Anda di halaman 1dari 83

SKRIPSI

STUDI KASUS PENCEGAHAN RISIKO HIPOTERMI DENGAN PEMBERIAN


INFUS HANGAT PADA PASIEN POST SECTIO CAESAREA DENGAN
SPINAL ANESTESI DI RSD MANGUSADA

Sang Putu Indra Pratama

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI INSTITUT
TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2021
SKRIPSI
STUDI KASUS PENCEGAHAN RISIKO HIPOTERMI DENGAN PEMBERIAN
INFUS HANGAT PADA PASIEN POST SECTIO CAESAREA DENGAN
SPINAL ANESTESI DI RSD MANGUSADA

Sang Putu Indra Pratama


18D10108

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI INSTITUT
TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2021
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Studi Kasus Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan


Pemberian Infus Hangat Pada Pasien Post Sectio Caesarea Dengan Spinal
Anestesi Di RSD Mangusada” telah mendapatkan persetujuan pembimbing
untuk diajukan dalam ujian skripsi.
Denpasar, 1 Juni 2021
Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Emanuel Ileatan Lewar, S. Kep., MM Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep.
NIDN. 4019046002 NIDN. 0817089001

i
LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji dan dinilai oleh panitia penguji pada program studi D-IV
Keperawatan Anestesiologi Institut Teknologi dan Kesehatan Bali pada tanggal 3 Juni
2022
Panitia penguji skripsi berdasarkan SK Rektor
Institut Teknologi dan Kesehatan Bali
Nomor:
Ketua : Ns. Kadek Nuryanto, S.Kep.,MNS
NIDN: 0823077901
Anggota :
1. Ns. Emanuel Ileatan Lewar, S.Kep.,MM

NIDN: 4019046002
2. Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep.

NIDN: 0817089001

ii
LEMBAR PERNYATAAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul judul “Studi Kasus Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan
Pemberian Infus Hangat Pada Pasien Post Sectio Caesarea Dengan Spinal Anestesi Di
RSD Mangusada” telah disajikan didepan dewan penguji pada tanggal 3 Juni 2022 serta
telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Skripsi dan Rektor Institut Teknologi
dan Kesehatan Bali.
Denpasar,3 Juni 2022
Disahkan oleh:
Dewan Penguji Skripsi
1. Ns. Kadek Nuryanto, S.Kep.,MNS Penguji I
NIDN: 0823077901

2. Ns. Emanuel Ileatan Lewar, S.Kep.,MM Penguji II


NIDN: 4019046002

3. Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep. Penguji III


NIDN: 0817089001

Mengetahui

Rektor Ketua
Institut Teknologi dan Kesehatan Bali Program Studi D-IV Keperawatan Anestesiologi

I Gede Putu Darma Suyasa, S.Kp., M.Ng., Ph.D dr. Gde Agus Shuarsedana Putra, Sp.An
NIDN. 0823067802 NIR. 17131

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-
Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Kasus
Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan Pemberian Infus Hangat Pada Pasien Post Sectio
Caesarea Dengan Spinal Anestesi Di RSD Mangusada”.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan, pengarahan
dan bantuan dari semua pihak sehingga proposal studi kasus ini bisa diselesaikan tepat
pada waktunya. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak I Gede Putu Darma Suyasa, S.Kp.,M.Ng.,Ph.D. selaku Rektor Institut
Teknologi dan Kesehatan Bali yang telah memberikan izin dan kesempatan
kepada penulis menyelesaikan proposal studi kasus ini.
2. Ibu Ni Luh Putu Dina Susanti, S.Kep., M.Kep. selaku Wakil Rektor (Warek) I
yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan proposal studi kasus ini.
3. Bapak Ns. I Ketut Alit Adianta, S.Kep., MNS selaku Wakil Rektor (Warek) II
yang memberikan dukungan moral dan perhatian kepada penulis.
4. Bapak Ns. Kadek Nuryanto, S.Kep.,MNS selaku Dekan Fakultas Kesehatan
sekaligus penguji yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan proposal studi kasus ini.
5. Bapak dr. Gede Agus Shuarsedana, Sp.An., selaku Ketua Program Studi D-IV
Keperawatan Anestesiologi yang memberikan dukungan moral kepada penulis.
6. Bapak Ns. Emanuel Ileatan Lewar, S.Kep., MM. selaku pembimbing I yang
telah banyak memberikan bimbingan dalam menyelesaikan proposal studi kasus
ini.
7. Ibu Ns. Ni Komang Tri Agustini, S.Kep., M.Kep. selaku pembimbing II yang
telah banyak memberikan bimbingan dalam menyelesaikan proposal studi kasus
ini.
8. Seluruh keluarga yang penulis cintai atas dukungan serta dorongan moral dan

iv
materi yang diberikan untuk menyelesaikan proposal studi kasus ini
9. Teman-teman penulis yang selalu memberikan dukungan hingga selesainya
proposalnya ini
10. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan proposal ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan proposal studi kasus masih belum
sempurna, untuk itu dengan hati terbuka, penulis menerima kritik dan saran yang
sifatnya konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini.

Denpasar, 22 Desember 2021

Penulis

v
PENCEGAHAN RISIKO HIPOTERMI DENGAN PEMBERIAN INFUS
HANGAT PADA PASIEN POST SECTIO CAESAREA DENGAN SPINAL
ANESTESI DI RSD MANGUSADA

Sang Putu Indra Pratama


Fakultas Kesehatan
Program Studi D IV Keperawatan Anestesiologi
Institut Teknologi dan Kesehatan Bali
Email : pratamajr7x@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Sectio Caesarea merupakan salah satu tindakan pembedahan yang
dilakukan dalam mengeluarkan janin. Tindakan pembedahan sectio caesarea sebagian
besar dilakukan dengan teknik anestesi regional. Prosedur anestesi spinal memblokir
sistem simpatis, menyebabkan vasodilatasi, mengakibatkan terjadinya hipotermia.
Metode non farmakologis yang dapat digunakan salah satunya yaitu pemberian infus
hangat.
Tujuan: Tujuan umum dari studi kasus ini adalah untuk mengetahui respon dan
perubahan suhu pasien penggunaan infus hangat untuk mencegah hipotermi pada pasien
post operasi sectio caesarea dengan spinal anestesi.
Metode: Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan rancangan multiple
case study. Partisipan sebanyak 4 orang yaitu pasien yang menjalani operasi sectio
caesarea dengan spinal anestesi. Pengumpulan data dilakukan menggunakan panduan
wawancara dan observasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kasus tunggal dan analisis lintas situs.
Hasil: Sebelum pemberian infus hangat partisipan 4 mengalami hipotermi dengan suhu
<360C dengan gejala menggigil, keadaan umum lemah, kulit tampak pucat dan akral
tangan dingin. Setelah pemberian infus hangat, terjadi peningkatan suhu pada menit 15
sampai 30 yaitu >360C, pasien mengatakan tubuhnya sudah merasa hangat dan
menggigilnya sudah hilang.
Kesimpulan: Pemberian infus hangat dapat meningkatkan suhu keempat partisipan
dari < 360C menjadi > 360C.

Kata Kunci: Infus hangat, hipotermi, sectio caesarea, spinal anestesi

vi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................................i


LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN
SKRIPSI…………………………………………..ii
LEMBAR PERNYATAAN PENGESAHAN...................................................................iii
KATA PENGANTAR......................................................................................................iv
ABSTRAK........................................................................................................................vi
DAFTAR ISI...................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.............................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................xi
BAB I...............................................................................................................................12
PENDAHULUAN...........................................................................................................12
A. Latar Belakang.....................................................................................................12
B. Rumusan Masalah................................................................................................15
C. Tujuan Studi Kasus..............................................................................................15
1. Tujuan Umum................................................................................................15
2. Tujuan Khusus...............................................................................................15
D. Manfaat Studi Kasus............................................................................................16
1. Manfaat teoritis.............................................................................................16
2. Manfaat praktis.............................................................................................16
BAB II.............................................................................................................................18
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................18
A. Konsep Sectio Caesarea......................................................................................18
1. Pengertian......................................................................................................18
2. Etiologi..........................................................................................................18
3. Indikasi..........................................................................................................19
4. Faktor Risiko.................................................................................................20
5. Komplikasi....................................................................................................20
6. Risiko Tindakan Sectio Caesarea..................................................................21

vii
B. Konsep Spinal Anestesi.......................................................................................22
1. Pengertian......................................................................................................22
2. Indikasi Spinal Anestesi Pada Sectio Caesarea.............................................23
3. Kontraindikasi Spinal Anestesi Pada Sectio Caesarea..................................24
4. Mekanisme Kerja Spinal Anestesi................................................................25
5. Komplikasi pada Anestesi Spinal.................................................................25
C. Konsep Hipotermi................................................................................................26
1. Definisi..........................................................................................................26
2. Etiologi dan predisposisi...............................................................................27
3. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Hipotermi.............................................28
4. Sistem Regulasi Suhu Tubuh........................................................................30
5. Komplikasi....................................................................................................32
6. Penanganan Hipotermi..................................................................................33
D. Konsep Pemberian Infus Hangat Post Operasi....................................................34
BAB III............................................................................................................................37
METODOLOGI PENELITIAN......................................................................................37
A. Desain Studi Kasus..............................................................................................37
B. Tempat dan Waktu Studi Kasus..........................................................................39
C. Partsipan..............................................................................................................39
1. Kriteria insklusi............................................................................................39
2. Kriteria eksklusi...........................................................................................39
D. Pengumpulan Data...............................................................................................40
1. Metode Pengumpulan Data...........................................................................40
2. Instrumen Studi Kasus..................................................................................40
3. Prosedur Pengumpulan data........................................................................41
E. Analisa Data.........................................................................................................43
1. Analisis data kasus tunggal...........................................................................43
2. Analisis data lintas situs................................................................................43
F. Etika Studi Kasus................................................................................................44
1. Informed consent ( lembar persetujuan )....................................................44

viii
2. Anonymity (Tanpa nama).............................................................................44
3. Confidentiality (Kerahasian).......................................................................44
4. Sukarela.........................................................................................................45
BAB IV...........................................................................................................................46
HASIL PENELITIAN.....................................................................................................46
A. Kondisi Lokasi Penelitian....................................................................................46
B. Data Hasil Penelitian...........................................................................................47
1. Karateristik Partisipan...................................................................................47
2. Hasil wawancara dan observasi Partisipan pada post sectio caesarea dengan
spinal anestesi...................................................................................................49
BAB V.............................................................................................................................54
PEMBAHASAN..............................................................................................................54
A. Karakteristik Umum Partisipan...........................................................................54
B. Gambaran Suhu sebelum pemberian infus hangat...............................................55
C. Perubahan Suhu setelah pemberian infus hangat.................................................56
D. Keterbatasan Penelitian.......................................................................................58
BAB VI............................................................................................................................59
PENUTUP.......................................................................................................................59
A. Kesimpulan..........................................................................................................59
B. Saran....................................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................61
Lampiran 1 Jadwal Studi Kasus.....................................................................................66
Lampiran 2 Lembar Observasi dan Wawancara..............................................................67
Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Responden...................................................70
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Responden.....................................................71
Lampiran 5 Permohonan Izin Penelitian.........................................................................72
Lampiran 6 Izin rekomendasi penelitian Prrovinsi Bali..................................................73
Lampiran 7 Permohonan izin penelitian Kabupaten Badung..........................................74
Lampiran 8 Permohonan surat izin penelitian dan Ethical clearance di RSD
Mangusada.......................................................................................................................75

ix
Lampiran 9 Face Validity................................................................................................78
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penanganan Hipotermi………………………….………………………


22
Tabel 4.1 Karakteristik Umum partisipan………………...
……………………….35

x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Studi Kasus...................................Error: Reference source not found
Lampiran 2 Lembar Observasi dan Wawancara...........Error: Reference source not found
Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Responden Error: Reference source not found
Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Responden. .Error: Reference source not found
Lampiran 5 Permohonan Izin Penelitian.......................Error: Reference source not found
Lampiran 6 Izin rekomendasi penelitian Prrovinsi Bali.........Error: Reference source not
found
Lampiran 7 Permohonan izin penelitian Kabupaten Badung.Error: Reference source not
found
Lampiran 8 Permohonan surat izin penelitian dan Ethical clearance di RSD
Mangusada....................................................................Error: Reference source not found
Lampiran 9 Face Validity.............................................Error: Reference source not found

