas
secara langsung. Hiperkarbia juga dapat mengganggu konduksi elektrik jantung
dan mengakibatkan aritmia. Efek inii dapat diperpatrah oleh penurunan PH
akibat hiperkarbia. Hiperkarbia menyebabkan penurunan respon katekolamin
terhadap pembuluh darah dan vasodilatasi terutama pada pembuluh darah vena,
menyebabkan pengumpulan darah di perifer, penurunan aliran balik vena dan
curah jantung. Hiperkarbia memiliki efek sebaliknya terhadap pembulih darah
pulmonal dimana hiperkarbia menyebabkan asidosis dan vasokontriksi
Hiperkarbia dapat mengaktifkan system saraf pusat dan simpatoadrenal,
menyebabkan peningkatan curah janytung, laju nadi, kontraktilitas, tekanan
darah dan tekanan vena sentral. Vasodilatasi perifer akibta hiperkarbia
dikompensasi dengan peningkatan curha jantung yang lebih tinggi dan
peningkatan tekanan darah. Aliran darah serebral dan coroner juga meningkat
karena hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi. Efek tersebut dapat dilihat dalam
kadar PaCO2 inspirasi dalam rentang 7-15% menyebabkan peningkatan
konsentrasi epinefrin dan norepinefrin plasma. Ketika respon simpatoadreanl
dicegah dengan blok subaraknoid, ganglioplegic, atau penghambat adrenergic a,
akan terjadi hipotensi dan penurunan curah jantung. Respon kardiovaskuler juga
dihambat oleh anestesi umum. Hiperkarbia dapat menyebabkan aritmia dengan
kombinasi epinefrin, halotan atau kondisi hipoksia. Efek karbon dioksida
terhadap system kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh penyakit/komorbiditas
26
pasien. Insuflasi peritonium dapat meningkatkan beban jantung sehingga bedah
laparoskopi pada pada pasien dengan gangguan fungsi kardiovaskuler harus
dipantau dengan baik. Ekokerdiografi transesofageal dapat digunkan sebagai
modalitas untuk memantau fungsi ventrikel kiri intraoperative dalam kondisi
tersebut.
Setelah dilakukan distensi peritonium, stimulasi vagal dapat terjadi, mengakibatkan
aritmia, bradikardi, irama nodal, hingga asistol. Peningkatan tekanan darah, laju
nadi, curah jantung, dan tekanan vena sentral terjadi setelah peningkatan tekanan
intraaabdomen hingga 15 mmHg. Peningkatan tekananan intaabdomen 20-30
mmHg dapat menyebabkan hal sebaliknya karena penekanan langsung vena
kava inferior dan penurunan aliran balik vena. Pneumoperitoneum juga dapat
mengganggu aktivitas alektrik jantung sehingga dapat memengaruhi interpretasi
elektrokardiogram di monitor selama pemebedahan berlangsung. Asliran datrah
ke ginjal dan hepar juga berkurang akibat pneumoperitoneum sehingga
pemebdahan laparoskopi pada pasien yang memliki komorbiditas gangguan
ginjal ataupun hepar membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Peningkatan
tekanan intra abdomen di atas 20 mmHG menyebabkan penurunan aliran darah
mesentrik dan gastrointestinal hingga 40% menyebabkan terjadinya asidosis
yang progresif berbanding lurus dengan tekanan yang diberikan. Dengan
tekanan intraabdomen 20 mmHg, laju filtrasi glomelurus akan menurun sekitar
25% akibat gangguan perfusi ginjal.

b. Gangguan Respirasi
Anestesi umum dengan intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanis menyebabkan penurunan kapasitas residu fungsional akibat
hilangnya tonus otot, pergeseran diafragma, dan penurunan volume
rongga toraks, selama anestesi umum, terjadi penurunan complains paru,
peningkatan tekanan jalan napas, dan gangguan ventilasi-perfusi.
Pembedahan abdomen per laparaskopi dapat meningkatkan perbuhan
tersebut. Insulasi abdomen menyebabkna pergeseran diafragma kea rah
kranial, yang semakin diperberat oleh posisi Trendelenburg. Intubasi
endobronkial dapat terjadi akibat pergeseran karina kea rah kranial.
Perubahan komplians paru dapat diamati sebagai peningkatan tekanan
inspirasi puncak (peak inspiratory pressure, PIP) selama ventilasi
tekanan positif. Pengaturan ventilator harus disesuaikan dengan kondisi

27
pasien intraoperative untuk mendapatkan jalan naps yang dapat
ditoleransi.
Hiperkarbia secara rutin terjadi pada semua pasien yang
menjalani operasi laparoskopi akibat absorpsi CO2 intraperitonium ke
dalam system sirkulasi. Karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan oleh
system respirasi pada saat ekspirasi, dan dapat dikur dengan kapnograf.
Hiperkabia dan asidosi menstimulasi pusat respirasi secara langsung
maupun tidak langsung melalui kemoreseptor, hormon, dan saraf
otonom. Dalam kondisi normal, setiap pengingkatan PaCO2
mengakibatkan peningkatan ventilasi 2-3 liter per menit dalam kondisi
PaO2 yang konstan. Manajemnan dan anestetik inhalsi dapat mengurangi
respon tersebut. Hipoksia selama operasi laparaskopi umumnya
disebabkan oleh piarau dan ruang rugi alveolus. Pneumoperitoneum dan
posisi ekstrem dapat meyebabkan kolaps alveoli dan pembuluh darah
paru, menyebabkan penurunan perfusi alveolus. Pirau juga dapat
disebabkan oleh ventilasi mekanis. Hiperventilasi, ventilasi cepat dan
dangkal, posisi trendelenberg, dan posisi lateral decubitus. Ruang rugi
alveolus dapat disebabkan oleh hipotensi, penurunan curah jantung,
depresi miokardia akibat obat anestesi inhalasi, emboli paru, tekanan
jalan napas yang tinggi, dan ablasi refleks vasokontriksi paru hipoksik.
Obesitas morbid dan penyakit paru obstruksi kronis merupakan factor
resiko yang dapat memperparah kondisi tersebut.
c. Gangguan Neurologis
Otak sensitive terutama pada perbuhan Pa C02, peningkatan C02
meyebabkan depresi korteks dan meningkatkan ambang batas kejang.
Peningkatan C02 25 hingga 30% menstimulasi pusat hipotlamus subkorteks
yang menyebabkan ekstabilitas ini diperparah oleh hormone korteks dan
medulla adrenal yang dilepaskan akibat stimulasi hipotalamus oleh hiperkarbia.
Peningkatan CO2 lebih lanjut dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

d. Posisi
Posisi operasi laparoskopi dipengaruhi oleh paparan pembedahan
optimal yang diinginkan oleh operator dengan retraksi pembedahan yang
minimal. Terdadapt berbagai posisi yang berhubungan dengan operasi
laparoskopi. Posisi trendelenberg digunakan untuk operasi abdomen bawah

28
seperti pada pembedahan uterus aatupunj prostat. Posisi reverse
trendelenberg digunkan untuk operasi abdomen atas seperti gastrektomi.
Posisi jackknife lateral digunakan untuk mengoptimalisasi lapang pandang
rongga retroperitoneum selama pembedahan nefrektomi.
Psosi trendelenberg akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial
dan intratorakal lebih lanjut menyebabkna stasis vena di sinus sagitalis dan
penurunan resopsi cairan serebrospinalis sehingga tekanan intracranial
semakin meningkat. Posisi dapat memengaruhi pengisian jantung dan
resistensi vaskuler sistemik. Insuflasi pada posisi telentang dan
mempertahankan tekanan intraabdomen di bawah 12-15 mmHg dapat
meminimalkan gangguan preload dalam operasi laparoskopi.

3. Evaluasi Prabedah
Kontroindikasi absolut pemebedahan laparaskopi jarang dtemukan. Operasi laparaskopi
dengan pneumoperitoneum sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intracranial dan hypovolemia. Operasi laparaskopi cenderung
amandilakukan pada pasien dengan ventriculoperitonieal shunt dan peritoneojugular
shunt dengan implant yang dilengkapi dengan katup satu arah dan dapat menoleransi
peningkatan tekanan intrabdomen. Pada kasus galukoma, peningkatan tekanan
intraabdomen tidak signifikan secara klinis, namun hal ini masih membutuhkan
penelitan lebih lanjut.pada pasien dengan gangguan jantung, fungsi jantung harus
dievaluasi secara lengkap karena resiko gangguan hemodinamik intraoperative.
Pasien dengan gagal jantung kongestif dan gangguan katup terminal lebih rentan
terhadap komplikasi kardiak dibandingkan dengan psien dengan iskemia miokardia
pada operasi laparaskopi. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, fungsi
hemodinamik harus dioptimalisasi selama pembedahan, dan penggunaan obat-obatan
yang bersifat nefrotoksik harus dihindaro. Operasi laparaskopi lebih baik
dibandingkan dengan laparatomi pada pasien dengan komorbiditas penyakiy system
respirasi karena resiko disfungsi respirasi pascabedah. Hal teresebut dapat menjadi
pertimbangan pendekatan laparaskopi, meskipun terdapat resiko komplikasi
pneumotoraks dan gangguan ventilasi perfusi intraoperative. Premedikasi harus
disesuaikan dengan durasi pembedahn dan kebetuhan pemulihan yang cepat pada
pembedahan rawat jalan. Pemberian obta anti inflamasi non-steroidal berguna untuk
mengurangi nyeri pascabedah dan kebetuhan opiod. Pemeberian klonidin dan

29
dexamedetomidine prabedah mengurangi respon stress intaoperatif dan membantu
menjaga stabilitas hemodinamik. Antagonis reseptor histamin-2 dan penghambat
pompa proton dapat diberikan untuk mengurangi resiko aspirasi perioperative.
Operasi laparaskopi dapat dilakukan dengan anestesi local dan regional. Anestesi
local dapat mempercepat waktu pulih, mengurangi mual dan muntah pasca bedah,
diagnosis komplikasi yang lebih cepat dan gangguan hemodinamik yang lebih sedikit
dibandingkan dengan anestesi total. Pasien dalam anestesi local dapat merasa
ansietas, nyeri, dan rasa tidak nyaman pada saat manipulasi organ pelvis dan
abdomen. Karena hal tersebut, sering kali anestesi local dikombinasikan dengan
sedasi intravena. Kombinasi pneumoperitoneum dan sedasi dapt menyebabkan
hipoventilasi dan desaturase, sehingga prosedur laparaskopi yang sulit, tidak boleh
dilakukan dengan anestesi local.anestesi regional sperti blok epiduras dan
subaraknoid dapat dilakukan untuk operasi laparaskopi ginekologik, tanpa gangguan
ventilasi yang signifikan. Kolesistektomi per laparaskopi juga dapat dilakukan
dengan anestesi epidural. Anestesi regional mengurangi kebuthan obat-oabtan
sedative dan opiod dan dapat memberikan relaksasi muscular yang baik. Namun,
anestesi reginal untuk operasi laparaskopi juga memiliki banyak kekurangan. Nyeri
alihalih ke puncak bahu dan ketiknyamanan akibat distensi abdomen tidak dapat
ditangani menggunakan anestsi epidural blockade saraf ektensif yang diperlukan
dalam operasi laparaskopi dapat menyebabkan ketidaknyamnan bagi pasien.
Hiperventilasi akibat hiperkabia dapat menggganggu lapangan operasi karena
pergerakan organ di rongga abdomen. Anestesi regional yang ektensif juga dapat
menyebabkan hipotensi dan menerunkan curah jantung.