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio Caesarea merupakan salah satu tindakan pembedahan yang


dilakukan dalam mengeluarkan janin melewati suatu sayatan pada dinding
depan abdomen dan dinding Rahim (Amin & Hardi, 2013). Sectio
Caesarea merupakan salah satu cara untuk menyambut lahirnya seorang
bayi melalui tindakan pembedahan praktis. Prosedur pembedahan
dilakukan di daerah abdomen dan rahim ibu (Indiarti & Khotimah, 2014).
Anestesi pada umumnya dibagi menjadi 2 yaitu, anestesi general
dan anestesi regional. Cara kerja anestesi general yaitu menekan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal, sedangkan cara kerja anestesi regional yaitu
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke
kelenjar adrenal. Tindakan pembedahan sectio caesarea sebagian besar
dilakukan dengan teknik anestesi regional. Anestesi regional yang
dilakukan pada pasien obstetri adalah dengan teknik spinal anestesi
(Morgan. 2013)
Spinal anestesi merupakan salah satu prosedur anestesi dengan
cara menyuntikkan obat anestesi keruang intratekal, secara langsung ke
dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal dibawah level L1/2
dimana medulla spinalis berakhir (Keat dkk, 2013). Spinal anestesi
merupakan salah satu teknik anestesi yang biasanya dilakukan dengan
keadaan pasien yang masih sadar untuk menghilangkan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut sensori dibagian organ tertentu
(Indra dkk, 2016). Anestesi spinal diberikan ke pasien dengan kondisi
sadar, tetap terjaga, dan dapat beradaptasi dengan area sekitar pasien
sehingga pasien bisa merasakan reaksi terhadap lingkungan (Lasmaria

1
2

dkk, 2014). Prosedur anestesi spinal memblokir sistem simpatis,


menyebabkan vasodilatasi, menyebabkan perpindahan panas dari
kompartemen pusat ke perifer, mengakibatkan terjadinya hipotermia
(Oyston, 2014). Kombinasi efek anestesi dengan tindakan pembedahan
menyebabkan disfungsi thermoregulasi, yang mana akan menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh, yang mengarah ke hipotermia (Nur Akbar,
2014 ).
Hipotermia adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh bagian
dalam berada di bawah 36°C karena mekanisme pengaturan suhu tubuh
sendiri mengalami kesulitan dalam mengatasi tekanan suhu dingin
(Smith, 2013). Hipotermia yang terjadi pada spinal anestesi disebabkan
karena 3 mekanisme yaitu redistribusi panas tubuh, kehilangan panas, dan
inhibisi pusat regulasi suhu simpatis dan somatik. Semakin tinggi blok
yang dilakukan semakin besar gangguan termoregulasi yang terjadi.
Ambang suhu inti tubuh menurun 0,150C untuk setiap dermatom yang
mengalami blok (Manunggal, 2014). Menurut Marlinda dkk (2017)
menyatakan bahwa sekitar 60% pasien awal pasca operasi yang masuk ke
ruang pemulihan menderita berbagai derajat hipotermia. Penurunan suhu
tubuh di bawah normal ini memiliki efek yang sangat kompleks pada
pembedahan, salah satunya menyebabkan perubahan homeostatis dalam
tubuh sehingga menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Pencegahan kondisi menggigil antara lain yaitu dengan cara
menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan. Metode
non farmakologis yang dapat digunakan salah satunya dengan
menggunakan konduksi panas seperti memberikan cairan infus yang
dihangatkan untuk meningkatkan toleransi system regulasi tubuh terhadap
menggigil (Oyston, 2000 dalam (Nayoko, 2016)). Pemberian cairan infus
hangat dapat diberikan pada pasien pre hingga post-operasi dengan cara
yang mudah, praktis dan murah serta aman serta efektif untuk
menurunkan kejadian hipotermi pada pasien post-operasi. (Nayoko,
3

2016).
Menurut penelitian yang dilakukan Minarsih, pada 2013,
disebutkan bahwa pemberian cairan infus hangat untuk mengetahui
efektivitasnya terhadap hipotermia pasca operasi, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 60 menit setelah perawatan, 100% responden pada
kelompok perlakuan memiliki tubuh yang normal. suhu tubuh, sedangkan
pada kelompok kontrol hanya 7,7% responden yang suhu tubuhnya
menjadi normal. Kecepatan rata-rata untuk mencapai suhu tubuh normal
adalah 37,6 menit pada pasien yang menerima infus hangat dan pada
pasien yang tidak menerima infus hangat, suhu tubuh tetap hipotermia
hingga 60 menit setelah operasi. Menurut penelitian lain yang dilakukan
oleh Zaman pada tahun 2017 dengan judul penelitian “A Clinnical Trial
of the Effect of Warm Intravenous Fluids onn Core Temperature and
Shivering in Patients Undergoing Abdminal Surgery” menyatakan bahwa
infus hangat berpengaruh sangat signifikan terhadap penurunan
hipotermia pada pasien post operasi saat dirawat di bangsal PACU
dengan p-value 0,001 dan 30 menit setelah dipacu dengan p-value 0,0001.
penelitian lain yang mendukung juga dilakukan oleh Virgianti dkk pada
tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Pemberian Cairan Infus dengan
NaCL Hangat terhadap Kejadian Menggigil pada Pasien Operasi Secsio
Caesarea di Kamar Operasi Rumah Sakit Aisyah Bojonegoro”
melaporkan bahwa pemberian infus hangat pada pasien pasca operasi
caesar dengan teknik anestesi spinal dengan nilai P 0,000 efektif dalam
menurunkan kejadian shivering (hipotermi). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang diperoleh dari RSD Mangusada pada bulan Juni 2020
rata-rata pasien yang menjalani tindakan anestesi berjumlah 139 pasien,
dengan jumlah general anestesi 87 orang dan dengan spinal anestesi 52
pasien.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas,
kejadian hipotermi post operasi sectio caesarea dengan spinal anestesi
4

dapat mengakibatkan komplikasi lebih lanjut, maka dari itu penulis


tertarik untuk melakukan penelitian “Pencegahan Risiko Hipotermi
Dengan Pemberian Infus Hangat Pada Pasien Post Sectio Caesarea
Dengan Spinal Anestesi di RSD Mangusada”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas,


maka rumusan masalah dari penulisan terkait adalah “Bagaimanakah
respon pasien setelah diberikan Infus Hangat untuk mencegah risiko
hipotermi pada pasien post operasi sectio caesarea spinal anestesi di RSD
Mangusada”.

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari studi kasus ini adalah untuk mengetahui bagaimana
respon dan perubahan suhu pasien penggunaan Infus Hangat untuk
mencegah hipotermi pada pasien post operasi sectio caesarea dengan
spinal anestesi.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik umum pasien seperti (Indeks masa


tubuh, lama operasi, suhu ruangan yang digunakan, dan juga usia
pasien.)
b. Mengetahui gambaran hipotermi pasien sebelum diberikan infus
hangat pada pasien post operasi sectio caesaria dengan anastesi
spinal
5

c. Mengetahui perubahan hipotermi pasien setelah diberikan infus


hangat pada pada pasien post operasi sectio caesarea dengan spinal
anestesi.

D. Manfaat Studi Kasus

1. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil studi kasus ini bermanfaat dalam


pengembangan ilmu penggunaan infus hangat untuk mencegah hipotermi
pada pasien post operasi sectio caesarea dengan spinal anestesi.

2. Manfaat praktis

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

a. Institusi rumah sakit

Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen RS


mengenai upaya pencegahan kejadian hipotermi pada pasien post
operasi section caesarea dengan spinal anestesi dan juga untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di RSD Mangusada.

b. Penata anestesi

Untuk menambah pengetahuan dan memberi masukan


bagi penata anestesi dalam pelaksanaan monitoring pasien di
ruang pemulihan, khususnya pada pasien post operasi section
caesarea dengan bspinal anestesi.

c. Bagi peneliti selanjutnya


6

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai


bahan informasi dan referensi untuk studi kasus selanjutnya bagi
kemajuan tenaga kesehatan khususnya bagi keperawatan
anestesiologi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Sectio Caesarea

1. Pengertian

Operasi caesar adalah operasi melahirkan janin yang melibatkan


pembukaan dinding perut dan rahim. Juga, operasi caesar merupakan
alternatif untuk kelainan vagina ketika keselamatan ibu atau janin
terganggu (Maryunani (2016) dalam Siti (2019). Operasi caesar adalah
prosedur pembedahan yang dilakukan melalui sayatan di dinding
abdomen dan rahim untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Persalinan ini
digunakan ketika kondisi dari ibu menyebabkan ketidaknyamanan pada
janin atau saat janin telah mengalami ketidaknyamanan (Prawirohardjo,
2016). Tindakan sectio caesarea adalah tindakan operasi yang paling
umum untuk melahirkan bayi, tetapi masih merupakan prosedur operasi
besar, tindakan ini dilakukan dalam keadaan pasien sadar kecuali pasien
dalam kondisi gawat darutat (Hartono, 2014)

2. Etiologi

Etiologi menurut Amin & Hardi (2013) Sectio Caesarea ada dua
yaitu :

a. Etiologi dari ibu

Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi tua


disertai kelainan letak ada, disporporsi sefalo pelvic (disporsi
janin/panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang
buruk, terdapat kesempitan panggul, placenta previa terutama

7
pada

8
9

primigravida, solutsio placenta tingkat I-II, komplikasi


kehamilan yaitu preeclampsia-eklampsia, atas permintaan,
kehamilan yang disertai dengan penyakit (jantung, DM) ,
gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma
uteri,dsb).

b. Etiologi yang berasal dari janin

Fetal distress atau gawat janin, malpresentasi atau


malposisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat, dengan
pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps
ekstraksi.

3. Indikasi

Indikasi sectio caesarea terdiri dari indikasi absolut dan indikasi


relatif. Setiap situasi yang membuat persalinan melalui jalan lahir tidak
mungkin dilakukan adalah indikasi absolut. Kondisi-kondisi yang
dimalsud antara lain : panggul yang sempit dan neoplasma yang
menyebabkan tersumbatnya jalan lahir. Dengan indikasi relatif,
persalinan pervaginam dapat dilakukan, tetapi situasi dengan operasi
caesar lebih aman bagi ibu, anak, atau keduanya.(Prawirohardjo, 2016).
Manuaba (2012) menyatakan bahwa indikasi sectio caesarea
antara lain, partus lama, disproporsi sepalo pelvic, panggul sempit,
gawat janin, malpresentasi, rupture uteri mengancam, dan indikasi
lainnya. Indikasi klasik yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk
dilakukan sectio caesarea adalah prolong labour, ruptur uteri
mengancam, fetal distress, berat janin melebihi 4000 gram, p erdarahan
ante partum. Indikasi yang menyebabkam naiknya angka kejadian sectio
caesarea adalah sectio caesarea berulang, kehamilan prematur,
kehamilan resiko tinggi, kehamilan kembar, SC dengan kelainan letak.
10

Menurut Lockhart dan saputra (2014) menjelaskan beberapa indikasi


pada pasien sectio caesarea antara lain:
a. Postmaturitas (kehamilan lebih dari 42 minggu) yang dapat
menyebabkan insufisiensi plasenta atau gangguan janin.
b. Ketuban pecah dini yang dapat meningkatkan risiko infeksi
intrauteri
c. Hipertensi gestasional yang dapat bertambah parah
d. Isoimunisasi Rh yang dapat menyebabkan eritroblastosis fetalis
e. Diabetes maternal yang dapat menimbulkan kematian janin
akibat insufiensi plasenta
f. Koriomnionitis
g. Kematian janin

4. Faktor Risiko

Beberapa peneliti sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa


faktor risiko persalinan dengan sectio caesarea. Marlina (2016),
menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara usia ibu, Ketuban
Pecah Dini (KPD), paritas, berat janin dan letak pasenta dengan kejadian
persalinan dengan sectio caesarea. Sementara itu, Wulandari (2013) juga
menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara Cephalo Pelvik
Disproportion (CPD), Preeklampsia Berat (PEB), Ketuban Pecah Dini
(KPD), bayi besar (makrosomia), kelainan letak, gemeli dan hambatan
jalan lahir dengan kejadian persalinan dengan sectio caesarea.

5. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang paling banyak terjadi dalam SC


adalah akibat tindakan anastesi, jumlah darah yang diekeluarkan oleh
ibu selama operasi berlangsung, komplikasi penyulit, Endometriosis
(radang endometrium), Tromboplebitis (gangguan pembekuan darah
11

pembuluh balik), Embolisme (penyumbatan pembuluh darah paru), dan


perubahan bentuk serta letak rahim menjadi tidak sempurna. Komplikasi
serius pada tindakan SC adalah perdarahan karena atonia uteri,
pelebaran insisi uterus, kesulitan mengeluarkan plasenta, hematoma
ligamentum latum (Broad Ligamen), infeksi pada saluran genetalia, pada
daerah insisi, dan pada saluran perkemihan (Prawirohardjo, 2012).
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi setelah tindakan
sectio caesara yaitu penurunan suhu (hipotermi) yang tidak diinginkan
mungkin dialami pasien akibat suhu yang rendah di ruang operasi, infus
dengan cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, kavitas atau
luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia yang lanjut,
atau agent obatobatan yang digunakan seperti vasodilator/fenotiasin
yang selanjutnya bisa menyebabkan shivering (Minarsih 2013).

6. Risiko Tindakan Sectio Caesarea

Menurut Simkin yang dikutip dari Razauna (2013) dibawah ini


terdapat beberapa risiko bedah caesarea adalah :
a. Masalah yang muncul akibat bius yang digunakan dalam
pembedahan dan obat-obatan penghilang nyeri sesudah bedah
caesarea.
b. Peningkatan insidensi infeksi dan kebutuhan akan antibiotika.
c. Perdarahan yang lebih berat dan peningkatan risiko perdarahan
yang dapat menimbulkan anemia atau memerlukan tranfusi darah.
d. Rawat inap yang lebih lama, yang meningkatkan biaya persalinan.
e. Nyeri pasca bedah yang berlangsung berminggu-minggu atau
berbulanbulan dan membuat anda sulit merawat diri sendiri,
merawat bayi dan kakakkakaknya.
f. Risiko timbulnya masalah dari jaringan parut atau perlekatan di
dalam perut.
12

g. Kemungkinan cederanya organ-organ lain (usus besar atau


kandung kemih) dan risiko pembentukan bekuan darah dan kaki
dan daerah panggul.
h. Peningkatan risiko masalah pernafasan dan temperatur untuk bayi
baru lahir.
i. Tingkat kemandulan yang lebih tinggi dibanding pada wanita
dengan melahirkan lewat vagina.
j. Peningkatan risiko plasenta pervia atau plasenta yang tertahan
pada hamil yang berikutnya.
k. Peningkatan kemungkinan harus dilakukannya bedah caesarea
pada kehamilan berikutnya

B. Konsep Spinal Anestesi

1. Pengertian

Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara


sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali
(reversible). Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan
anestesi, menentukan prognosis dan pesiapan pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
induksi dan pemeliharaan. Adapun trias anestesi adalah (Mangku et al.,
2017) . Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya
kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local
menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Menurut Morgan
dkk (2013), mengatakan bahwa anestesi pada umumnya dibagi menjadi
2 yaitu, anestesi general dan anestesi regional. Cara kerja anestesi
13

general yaitu menekan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, sedangkan


cara kerja anestesi regional yaitu menekan transmisi impuls nyeri dan
menekan saraf otonom eferen ke kelenjar adrenal. Tindakan
pembedahan sectio caesarea sebagian besar dilakukan dengan teknik
anestesi regional. Anestesi regional yang dilakukan pada pasien obstetri
adalah dengan teknik spinal anestesi.
Spinal anestesi adalah menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra lumbalis L2-L3 atau
L3-L4 atau L4-L5 (Majid, 2011). Spinal anestesi atau ubarachniod Blok
(SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan
cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid
untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan relaksasi
otot rangka.Derajat anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah
lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang luas,
obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara
lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat
jenis obat (Gwinnutt, 2011). Didalam cairan serebrospinal, hidrolisis
anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal
meninggalkan ruang subarachnoid melalui aliran darah vena sedangkan
sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung
dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal (Majid, 2011).

2. Indikasi Spinal Anestesi Pada Sectio Caesarea

Menurut Pramono (2015) indikasi dilakukannya spinal anestesi


yaitu untuk operasi bedah abdomen bagian bawah, bedah ekstremitas
bawah, bedah obstetriginekologi, bedah anorektal dan perianal, bedah
pada abdomen atas dan bedah pediatric biasanya dikombinasi dengan
anestesi umum ringan. Menurut Majid (2011), indikasi spinal anestesi
dapat digolongkan antara lain bedah tungkai bawah, panggul dan
14

perineum, tindakan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, rektum ,


bedah fraktur tulang panggul, bedah obstetrik – ginekologi, bedah
pediatrik dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
Menurut Oyston, J (2016) dalam (Dewi, 2019) anastesi spinal biasanya
dilakukan untuk pembedahan daerah yang diinervasi oleh cabang Th.4
(papilla mammae kebawah)
a. Vaginal delivery
b. Ekstremitas inferior
c. Seksio Caesarea
d. Operasi perineum
e. Operasi urologi

3. Kontraindikasi Spinal Anestesi Pada Sectio Caesarea

Menurut (Latief, Suryadi, & Dachlan, 2012) kontra indikasi


dibagi menjadi dua yaitu indikasi kontra relatif dan indikasi kontra
absolut. Indikasi kontra absolut spinal anestesi adalah pasien menolak,
infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia berat, syok, koagulopati atau
mendapat terapi antikoagulan, tekanan intrakranial meninggi (TIK),
fasilitas resusitasi minimum, kurang pengalaman/tanpa didampingi
konsultan anestesi. Indikasi kontra relatif adalah infeksi sistemik (sepsis,
bakteremi), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan, dan
nyeri punggung kronis. Menurut Morgan GE (2010) dalam (Dewi, 2019)
kontraindikasi anastesi spinal pada section Caesarea adalah sebagai
berikut :
a. Infeksi tempat penyuntikan
b. Gangguan fungsi hepar
c. Gangguan koagulasi
d. Tekanan intracranial meninggi
15

e. Alergi obat lokal anastesi


f. Hipertensi tak terkontrol
g. Pasien menolak
h. Syok hipovolemi
i. Sepsis

4. Mekanisme Kerja Spinal Anestesi

Mekanisme kerja anestetik adalah dengan bekerja pada reseptor


spesifik di saluran natrium (sodium channel), kemudian mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga terjadi depolarisasi pada membran sel saraf dan berakibat tidak
terjadi konduksi saraf. Keadaan ini menyebabkan aliran impuls yang
melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam rangsang atau
sensasi tidak sampai ke susunan saraf pusat. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya parastesi sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok. Contoh anestetik
lokal yang bisa digunakan adalah kokain, prokain, kloroprokain,
lidokain, dan bupivakain (Pramono, 2015).

5. Komplikasi pada Anestesi Spinal

Menurut Adiyanto (2017), komplikasi yang sering timbul dan


penanganannya pada anestesi spinal yaitu: hipotensi, bradikardi,
kesulitan jalan nafas, dan blok spinal tinggi. Komplikasi yang bisa
muncul terhadap penggunaan anestesi spinal adalah hipotensi,
bradikardi, menggigil (shivering), mual-muntah, retensi urine,
meningitis, dan penurunan tekanan intrakranial (Nur Akbar, dkk
2014).Komplikas anastesi spinal pada seksio sesarea menurut Morgan
GE, (2010) dalam (Rosela, 2018) yaitu menggigil, post dural puncture
headache, mual muntah, depresi napas.
16

C. Konsep Hipotermi

1. Definisi

Hipotermia adalah suatu kondisi dimana mekanisme tubuhuntuk


pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin.Hipotermia
juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh dibawah
36°C. Tubuh manusia mampu mengatur suhupada zonatermonetral,
yaitu antara 36,5̊C-37,5°C. Di luar suhu tersebut, respontubuh untuk
mengatur suhu akan aktif menyeimbangkan produksi panasdan
kehilangan panas dalam tubuh (Kliegman dalam rositasari dkk,2017).
Hipotermi juga terjadikarena kombinasi daritindakan anestesi dan
tindakan operasiyang dapatmenyebabkan gangguan fungsi dari
pengaturan suhu tubuh yang akanmenyebabkan penurunan suhu inti
tubuh (care temperature) (Yulianto &Budiono, 2011).
Menurut Setiati (2014), hipotermia disebabkan oleh lepasnya
panas karena konduksi, konveksi, radiasi, atau evaporasi. Local cold
injury dan frostbite timbul karena hipotermia menyebabkan penurunan
viskositas darah dan kerusakan intraselular (intracellular
injury).Hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 35oC dan dapat
dikategorikan sebagai berikut :
a. Hipotermia ringan : 32 –350C
b. Hipotermia sedang : 28 –320C
c. Hipotermia berat: di bawah 280C
Hipotermi post operasi adalah suhu inti lebih rendah dari suhu
tubuh normal yaitu 36ºC setelah pasien dilakukan operasi. Dalam
keadaan normal, tubuh manusia mampu mengatur suhu di lingkungan
yang panas dan dingin melalui refleks pelindung suhu yang diatur oleh
hipotalamus.Hipotermia post operasi sangatlah merugikan bagi pasien.
17

Hipotermia post operasi dapat menyebabkan disritmia jantung,


memperpanjang penyembuhan luka operasi, menggigil, syok, dan
penurunan tingkat kenyamanan pasien (Marta, 2013).

2. Etiologi dan predisposisi

Menurut Tanto (2014) berdasarkan etiologinya, hipotermia dapat


dibagi menjadi:
a. Hipotermia primer, apabila produksi panas dalam tubuh tidak
dapat mengimbangi adanya stress dingin, terutama bila cadangan
energy dalam tubuh sedang berkurang. Kelainan panas dapat
terjadi melalui mekanisme radiasi (55-65%), konduksi (10-15%),
konveksi, respirasi dan evaporasi. Pemahaman ini membedakan
istilah hipotermia dengan frost bite (cedera jaringan akibat kontak
fisik dengan benda/zat dingin, biasanya<00C)
b. Hipotermia sekunder, adanya penyakit atau pengobatan tertentu
yang menyebabkan penurunan suhu tubuh.
Berbagai kondisi yang dapat mengakibatkan hipotermi menurut
Hardisman (2014), yaitu :
a. Penyakit endokrin (hipoglikemi, hipotiroid, penyakit Addison,
diabetes mellitus, dan lain-lain)
b. Penyakit kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif,
insufisiensi vascular, dan lain-lain
c. Penyakit neurologis (cedera kepala, tumor, cedera tulang belakang,
penyakit Alzheimer, dan lain-lain)4)Obat-obatan (alcohol,
sedative, klonidin, neuroleptic

3. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Hipotermi

Adapun factor-faktor yang mempengaruhi hipotermi di kamar


operasi adalah sebagai berikut :
18

a. Usia

Harahap (2014), menyebutkan pasien lanjut usia (lansia)


termasuk ke dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan
risiko tinggi untuk terjadi hipotermi pada periode perioperatif.
General anestesi yang dilakukan pada pasien usia lansia dapat
menyebabkan pergeseran pada ambang batas termoregulasi
dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien
yang berusia muda. Golongan usia lansia merupakan faktor
risiko urutan 6 (enam) besar sebagai penyebab hipotermi
perioperatif. Selain lansia Buggy DJ (2016) menyebutkan pasien
pediatrik, balita, dan anak bukanlah pasien dewasa yang
berukuran besar. Mereka memiliki risiko yang tinggi juga untuk
terjadi komplikasi pasca operasi. Seseorang pada usia lansia
telah terjadi kegagalan memelihara suhu tubuh, baik dengan atau
tanpa anestesi, kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan
vasokonstriksi termoregulasi yang terkait dengan usia.

b. Cairan yang dingin

Faktor cairan yang diberikan merupakan salah satu hal


yang berhubungan dengan terjadinya hipotermi. Pemberian
cairan infus dan irigasi yang dingin (sesuai suhu ruangan)
diyakini dapat menambah penurunan temperatur tubuh
(Minarsih,Rini 2013). Cairan intravena yang dingin tersebut akan
masuk ke dalam sirkulasi darah dan mempengaruhi suhu inti
tubuh (core temperature) sehingga semakin banyak cairan dingin
yang masuk pasien akan mengalami hipotermi (Buggy DJ,
2016).
19

c. Indeks Masa tubuh

Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu


diantaranya dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan
dan berat badan yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh
yang merupakan faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme
dan berdampak pada sistem termogulasi (Buggy DJ, 2016). Pada
orang yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih banyak akan
cenderung menggunakan cadangan lemak sebagai sumber energi
dari dalam, artinya jarang membakar kalori dan menaikkan heart
rate (Winarni, 2020).
Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah
kehilangan panas dan merupakan faktor risiko terjadinya
hipotermi, hal ini dipengaruhi oleh persediaan sumber energi
penghasil panas yaitu lemak yang tipis, simpanan lemak dalam
tubuhsangat bermanfaat sebagai cadangan energi. Pada indeks
massa tubuh yang tinggi memiliki sistem proteksi panas yang
cukup dengan sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang
tebal sehingga IMT yang tinggi lebih baik dalam
mempertahankan suhu tubuhnya dibanding dengan IMT yang
rendah karena mempunyai cadangan energi yang lebih banyak
(Listiyanawati, Mutiara Dewi, 2018).

d. Lama operasi

Lama tindakan pembedahan dan anestesi berpotensi


memiliki pengaruh besar khususnya obat anestesi dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dalam darah dan jaringan
(khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang lebih lama,
sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai keseimbangan
20

dengan jaringan tersebut (Buggy DJ, 2016). Induksi anestesi


mengakibatkan vasodilatasi yang menyebabkan proses
kehilangan panas tubuh terjadi secara terus menerus. Panas
padahal diproduksi secara terus menerus oleh tubuh sebagai hasil
dari metabolisme. Proses produksi serta pengeluaran panas diatur
oleh tubuh guna mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang
36-37,5oC (Harahap, 2014).

e. Jenis operasi

Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal


pada operasi rongga toraks, atau abdomen, akan sangat
berpengaruh pada angka kejadian hipotermi. Operasi abdomen
dikenal sebagai penyebab hipotermi karena berhubungan dengan
operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas dan sering
membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum.
Keadaan ini mengakibatkan kehilangan panas yang terjadi ketika
permukaan tubuh pasien yang basah serta lembab, seperti perut
yang terbuka dan juga luasnya paparan permukaan kulit (Buggy
DJ, 2016). Menurut Roy, dkk (dalam Virgianti,2014) bahwa
tindakan anestesi Spinal terjadi blok pada sistem simpatis
sehingga terjadi vasodilatasi yang mengakibatkan perpindahan
panas dari kompartemen sentral ke perifer, hal ini menyebabkan
hipotermi.

4. Sistem Regulasi Suhu Tubuh

Mekanisme fisiologis dan perilaku mengatur keseimbangan antar


panas yang hilang dan dihasilkan lebih sering disebut termoregulasi,
mekanisme tubuh ini harus mempertahankan hubungan antara produksi
panas dan kehilangan panas agar suhu tubuh tetap konstan dan normal.
21

Hubungan ini diatur oleh mekanisme neurologis dan kardiovaskuler.


Suhu tubuh diatur oleh Hipotalamus yang terletak diantara dua hemisfer
otak. Fungsi hipotalamus adalah seperti thermostat, suhu yang nyaman
merupakan set point untuk operasi sistem panas. Penurunan suhu
lingkungan akan mengaktifkan pemanas, sedangkan peningkatan suhu
tubuh akan mematikan sistem pemanas tersebut (Guyton dalam
Widiyanto, 2014).
Hipotalamus mendeteksi perubahan kecil pada suhu tubuh.
Hipotalamus anterior mengatur kehilangan panas, sedangkan
hipotalamus posterior mengatur produksi panas. Jika sel saraf
dihipotalamus anterior menjadi panas diluar batas titik pengaturan (set
point), maka impuls akan dikirimkan untuk menurunkan suhu tubuh.
Mekanisme kehilangan panas adalah vasodilatasi, keringat dan
hambatan produksi panas. Jika hipotalamus mendetaksi adanya
penurunan suhu tubuh dibawah titik pengaturan, tubuh akan memulai
mekanisme konversi panas yaitu dengan cara vasokontriksi untuk
mengurangi aliran darah ke kulit dan ekstrimitas. Produksi panas
distimulasi melalui kontraksi otot volunter dan otot yang menggigil. Bila
vasokontriksi tidak efektif maka akan timbul gerakan menggigil.
(Guyton dalam Widiyanto, 2014).
Disamping melalui pengaturan di hipotalamus, proses
pemindahan energi panas, baik masuk kedalam tubuh maupun hilang
melalui kulit dan dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu: konduksi,
konveksi, radiasi dan evaporasi. Konduksi adalah pemaparan panas dari
suatu obyek yang suhunya lebih tinggi ke obyek lain dengan jalan
kontak langsung. Panas yang dibuang dengan cara konduksi ini yaitu
dari permukaan tubuh ke obyek lain. Konveksi adalah pergerakan udara
dalam jumlah kecil, konveksi hampir selalu terjadi disekitar tubuh
dikarenakan oleh kecenderungan udara yang dekat dengan kulit bergerak
ke atas waktu udara tersebut dipanasi. Radiasi adalah pemindahan panas
22

melalui radiasi elektromagnetik inframerah dari suatu benda yang lain


dengan suhu yang berbedatanpa mengalami kontak ke dua benda
tersebut (Guyton dalam Widiyanto (2014).

5. Komplikasi

Respon pertama tubuh untuk menjaga suhu agar tetap normal


(37oC) adalah dengan gerakan aktif maupun involunter seperti
menggigil. Pada awalnya kesadaran, pernapasan, dan sirkulasi juga
masih normal. Namun, seluruh system organ akan mengalami penurunan
fungsi sesuai dengan kategori hipotermia. Komplikasi berat seperti
fibrilasi atrium akan terjadi apabila suhu inti tubuh kurang dari 32 oC.
namun bila belum ada tanda instabilitas jantung, kondisi ini belum
memerlukan penanganan khusus. Risiko henti jantung kemudian akan
meningkat apabila suhu kurang dari 280C (konsumsi O2 dan frekuensi
nadi telah menurun 50%) (Tanto, 2014).
Hipotermia memberikan berbagai akibat pada seluruh sistem
dalam tubuh seperti diantaranya peningkatan kebutuhan akan oksigen,
meningkatnya produksi asam laktat, kondisi apneu, terjadinya
penurunan kemampuan pembekuan darah dan kondisi yang paling sering
adalah hipoglikemia. Selain itu, hipotermia juga akan menambah
kebutuhan oksigen, produksi karbondioksida, peningkatan kadar
ketokolamin dalam plasma yang menyebabkan peningkatan laju nadi,
tekanan darah dan curah jantung, sehingga dapat menyebabkan kematian
(Harahap, 2014).
23

6. Penanganan Hipotermi

Tabel 2.1 Penangan hipotermi perioperatif

Fase Pencegahan Selimut kain yang tebal


Praoperatif
Selimut penghangat sistem
konveksi udara (convective
warmer)
Intra operatif Suhu kamar operasi yang
nyaman bagi pasien yaitu
pada suhu 720F(220C)
Cairan intravena yang
dihangatkan
Selimut penghangat sistem
konveksi udara (blanket
warmer)
Pemberian obat Pemberian
dosis kecil obat narkotik
pada akhir operasi untuk
nyeri operasi dan
pencegahan menggigil
Penggunaan larutan irigasi
yang dihangatkan pada luka
pembedahan atau prosedur
sistokopi urologi
Humidifikasi dan
penghangtan dari campuran
obat-obat anestesiinhalasi
24

Paska operatif Ruang pemulihan yang


hangat dengan suhu ruangan
(240C)
Selimut penghangat sistem
konveksi udara
(BlanketWarmer)
Penggunaan penghangat
darah untuk pemberian darah
dan larutan kristaloid/koloid
hangat atau fraksi darah
(Blood/infusion warmer)

(Muttaqin dan sari dalam Widiyanto, 2014)

D. Konsep Pemberian Infus Hangat Post Operasi

Menurut Guyton dalam Nayoko, (2016), menggigil atau keadaan


hipotermi mengakibatkan konsumsi oksigen meningkatkan dan juga
produksi karbondioksida, strategi khusus untuk pengendalian temperatur
tubuh secara non farmakologis antara lain adalah mempertahankan
temperatur ruang operasi yang sesuai dengan usia dewasa yaitu 24 0C –
260C, pemberian selimut hangat, pemberian cairan intravena atau cairan
infus yang dihangatkan dengan mengatur cairan intravena sejak 10
menit pasca bedah dapat dimulai pada suhu 37°C melalui alat
penghangat cairan atau fluid warmer.
Elemen penghangat intravena atau terapi cairan hangat adalah
elemen penghangat yang diberikan secara intravena melalui cairan infus,
dimana tindakan ini dilakukan untuk mengurangi pengeluaran panas dan
menghindari pendinginan iatrogenik dalam tubuh dengan cara
menghangatkan cairan intravena sampai suhu 37 0C (Nayoko,2018).
25

Indikasi dalam pemberian terapi cairan hangat salah satunya adalah pada
pasien dengan hipotermi pasca operasi sebagai akibat dari anastesi dan
pembedahan(Setianti,2016).
Metode penghangatan cairan infus bervariasi, dapat berupa
warming cabinet atau in-line fluid warmers (perangkat penghangat
cairan) (Campbell, et al., 2015). Perangkat penghangat cairan infus
menggunakan tenaga listrik atau baterai, dan menghantarkan panas ke
cairan melalui kanula saat cairan melewati alat penghangat. Output
panas dapat disesuaikan untuk suhu cairan yang dibutuhkan dan terdapat
informasi suhu yang akurat pada perangkat. Jarak perangkat penghangat
dengan lokasi insersi yang paling efektif menurut Euasobhon, et al.,
(2016) adalah 15 cm dengan level kecepatan tetes medium. Suhu infus
hangat yang diberikan tidak boleh melebihi 40oC hingga 42oC untuk
menghindari terjadinya denaturasi protein plasma (Thongsukh, et al.,
2018).
Menurut Umah dan Wulandari (2013) menjelaskan bahwa cairan
yang dihangatkan, dengan mekanisme konveksi kalor pindah ke darah
dan diterima hipotalamus dipersepsikan sebagai keadaan normitermia
sehingga tubuh akan menghentikan panas dengan cara menghentikan
proses menggigil. Cairan hangat intravena dapat membantu
meminimalkan kehilangan panas dan bisa menjadi keuntungan
tambahan sebagai penggantian cairan. Selain itu, terapi cairan juga dapat
mengurangi komplikasi hemodinamik pasca operasi. Mencegah
hilangnya suhu inti tubuh dan juga mengurangi menggigil setelah
anestesi umum pada ibu yang menjalani sectio caesaria juga dilaporkan
sebagai efek positif dari penggunaan cairan intravena hangat (Cobb et
al., 2016).
Penelitian terkait yang dilakukan oleh Virgianti dkk pada tahun
2014 dengan judul “Pengaruh Pemberian Cairan Infus dengan NaCL
Hangat terhadap Kejadian Menggigil pada Pasien Operasi Secsio
26

Caesarea di Kamar Operasi Rumah Sakit Aisyah Bojonegoro”


menyebutkan bahwa pemberian infus hangat pada pasien pasca operasi
caesar dengan teknik anestesi spinal dengan nilai P 0,000 efektif dalam
menurunkan kejadian shivering (hipotermi).
Menurut penelitian yang dilakukan Minarsih, pada 2013,
disebutkan bahwa pemberian cairan infus hangat untuk mengetahui
efektivitasnya terhadap hipotermia pasca operasi, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 60 menit setelah perawatan, 100% responden pada
kelompok perlakuan memiliki tubuh yang normal. suhu tubuh,
sedangkan pada kelompok kontrol hanya 7,7% responden yang suhu
tubuhnya menjadi normal.
27

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Studi Kasus

Desain studi kasus ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan


rancangan multiple case study. Menurut Sugiyono (2016) menyatakan
bahwa metode deskriptif kualitatif adalah metode studi kasus yang
berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada
kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci teknik pengumpulan
data dilakukan secara trigulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil studi kasus kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi. studi kasus deskriptif kualitatif bertujuan
untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan dan
menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan
mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok
atau suatu kejadian.

Multiple case study merupakan studi kasus yang dilakukan


dengan mereplika kasus. Pada studi kasus ini peneliti dapat meneliti
beberapa kasus untuk mengetahui persamaan atau perbedaan diantara
kasus. Secara umum dengan lebih banyak kasus akan meningkatkan
taraf kepercayaan (Prihatsanti et al., 2018).
Pada studi kasus ini, peneliti ingin menggambarkan atau
mendeskripsikan gambaran pemberian infus hangat untuk mencegah
risiko hipotermi pada pasien post operasi sectio caesarea dengan spinal
anestesi.
28

B. Tempat dan Waktu Studi Kasus

Studi kasus ini dilakukan di RSD Mangusada yang terletak di


Mangupura, Mengwi, Badung, Bali. Waktu pelaksanaan studi kasus
dilaksanakan pada Februari hingga Mei 2022.