4. Pemantauan Intrabedah
Manajemen jalan napas pada operasi laparaskopi meliputi insersi ETT dengan cuff,
relaksasi beurimuskuler dan ventilsi tekanan positif, ETT dengan cuff dapat
melindungi jalan napas terhadap kejadian aspirasi seperti asam lambung dan control
karbon dioksida yang adekuat.ventilasi tekanan positif sebelum intubasi lebih baik
diminimalisasi untuk mengurangi resiko distensi lambung. Insersi NT dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko distensi lambung intraoperative. Insersi selang
NGT dapat dilakukan untuk mengurangi volume lambung dengan tujuan
meningkatkan visualisasi pembedahan dan menghindari luka pada lambung akibat
insersi trocar. Penggunaan LMA seprti sungkup laring pada pembedahna laparaskopi
sebaiknya dihindari karena tidak dapat melindungi jalan napas terhadap resiko

30
aspirasi dan sulit untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam tekanan jalan naps
tinggi pada kondisin pneuperitonoium. Posisi pasien bergantung pada jenis operasi
yang akan dilakukan. Pada saat memosikan pasien, harus diperhatikan bahwa
pressure point sudah diganjal dengan baik untuk menghindari terjadinya ulkus
decubitus. Pada posisi ekstreem seperti trendelenberg maksimal harsu diperhatikan
bahwa pasien sudah difiksasi dengan baik. Posisi pasien harus dijaga senyamna
mungkin agar tidak terjadi cedera saraf pasca bedah. Akses intravena juga harus
difiksasi dengan baik dan dapat terjangkau dengan mudah karena sebagagian besar
tubuh pasien akan tertutup draping steril.
Pneuperitonium dapat mengganggu ventilasi efektif pada pembedahan laparaskopi.
Mode ventilasi volume control memastikan pasien mendapatkan volume tidal yang
sudah ditetapkan sehingga ventilasi semenit yang didapat pasien adekuat. Namun,
pengaturan ventilasi ini mengakibatkan peningkatan resiko barotrauma dan tekanan
jalan napas yang tinggi, terutama pada pasien obesitas. Pengaturan pressure control
menghindari resiko barotrauma, namun volume tidal yang diberikan harus
diperhatikan agar pasien mendaptkan volume semenit yang adekuat. Penggunaan
PEEP berguna untuk menjaga integritas alveolar, namun penggunaan PEEP harus
dipertimbangkan dengan baik karena dapat mengakibatkan penurunan curah jantung.
Efek pneuperitonium pada system respoirasi dapat dinilai dengan kapnograf, pulse
oximetri, tekanan jalan napas maksimal dan rat-rata, volume tisal dan grafik flow-
volume. Instabilitas hemodinamik dapat ditangani dengan optimalisasi preload
dengan cairab dan pemberian vasoaktif. Obat inatropik seperti efedrin lebih
bermanfaat dalam penanganan instabilitas hemodinamik dibandingkan dengan
vasopressor karena peningkatan tahanan sistemik yang disebabkan oleh kompresi
aorta abdominalis.
Diawal insuflasi PetCO₂ dapat digunakan sebagai estimasi kasa PaCO ₂. Namun,
perbedaan anatara PetCO₂ dan PaCO dapat meningkat secara progresif sering
meningkatya pirau dan ruang rugi. Akses arteri sebaiknya dipasang jika ada
kemungkinann durasi operasi yang lama atau pasien memiliki komorditas penyakit
kardiopulmonal yang signifikan. Pemantaun hemodinamik dapat dilakukan dengan
modalitas tekanan dafah, laju nadi, ekg, kapnometri, dan pulse aximeter. Pemantaun
dengan invasive arterial blood pressure monitoring dapt dilakukan untuk pasien yang
memili gangguan fungdsi kardivaskuler. Hal tersebut dapat mendeteksi gangguan
hemodimik akibat operasi laparaskopi seperti aritmia, emboli udara, emfisema
subkutan, dan pneumotoraks. Untuk pasien dengan gangguan jantung yang berat,

31
EKG transesofageak dapat digunakan sebagi modalitas untuk memantau fungsi
jantung.

5. Tatalaksana Pasca Bedah


Inssiden mula dan muntah pasca bedah laparaskopi lebih tinggi dibandingkan
dengan pendekatan laparatomi. Mula muntah dapat meningkatkan nyeri
pascabedah, memengaruhi psokologi pasien, dan dapat berpengaruh terhadap
durasi perawatan pasien. Mual dan muntah disebabkan oleh stimulasi peritonium
dan distensi usus akibat difusi CO₂ ke dalam usus. Dosis kecil antimetik
droperidol efektif mengureangi insiden mual muntah dan dapat memperkuat
sedasi dengan masa kerja Panjang, serta dapat diberikan di wal prosedur.
Sebagai penghambat a, drperidol dapat membantu mengatsi efek hipertensi
CO₂. sistemik. Obat antimetik lainnya antara lain anatgonis reseptor serotonin
(5-HT₃), ondansentron, dan dolasntron. Obat-obat ini dapat dikombinasikan
dengandeksametason yang diberikan sesaat sebelum induksi. Propofol diketahui
juga memliki efek antimetik. Penangana nyeri pascabedaj yang adekuat sangta
penting dalam menetukan durasi perawatn pasien pascabedah laparaskopi.
Prinsip tata laksana nyeri untuk pembedahn laparaskopi adalah nalgesia
multimodal. Dengan pmeberian antinyeri per oral. Nyeri pada pendekatn
laparsakopi bersifat singkat namun memiliki intesitas tinggi, dengan keluhan
nyeri maksimal terdapt pada 2 jam pertama setelah pembedah, namum puncak
nyeri dapat dirasakan hingga 48 jam pascabedah dan akan menurun setelah 48
jam pascabedah setalah terjadinya penyerapan karbon dioksida yang tertinggal
di dalam rongga peritonium. Durasi nyeri yang lebih lama jarang ditemukan dan
membutuhkan penilaian lebih lanjut karena sring kali disebabkan oleh
komplikasi pemnedahan. Nyeri pada puncak bahu sering ditemukan setelah
pembedahan laparaskopi akibat tretensi gas di rongga peritonium, namun hal ini
dapat dihindadri jika operator mengeluarkan gas dari rongga peritonium
sebanyak mungkin. Nyeri pascabedah laparaskopi sering kali berakaitan dengan
tempat insersi trocar. Nyeri abdomen bawah berakitan dengan manipulasi
peritonium pada saat pembedahan.
6. Komplikasi
Pada system respirasi, kompliaksi yang dapat terjasi adalah emfisema subkutan.
Emfisema subkutan dapat disebabkan oleh insuflasi karbon dioksida
ektraperitoneal. Hal ini menyebabkan peningkatan PaCO₂. Jika hiperkapnia

32
tidak dapat dikompesasi dengan ventilasi mekanis, maka operasi harus
dihentikan semnetara untuk membuang akumulasi karbon dioksida. Operasi
dapat dilanjutkan Kembali dengan tekanan gas yang lebih rendah jika
hiperkapnia sudah dikoreksi. Komplikasi lain yang dapat disebabkan oleh
operasi laparsakopi adalah pnemotoraks, pneumomedistenium, dan
pneumokardium. Komunikasi rongga peritonium dengan rongga pleura dan
pericardium dapat terjasi akibat saluran yang tersisa dari masa perkembangan
janin. Defek diafragma, hiatus esofagus dan aorta dapat menyebabkan bocornya
gas ke rongga torkas. Pneumotoraks uga dapat disebabkan oleh robekan pleura
akibat manipulasi pembedahn di daerah juxtra gastroesofagus. Emboli gas
merupkan komplikasi operasi laparakopi yang terjadi, namun, bersifat fatal.
Salah satu komplikasi kardiovaskuler operasi laparaskopi yang dapat terjadi
adalah aritmia. Kejadian aritmia tidak b erkorelasi dengan tingkat PaCO ₂ dan
dapat terjadi pada saat insuflasi. Aritmia merupakan salah satu tanda intoleransi
gangguan hemodinamik oleh operasi laparaskopi pada pasien yang memiliki
factor resiko penyakit jantung. Refleks vadal dapat terajdi akibat perengggangan
peritonium atau elektrokoagulasi tuba falopi. Refleks vagal dapat tersebut
menyebabkan bradikardia, aritmia, dan sistol. Stimulasi vagal semakin
diperberat jika kedalaman anestesi tidak adekuat atau pasien menggunakan obat
golongan B-Blocker, tata laksana stimulasi vagal ini meliputi penghentian
stimulasi, pemberian atropine, dan meningkatkan kedalan anestesi jika laju nadi
sudah Kembali nirmal. Selain itu, aritmia juga dapat disebabkan oleh emboli
gas.
Operasi laparaskopi juga memiliki resiko komplikasi terjadinya cedera orga visera
dan cedera vaskuler. Hal tersebut dapat menyebabkan konversi pembedahn ke
laparatomi. Cedera pembuluh darah besar menyebabkan kondisi emergency dan
membutuhkan penangnan segera. Namun, komplikasi seperti hematom
retroperitoneal dapat terjadi tanpa perdarahan yang signifikan intraoperative
sehingga lambat terdedeksi. Cedera system gastrointestinal dan abses subhepatic
dapat menyebabkan sepsis.

33
1. Web of caution (WOC)
Etiologi:

Supersaturasi Kolesterol Sirosis hati, hemolisis


Pembetukan Inti Kolesterol Pigmen empedu (bilirubin)
Penurunan Fungsi Kandung Empedu Presipitasi (pengendapan)
Batu kolesterol Batu pigmen

Kolelitiasis

Manifestasi: Penanganan non bedah:


a. Bersifat asimtomatik a. Disolusi medis
b. Nyeri dan kolik bilier b. ERCP
c. Mual, muntah serta demam c. ESWL
d. Icterus Penanganan bedah:
e. Perubahan warna urine dan a. Kolesistektomi laparaskop
feses ik
f. Defisiensi vitamin b. Kolesistektomi terbuka

34
PEMILIHAN JENIS ANESTESI

General Anestesi Regional Anestesi

MASALAH ANESTESI

PRE → Ansietas
ANESTESI →
Nyeri Akut/ Kronis
→ Resiko Cedera Agen Anestesi

→ RK Trauma Fisik Pembedahan


INTRA
ANESTESI → RK Disfungsi Respirasi
→ RK Disfungsi Kardiovaskular

RK Disfungsi Sirkulasi

RK Disfungsi Termoregulasi

RK Disfungsi Gastrointestinal

RK Disfungsi Hepar

RK Disfungsi Ginjal/Perkemihan
→→
35
RK Ketidakseimbangan Elektrolit
→ Risiko Cedera
POST
ANESTESI → Risiko Alergi
→ Risiko Jatuh
→ Nyeri Pasca Operasi

2. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus


a. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Pasien melaporkan nyeri secara verbal.
2) Pasien menilai skala nyeri ringan sampai berat
3) Pasien mengalami gangguan saat buang air kecil
4) Pasien merasa mual
b. Data Objektif
1) Ekspresi wajah pasien menahan nyeri
2) Pasien terlihat gelisah
3) Pasien mencari posisi ternyaman agar tidak nyeri
4) Suhu tubuh pasien cenderung naik
5) Pasien mengeluarkan muntahan

b. Masalah Kesehatan Anestesi

a. Pre Anestesi
1. Ansietas
2. Nyeri Akut/Kronis
3. Resiko Cedera Agen Anestesi
b. Intra Anestesi
1. RK Trauma Fisik Pembedahan

36
2. RK Disfungi Respirasi
3. RK Disfungsi Kardiovaskular
4. RK Disfungsi Sirkulasi
5. RK Disfungsi Termoregulasi
6. RK Disfungsi Gastrointestinal
7. RK Disfungsi Hepar
8. RK Disfungsi Ginjal/Perkemihan
9. RK Keseimbangan Elektrolit
c. Post Anestesi
1. Risiko Cedera
2. Risiko Alergi
3. Risiko Jatuh
4. Nyeri Pasca Operasi

c. Intervensi

a. Pre Anestesi
A. Ansietas
a) Tujuan
Setelah dilakukan asuhan kepenataan anestesi diharapkan ansietas
dapat diatasi
b) Kriteria hasil
1) Pasien tampak tenang dan tidak gelisah
2) Pasien tampak asertif
3) Pasien memahami tentang prosedur pembedahan
dananestesi
c) Intervensi
1) Kunjungan pra operatif pada 1 hari sebelum tindakan
operasi
2) Bantu pasien mengekspresikan perasaan untuk mengatasi
kecemasan
3) Berikan obat anti cemas sesuai program terapi kolaboratif
dari dokter spesialis anestesi, contohnya diazepam.
4) Berikan dukungan pada pasien untuk dapat beradaptasi
terhadap perubahan dan pengertian tentang peran pasien
pada post pembedahan dan anestesi
37
5) Jelaskan tentang prosedur pembedahan sesuai jenis
pembedahan dan prosedur anestesi
6) Jelaskan tentang latihan aktivitas pasca operatif
B. Resiko cedera agen anestesi
a) Tujuan
Setelah dilakukan asuhan kepenataan anestesi diharapkan risiko
cedera agen anestesi tidak terjadi
b) Kriteria Hasil
1) Tidak terjadi aspirasi
2) Tidak terjadi hipotensi akibat vasodilatasi pembuluh darah
3) TTV dalam batas normal: TD: 110-120/70-80 mmHg Nadi:
60-100 x/menit RR: 16-20 x/menit Suhu: 36,5oC-37,5oC
SpO2: 95-100 %
4) Pasien tidak mengalami cedera yang serius sampai akhir
prosedur pembedahan
c) Intervensi
1) Observasi adanya penyulit yang dicurigai akan terjadi
(1) Penyakit kardiovaskular
(2) Penyakit pernapasan
(3) Diabetes mellitus
(4) Penyakit Hati,Penyakit ginjal, Suhu tubuh
2) Lakukan pengkajian 6B - Breathing
(1) Blood
(2) Brain
(3) Bowel
(4) Blader
(5) Bone
3) Tanggalkan segala aksesoris pasien
4) Lakukan pengkajian ABCDE
(1) A (Alergi)
(2) B (Bleeding tendencies)
(3) C (Cortison or steroid use)
(4) D (Diabetes melitus)
(5) E (Emboli)
5) Lakukan pengkajian AMPLE

38
(1) A (Alergi)
(2) M (Medikasi)
(3) P (Past illness/penyakit penyerta)
(4) L (Last meal/Makan terakhir)
(5) E (event/lingkungan)
6) Lakukan persiapan pasien sebelum pembedahan
(1) Puasakan pasien
(2) Pengosongan kandung kemih/pemasangan DC
(3) Status nutrisi pasien/timbang BB/TB
(4) Keseimbangan cairan dan elektrolit
(5) Informed consent (persetujuan tindakan anestesi)
7) Tetapkan kriteria mallampati dan pemeriksaan tiromentalis
8) Tentukan status fisik pasien
9) Delegatif pemberian premedikasi

C. Nyeri Akut/Kronis
a) Tujuan
Setelah dilakukan asuhan kepenataan anestesi diharapkan nyeri dapat
ditoleransi pasiendalam 1 jam
b) Kriteria Hasil
1) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
2) Mampumengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
3) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
c) Intervensi
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kualitas dan factor
presipitasi (PQRST)
2) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien.
3) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
berulang

39
4) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
5) Ajarkan tentang tekniknon farmakologi (Distraksi,
Relaksasi & Kompres Hangat/Dingin)
6) Berkolaborasi dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri

b. Intra Anestesi
1) RK trauma fisik pembedahan
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi trauma fisik pembedahan.
b) Kriteria Hasil
1) Pasien tidak mengalami trauma pembedahan
2) Pasien tidak merasakan nyeri dan aktivitas fungsional
motorik tidak terjadi
c) Intervensi
1) Siapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan
perencanaan teknik anestesi
2) Bantu pelaksanaan anestesi sesuai dengan program
kolaboratif spesialis anestesi
(1) Pre oksigenasi
(2) Induksi
(3) Intubasi
(4) Rumatan anestesi
(5) Reverse
(6) Ekstubasi
3) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif
4) Bantu dokter melakukan pemasangan alat monitoring
invasif
5) Monitoring Intra anestesi
6) Atasi penyulit yang timbul
7) Pemeliharaan jalan napas
8) Pemasangan alat ventilasi mekanik
9) Pengakhiran tindakan anestesi
2) RK Disfungsi Kardiovaskular

40
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi kardiovaskular
b) Kriteria Hasil
1) Pasien tenang terjaga
2) EKG irama sinus normal/tidak ada distritmia yang
mengancam nyawa
3) TTV dalam batas normal
(1) TD >90/60,<140/90 mmHg, MAP >70
(2) Nadi teratur frekuensi 60-100 kali/menit
(3) Palpasi nadi teraba kuat
4) Tidak ada distritmia yang mengancam nyawa/gambaran
EKG normal
c) Intervensi
1) Persiapkan alat monitoring tanda-tanda vital
2) Persiapkan alat dan obat anestesi sesuai dengan
perencanaan teknik anestesi
3) Lakukan rehidrasi cairan 1000-1500 cc sesuai dengan
program kolaboratif dengan dokter anestesi
4) Hindari penggunaan agen anestesi yang meningkatkan
respon saraf simpatik
5) Lakukan monitoring intra anestesi
(1) Monitoring kardivaskular (tekanan darah, irama dan
frekuensi nadi, map)
(2) Monitoring lead ekg
(3) Monitoring balance cairan
6) Kolaborasi :Kolaborasi pemberian obat vasodilator atau
vasokonstriktor
3) RK. Disfungsi Respirasi
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi repirasi
b) Kriteria Hasil
1) Vital sign dalam batas normal
2) Tidak terdengar suara tambahan

41
3) Tidak terdapat penumpukan secret pada jalan napas
c) Intervensi
1) Observasi gerakan dada –perut pada saat bernapas
spontan atau napas kendali
2) Observasi warna mukosa bibir, warna kuku, warna darah
pada luka ( kebiruan atau merah muda)
3) Pasang alat monitor non invasif (Pulse oxymetri)
4) Lakukan preoksigenasi
5) Atur ventilator
6) Pasang guedel
7) Pasang nasal kanul
8) Lakukan suctioning

4) RK Disfungsi Sirkulasi
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi sirkulasi
b) Kriteria Hasil
1) Mukosa bibir pasien tidak pucat
2) Konjungtiva tidak pucat
3) CRT < 2 detik
4) Vital sign dalam batas normal
c) Intervensi
1) Monitoring vital sign terutama nadi
2) Ukur tekanan darah secara invasif maupun non invasif
3) Ukur tekanan vena sentral dengan kanulasi vena sentral
4) Persiapkan cairan untuk rehidrasi jika terjadi syok
5) Persiapkan transfusi darah bila perlu
6) Hitung jumlah perdarahan
7) RK Disfungsi termoregulasi
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi termoregulasi
b) Kriteria Hasil
1) Suhu tubuh pasien stabil

42
2) Tidak adanya tanda-tanda sianosis
3) Tidak terjadinya penguapan cairan berlebihan
c) Intervensi
1) Atur suhu kamar operasi
2) Ukur suhu pada daerah sentral tubuh melalui esofagus
atau rektum
3) Berikan cairan infus hangat/norrmal sesuai keadaan
pasien
4) Perhatikan penggunaan obat-obatan seperti atropin,
suksinil kolin, halotan.
5) Lakukan oksigenasi yang adekuat
6) Beri selimut tambahan
8) RK Disfungsi gastrointestinal
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi gastrointestinal
b) Kriteria Hasil
1) Tidak terjadi mual dan muntah selama intra operasi
2) Tidak ada distensi abdomen
3) Tidak terjadi flatus dan defekasi selama pembedahan
berlangsung
c) Intervensi
1) Pastikan pasien puasa sebelum operasi sesuai dengan
usianya
2) Berikan obat profilaksis antiemetik
3) Miringkan kepala pasien jika muntah
9) RK Disfungsi hepar
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi hepar
b) Kriteria Hasil
1) Tidak terjadi komplikasi pada hepar
c) Intervensi
1) Cermati efek samping obat anetesi terhadap hepar

43
2) Lakukan pengecekan apakan pasien memiliki riwayat
penyakit hepar
3) Pilih obat anestesi yang meminimalisir kerja hepar jika
pasien memiliki riwayat penyakit hepar
10) RK Disfungsi ginjal/perkemihan
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi disfungsi ginjal/perkemihan
b) Kriteria Hasil
1) Produksi urin pada kateter pasien normal selama operasi
2) Tidak terjadi komplikasi pada ginjal pasien
c) Intervensi
1) Monitoring produksi urine ( normal 0,5 – 1
mg/kgBB/jam )
2) Monitoring cairan intake dan output sudah balance
3) Ukur dan tampung produksi urin selama operasi
4) Lakukan rehidrasi
5) Naikan/turunkan tetesan infus sesuai program kolaborasi
11) RK Ketidakseimbangan elektrolit
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi ketidaksimbangan elektrolit
b) Kriteria Hasil
1) Cairan dan elektrolit terpenuhi selama operasi
2) Tidak terjadi syok
c) Intervensi
1) Monitoring terhadap intake dan haluran cairan
2) Hitung kebutuhan cairan intra operasi
3) Gunakan jenis infus yang sesuai dengan keadaan
pasien(koloid/kristaloid)

c. Pasca Anestesi
1. Risiko cedera
a) Tujuan

44
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi cedera
b) Kriteria Hasil
1) Pasien tidak mengalami cedera serius
2) Tanda vital pasien stabil
c) Intervensi
1) Pantau tanda vital pasien setiap 5 menit
2) Mempertahankan jelan nafas, ventilasi, sirkulasi,suhu
3) Observasi keadaan umum
4) Observasi vomitus dan drainase
5) Pantau jumlah perdarahan
2. Risiko alergi
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi reaksi alergi
b) Kriteria Hasil
1) Tidak terjadi reaksi alergi
2) Alergi pasien dapat dikontrol
c) Intervensi
1) Lakukan reasesmen tentang riwayat alergi pasien
2) Menghindari tidakan yang dapat membuat alergi pasien
kambuh
3) Persiapkan obat anti alergi jika seandainya terjadi alergi
3. Risiko jatuh
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan tidak
terjadi pasien terjatuh
b) Kriteria Hasil
1) Pasien tidak mengalami cedera akibat terjatuh
c) Intervensi
1) Tempatkan pasien pada posisi nyaman
2) Pasang bed side rail
3) KIE pasien tentang keadaanya setelah operasi bisa
menyebabkan diorientasi
4. RK Nyeri post operasi

45
a) Tujuan
Setelah diberikan asuhan kepenataan anestesi, diharapkan nyeri dapat
ditoleransi oleh pasien
b) Kriteria Hasil
1) Pasien bisa mentoleransi nyerinya
2) Pasien merasa nyaman
c) Intervensi
1) Obervasi skala nyeri pasien dengan VAS
2) Kaji penyebab nyeri
3) Berikan terapi non famakologi seperti tehnik nafas dalam,
distraksi, kompres hangat/dingin
4) Minta keluarga pasien mendampingi
5) Berikan terapi farmakologi analgesik sesuai dengan
kolaborasi dokter anestesi

4. Implementasi
Implementasi yang merupakan kategori dari proses kepenataan adalah
kategori dari perilaku kepenataan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan kepenataan dilakukan
dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses kepenataan. Namun, evaluasi
dapat dilakukan pada setiap tahap dari proses perawatan. Evaluasi mengacu pada
penilaian, tahapan dan perbaikan. Pada tahap ini, perawat menemukan penyebab
mengapa suatu proses kepenataan dapat berhasil atau gagal (Alfaro-Lefevre,
1994 dalam Deswani, 2009).

46
TINJAUAN KASUS

I. PENGKAJIAN
a. Pengumpulan Data
1. Anamnesis
a. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Ny.Hildegardus Uduk
Tanggal lahir (umur) : 10 Juli 1976 (46th)
No. CM : 199137
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Suku Bangsa : Indonesia
Status perkawinan` : Kawin
Alamat : Atambua
Tanggal MRS : Selasa, 02 Januari 2024
Tanggal pengkajian : Rabu, 03 januari 2024
Jam Pengkajian : 07.00 wita
DPJP Bedah : dr. Amrul, SpB
DPJP Anestesi : dr. I madae Handa, SpAn
Jaminan : BPJS
Rencana Tanggal dan Jam Operasi : 03 Januari 2024 ,
09.00 WITA

2) Identitas Penanggung Jawab


Nama :Tn. Oktavianus
Umur : 50 Tahun
Jeniskelamin : Laki-laki
Agama :KP
Pendidikan :S1
Pekerjaan :PNS
Suku Bangsa :Indonesia
Hubungan dengan pasien: Suami
Alamat :
Atambua

47
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Bedah dengan keluhan nyeri pada bagian
perut kanan atas yang dirasakan sejak 3 bulan, nyeri seperti
ditusuk-tusuk pada satu titik dan tidak menjalar,nyeri
semakin bertambah ketika melakukan aktivitas dan
berkurang saat istirahat atau berbaring, skala nyeri 4 ( VAS
1-10)
2) Keluhan lainnya
Pasien mengatakan merasa mual
3) Diagnosis Medis : Cholelitiasis
4) Rencana Tindakan Operasi : Laparascopi -cholesistektomy)

c. Data Fokus Anestesi (AMPLE)


1) Allergies :
- Riwayat alergi makanan : Tidak terdapat alergi
makanan
- Riwayat obat-obatan : Tidak memiliki alergi pada
obat tertentu
- Lainnya : Tidak ada riwayat alergi yang lain
2) Medications: Obat amlodipine 10 mg (setiap hari 1x10mg), konsumsi terakhir
sebelum masuk rs.
3) Past Illness:
Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit hipertensi, dan pasien tidak pernah
operasi sebelumnya.
4) Last Meal:
Pasien dipuasakan pada jam 03.00 WITA 2 januari 2024
5) Environments:
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol ataupun memakai obat-
obatan narkotika.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
- GCS : Eye : 4, Verbal : 5, Motorik : 6 Total: 15
- Kesadaran : compos mentis / apatis / delirium/ somnolen /
sopor/ koma
- Tanda-tanda Vital :
Nadi = 80 x/menit, Suhu = 37,5 0 C, TD =150/100 mmHg, MAP:
RR=14x/menit, Skala Nyeri:4 BB: 45 Kg, TB: 150 Cm, BMI:
20,0

48
b. Pemeriksaan 6 B
1) B1 (BREATHING)
- Look externally (Wajah):
✔ Normal □ Edema
□ Luka pada wajah □ Kumis/ jenggot □ mikrognathia
□ Gigi palsu □ Gigi goyang □ Gigi maju
□ Hilangnya gigi
- Evaluate Thyromental distance
 Kemampuan membuka mulut ≥3 jari ✔Ya □Tidak
 Jarak Thyro – Mental ≥3 jari ✔Ya □Tidak
 Jarak Hyoid – Tiroid ≥2 jari ✔Ya □Tidak
- Mallampati Score: ✔I □ II □ III □ IV
- Obstruction or obesity (Obstruksi Jalan Napas)
□ Ya :………………
✔ Tidak
- Neck mobility
 Bentuk Leher : □✔ Simetris□ Asimetris
 Leher pendek : ✔ Ya □ Tidak
 Dapatkah pasien menggerakkan rahang ke depan (dagu
menyentuh dada)?
✔ Ya □ Tidak
 Dapatkah pasien melakukan ekstensi leher dan kepala?
✔ Ya □ Tidak
 Dapatkah pasien melakukan rotasi leher dan kepala?
✔ Ya □ Tidak
 Terdapat bekas luka/sikatrik di leher
□ Ya ✔ Tidak

 Apakah pasien menggunakan neck collar?


□ Ya ✔ Tidak

- Bentuk thorax : Simetris


- Pola napas : Regular
- Penggunaan otot bantu napas : □ Ya ✔ Tidak
- Pernapasan cuping hidung : □ Ya ✔ Tidak
- Perkusi paru : ✔ sonor □ hipersonor
□ dullness
- Suara napas : □Trakeal □ bronchial
□ bronkovesikular ✔vesikuler □ ronchi □ wheezing
□ □ stridor □ snoring □ gurgling

49
2) B2 (BLOOD)
- Konjungtiva : □ anemis ✔ tidak
- Kulit : Pucat: ya / tidak
- CRT: < 2 detik
- Pembesaran vena jugularis : □ ya ✔ tidak
- Ictus cordis : (tidak nampak pulsasi), pelebaran - cm
- Perdarahan: ada/tidak Lokasi perdarahan:
Jumlah perdarahan:
- Pulsasi pada dinding torak teraba : ( Lemah / Kuat /
Tidak teraba )
- Batas-batas jantung normal adalah :
 Batas atas : ICS II
 Batas bawah : ICS V
 Batas Kiri : ICS V Mid Clavikula Sinistra
 Batas Kanan : N = ICS IV Mid Sternalis Dextra
- BJ I : ✔ tunggal □ ganda ✔ regular □ irreguler
- BJ II : ✔ tunggal □ ganda ✔ regular □ irregular
- Bunyi jantung tambahan : BJ III ( - ), Gallop Rhythm (-),
Murmur (-)

3) B3 (BRAIN)
- Kaku kuduk: □ ada □✔ tidak
- Kejang: □ ada □✔ tidak
- Tremor: □ ada □ ✔tidak
- Nyeri kepala: □ ada □ ✔tidak
- Pupil: ✔ isokor □unisokor □midriasis □miosis □tidak ada
reaksi
- Parese: □ ada □✔ tidak
- Plegi: □ ada □✔ tidak

4) B4 (BLADDER)
- Nyeri saat BAK: □ ada □ ✔tidak
- Urine disertai darah: □ ada □✔ tidak
□Poliuri □oliguria □anuria □retensi urin 2□inkontensia

Nyeri tekan pada Ginjal : □Ya □✔Tidak


Pembesaran pada Ginjal : □Ya □✔Tidak
- Produksi urine : pasien kencing 1x
Belum terpasang kateter

50
5) B5 (BOWEL)
- Bising usus : 10 x/menit
- Mual: □✔ ada □ tidak
- Muntah: □ada :-kali □ ✔ tidak
- Nyeri menelan: □ ada □✔ tidak
- Nyeri perut: □ ada, □✔ tidak
- Borborygmi : □Ya □✔Tidak
- Distensi : □Ya □✔Tidak
- Asites : □ shifting dullness □ undulasi
- Pembesaran hepar : □Ya □✔Tidak
-
6) B6 (BONE)
a) Pemeriksaan Tulang Belakang :
- Kelainan tulang belakang: □Kyposis □Scoliosis □Lordosis
□Perlukaan □ infeksi □Fibrosis
- Mobilitas : □✔leluasa □terbatas
- Lainnya……………………..
b) Pemeriksaan Ekstremitas
- Ekstremitas Atas
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris /
asimetris), Jejas : □Ya:…□✔Tidak
Deformitas : □Ya:…□✔Tidak
Fraktur : □Ya:…□✔Tidak

Atropi otot : □Ya:……………………□ ✔Tidak


IV line: terpasang dimanus dextra abocat 18 dengan
three way dan infus set makro
ROM: Aktif,
- Ekstremitas Bawah :
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris /
asimetris), Jejas : □Ya:…□✔Tidak
Deformitas : □Ya:…□✔Tidak
Fraktur : □Ya:…□✔Tidak
Atropi otot : □Ya: □ ✔Tidak
IV line: tidak terpasang IV line pada kedua
tungkai kaki
ROM: Aktif

Kesimpulan palpasi ekstermitas :

51
- Edema :

0 0
0 0

- Uji kekuatan otot : 555 xxx


555 555

3. Data Penunjang Diagnostik


a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 2 Januari 2024
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Hemoglobi 14,4 g/dl 12.0-15.0
n
WBC 8,40 10^9/l 5.0-10.0
RBC 5.42 3.0-5.0
Hematokrit 43,6% 35.0-55.0

PLT 264 150-400


CT 1’30” 1.0-3.0
BT 5’52” 5.0-15.0
GDS 90 75-120
SGOT 16 10-31
SGPT 15 9-36
Ureum 19 10-50
Kreatinin 0,4 0.5-0.9

Bilirubin 1,1 0-1,1


total
Bilirubin direk 0.28 0-0,25
Indirek 0.83 0-0,25
Kolestrol total 167 <200
HBSAg Non reaktif Non reaktif
Analisa: yg abnormal/yg normal.. tidak ada kelaian pada pemeriksaan dl, /
terdapat peningkatan leukosir disebabkan karena………..
b. Pemeriksaan Radiologi :
Kesan Hasil foto Thorax: Normal
Kesan USG Abdomen : Multipel Kholelitiasis
Kesan Interprestasi EKG : Sinus rytme HR; 75x/menit

4. Terapi Saat ini :


52
- IVFD RL 18 TPM
- Inj Ceftriaxone 2 gr
- Inj Ketrolac 30 mg
- Inj Ranitidin 2x50 mg
5. Kesimpulan status fisik (ASA):
ASA II dengan riwayat penyakit penyerta hipertensi terkontrol