C. Partsipan

Dalam studi kasus ini menggunakan purposive sampling, yaitu


teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu(Sugiyono,2017). Partisipan pada studi kasus ini adalah 4
pasien post sectio caesarea yang menggunakan spinal anestesi dengan
kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

1. Kriteria insklusi

a. Pasien ddilakukan tindakan sectio caesarea dengan spinal


anestesi
b. Pasien dengan ASA 2
c. Lokasi penyuntikan blok yang sama

2. Kriteria eksklusi

a. Pasien post sectio caesarea yang tidak kooperatif dan


berisiko tinggi (Pre eklamsi, Diabetes gestasional dan
risiko tinggi lainnya)
b. Pasien yang gagal spinal anestesi dan dilanjutkan dengan
general anestesi
29

D. Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat


digunakan untuk mengumpulkan data studi kasus. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa wawancara (interview) adalah
suatu kejadian atau suatu proses interaksi antara pewawancara
(interviewer) dan sumber informasi atau orang yang di
wawancarai (interviewee) melalui komunikasi langsung (Yusuf,
2014). Dalam studi kasus ini, peneliti nanti akan menanyakan
perasaan dan kondisi pasien sebelum maupun sesudah diberikan
infus hangat di ruang recovery.

b. Observasi

Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara


langsung perilaku individu dan interaksi peneliti dalam
lingkungan obyek studi kasus (Diniari, 2018). Dalam hal ini
observasi dilakukan dengan mengamati secara langsung tentang
keadaan atau respon pasien secara langsung dengan panduan
lembar observasi.

2. Instrumen Studi Kasus

Dalam studi kasus kualitatif, yang menjadi instrumen studi kasus


adalah peneliti itu sendiri. Jadi peneliti adalah instrumen kunci dalam
studi kasus kualitatif. Instrumen penunjang lainnya adalah termometer
digital dan lembar wawancara, observsi pasien (terlampir).
a. Instrumen pokok dalam studi kasus ini adalah peneliti sendiri.
30

Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi


menetapkan fokus studi kasus, memilih informan, melakukan
pengumpulan data, analisa data, menafsirkan dan membuat
kesimpulan temuannya (Sugiyono, 2017).
b. Instrumen penunjang adalah dalam studi kasus ini pedoman
wawancara dan pedoman observasi. (Moleong ,2013).
Instrumen penunjang , disusun dengan tahap-tahap berikut ini :
1) Mengadakan identifikasi terhadap variabel-variabel yang ada
di dalam rumusan judul studi kasus atau yang tertera di
dalamproblematika studi kasus.
2) Menjabarkan variabel menjadi sub atau bagian variabel.
3) Mencari indikator setiap sub atau bagian variabel.
4) Menderetkan deskriptor menjadi butir-butir instrumen.
5) Melengkapi instrumen dengan pedoman atau instruksi dan
kata pengantar

3. Prosedur Pengumpulan data

a. Tahap Persiapan

1) Pengajuan surat izin studi kasus ke Rektor Institut Teknologi


dan Kesehatan (ITEKES) Bali
2) Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali
3) Kepala Badan Kesbangpol Badung dan Kepala Dinas Kesehatan
Badung
4) Pengajuan surat rekomendasi izin studi kasus ke RSD
Mangusada
5) Mempersiapkan alat-alat dalam studi kasus
31

b. Tahap Pelaksanaan

1) Tentukan jumlah partisipan


2) Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin studi
kasus dari Direktur RSD Mangusada
3) Kemudian peneliti melakukan kontrak waktu dengan petugas di
RSD Mangusada
4) Peneliti menggunakan protocol kesehatan yaitu Alat Pelindung
Diri (APD) level 2 diantaranya penutup kepala, face shield, masker
KN95, handscone, apron/gown, dan alas kaki.
5) Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data dengan
melakukan wawancara yang sesuai dengan kriteria inklusi
6) Pengambilan partisipan dilakukan di ruang pra anestesi,
selanjutnya peneliti akan menjelaskan tentang prosedur dan tujuan
dari penelitian ini kepada partisipam dan memberikan surat
persetujuan sebagai partisipan.
7) Partisipan yang dibutuhkan sebanyak 4 orang.
8) Setelah dipindahkan ke ruang pemulihan, partisipan akan
diberikan Infus hangat dengan rentang suhu 36-37 0C dengan cairan
RL tetesan infus 20 tpm
9) Partisipan akan di observasi selama 5, 15 sampai 30 menit
10) Mengucapkan terimakasih kepada partisipan, petugas dan
pihak terkait atas kelancaran pengumpulan data
11) Data sudah dinyatakan lengkap, kemudian menganalisis data
dengan membandingkan pada teori yang ada dan dituangkan dalam
opini pembahasan
c. Tahap Terminasi
1) Evaluasi keadaan umum pasien
2) Akhiri tindakan dengan baik dan sopan
3) Cuci tangan
32

4) Dokumentasi

E. Analisa Data

Pada studi kasus ini menggunakan case analysis yaitu studi


kasus dengan membahas satu kasus dan Cross-case analysis yaitu
analisis data lintas kasus digunakan untuk membandingkan dan
memadukan temuan yang diperoleh dari masing-masing kasus studi
kasus. Analisis lintas kasus adalah metode yang memfasilitasi
perbandingan kesamaan dan perbedaan dalam peristiwa, aktivitas, dan
proses pada unit analisis dalam studi kasus (Cruzes et al., 2015)

1. Analisis data kasus tunggal

Selama analisis, analisis data kasus individu dilakukan


pada setiap objek, dan peneliti menafsirkan data dalam bentuk
kata untuk mempertahankan maknanya. Oleh karena itu, analisis
dilakukan setelah data terkumpul, bersamaan dengan proses
pengumpulan data.

2. Analisis data lintas situs

Analisis data lintas situs dimaksudkan sebagai proses


membandingkan hasil setiap kasus dan proses integrasi antar
kasus. Secara umum, proses analisis data lintas situs mencakup
kegiatan berikut:
a. Merumuskan proporsi berdasarkan temuan kasus pertama
dan kemudian dilanjutkan pada kasus lainya.
b. Membandingkan dan memadukan temuan teoritik
sementara dari kelima kasus studi kasus.
c. Merumuskan simpulan teoritik berdasarkan analisis lintas
situs sebagai temuan akhir dari kelima kasus studi kasus.
33

F. Etika Studi Kasus

Peneliti akan mengajukan izin yang ditandatangani oleh ketua


ITEKES Bali (surat permohonan izin studi kasus) kepada Direktur RSD
Mangusada. Menurut Hidayat (2014), etika studi kasus diperlukan untuk
menghindari terjadinya tindakan yang tidak etis dalam melakukan studi
kasus, maka dilakukan prinsip-prinsip sebagai berikut (Hidayat, 2014) :

1. Informed consent ( lembar persetujuan )

Lembar persetujuan berisi penjelasan mengenai studi


kasus yang dilakukan, tujuan studi kasus, tata cara studi kasus,
manfaat yang diperoleh responden, dan resiko yang mungkin
terjadi. Pernyataan dalam lembar persetujuan jelas dan mudah
dipahami sehingga responden tahu bagaimana studi kasus ini
dijalankan. Untuk responden yang bersedia maka mengisi dan
menandatangani lembar persetujuan secara sukarela.

2. Anonymity (Tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak mencantumkan


nama responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode atau
inisial.

3. Confidentiality (Kerahasian)

Masalah ini merupakan maslah etika dengan memberikan


jaminan kerahasian hasil studi kasus, baik informasi yang telah
di kumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil studi
kasus.
34

4. Sukarela

Peneliti bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan


atau tekanan secara langsung maupun tidak langsung dari
peneliti kepada calon responden atau sampel yang akan diteliti.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan hasil studi kasus mengenai Pencegehan Risiko
Hipotermi Dengan Pemberian Infus Hangat Pada Pasien Post Sectio Caesarea
Dengan Spinal Anestesi Di Rsd Mangusada. Penelitian ini telah dilaksanakan
dari 25 Maret 2022 hingga 25 April 2022.

A. Kondisi Lokasi Penelitian

Berdirinya RSD Mangusada berawal dari klinik yang bernama Klinik


Dharma Asih yang dikelola oleh Yayasan Hindu Rsi Markandeya pada
September 1998, kemudian diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung lalu berubah nama menjadi Klinik Bersalin Çura Dharma Asih. Seiring
dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan ditetapkannya Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung,
maka pada 22 Agustus 2002 dibuka sebagai Rumah Sakit Umum Daerah
Badung dan mulai menerima pasien dengan dengan jenis pelayanan Unit Gawat
Darurat dan beberapa poliklinik dasar seperti Bedah, Penyakit Dalam,
Kebidanan dan Kandungan, Anak serta Gigi dan Mulut. Pada 4 September 2002,
RSUD Badung dibuka secara resmi oleh Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi, S.H
selaku Bupati Badung. Jenis pelayanan yang ada pada saat itu yaitu UGD, Rawat
Jalan dan Rawat Inap dengan kapasitas 25 tempat tidur serta penambahan
beberapa poliklinik antara lain poliklinik Jiwa dan poliklinik Kulit Kelamin.
Pada 31 Desember 2010, RSUD Badung ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum
kelas C, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.03.05/I/7980/2010 tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Badung. RSUD Badung pada tanggal 1 Januari 2011 resmi
beroperasi sebagai Badan Layanan Umum Daerah dengan status penuh,

35
36

berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 62 Tahun 2010. Pada tanggal 21


Juni 2013 keluar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.03.I/1127/2013
tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Badung
provinsi Bali sebagai Rumah Sakit Umum Kelas B. RSUD Badung resmi
berganti namanya menjadi RSUD Kabupaten Badung Mangusada pada tanggal 9
Juli 2015 dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Badung Nomor 39 Tahun
2015 tentang Penamaan RSUD Kabupaten Badung Mangusada, kemudian pada
tanggal 3 November 2018 dilakukan perubahan nama RSUD Kabupaten Badung
Mangusada menjadi RSD Mangusada. RSD Mangusada yang terletak di Jalan
Raya Kapal, Mangupura, Mengwi, Kapal, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung,
Bali saat ini memiliki 6 OK yang dioptimalkan dalam pelayanan bedah sentral.

B. Data Hasil Penelitian

1. Karateristik Partisipan

Tabel 4.1. Tabel Karakteristik partisipan post sectio caesarea dengan spinal
anestesi di RSD Mangusada

Inisial Umur IMT Diagnosa Jenis Lama


Medis Anestesi operasi
dan lokasi (per jam)
penyuntikan
Ny. Am 29 22 G1P000 SAB, L2- 1 jam
39 mg 6 L3
hari T/H
Fetal
distress
Ny. Su 39 27,3 G4P3000 SAB, L2- 1 jam
3 uk 34 L3
mg
(triple)
Hidup
LMR 1x
Ny. Ap 40 24,2 G6P4014 SAB, L2- 1 jam
uk 37 mg L3
Hidup
LMR 1x +
KPD
Ny.Ab 30 25,7 G1P0000 SAB, L2- 1 jam
uk 36 mg L3
6 hari T/H
+ placenta
letak
rendah +
KPD.
37

Dari tabel karakteristik umum partisipan menunjukkan bawha partisipan


Ny.Am berusia 29 tahun dengan IMT : 22, dengan diagnosa medis G1P000 39
mg 6 hari T/H Fetal distress dilakukan anestesi dengan teknik SAB, lokasi
penyintikan pada L2-L3 dan lamanya operasi 1 jam. Partisipan selanjutnya yaitu
Ny.Su berusia 39 tahun dengan IMT : 27,3 dengan diagnosa medis G4P30003
uk 34 mg (triple) Hidup LMR 1x, dilakukan anestesi dengan teknik SAB, lokasi
penyuntikan pada L2-L3 dan lamanya operasi 1 jam. Lalu partisipan ketiga Ny.
Ap berusia 40 tahun dengan IMT :24,2, dengan diagnosa medis G6P4014 uk 37
mg Hidup LMR 1x + KPD, dilakukan anestesi dengan teknik SAB, lokasi
penyuntikan pada L2-L3 dan lamanya operasi 1 jam. Dan partisipan ke-4
berinisial Ny.Ab beruusia 30 tahun dengan IMT : 25,7 dengan diagnosa medis
G1P0000 uk 36 mg 6 hari T/H + placenta letak rendah + KPD, dilakukan
anestesi teknik SAB, lokasi penyuntikan L2-L3, dan lamanya operasi 1 jam.
Dari tabel karakteristik partisipan menunjukkan bahwa keempat pasien
merupakan perempuan dengan umur diatas 20 tahun yaitu dengan kategori
dewasa. Berdasarkan IMT sebelum hamil masing masing partisipan, untuk
pasien Ny.Ab dengan IMT 22 termasuk dalam kategori normal, Ny.Su dengan
IMT 27,3 termasuk dalam kategori overweight, Ny.Ap dengan IMT 24,2
termasuk kategori normal, Ny Ab dengan IMT 25,7 termasuk kategori
overweight. Jenis operasi yang dilaksanakan yaitu sectio caesarea dengan
lamanya operasi yaitu 1 jam.