6. Pertimbangan Anestesi
a) Faktor penyulit: Pasien akan menjalani Laparascopi
kolesistektomy dan memiliki riwayat penyakit hipertensi
harus menjadi perhatian dalam pemilihan obat anestesi dan
stadium anestesi, pemasangan ETT dan laryngoscopy diusahan
tidak menimbulkan lonjakan hemodinamik yang lebih dari 20%.
Selama intra operatif pemantaun insuflasi gas CO ₂ ke dalam
rongga peritonium menimbulkan pneuperitonium dapat
menyebabkan gangguan ventilasi dan perfusi, hipertensi,
takikardi dan aritmia. oleh karena itu insuflusi gas CO ₂ tidak
boleh lebih dari 15 mmHg. menjadi perhatian khusus pemantau
kardiovaskuler dan gangguan respirasi dan pemantau Et CO₂
tidak lebih dari 40 mmHg. Pemantaun mual dan muntah pasca
bedah laparascopi lebih tinggi akibat stimulasi peritonium dan
distensi usus akibat difusi CO₂ ke dalam usus oleh karena itu
perlu pemberi antimetik sebelum ekstubasi. Pada Pemberian
analgetic pasca bedah yang adekuat sangat penting perlunya
pemberian analgesia multi modal.
b) Jenis Anestesi dan teknik anestesi : General Anestesi dengan
tehnik ETT
c) Penjelasan tentang indikasi medis pembedahan dengan jenis dan
teknik anestesi
Pasien akan dilakukan pembedahan pada area abdomen akan
dilakukan laparascopi kolesistektomy dimana dokter bedah
membutuhkan relaksasi otat rangka dan abdomen. Untuk
mendapatkan visualisai dan lapang pandang dokter bedah juga
akan memasukan insuflasi gas CO₂ ke dalam rongga peritonium
agar operasi yang maksimal untuk kenyamanan dan kelancaran
operasi dan menghindari cidera, gangguan hemodinamik dan
ventilasi maka teknik pembiusan yang dipilih yaitu general
anestesi dengan teknik ETT untuk menjaga kepatenan jalan
nafas pasien dan pengontrolan ventilasi yang adekuat.

53
II. Analisa data
Data MKA pre Anestesi
DO: Tindakan pembiusan
1. Pasien Status fisik ASA 2 dengan
riwayat Hipertensi terkontrol Penggunaan Agen Anestesi
2. Pasien akan menjalani General
Anestesi dengan ETT
3. TD:
Depresi Kardiorespirasi

Risiko Cedera Anestesi


DS: Batu pada saluran sempedu
1. Pasien mengeluh nyeri pada bagian
perut kanan atas
Batu terdorong menuju duktus
2. Pasien mengatakan nyeri seperti
ditusuk-tusuk
3. Pasien mengatakan nyeri berkurang Obstruksi duktus pada kantung
saat melakukan saat istirahat atau empedu
berbaring dan bertambah ketika
melakukan aktivitas Nyeri abdomen pada kuadran
DO: kanan atas
1. TD:150/90 mmHg, Nadi: 80x/menit
2. Frekuensi nafas: 14 x/menit
3. Skala nyeri 4 (VAS 1-10) nyeri
4. Hasil USG kolelitiasis
Data MKA Intra Anestesi
Faktor Resiko: Pasien akan menjalani tindakan
1. Pasien akan dilakukan tindakan pembedahan laparaskopi
pembedahan dengan Teknik kolesistektomy
laparaskopi kolesistektomy
2. ASA II
3. Pasien akan diberikan obat induksi
yang mendepresi kardiorespirasi: terjadi destruksi jaringan
recofol, fentanyl dan atracurium,
Risiko Cidera Trauma Fisik
Pembedahan
Faktor Resiko: Teknik Anestesi GA ETT
1. Pasien akan diberikan obat anestesi
yang mendepresi pernapasan seperti
propofol , atracurium, fentanyl Injeksi obat trias anestesi
2. Pasien akan di laryngoscopy dan
dipasang alat bantu nafas (ETT)
Depresi pernapasan

RK Gangguan Fungsi
Respirasi

54
Faktor Resiko: Teknik Anestesi GA ETT
1. Pasien dengan status fisik ASA 2
(pasien memiliki riwayat penyakit
Injeksi obat trias anestesi
hipertensi terkontrol)
2. Pasien akan diberikan obat induksi
yang mendepresi kardiovaskuler: Tindakan Laryngoskopi intubasi
ETT
recofol, fentanyl,atracurium, dan voletil
3. Dilakukannya tindakan laryngoscopy
intubasi ETT RK Gangguan
4. Insuflasi gas CO₂ ke rongga Peritonium Fungsi
5. TD Kardiovaskuler

Data MKA Pasca Anestesi

Fartor Resiko: Operasi laparaskopi


1. Diagnosis bedah Kolelitiasis Kolesistektomy
2. Pasien dilakukan operasi laparaskopi
Kolesistektomy
3. Insuflasi CO₂ di rongga peritonium
4. Perkiraan lama operasi 1-2 jam Insuflasi CO₂ di rongga
5. Pasien dengan hipertensi peritonium

Pneuperitonium

Gangguan ventilasi perfusi

RK Gangguan Fungsi
Respirasi

Faktor Resiko: Pasca Anestesi GA ETT dan


1. Pasien dengan status fisik ASA 2 Pasca Bedah Kolesistektomy
(pasien memiliki riwayat penyakit
hipertensi)
Riwayat Penyakit Hipertensi
2. Pasien telah dilakukan tindakan
operasi kolesistektomy
3. Diagnosa penyakit pasien : Kolelitiasis Manajemen nyeri tidak adekuat

RK Gangguan Fungsi
Kardiovaskuler

Faktor Resiko : Pasca General Anestesi


1. Efek dari obat dan agen anestesi
2. Pasien Post kolesistektomy Efek Agen Anestesi
3. Tindakan anestesi GA ETT

Penurunan kesadaran

Resiko Jatuh

55
III. MASALAH KESEHATAN ANESTESI
a. PRA ANESTESI
1) N y e r i
2) RK cedera Anestesi
b. INTRA ANESTESI
1) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
2) RK Gangguan Fungsi Respirasi
3) Risiko Cidera Trauma Fisik
c. PASCA ANESTESI
1) RK Gangguan Fungsi Respirasi
2) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
3) Resiko Jatuh

56
IV. Rencana Tindakan, Implementasi, dan Catatan Perkembangan Praanestesi

Nama : Ny. H.U No. CM : 199137


Umur : 46 Tahun Dx/Tindakan : Kolelitiasis/Laparaskopi Cholestectomi
Jenis kelamin : Perempuan Ruang : IBS
Masalah Rencana Tindakan Waktu Tindakan Catatan Perkembangan TTD
Kesehatan
Anestesi
Nyeri Setelah dilakukan asuhan 08.00 1. Melakukan pengkajian nyeri 08.30 abe
kepenataan anestesi selama 30 secara komprehensif S:
menit pada fase praanestesi, menggunakan skala nyeri O:
diharapkan nyeri berkurang VAS - Diberikan premedikasi Inj
dengan kriteria hasil: 08.15 2. Mengobservasi reaksi Paracetamol 1 gr/IV
1. Skala nyeri menurun nonverbal dari - Skala Nyeri 2 (VAS)
(VAS :0-3) ketidaknyamanan,seperti - Pasien melakukan teknik
2. Pasien tampak lebih rileks meringis dll. napas dalam
3. TTV dalam batas normal 08.15 3. Mengajarkan teknik - Wajah Pasien tampak
TD: systole 100-120 diastole nonfarmakologi menarik rileks
60-80 napas dalam - Pasien tenang
Nadi :60-100x/menit 08.20 4. Melakukan pengukuran TTV - TD: 150/90 mmHg
4. Frekuensi napas dalam batas 5. Melakukan kolaborasi N:80x/menit
08.25
normal (12-16x/menit) pemberian premedikasi RR: 13x/menit
5. Pasien tenang analgetik Inj Paracetamol A: Masalah Nyeri teratasi
1 gr/IV P: Lanjutkan Intervensi
Intervensi: 08.30 6. Evaluasi nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Ajarkan teknik nonfarmakologi
menarik napas dalam
4. Lakukan pengukuran TTV
5. Kolaborasi pemberian analgetik
atau obat lain sesuai indikasi

57
RK cedera Setelah dilakukan asuhan kepenataan 08.25 1. Mengedukasi kepada pasien 09.30 Alberth
anestesi anestesi selama fase praanestesi atau kelurga tentang prosedur S:
cedera akibat agen anestesi tidak anestesi,resiko dan - Pasien mengatakan puasa
terjadi dengan kriteria Hasil : komplikasi serta informed dari jam 03.00 WITA
1. Pasien siap untuk dilakukan consent - Keluarga pasien paham
pembiusan 08.30 2. Mengobservasi tanda-tanda mengenai tindakan yang
2. Terdeteksinya penyulit atau status vital TD,N,S,RR akan dilakukan pada
fisik ASA 3. Mengkaji kesiapan pasien keluarganya
3. TTV dalam batas normal sebelum operasi ( puasa,
TD: systole 100-120mmHg 08.35 periksa aliran IV line, O:
diastole 60-80 mmHg pemeriksaan B6). - Lembar edukasi dan
Nadi :60-100x/menit 4. Menyiapkan alat anestesi persetujuan tindakan telah
08.35
RR: 12-16x/menit STATICS terisi
4. Pasien Puasa 5. Memeriksa kesiapan mesin - Status fisik ASA II
anestesi ( sumber gas, - Iv line terpasang pada
Intervensi: 08.40 kebocoran sirkuit, dengan tangan kanan
1. Observasi tanda-tanda vital. agen anestesi). - TD: 150/80 mmHg
2. Kaji kesiapan pasien sebelum 6. Menyiapkan obat anestesi N:70x/menit
08.45
operasi ( puasa, periksa aliran IV GA ETT dan obat Emergensi RR: 12x/menit
line, pemeriksaan B6). 7. Memberikan kesempatan - STATICS siap
3. Siapkan alat anestesi ( sesuai pasien untuk bertanya dan - Mesin dan Obat GA ETT
jenis anestesi, STATICS). berdoa. siap
08.45
4. Periksa kesiapan mesin anestesi 8. Melakukan Kolaborasi dalam - Pasien berdoa
( sumber gas, kebocoran sirkuit, pemberian obat - Inj midazolam 1 mg/iv
dengan agen anestesi). 08.45 premedikasi,inj midazolam 1 A: Masalah RK cedera anestesi
5. Siapkan obat sesuai dengan jenis Mg mg/iv teratasi
anestesi dan cairan. P: Lanjutkan Intervensi
6. Edukasi kepada pasien atau
kelurga tentang prosedur anestesi
7. Berikan kesempatan pasien untuk
bertanya dan berdoa.
8. Kolaborasi dalam pemberian
obat premedikasi.