2. Hasil wawancara dan observasi Partisipan pada post sectio


caesarea dengan spinal anestesi

a. Partispan 1

Pada pukul 09.00, pasien dipindahkan ke ruang operasi, pasien


diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4mg/iv dan pasien
38

diposisikan miring untuk dilakukan SAB. Induksi SAB dilakukan dengan


Regivel dengan dosis 12,5 mg dengan lokasi penyuntikan L2-L3. Suhu
yang diberikan di ruang operasi yaitu 200C. Pada pukul 10.15, pasein
dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien dipasangkan alat monitor
seperti tensi dan SpO2 serta termometer untuk mengecek suhu.
1) Hipotermi sebelum pemberian infus hangat
“Saat diwawancara, pasien mengatakan merasa
kedinginan dan menggigil, kulit pasien tampak pucat,
keadaan umum lemah, untuk suhu diawal sebelum
pemberian infus hangat yaitu 350C.
2) Perubahan hipotermi setelah pemberian infus hangat
“Setelah dilakukan wawancara pada menit ke 5
pemberian infus hangat, pasien mengatakan masih
merasakan dingin yang sama, tampak menggigil, akral
dingin, keadaan umum lemah, kulit tampak pucat
dengan suhu 35,5 0C. Setelah 15 menit pemberian
infus hangat pasien mengatakan sudah mulai hangat,
keadaan umum pasien baik dan akral hangat dengan
suhu 360C. Kemudian pada menit ke 30, pasien
mengatakan tubuhnya sudah merasa hangat, merasa
lebih rileks, akral hangat dan juga menggigilnya juga
sudah hilang dengan suhu 36, 30C.”

Konklusi: Sebelum pemberian infus hangat partisipan 1 mengalami


hipotermi dengan suhu 350C partisipan mengatakan kedinginan dan
menggigil, akral tangan dingin, keadaan umum lemah. Setelah pemberian
infus hangat, terjadi peningkatan suhu pada menit 15 sampai 30 yaitu
>360C, pasien mengatakan tubuhnya merasa hangat, lebih rileks,dan
menggigilnya sudah hilang.
Setelah melakukan wawancara, observasi dan analissis tunggal
pada partisipan I, maka dilanjutkan dengan lintas situs pada partisipan II,
III, IV
39

b. Partisipan 2

Pada pukul 09.45., pasien dipindahkan ke ruang operasi, pasien


diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4mg/iv, midazolam 1mg/iv
dan pasien diposisikan miring untuk dilakukan SAB. Induksi SAB
dilakukan dengan Regivel dengan dosis 12,5 mg dengan lokasi
penyuntikan L2-L3 Suhu yang diberikan di ruang operasi yaitu 20 0C.
Pada pukul 11.00, pasein dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien
dipasangkan alat monitor seperti tensi dan SpO2 serta termometer untuk
mengecek suhu.
1) Hipotermi sebelum pemberian infus hangat
“Saat diwawancara, pasien mengatakan kedinginan
dan menggigil, keadaan umum lemah, akral dingin
untuk suhu diawal sebelum pemberian infus hangat
yaitu 35,60C.”
2) Perubahan hipotermi sesudah pemberian infus hangat
“Setelah dilakukan wawancara pada menit ke 5
pemberian infus hangat, pasien mengatakan dinginnya
sudah mulai berkurang sedikit, keadaan umum lemah
akral dingin dan masih menggigil dengan suhu 35,8
0
C. Setelah 15 menit pemberian infus hangat pasien
mengatakan sudah mulai hangat, akral hangat, dan
menggigilnya berkurang dengan suhu 36,30C.
Kemudian pada menit ke 30, pasien mengatakan
tubuhnya sudah merasa hangat, sudah lebih rileks, dan
menggigilnya juga sudah hilang dengan suhu:
36.50C.”

Konklusi: Sebelum pemberian infus hangat partisipan 2 mengalami


hipotermi dengan suhu 35,60C partisipan mengatakan kedinginan dan
menggigil, akral tangan dingin, keadaan umum lemah. Setelah pemberian
infus hangat, terjadi peningkatan suhu pada menit 15 sampai 30 yaitu
>360C, pasien mengatakan lebih hangat, lebih rileks dan menggigilnya
hilang.
40

c. Partisipan 3

Pada pukul 12.20., pasien dipindahkan ke ruang operasi, pasien


diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4mg/iv,dan pasien
diposisikan miring untuk dilakukan SAB. Induksi SAB dilakukan dengan
Regivel dengan dosis 12,5 mg dengan lokasi penyuntikan L2-L3 Suhu
yang diberikan di ruang operasi yaitu 200C. Pada pukul 11.00, pasein
dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien dipasangkan alat monitor
seperti tensi dan SpO2 serta termometer untuk mengecek suhu.
1) Hipotermi sebelum pemberian infus hangat
“Saat diwawancara, pasien mengatakan kedinginan
dan menggigil, kulit pucat, akral dingin , keadaan
umum lemah, untuk suhu diawal sebelum pemberian
infus hangat yaitu 35,30C.
2) Perubahan hipotermi setelah pemberian infus hangat
“Setelah dilakukan wawancara pada menit ke 5
pemberian infus hangat, pasien mengatakan masih
merasakan dingin yang sama dan menggigil, ku masih
lemah, akral dingin, dengan suhu 35,5 0C. Setelah 15
menit pemberian infus hangat pasien mengatakan
dingin yang dirasakan sudah mulai berkurang, akral
dingin dan juga pasien mengatakan menggigilnya
sudah mulai berkurang dengan suhu 35,80C.
Kemudian pada menit ke 30, pasien mengatakan
tubuhnya sudah merasa hangat dan merasa lebih
tenang dan juga menggigilnya juga sudah reda
dengan suhu 36,30C.”

Konklusi: Sebelum pemberian infus hangat partisipan 3 mengalami


hipotermi dengan suhu 35,30C partisipan mengatakan kedinginan dan
menggigil, akral tangan dingin, keadaan umum lemah. Setelah pemberian
infus hangat, terjadi peningkatan suhu pada menit 15 sampai 30 yaitu
>360C, pasien sudah merasa hangat dan merasa lebuh tenang dan
menggigilnya sudah reda.
41

d. Partisipan 4

Pada pukul 11.15., pasien dipindahkan ke ruang operasi, pasien


diberikan obat premedikasi yaitu ondansetron 4mg/iv,dan pasien
diposisikan miring untuk dilakukan SAB. Induksi SAB dilakukan dengan
Regivel dengan dosis 12,5 mg dengan lokasi penyuntikan L2-L3 Suhu
yang diberikan di ruang operasi yaitu 200C. Pada pukul 12.20, pasein
dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien dipasangkan alat monitor
seperti tensi dan SpO2 serta termometer untuk mengecek suhu.
1) Hipotermi sebelum pemberian infus hangat
“Saat diwawancara, pasien mengatakan kedinginan
dan menggigil, keadaan umum lemah, akral dingin,
untuk suhu diawal sebelum pemberian infus hangat
yaitu 35,40C.
2) Perubahan hipotermi setelah pemberian infus hangat
“Setelah dilakukan wawancara pada menit ke 5,
pasien mengatakan masih merasakan dingin yang
sama, akral dingin dan masih menggigil, keadaan
umum masih lemah dengan suhu 35,6 0C. Setelah 15
menit pemberian infus hangat pasien mengatakan
dinginnya sudah mulai berkurang, akral dingin dan
menggigilnya berkurang dengan suhu 35,90C.
Kemudian pada menit ke 30, pasien mengatakan
tubuhnya sudah merasa hangat, merasa lebih baik,
tampak rileks dan juga menggigilnya juga sudah
hilang dengan suhu 36,20C.”

Konklusi: Sebelum pemberian infus hangat partisipan 4 mengalami


hipotermi dengan suhu 35,40C partisipan mengatakan kedinginan dan
menggigil, akral tangan dingin, keadaan umum lemah. Setelah pemberian
infus hangat, terjadi peningkatan suhu pada menit 15 sampai 30 yaitu
>360C, pasien mengatakan tubuhnya sudah merasa hangat, lebih baik, dan
menggigilnya sudah hilang.
Analisa data lintas situs pada studi kasus ini ditemukan bahwa
pada sebelum pemberian infus hangat partisipan 1 mengalami hipotermi
42

dengan suhu < 360C dengan gejala menggigil, akral dingin dan keadaan
umum lemah yang juga dilami oleh partisipan 2, 3, 4, setelah 15 menit
sampai 30 menit diperoleh data bahwa terjadi peningktan suhu yaitu >
360C dan gejala menggigil menghilang pada partisian 1 sama halnya
yang terjadi dengan partisipan 2, 3, 4.
BAB V
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Umum Partisipan

Karakteristik usia pada studi kasus ini yaitu 29, 39, 40, 30 tahun dengan
suhu sebelum pemberian infus hangat yaitu, 35; 35,6; 35,3; 35. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Mubarokah (2017), menjelaskan bahwa semakin tinggi
usia responden maka semakin tinggi risiko mengalami kejadian hipotermi.
Spinal anestesi yang dilakukan pada pasien usia lansia juga dapat menyebabkan
pergeseran pada ambang batas termoregulasi dengan derajat yang lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang berusia muda. Buggy (2016) menyebutkan
bahwa selain lansia pasien pediatrik, balita, dan anak bukanlah pasien dewasa
yang berukuran besar. Mereka memiliki risiko yang tinggi juga untuk terjadi
komplikasi pasca operasi. Seseorang pada usia lansia telah terjadi kegagalan
memelihara suhu tubuh, baik dengan atau tanpa anestesi, kemungkinan hal ini
terjadi karena penurunan vasokonstriksi termoregulasi yang terkait dengan usia .
Karakteristik IMT pada masing-masing partsipan pada studi kasus ini
yaitu, 22; 27,3; 24,2; 25,7 dengan suhu sebelum pemberian infus hangat yaitu,
35; 35,6; 35,3; 35,4. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Listiyanawati (2018) menjelaskan bahwa pada orang dengan IMT yang rendah
akan lebih mudah kehilangan panas dan merupakan faktor risiko terjadinya
hipotermi, hal ini dipengaruhi oleh persediaan sumber energi penghasil panas
yaitu lemak yang tipis, simpanan lemak dalam tubuhsangat bermanfaat sebagai
cadangan energi. Pada indeks massa tubuh yang tinggi memiliki sistem proteksi
panas yang cukup dengan sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang tebal
sehingga IMT yang tinggi lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuhnya
dibanding dengan IMT yang rendah karena mempunyai cadangan energi yang
lebih banyak. Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu diantaranya
dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan dan berat badan yang dinilai

43
44

berdasarkan indeks massa tubuh yang merupakan faktor yang dapat


mempengaruhi metabolisme dan berdampak pada sistem termogulasi (Buggy,
2016).
Dalams studi kasus ini, lamanya operasi 4 partisipan tersebut yaitu 1 jam
dengan suhu setelah operasi yiatu 35; 35,6; 35,3; 35,4 dimana ke-4 partisipan
tersebut mengalami hipotermi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh
Buggy (2016), lama tindakan Lama tindakan pembedahan dan anestesi
berpotensi memiliki pengaruh besar khususnya obat anestesi dengan konsentrasi
yang lebih tinggi dalam darah dan jaringan (khususnya lemak), kelarutan, durasi
anestesi yang lebih lama, sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai
keseimbangan dengan jaringan tersebut. Induksi anestesi mengakibatkan
vasodilatasi yang menyebabkan proses kehilangan panas tubuh terjadi secara
terus menerus (Harahap, 2014). Menurut Majid, Judha & Istianah (2011)
hipotermi dialami pasien karena terpaparnya tubuh terlalu lama dengan suhu
rendah kamar di ruang operasi (<26,60C). Selain itu, pasien yang menjalani
operasi di Rumah Sakit Indriati Solobaru jarang menggunakan selimut
penghangat selama durante operasi sampai di IBS, sehingga tubuh pasien lebih
banyak terpapar dengan suhu ruangan yang dingin.