58
ASSESMEN PRA INDUKSI/ RE- ASSESMEN
Tanggal : 03 Januari 2024
Kesadaran : komposmetis Kesiapan obat-obatan:
Tekanan darah: 150/90 mmHg, Nadi :70x/mnt. 1. Obat anestesi ✓Siap
RR : 12x/mnt Suhu : 360C ✓ Fentanyl ✓ Asam Tranexamat
Saturasi O2 : 99%
Gambaran EKG : sinus rytem ✓ Atracurium /Rocum ✓ Tramadol
✓ Recofol ✓ Midazolam
Pemasangan IV line : □✓ 1 buah □ 2 buah □ ………. □ ………
Kesiapan cairan infus dan darah (1 kolf) ✓ Siap ✓ Ondansetron □ ………
Kesiapan mesin anestesi : ✓ Siap ✓ Dexametson □ ………
Kesiapan peralatan anestesi : □ ………
✓ Paracetamol
General anestesi ✓ Siap
Regional anestesi Siap/tidak ✓ Ketorolac
Sumber gas medik : ✓ Siap □ ………
2. Obat emergensi ✓ Siap/tidak
✓ Lidokain ✓ Amiodaron
✓ Epineprin ✓ Norefineprin
✓ Sulfas Atropin ✓ Nicardipine
✓ Neostigmin
✓ Naloxone

Penyakit yang diderita : □Tidak ada ✓Ada, sebutkan Hipertensi


(terkontrol) Gigi palsu : ✓ Tidak ada
Alergi : ✓Tidak ada
Kontak lensa : ✓ Tidak ada
Penggunaan obat sebelumnya: ✓Ada, sebutkan Amlodipine 10 mg.
CATATAN LAINNYA: Pasien ASA II dengan hipertensi terkontrol dilakukan general anestesi ETT

59
V. Rencana Tindakan, Implementasi, dan Catatan Perkembangan Intraanestesi

Nama : Ny. H.U No. CM : 199137


Umur : 46 Tahun Dx/Tindakan : Kolelitiasis/laparaskopi cholestectomi
Jenis kelamin : Perempuan Ruang : IBS
Masalah Rencana Tindakan Waktu Tindakan Catatan Perkembangan TTD
Kesehatan
Anestesi
RK gangguan Setelah dilakukan asuhan kepenataan 09.45- 1. Melakukan monitoring JAM albert
12.15
fungsi anestesi selama fase intraanestesi tekanan darah, nadi,dan h
kardiovaskuler komplikasi gangguan fungsi SpO2 dengan bedsite S:
kardiovaskuler tidak terjadi dengan 10.00- monitor O:
12.15
kriteria Hasil : 2. Melakukan monitoring - Hemodinamik pasien
1. Hemodinamik dalam batas 10.11 gambaran EKG pasien pada stabil:
normal bedsite monitor saat TD: 130/80 mmHg
10.00-
TD : 110-120/60-80mmHg 12.15 dilakukan insuflasi gas N:80x/menit
N : 60-100x/menit CO₂ ke dalam rongga SpO2:99%
2. EKG sinus Rithym peritonium - Gambaran EKG sinus
3. SpO2 normal 95-100% 3. Memberikan rumatan rytme HR :80x/menit
4. CRT <3 detik anestesi sevoflurane MAC - Aritmia (-)
2% dan penambahan - Pasien diberikan gas
Intervensi: Fentanil dan Rocum setiap sevoflurane 2% MAC,O2,
1. Monitor tekanan darah, nadi,dan 45-60 menit atau sesuai dan Trias anetesi sesuai
SpO2 kebutuhan kebutuhan selama operasi
10.00
2. Monitor ketat EKG 15 menit 4. Melakukan kolaborasi - Cairan yang diberikan RL
pertama setelah insuflasi gas CO₂ Kolaborasi pemberian 1300 cc
di rongga peritonium terhadap cairan resusitasi dan
tanda adanya aritmia pasien kebutuhan cairan rl 500 - Insuflasi gas CO2 berkisar

60
3. Berikan rumatan anestesi sesuai Urine: 45ML
11.00 antar 10-14 mm Hg
kebutuhan
4. Kolaborasi pemberian cairan Melakukan kolaborasi
resusitasi dan kebutuhan cairan Kolaborasi pemberian - Jumlah Produksi Urin 150
5. Dalamkan anestesi jika terjadi cairan resusitasi dan cc/2 jam selam durante
lonjakan TD dan Nadi dengan kebutuhan cairan rl 500 operasi
titrasi propofol dan maintenance Urine: 45ML
sevoflurance A: Masalah RK gangguan fungsi
6. Turunkan agent gas sevoflurance kardiovaskuler tidak terjadi
anestesi jika terjadi hipotensi P: Lanjutkan Intervensi
sistol <90 mmHg dan diastole <
60 mmHg MELAKUKAN
7. kolaborasi pemberian vasopresor PERHITUNGAN
Ephedrine 5-10 mg jika terjadi KEBUTUHAN CAIRAN
hipotensi *Maintenance :
8. kolaborasi pemberian Sulfa 2cc/kgBB/jam= 2x45
Atropin/SA jika terjadi Total= 100 cc/jam
bradikardia *Pengganti Puasa: M x Kg BB
9. Kolaborasi Pemberian Anti aritmia 6 x 100 =600 cc
Jika terjadi Aritmia *Stres Operasi : 8 x BB
10. laporkan segera ke dokter 8 x 45 = 360 cc
Anestesi jika terjadi aritmia
11. pantau jumlah Insuflasi gas CO₂ Jam 1= ½ PP + M + SO
tidak boleh lebih > 15 mmHg 10.00- = 300 + 100 + 360= 760 cc
12. pantau jumlah produksi urin pada 12.00
urin bag normal 1cc/kgBB/jam
Jam 2 dan 3 = ¼ PP + M + SO
= 150 + 100 + 360
10.00-

61
12.00 = 610
EBV/ABL
6. Memantau jumlah
insuflasi gas CO₂
pada monitor
insuflator tidak > 15
mmHg
7. Memantau jumlah
produksi Urin pada
urin bag

RK gangguan Setelah dilakukan asuhan kepenataan 10.00- 1. Melakukan monitoring status 10.15
12.15
fungsi respirasi anestesi selama fase intraanestesi respirasi dan oksigenasi S:
komplikasi gangguan fungsi respirasi 10.00- O:Penekanan diafragma, ET CO2
tidak terjadi dengan kriteria Hasil : 12.15 2. Melihat tanda-tanda sianosis meningkat diata 40, Operator
1. TTV dalam batas normal pada ujung kuku dan daerah meminta….alarm..
RR : 14-20x/menit 10.00- bibir MV tidak tercukupi
Spo2: 96-100% 12.15 3. Mengatur Sevoflurane 2% A RK Terjadi
2. Tidak ada tanda-tanda sianosis MAC untuk dan O2 4 P:…..
3. Pola nafas teratur liter/menit dan menghentikan
4. Ekspansai dada simetris 10.12 voletile di akhir operasi 12.00
5. Tidak ada Tanda-tanda gangguan 4. Melakukan kolaborasi S:
ventilasi dan Peningkatan tekanan pemberian ventilator mode O:
jalan napas CMV-PC (Pinsp:18 x/menit, - Ekspansi dinding dada
6. Tidak ada tanda-tanda perubahan Psupp =12x/menit, simetris pada paru kiri
complains paru selama ventilasi RR:14x/menit, PEEP:3, dan kanan
positif Ti:1,5 - Respirasi kontrol
5. Memantau tanda-tanda ventilator 14 x/menit dan

62
7. Tidak ada tanda-tanda Hiperkarbi gangguan ventilasi dan tanda TD:350 ml
8. tidak ada tanda-tanda peningkatan peningkatan tekanan jalan - Et CO₂ <40 mmHg
EtCO₂ >40 mmHg selama insuflasi napas. - Tidak ada tanda sianosis
CO₂ intraperitonium 6. memantau tanda-tanda - Sevoflurane diberikan 2%
compalins paru selama dan O2 4 liter/menit
Intervensi: ventilasi positif dengan - Sesaat sebelum pasien di
1. Monitor status respirasi dan melihat perubahan menit ekstubasi sevoflurane di
oksigenasi ventilasi paada mesin hentikan O2 diberikan 7-
2. Monitor tanda-tanda sianosis anestesis 10 liter/menit hingga
3. Atur gas /rumatan anestesi sesuai 7. memantau tanda tanda pasien bangun
kebutuhan dan hentikan hiperkarbia A: Masalah RK gangguan fungsi
pemberian voletile saat operasi 8.Memantau dan mengukur respirasi tidak terjadi
selesai jumlah EtCO₂ tidak boleh > P: Lanjutkan Intervensi
4. Kolaborasi dalam pemberian 40 mmHg Pada kapnograf
ventilasi mekanis di mesin anestesi selama
5. Pantau tanda-tanda peningkatan insuflasi CO₂
tekanan jalan napas dan gangguan intraperitonium
ventilasi-perfusi
6. pantau perubahan complain paru
dapat diamati sebagai
peningkatan tekanan inspirasi
puncak (peak inspiratory
pressure, PIP) selama ventilasi
tekanan positif

7. Pantau tanda tanda hiperkarbia.


8. Pantau dan ukur jumlah EtCO₂
tidak boleh > 40 mmHg Pada

63
kapnograf di mesin anestesi
selama insuflasi CO₂
intraperitonium

Resiko cedera Setelah dilakukan asuhan kepenataan 09:45 1. Melakukan Oksigenasi O2 10.30 albert
trauma fisik anestesi selama fase intraanestesi aliran tinggi 7 liter/menit S: h
cedera trauma fisik pembedahan FACEMASK (preoksigenasi) O:saat insisi takikardi
tidak terjadi dengan kriteria Hasil : 09-45 2. Mengobservasi pemberian N: 102x/menit,TD:160
1. Terpenuhinya trias anestesi yang trias anestesi selama A: Terjadi
adekuat intraoperatif: Fentanil, Lanjutkan Intervensi
2. Tidak adanya tanda-tanda trauma Propofol dan Atracurium I:
fisik pembedahan 3. Melakukan kolaborasi - Inj Fentanyl 25 mcg/iv
dengan dokter spesialis - Inj Propofol 20 mg
Intervensi: anestesi - Ventilasi 20x/menit
09-45.
1. Lakukan pemberian oksigen a. Melakukan induksi inj dengan O2 dan
100% (preoksigenasi) Fentanil 120 mcg/iv, inj Sevoflurane sampai
2. Observasi pemberian trias Propofol 120 mg/iv hemodinamik stabil
anestesi meliputi (intermiten), inj Rocum 30 - Melakukan evaluasi dan
a. Tingkat relaksasi otot mg/iv. monitoring TTV
b. Tanda-tanda nyeri 09.50 b. Melakukan Laringoscopy E:
c. Tanda-tanda hypnosis dan Pemasangan ETT 7.0 - Hemodinamik pasien
3. Kolaborasi dalam tindakan King-king (cuff) setelah stabil:
anestesi umum kedalaman anestesi pada TD: 130/70 mmHg
a. Induksi stadium 3 plana 3 N:80x/menit
b. Teknik anestesi balance 09.50 c. Memberikan Sevoflurane SpO2:99%
anestesi 2VOL% untuk Kedalaman anestesi pada
c. Kepatenan jalan nafas (ETT) 10.00- maintenance + 02 4 stadium pembedahan
d. Rumatan anestesi 12.00 liter/menit plana 3

64
e. Pengakhiran anestesi e. Melakukan ekstubasi
12.00
f. Observasi TTV stabil dan sadar
kedalaman anestesi. 4. Melakukan monitoring TTV 12.00
TD: 120-140 mmHg/60-80 10.00- dan tingkat kedalaman S
12.15
mmHg anestesi selama intara O
N: 60-100x/menit operasi - Preoksigenasi 7 liter/menit
RR : 12-20x/menit diberiakan selama 5 menit
SpO2 96-100 % - TD: 130/80 mmHg
Stadium Pembedahan N:80x/menit
RR: 12x/menit
- TTV sebelum
Laringoscopy: TD 120/60
mmHg,N: 70x/menit,RR:
12 x/menit Kontrol
- TTV setelah Laringoscopy
untuk pemasangan ETT:
TD 140/90 mmHg,N :
90X/menit,RR kontrol
14x/menit
- Ekstubasi bangun ,pasien
sadar
A: Masalah RK cedera traumatik
teratasi sebagian
P:

Infus perifer : Tempat dan ukuran 09. 09. 09. 09. 09. 09. 09. 10. 10. 10. 10. 10. 10.
25 30 35 40 45 50 55 00 05 10 15 20 25

1. Tangan Kanan uk. 18 G Obat-obatan / Infus

65
2. RL

CVC : Midazolam 2mg

Posisi Fentanyl 120 mcg

□ Terlentang □ Lithotomi □ Perlindungan Propofol 150 mg


mata
□ Prone □ Lateral □ Ka □ Ki □ Lain-lain Atrakurium 30 mg

Premedikasi Ondan 4mg

□ Oral : Ketorolac 30 mg

□ I.M : Pct Infus 1gr

□ I.V: Midazolam 1 mg,, Dexametason 10 mg

Induksi N2O / O2 / Air

□ Intravena : Fentanyl 100 mcg, Propofol 100 mg,,Rocum 30mg Gas : Isof/Sevo/Des 2%

□ Inhalasi : O2, Sevofluran X↑ O→←O↓←X

Tata Laksana Jalan nafas RR N TD

Face mask No 4.0 Oro/Nasopharing 28 220

ETT No 7.0 Jenis Kingking (cuff) Fiksasi 20 cm 20 200

LMA No Jenis 16 180

66
Trakhesotomi N 12 160 ˅

Bronkoskopi fiberoptik  Sis 8 180 140 ˅ ˅

Glidescope  Dis 160 120 ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ ˅ ˅

Lain-lain NGT no.16 + RR 140 100 ˅ ˅ ˅ ˅ ˅

120 ˄ ˄ ˄

Intubasi 80 ˄ ˄
˄ ˄ ˄ ˄ ˄ ˄ ˄ ˄ ˄
100 60 ˄ ˄ ˄
□ Sesudah tidur □ Blind □ Oral □Nasal □ Ka □ Ki ˄

□ Trakheostomi 80 40

□ Sulit ventilasi : 60 20

□ Sulit intubasi : 0

□ Dengan stilet □ Cuff □ Level ETT □


Pack
Ventilasi

□ Spontan □ Kendali □ Ventilator Mode CMV-PC (Pinp: 18, Mulai anestesia X Selesai anestesia ←X Mulai pembedahan O→ Selesai pembedahan ←O
Psup: 12x RR: 12x, PEEP 3x, FiO2 100, Ti : 1,5 Intubasi ↑ Ekstubasi ↓ Pemantauan
□ Konversi :

SpO2 %
Tindakan Anestesi PE CO2 mm Hg
FiO2

67
Teknik Regional/Blok Perifer Lain-lain :
Jenis : Cairan infus ml
Darah ml
Lokasi : Urin ml
Jenis Jarum / No : Perdarahan ml
Kateter : □ Ya □ Tidak Fiksasi cm
Obat-obat : Lama pembiusan : 2 jam 0 menit Lama pembedahan: 2 jam 0 menit

Masalah Intra Anestesi:

VI. Serah Terima Kamar Operasi ke Ruang Pulih Sadar


S 1. Pasien Ny. H umur 46 th
2. Pasien pascaanestesi GA ETT
3. Pasien postoperasi Laparaskopi Kolesistectomy
4. Pasien post ekstubasi bangun sadar, jalan napas bebas tidak ada obstruksi.
5. TTV :
TD: 130/70 mmHg N: 80x/ menit RR: 15 x/menit SpO2: 98%
Alderet Score 8

68
B 1. Diagnosa medis : Kolelitiasis
2. Masalah penyakit lain Hipertesi
3. Obat yang dilayani praanestesi-intranestesi diberikan:
a. Inj Fentanil 125 mcg/iv g. Inj Ketrolac 30 mg/iv
b. Inj Recofol 120 mg/iv h. Inj Paracetamol 1 gr/iv
c. Inj Rocum 40 mg/iv i. Inj Dexametason 10 mg/iv
d. Inj Ondansentron 4 mg/iv j. Ijk midazolam 1 mg/iv
e. Inj Ranitidin 50 mg/iv k. Maintenance sevoflurane 2 MAC%
f. Inj Asam Traneksamat 1 gr
A Masalah yang mungkin saja timbul yaitu :
1. Resiko jatuh
2. RK gangguan fungsi Kardiovaskular
R 1. Lanjutkan IUFD RL
2. O2 3 ltr permenit nasal canul
3. Monitoring TTV
4. Kolaborasi pemberian analgetik dengan dokter anestesi
Yang Menyerahkan Penata anestesi Alberth Paraf
Pasien
Yamg menerima Penata anestesi Alberth Paraf
Pasien

VII. Rencana Tindakan, Implementasi, dan Catatan Perkembangan Pascaanestesi


Nama : Ny. H No. CM : 199137
Umur : 46 Tahun Dx : Kolelitiasis
Jenis kelamin : Perempuan Ruang : IBS
Masalah Rencana Tindakan Waktu Tindakan Catatan Perkembangan TTD
Kesehatan

69
Anestesi
RK gangguan Setelah dilakukan asuhan kepenataan 12.25- 1. Melakukan monitoring status 12.30
13.25
fungsi respirasi anestesi selama fase pasca anestesi respirasi dan oksigenasi S:
komplikasi gangguan fungsi respirasi O:
tidak terjadi dengan kriteria Hasil : 12.25- 2. Melihat tanda-tanda sianosis - Ekspansi dinding dada
13.25
1. TTV dalam batas normal pada ujung kuku dan daerah simetris pada paru kiri
RR : 14-20x/menit bibir dan kanan
Spo2: 96-100% 12.25 3. Memantau tanda-tanda - SpO₂ : 99%
2. Tidak ada tanda-tanda sianosis gangguan ventilasi dan tanda - Respirasi Spontan 14
3. Pola nafas teratur RR 12-20x peningkatan tekanan jalan x/menit
menit napas. - Tidak ada tanda sianosis
4. Ekspansai dada simetris 12.30 4. memantau pengembangan - Tidak ada tanda gangguan
5. Tidak ada Tanda-tanda gangguan dada ventilasi
ventilasi dan Peningkatan tekanan 12.30 5. memantau tanda-tanda A: Masalah RK gangguan fungsi
jalan napas gangguan ventilasi dan respirasi tidak terjadi
peningkatan tahan jalan P: Lanjutkan Intervensi
6. memberikan oksigenasi 2-3
lpm/nasal canul

RK Gangguan Setelah dilakukan tindakan 12.25- 1. Monitoring TTV pasien S:


13.25
Fungsi kepenataan selama fase pascaanestesi menggunakan bedsite O:
Kardiovaskuler diharapkan komplikasi gangguan monitor per 15 menit - TTV:
kardiovaskuler tidak terjadi dengan 12.25- 2. Monitoring EKG TD: 130/70 mmHg
13.25
kriteria hasil : 3. Melakukan observasi adanya N:80x/menit
1. TTV dalam batas normal 12.25 nyeri dada SpO2:99%

70
- TD: 110- 120/70-80 mmHg 4. Memberikan terapi cairan 16 Hasil pengukuran lain
- N: 60- 100x/menit 12.30 tpm terlampir dalam status
- RR: 12- 20x/menit 5. Melakukan kolaborasi dalam - EKG sinus rytme
- SpO2: 95- 100% 12.30 pemberian obat - Tidak ada nyeri dada
2. Pasien mengatakan tidak nyeri antihipertensi jika diperlukan - IUFD RL 16 TPM
dada - Obat antihipertensi tidak
3. Pasien tidak mengeluh sesak diberikan
napas A: Masalah RK gangguan fungsi
4. EKG Synus rytme kardiovaskuler tidak terjadi
5. Wajah tidak pucat P: Lanjutkan Intervensi

Intervensi:
1. Monitor TTV pasien
2. Monitor EKG
3. Observasi adanya nyeri dada
4. Berikan terapi cairan
5. Kolaborasi dalam pemberian
obat antihipertensi jika
diperlukan

Resiko jatuh Setelah dilakukan asuhan 12.25- 1. Melakukan penilaian aldert S:


13.25
score. O:
kepenataan anestesi selama fase
12.25 2. Memasang penyangga pada - Penyangga bed terpasang
pascaanestesi resiko jatuh tidak bed - Alderet Score 10
12.25-
13.25 3. Menjaga dan mengawasi - Pasien tampak tenang
terjadi dengan kriteria Hasil :
pasien selama di ruangan - Posisi pasien semifowler

71
1. Pasien tidak jatuh dari bed pemulihan - Pasien tidak jatuh
4. Melakukan kolaborasi - Diberikan Tramadol 100
2. Alderate score > 8 12.32
pemberian obat inj tramadol mg/iv
3. Pasien tenang 100 mg/iv A: Masalah resiko jatuh tidak
terjadi
Intervensi: P: Lanjutkan Intervensi
1. Lakukan penilaian aldert score.
2. Pasang penyangga pada bed
3. Jaga dan awasi pasien selama di
ruangan pemulihan
4. Kolaborasi pemberian obat
agitasi( jika diperlukan)

CATATAN PASIEN DI KAMAR PEMULIHAN :

Waktu masuk RR: 12.25 WITA

Penata anestesi pengirim : ALBERTH

Penata anestesi penerima : ALBERTH

Tanda Vital : □TD: 130/80 mmHg □Nadi: 80 x/menit □RR:16 x/menit □Temperatur : - 0C

72
Kesadaran : □ ✓Sadar betul □Belum sadar □Tidur dalam

Pernafasan : □✓ Spontan □Dibantu □VAS

Penyulit Intra operatif : Pasien ASA II dengan penyakit Hipertensi

Instruksi Khusus :Awasi TTV,Kontrol TD, Balance Cairan,Kontrol nyeri

SKALA NYERI ALDRETTE SC SC SC


15 30 45 60 STEWARD
Frekuensi

Frekuensi

O O BROMAGE SCORE O
Tekanan

menit menit menit menit SCORE


(Lingkar) SCORE RE RE RE
darah
nadi

28 220 0 Saturasi O2 2 Pergerakan Gerakan penuh dari


tungkai
20 200 1

73
26 180 2

12 160 3

8 180 140 4 Pernapasan 2 Pernafasan Tak mampu


ekstensi tungkai
160 120 5

140 100 6

120 80 7 Sirkulasi 2 Kesadaran Tak mampu fleksi


lutut
100 60 8

80 40 9

10 Aktifitas Tak mampu fleksi


60 20 2
motorik
pergelangn kaki
0

Kesadaran 2

Lama Masa Pulih : 1 jam


Menginformasikan keruangan untuk menjemput pasien : 13.20 WITA
1. Jam :13.30 Penerima :NS Ruangan 2. Jam : Penerima : 3. Jam : Penerima :