B. Hipotermi sebelum pemberian infus hangat

Hipotermi juga terjadi karena kombinasi dari tindakan anestesi dan


tindakan operasi yang dapat menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan
suhu tubuh yang akan menyebabkan penurunan suhu inti tubuh / care
temperature (Yulianto & Budiono, 2011). Tindakan anestesi spinal dapat
menghilangkan proses adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada
fungsi termoregulasi (Buggy, 2010). Dalam studi kasus ini, semua partsipian
post operasi sectio caesarea memiliki suhu < 360C dan ditambah dengan gejala
menggigil pada semua partisipan, hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Setiyanti (2015), menyebutkan bahwa suhu tubuh pada hasil
45

penerapan dikuatkan oleh teori yang menyatakan bahwa jumlah pasien pasca
anestesi hampir 80% mengalami kejadian hipotermi. Komplikasi yang dapat
terjadi ketika mengalami hipotermi adalah Post Anesthetic Shivering (PAS) atau
kejadian menggigil pasca anestesi, dilaporkan sekitar 36% kejadian menggigil
pada post spinal anestesi .Pemberian anastesi umum ataupun spinal sangat
mempengaruhi terjadinya hipotermi. Temperatur inti biasanya turun antara 0,5ºC
- 1,5ºC pada jam pertama setelah induksi anestesi, baik melalui anestesi umum
atau neuroaksial akibat adanya redistribusi panas dari pusat ke perifer. Setiap
obat anestesi, baik opioid maupun obat sedasi, menyebabkan vasodilatasi dan
menurunkan kontrol otonom termoregulasi, hal ini memfasilitasi terjadinya
hipotermia (Suindrayasa,2017).

C. Perubahan Hipotermi setelah pemberian infus hangat

Pada studi kasus ini setelah diberikan infus hangat seluruh partisipan
mengalami peningkatan suhu tubuh dimana suhu sebelum pemberian infus
hangat mengalami hipotermi pada seluruh partisipan, lalu setelah 5 pemberian
infus hangat keempat partisipan masih dalam keadaan hipotermi yaitu suhu <
360C dengan respon pasien menggil dan akral dingin. Setelah 15 menit sampai
30 menit pemberian infus hangat seluruh partisipan dalam batas normal yaitu >
360C dengan respon pasien tampak rileks dan merasa lebih hangat. Hal ini
sejalan dengan penelitian oleh Cahyawati, dkk (2019) yang menyatakan bahwa
pemberian cairan intravena hangat signifikan menurunkan derajat menggigil.
Menurut Awwaliyah, dkk (2020) menyatakan bahwa tindakan pemberian infus
hangat dapat membantu meminimalkan kehilangan panas tubuh dengan
menstimulus hipotalamus untuk merespon sistem termoregulasi sehingga suhu
tubuh juga akan berubah.
Menurut Guyton dalam Nayoko (2016), pemberian selimut hangat
atau pemberian cairan intravena yang dihangatkan dengan mengatur cairan
intravena sejak 10 menit pasca bedah dapat dimulai pada suhu 37°C melalui
46

alat penghangat cairan atau fluid warmer. Elemen penghangat intravena atau
terapi cairan hangat adalah elemen penghangat yang diberikan secara intravena
melalui cairan infus, dimana tindakan ini dilakukan untuk mengurangi
pengeluaran panas dan menghindari pendinginan iatrogenik dalam tubuh dengan
cara menghangatkan cairan intravena sampai suhu 37°C (Nayoko, 2018).
Metode penghangatan cairan infus bervariasi, dapat berupa warming cabinet
atau in-line fluid warmers (perangkat penghangat cairan) (Campbell, et al.,
2015). Perangkat penghangat cairan infus menggunakan tenaga listrik atau
baterai, dan menghantarkan panas ke cairan melalui kanula saat cairan melewati
alat penghangat. Output panas dapat disesuaikan untuk suhu cairan yang
dibutuhkan dan terdapat informasi suhu yang akurat pada perangkat.
Menurut Euasobhon, dkk (2016), jarak perangkat penghangat dengan
lokasi insersi yang paling efektif adalah 15 cm dengan level kecepatan tetes
medium. Suhu infus hangat yang diberikan tidak boleh melebihi 40oC hingga
42oC untuk menghindari terjadinya denaturasi protein plasma (Thongsukh, dkk,
2018). Pada studi kasus ini menggunakan infus hangat dengan 36 oC-37oC
dengan tetesan cairan 20 kali tetes per menit. Menurut Susanti (2015) semakin
cepat cairan berpindah, semakin cepat pula konveksi terjadi, arus konveksi
mempengaruhi perpindahan panas, sehingga kecepatan tetesan infus dapat
menjadi salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya proses konveksi di
dalam pembuluh darah. Berdasarkan penelitian oleh Umah dan Wulandari
(2013) menyatakan bahwa cairan yang dihangatkan, dengan mekanisme
konveksi kalor pindah ke darah dan diterima hipotalamus dipersepsikan sebagai
keadaan normitermia sehingga tubuh akan menghentikan panas dengan cara
menghentikan proses menggigil.
Cairan hangat intravena dapat membantu meminimalkan kehilangan
panas dan bisa menjadi keuntungan tambahan sebagai penggantian cairan.
Selain itu, terapi cairan juga dapat mengurangi komplikasi hemodinamik pasca
operasi. Mencegah hilangnya suhu inti tubuh dan juga mengurangi menggigil
setelah anestesi umum pada ibu yang menjalani sectio caesaria juga dilaporkan
47

sebagai efek positif dari penggunaan cairan intravena hangat (Cobb dkk, 2016).
Penelitian terkait yang dilakukan oleh Virgianti, dkk pada tahun 2014 dengan
judul “Pengaruh Pemberian Cairan Infus dengan NaCL Hangat terhadap
Kejadian Menggigil pada Pasien Operasi Secsio Caesarea di Kamar Operasi
Rumah Sakit Aisyah Bojonegoro” menyebutkan bahwa pemberian infus hangat
pada pasien pasca operasi caesar dengan teknik anestesi spinal dengan nilai P
0,000 efektif dalam menurunkan kejadian shivering (hipotermi). Menurut
penelitian yang dilakukan Minarsih (2013), menunjukkan bahwa 60 menit
setelah perawatan, 100% responden pada kelompok perlakuan memiliki suhu
tubuhnya menjadi normal.

D. Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan, suhu cairan infus yang
diberikan melalui fluid warmer memilii kekurangan, yaitu pemberian suhu infus
hangat yang diberikan ke pasien tidak konsisten yaitu dengan rentang rentang
suhu 360C-370C sejak menit pertama hingga menit 30 menit. Sehingga peneliti
kurang mengetahui suhu optimal yang berpengaruh dalam meningkatkan suhu
pasien.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan studi kasus pencegahan risiko hipotermi dengan pemberian


infus hangat pada pasien post Sectio Caesarea dengan spinal anestesi sebanyak 4
partisipan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Karakteristik umum partisipan dalam studi kasus ini yaitu berjenis kelamin
perempaun dengan usia 29, 39, 40, dan 30. IMT pada masing-masing partsipan
yaitu, 22; 27,3; 24,2; 25,7 dan seluruh pasien dilakukan operasi selama 1 jam
2. Gambaran hipotermi sebelum pemberian infus hangat dalam studi kasus ini,
semua partsipian post operasi sectio caesarea memiliki suhu < 360C dan
ditambah dengan gejala menggigil pada semua partisipan.
3. Perubahan hipotermi setelah pemberian infus hangat pada studi kasus ini
mengalami peningkatan suhu tubuh dimana suhu sebelum pemberian infus
hangat mengalami hipotermi pada seluruh partisipan, lalu setelah 5 pemberian
infus hangat keempat partisipan masih dalam keadaan hipotermi yaitu suhu <
360C dengan respon pasien menggil dan akral dingin. Setelah 15 menit sampai
30 menit pemberian infus hangat seluruh partisipan dalam batas normal yaitu >
360C dengan respon pasien tampak rileks dan merasa lebih hangat.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian peneliti menyarankan beberapa hal yang


dapat dijadikan masukan secara praktis yaitu: .
1. Bagi RSD Mangusada
Bagi institusi rumah sakit hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun prosedur
penanganan dan preventif berkaitan dengan komplikasi hipotermipada

48
49

pasien post sectio caesarea dengan spinal anestesi dengan


pemberian infus hangat.
2. Bagi Penata Anestesi
Bagi penata anestesi hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
dalam meningkatkan pengetahuan dan dapat memberikan intervensi
infus hangat dalam mencegah atau menangani komplikasi hipotermi pada
pasien post sectio caesarea dengan spinal anestesi.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya agar hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai salah satu referensi yang berkaitan dengan pemberian infus
hangat. Serta diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk bisa
mengembangkan penelitian ini lebih jauh dengan partisipan yang lebih
homogen.
50

DAFTAR PUSTAKA

Adiyanto, Bowo. (2017). Life Threatening Complications Management In


Anesthesia. Departemen Anestesiologi, Resusitasi dan Terapi Intensif FK
UGM-RSUP Dr. Sardjito. PERDATIN Wilayah Yogyakarta.
Amin dan Hardhi.(2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
NANDA NIC & NOC . Yogyakarta: Mediaction Publisher.
Awwaliyah, S., Rachman, M.Z., & Ernawati, N. (2020). Pengaruh Pemberian
Infus Hangat terhadap Stabilitas Suhu Tubuh Pada Pasien Post Operasi
General Anastesi di Recovery Room RSU Karsa Husada Batu. Jurnal
Keperawatan Terapan, 6(1). pp 36-42.
Buggy DJ, A. C. (2016) Termoregulasi, Hipotermia Perioperatif Ringan Dan
Menggigil Pasca Anestesi. British Journal of Anaesthesia.
Cahyawati, F.E., Rohmah, F., Gunadi, A., & Aprilia, S. (2019). Cairan
Intravena Hangat terhadap Derajat Menggigil Pasien Post Sectio
Caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Jurnal Kebidanan, 8(2),
pp 86-93.
Campbell, G. et al. (2015). ‘Warming of intravenous and irrigation fluids for
preventing inadvertent perioperative hypothermia’, Cochrane Database
of Systematic Reviews, 2015(4). doi:
10.1002/14651858.CD009891.pub2.
Cobb, B. et al. (2016). ‘Active Warming Utilizing Combined IV Fluid and
Forced-Air Warming Decreases Hypothermia and Improves Maternal
Comfort During Cesarean Delivery: A Randomized Control
Trial.’, Anesthesia and analgesia, 122(5), pp. 1490–7. doi:
10.1213/ANE.0000000000001181.
Cruzes, D. S., Dybå, T., Runeson, P., & Höst, M. (2015). Case studies
synthesis: a thematic, cross-case, and narrative synthesis worked
example. Empirical Software Engineering,20(6), 1634–1665.
https://doi.org/10.1007/s10664- 014-9326-8
Dewi, Putu Santika (2019).Pengelolaan Risiko Hipotermi Melalui Cairan
Hangat Intravena Pada Pasien Sectio Caesarea Dengan Anastesi Spinal
Di Ruang Ibs Rs Pantiwilasa Citarum(2019).Semarang:Prodi Profesi
Ners Poltekkes Kemenkes Semrng / Jurusan Keperawatan.
Euasobhon, P., Sujirattanawimol, K., & Zinboonyahgoon, N. (2016). The
effectiveness of intravenous fluid warmer. Thai Jurnal of Anesthesiology,
42(3), 159–167.
Fauzi, Akbar Nur. (2014). Gambaran Kejadian Menggigil (Shivering) Pada
Pasien Dengan Tindakan Operasi Yang Menggunakan Anestesi
Apinal Di Rsud Karawang. Kti: Universitas Islam Bandung.
Flora, Lasmaria., Redjeki, Ike Sri., & Wargahadibrata, A. Himendra. (2014).
Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan Anestsi Umum terhadap
Kejadian hipotensi dan Nilai Apgar Bayi pada Seksio Sesaria. Jurnal
Anestesi Perioperatif . [JAP. 2014; 2 (2): 105–16]
51