74
KELUAR KAMAR PEMULIHAN
Pukul keluar dar RR : Pk. 13.40 ke ruang: □✓ rawat inap □ ICU □ Pulang □ lain-lain:
SCORE ALDRETTE : 10
SCORE STEWARD:
SCORE BROMAGE:
SCORE PADSS (untuk rawat jalan): □ not applicable
SCORE SKALA NYERI: □✓ Wong Baker:3
Nyeri : □ tidak □✓ ada
Risiko jatuh : □ tidak beresiko □✓resiko rendah □ resiko tinggi
Risiko komplikasi respirasi : □ ✓tidak □ ada
Rsiko komplikasi kardiosirkulasi □✓ tidak □ ada
Rsiko komplikasi neurolgi : □✓ tidak □ ada
Lainya
INSTRUKSI PASCA BEDAH:
Pengelolaan nyeri : Inj paracetamol 1gr/iv/8jam, inj ketorolac 30mg/8jam iv, inj tramadol 100 mg/8jam iv
Penanganan mual/ muntah : inj Ondansentron 4mg/8jam/iv jika perlu
Antibiotika : inj Ceftriaxone 1 gr/12jam/iv

75
Obat-obatan lain : inj Ranitidin 50mg/8jam/iv
Infus :IUFD RL 16 TPM
Diet dan nutrisi : TKTP Bila sudah sadar baik tidak mual dan muntah
Pemantauan tanda vital : Setiap 6 jam
Lain-lain :
Hasil pemeriksaan penunjang/obat/barang milik pasien) yang diserahkan melalui perawat ruangan/ICU :
1) 2) 3)

76
VIII. Serah Terima Ruang Pulih Sadar ke Ruang Rawat Inap

S 1. Pasien Ny. H umur 46nth


2. Pasien pascaa nestesi GA ETT
3. Pasien postoperasi Laparkopi Kolesistectomy
4. TTV:
TD: 130/70 mmHg
N: 80x/ menit
RR: 16 x/menit
SpO2: 98%
Skala Nyeri VAS : 2
B 1. Diagnosa medis : Kolelitiasis
2. Masalah penyakit lain Hipertesi
3. Obat yang dilayani dikamar operasi:
a. Inj Ketrolac 30 mg/iv Jam 12.05
b. Inj Paracetamol 1 gr/iv Jam 12.30
c. Inj Tramadol 100 mg/iv Jam 12.40 drip

A Masalah yang mungkin timbul:


1. Nyeri
2. Resiko Jatuh
3. RK gangguan fungsi Kardiovaskular
R 1. Monitoring TTV
2. Pasang bed pengaman
3. Kolaborasi pemberian antinyeri
Yang Penata Anestesi Alberth Paraf
Menyerahkan
Pasien
Yamg menerima NS Ruangan maria Paraf
Pasien

77
DAFTAR PUSTAKA

Alhawsawi, Z. M., Alshenqeti, A. M., Alqarafi, A. M., Alhussayen, L. K., &


Turkistani, W. A. (2019). Cholelithiasis in patients with paediatric sickle
cell anaemia in a Saudi hospital. Journal of Taibah University Medical
Sciences, 14(2), 187.
Amalia, I., & Hendriarto, H. (2014). Pengaruh Pemberian Parasetamol 1000 Mg
Intravena Perioperatif Terhadap Penggunaan Fentanyl Pada Pasien
Kraniotomi Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran
Diponegoro, 3(1), 112192.
Asrianty, A. (2017). Evaluasi Hepatotoksik dan Efektivitas Penggunaan
Paracetamol Infus di Instalasi Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. [Magister Tesis] Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Bahrudin, M. (2017). Patofisiologi nyeri (pain). Saintika Medika, 13(1), 7-13.
Baskara, A. S., Budiono, B. P., & Wahyudi, F. (2014). Perbandingan Teknik
Operasi Mini Laparotomi Kolesistektomi dengan Laparoskopi
Kolesistektomi pada Kolesistolitiasis terhadap Lama Rawat Inap di RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 3(1), 106316.
Barbosa, M. H., Araújo, N. F. D., Silva, J. A. J. D., Corrêa, T. B., Moreira, T. M.,
& Andrade, É. V. (2014). Pain assessment intensity and pain relief in
patients post-operative orthopedic surgery. Escola Anna Nery, 18, 143-
147.
Bisgaard, T., Kehlet, H., & Rosenberg, J. (2001). Pain and convalescence after
laparoscopic cholecystectomy. The European journal of surgery, 167(2),
84-96.
Bisgaard, T., Kehlet, H., & Rosenberg, J. (2001). Pain and convalescence after
laparoscopic cholecystectomy. The European journal of surgery, 167(2),
84-96.
Dahl, J. B., Nielsen, R. V., Wetterslev, J., Nikolajsen, L., Hamunen, K., Kontinen,
V. K., ... & Scandinavian Postoperative Pain Alliance (ScaPAlli). (2014).
Post‐operative analgesic effects of paracetamol, NSAIDs, glucocorticoids,
gabapentinoids and their combinations: a topical review. Acta
Anaesthesiologica Scandinavica, 58(10), 1165-1181.
De Oliveira, G. S., Almeida, M. D., Benzon, H. T., & McCarthy, R. J. (2011).
Perioperative single dose systemic dexamethasone for postoperative pain:
a meta-analysis of randomized controlled trials. The Journal of the
American Society of Anesthesiologists, 115(3), 575-588.
Evaluasi Pemberian Parasetamol Intra Vena pada Karakteristik Nyeri Pasca
Operasi dan Pemulihan pada Pasien Menjalani Cholesistektomy
Laparoskopi. Ziya Salihoglu, MD,* Murat Yildirim, MD,* Sener

78
Demiroluk, Surg Laparosc Endosc Percutan Tech Volume 19, Nomor 4,
Agustus 2009
Fidina, D. N., Attamimi, A., & Prawitasari, S. (2016). Perbandingan Pemberian
Parasetamol Oral dan Ketorolak Intravena dalam Membantu Keberhasilan
Menyusui Pasca Seksio Sesarea. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 7(1), 41-
48.
Garcia, J. B. S., Bonilla, P., Kraychete, D. C., Flores, F. C., Valtolina, E. D. P. D.,
& Guerrero, C. (2017). Optimizing post-operative pain management in
Latin America. Revista brasileira de anestesiologia, 67, 395-403.
Gunawan, R. 2007. Perbandingan Efek Paracetamol 1g/6 jam Intravena dan
Katerolak 30mg/6jam Intravena untuk Penanganan Nyeri Paska
Pembedahan Seksio Sesaria dengan Anestesi Regional Blok Subaraknoid.
Tesis. Sumatera Selatan: Universitas Sumatera Utara.
Hadibroto, B.R. 2007. Laparoskopi Operatif. Universitas Sumatra Utara: Medan.
Hasanah, U. (2015). Mengenal Penyakit Batu Empedu. Jurnal Keluarga Sehat
Sejahtera Vol, 13, 26.
Hidayatulloh, A. I. (2020). Pengalaman dan Manajemen Nyeri Pasien Pasca
Operasi di Ruang Kemuning V RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung: Studi
Kasus. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 11(2), 187-204.
International Listings for Paracetamol. 2021. Paracetamol. Editor (reviewer):
Judith Stewart & Bpharm. Tersedia di:
https://www.drugs.com/paracetamol.html. Diakses pada: 07 Desember
2022.
Kartapraja, R. D., Fuadi, I., & Redjeki, I. S. (2016). Perbandingan Efek
Pemberian Analgesia Pre-emtif Parecoxib dengan Parasetamol terhadap
Nyeri Pascaoperasi Radikal Mastektomi Menggunakan Numeric Rating
Scale. Jurnal Anestesi Perioperatif, 4(2), 111-116.
Kurniawan, A., Armiyati, Y., & Astuti, R. (2013). Pengaruh pendidikan kesehatan
pre operasi terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi hernia di
RSUD Kudus. FIKkeS, 6(2).
La Saudi, S. A. R. L. (2022). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post
Cholesistektomy Dengan Nyeri Akut di Rumah Sakit Wilayah
Depok. Indonesian Journal of Nursing Scientific, 2(1), 10-17.
Littlefield, A., & Lenahan, C. (2019). Cholelithiasis: presentation and
management. Journal of midwifery & women's health, 64(3), 289-297.
Longo, M. A., Cavalheiro, B. T., & de Oliveira Filho, G. R. (2017). Laparoscopic
cholecystectomy under neuraxial anesthesia compared with general
anesthesia: Systematic review and meta-analyses. Journal of Clinical
Anesthesia, 41, 48-54.

79
Magidy, M., Warrén‐Stomberg, M., & Bjerså, K. (2016). Assessment of post‐
operative pain management among acutely and electively admitted
patients–a S wedish ward perspective. Journal of Evaluation in Clinical
Practice, 22(2), 283-289.
Majeed, A. W., Troy, G., Smythe, A., Reed, M. W. R., Stoddard, C. J., Peacock,
J., ... & Nicholl, J. (1996). Randomised, prospective, single-blind
comparison of laparoscopic versus small-incision cholecystectomy. The
Lancet, 347(9007), 989-994.
Musbahi, A., Abdulhannan, P., Bhatti, J., Dhar, R., Rao, M., & Gopinath, B.
(2020). Outcomes and risk factors of cholecystectomy in high risk
patients: A case series. Annals of Medicine and Surgery, 50, 35-40.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan gastrointestinal: aplikasi asuhan
keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Pickering, G., Loriot, M. A., Libert, F., Eschalier, A., Beaune, P., & Dubray, C.
(2006). Analgesic effect of acetaminophen in humans: first evidence of a
central serotonergic mechanism. Clinical Pharmacology & Therapeutics,
79(4), 371-378.
Sinardja, C.D., & Priyaka, I.G.N.K. 2016. Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi
Laparaskopi. FK UNUD: Sangalah.
Siyoto, S., & Sodik, M. A. (2015). Dasar metodologi penelitian. literasi media
publishing.
Sugiyono. (2015). Statistika Untuk Penelitian. CV Alfabeta.
Sugiyono. (2017). Metode penelitian bisnis (Pendekatan kuantitatif, kualitatif,
kombinasi, dan R&D). Bandung: PT Alfabeta
Suratun, L. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Swarjana, I. K. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan. ANDI
Tameem,A. M. M. (1993). Minilaparotomy cholecystectomy. Journal of the Royal
College of Surgeons of Edinburgh, 38(3), 154-157.
Tucker, G. T. (2012). An agenda for UK clinical pharmacology: Research
priorities in pharmacokinetics. British journal of clinical
pharmacology, 73(6), 924-926.
Ulfa, N. N., & Jatmiko, H. D. (2014). Efektivitas Parasetamol Untuk Nyeri Pasca
Operasi Dinilai Dari Visual Analog Scale. Jurnal Kedokteran
Diponegoro, 3(1), 112905.
Viotti, J. B., Chan, J. C., Rivera, C., & Tuda, C. (2020). Sporadic leptospirosis
case in Florida presenting as Weils disease. IDCases, 19.

80
Yudiyanta, N. Khoirunnisa., & Novitasari, R. W. (2015). Assessment nyeri. Jurnal
Cdk, 226(3), 214-234.
Yusmaidi, Y., Rafie, R., & Permatasari, A. (2020). Karakteristik Pasien Ikterus
Obstruktif Et Causa Batu Saluran Empedu. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 9(1), 328-333.
N.Margarita Rehata dkk (2019),Anestisiologi Dan terapi Intensif Buku Teks
KATI-PERDATIN

81

Anda mungkin juga menyukai