Hadirsman, D.(2014). “Gawat darurat medis praktis”. Yogyakarta: Gosyen


Publishing.
Harahap, A. M. (2014). Angka Kejadian Hipotermia dan Lama Perawatan di
IBS pada Pasien Geriatri Pascaoperasi Elektif Bulan Oktober
2011- Maret 2012 di Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Anestesi Perioperatif. 2 (1). Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Terdapat di
http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/jap/article/view/236 (Diakses
pada tanggal 25 November 2018).
Hartono, Andry,Dr. (2014).asuhan kebidanan Masa persalinan Fisiologis &
patolog. tanggerang: Binarupa Aksara Publisher.
Hidayat, A.A.. (2014). Metode studi kasus keperawatan dan teknis analisis data.
Jakarta : Salemba Medika
Indra, B., Widodo, U., & Widyastuti, Y. (2016). Perbandingan Insidensi
Hipotensi Saat Induksi Intravena Propofol 2 Mg/Kg Bb Pada Posisi
Supine dengan Perlakuan dan Tanpa Perlakuan Elevasi Tungkai. Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(1), 1–5. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/476
Indiarti, MT & Khotimah, Wahyudi.(2014). Buku Babon Kehamilan.
Yogyakarta: Indoliterasi.
Keat, Sally., Bate, Simon Towned., Bown, Alexander., & Lanham, Sarah.
(2013). Anaesthesia On The Move (Tjokorda Gede Agung Senaphati,
Penerjemah). Jakarta: Indeks.
Latief, S., Suryadi K.A., & Dachlan M.R. (2012). Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; h 107-12.
Listiyanawati, Mutiara Dewi., Noriyanto.(2018). “Efektifitas Selimut Elektrik
dalam Meningkatkan Suhu Tubuh Pasien Post Seksio Sesarea yang
Mengalami Hipotermi”.Jkesvo (Jurnal Kesehatan Vokasional) Vol. 3 No
2 – November 2018
Lockhart, A dan Saputra, L. (2014). Asuhan Kebidanan Masa Persalinan
Fisiologi & Patologis. Tangerang Selatan: Binapura Aksara Publisher.
Majid, A., dkk.(2011). Keperawatan Perioperatif 1st Ed. Yogyakarta :
Gosyen.Manuaba I. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
KB, Jakarta: EGC..
Majid, A., Judha, M., & Istianah, U. (2011). Keperawatan perioperatif.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Mangku,G., dan Senopathi,T.G.A.(2017). Ilmu Anestesi Dan Reanimasi.
Jakarta : PT.Indeks.
Manunggal, H. dkk. (2014). Pengaruh Pemberian Granisetron 1 mg Intravena
dengan Plasebo (Salin) untuk Mencegah Kejadian Menggigil Pasca
Anestesi Spinal pada Seksio Sesarea. Jurnal Anestesi Perioperatif;
2(2):96- 104.
52

Marlina. (2016). Faktor Persalinan Secsio Caesarea di Rumah Sakit Imanuel


Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 1, April 2016,
halaman 57-65. E-ISSN 2548-5695 P-ISSN 2086-7751
https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK/article/view/119.
Marlinda, Envy., Ramdani, M.Rizky., Mariana, Evi Risa. (2017).
“Perbandingan Selimut Hangat Dengan Selimut Hangat Dilapisi Selimut
Aluminium Foil Terhadap Kecepatan Kembalinya Suhu Tubuh Normal
Pada Pasien Hipotermi Post SC (Sectio Caesar) Di Recovery Room
RSUD Ulin Banjarmasin”.Terdapat di
http://conference.unsri.ac.id/index.php/SNK/article/view/772 (Diakses
pada tanggal 31 Oktober 2021)
Marta. (2013). A comparison of warming interventions on the temperatures of
inpatients undergoing colorectal surgery. Association of operating room
nurses. AORN Jurnal 97.3
Maryunani, Anik. (2016). Kehamilan dan Persalinan Patologis (Risiko Tinggi
dan Komplikasi) Dalam Kebidanan.Jakarta: CV Trans Info Media.
Minarsih.(2013). “Efektifitas Pemberian Elemen Penghangat Cairan Intravena
Dalam Menurunkan Gejala Hipotermi Pasca Bedah”. Jurnal
Keperawatan, ISSN 2086-3071.
Moleong, Lexy J. (2013). Metode studi kasus Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Morgan, dkk. (2013). Clinical Anesthesiology. Fifth Edition. ISBN: 978-0-07-
171405-1.
Mubarokah, P.P. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi
pasca general anestesi di Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota
Yogyakarta. Jurnal Publikasi. Yogyakarta: Jurusan Keperawatan,
Poltekes Kemenkes
Nasyidah, N. (2011). Hubungan Anemia Dan Karakteristik Ibu Hamil Di
Puskesmas Alianyang Pontianak.
Nayoko, (2016). ‘Perbandingan Efektifitas Pemberian Cairan Infus Hangat
Terhadap Kejadian Menggigil pada Pasien Sectio Caesaria di Kamar
Operasi’. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 1(1) : 86-92
Nur Aisah, Siti. (2019). “Pemberian Terapi Cairan Infus Hangat Untuk
Mengatasi Masalah Resiko Hipotermia Perioperatif Pada Pasien Sectio
Caesarea Di Ibs Rsud k.r.m.t Wongsonegoro Kota Semarang”.
Semarang:Prodi profesi ners poltekkes kemenkes semrng / jurusan
keperawatan.
Oyston, J. (2014). A Guide to Spinal Anaesthesia For Caesarean Section
Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, s. (2012). Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal (keenam; Saifuddin AB, ed.). Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, S. (2016). Ilmu Kebidanan (S. (K) Prof. dr. Abdul Bari
Saifuddin, Mph, ed.). Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
53

Prihatsanti, U., Suryanto, S., & Hendriani, W. (2018). Menggunakan Studi


Kasus sebagai Metode Ilmiah dalam Psikologi. Buletin Psikologi, 26(2),
126. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38895
Rosela, Entie. (2018).”Studi Kasus Mencegah Hipotermi Dengan Pemberian
Elemen Penghangat Cairan Intravena Pada Pasien Sectio Caesaria
Dengan Spinal Anastesi Di Ruang Instalasi Bedah Sentral Rsud Dr.
Adhyatma Semarang”.Semarang:Prodi Profesi Ners Poltekkes Kemenkes
Semarang.
Rositasari, S., Muyanto & Dyah, V. (2017). Efektifitas Pemberian Blanket
Warmer Pada Pasien Pasca Sectio Caesaria Yang Mengalami Hipotermi
di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta RKU Muhammadiyah Surakarta.
Jurnal Ilmu Keperawatan.
Rozauna, E. 2013. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Bersalin Dengan
Persalinan Caesarea Di RSUD Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2013.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF.(2014). Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.
Setiyanti, dkk. (2015). Efektifitas Selimut Alumunium Foil terhadap Kejadian
Hipotermia pada Pasien Post Operasi di RSUD Kota Salatiga.
Smith GFN.(2013). Anaesthetic http//www.netdoctor.co.uk. Diakses 31 Oktober
2021
Sugiyono. (2016). Metode studi kasus Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: PT Alfabeta.
Sugiyono. (2017). Metode studi kasus Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: PT Alfabeta.
Suindrayasa,I.M (2017). “Efektifitas Penggunaan Selimut Hangat Terhadap
Perubahan Suhu Pada Pasien Hipotermia Post Operasi Di Ruang Icu
Rsud Buleleng”. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Susanti, A.P.D. (2018). Perbedaan Irigasi Intraabdomen Dengan NaCl Suhu
Ruang dan NaCl Hangat Terhadap Kejadian Hipotermia Pasien Sectio
Caesaria (Study kasus di Ruang OK RSU Dr. WahidinSudiroHusodo
Kota Mojokerto). Undergraduate thesis, STIKes Insan Cendekia Medika
Jombang.
Syed S. Zaman., Fatemeb Rahmani., Mohammad A. Majedi., et all.(2017).
Aclinnical Trial ofthe Effect of Warm Intravenous Fluids onn Core
Temperature and Shivering in Patients Undergoing Abdminal Surgery.
Journal of PeriAnesthesia Nursing, Vol -, No -(-), 2017: pp 1-10.
Tanto, C. (2014). kapita selekta kedokteran: edisi 4 jilid 1. jakarta: media
aesculapius.
Thongsukh, V., Kositratana, C., & Jandonpai, A. (2018). Effect of Fluid Flow
Rate on Efficacy of Fluid Warmer : An In Vitro Experimental Study,
2018.
Umah, K. and Wulandari, E. A. T. (2013). ‘Journals of Ners Community Vol 4
No 2 November 2013’, 4(2), pp. 104–112.
54

Virgianti Nur Faridah., Sri Hananto Ponco.(2014). Pengaruh Pemberian Cairan


Infus dengan NaCL Hangat terhadap Kejadian Menggigil pada Pasien
Operasi Secsio Caesarea di Kamar Operasi Rumah Sakit Aisyah
Bojonegoro.Vol.04, No. XX, desember. 2014.
Widiyanto, W. T. (2014). Efektifitas Convective Warmer Dibandingkan Dengan
Blood/Infusion Warmer Dalam Mengatasi Hypothermia Pada Pasien
Paska Bedah Laparotomi Di Rsud Banyumas. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto. Diambil dari
http://repository.ump.ac.id/id/eprint/189 Diakses pada 10 November
2021.
Winarni, E. (2020) ‘Efektifitas Penggunaan Blanket Warmer Terhadap Suhu
Pada Pasien Shivering Post Spinal Anestesi Replacement’, Keperawatan.
Yulianto & Budiono. (2011). Desain dan Pembuatan Inkubator Berdasarkan
Distribusi Temperature. JURNAL GAMMA. 8 (1) :140-147)
Yusuf, A. M. (2014). Kuantitatif, Kualitatif, & studi kasus Gabungan. Jakarta:
Kencana
55

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Jadwal Studi Kasus
Case Study Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan Pemberian Infus Hangat Pada Post Sectio Caesarea Spinal Anestesi Di RSD
Mangusada
56

BULAN
J
NO KEGIATAN a M A
J
n a p M
u
Oktober Nopember Desember u Februari r r e
n
a e i i
i
r t l
i
I
III IV I III IV I III IV I III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
I
Penyusunan
1
Proposal
2 ACC Proposal
Penyebaran
3
Proposal
4 Ujian Proposal
Ujian Ulang
5
Proposal
Pengumpulan
6
Data
Penyusunan
7
Hasil studi kasus
Penyebaran
8
Skripsi
9 Ujian Skripsi
Ujian Ulang
10
Skripsi
Perbaikan dan
11
Pengumpulan
57

Lampiran 2 Lembar Observasi dan Wawancara


LEMBAR OBSERVASI DAN WAWANCARA
CASE STUDY GAMBARAN PEMBERIAN INFUS HANGAT UNTUK
MENCEGAH RISIKO HIPOTERMI PADA PASIEN POST SECTIO
CAESAREA DENGAN SPINAL ANESTESIDI RSD MANGUSADA
A. Identitas Responden
No Responden :
(diisi oleh peneliti)
Nama (Inisial) :
Usia :…………………. Tahun
Berat Badan :…………………..kg
Tinggi Badan :…………………. cm
IMT :
Obat Anestesi Spinal :
Dosis :
Lokasi Penyuntikan : L2-L3 L3-L4 L4-L5
Lama Operasi :
Jenis Infus :
Tetes Infus :
Suhu yang diberikan :………………….. 0C
(Intra Anestesi)
Suhu ruang yang :…………………..0C
(Recovery Room)

B. Observasi Sebelum Pemberian Infus Hangat


1. Suhu pasien :………………….. 0C
2. Menggigil : Ya/Tidak
3. Bagaimanakah perasaan Ibu setelah operasi?
4. Apakah Ibu/pasien mengalami kedinginan? Ya / Tidak
5. Bagaimankah sensasi dingin yang Ibu rasakan saat ini ?
58

C. Observasi Setelah Pemberian Infus Hangat


Menit
setelah Suhu
pemberian Tubuh Observasi Pasien Evaluasi Pasien
infus (OC)
hangat
a. Mengigil : Ya/Tidak a. Bagaimana perasaan ibu sekarang
?
5 b. Apakah keluhan yang ibu alami
berkurang ?

a. Mengigil : Ya/Tidak a. Bagaimana perasaan ibu


sekarang ?
15 b. Apakah keluhan yang ibu alami
berkurang ?

a. Mengigil : Ya/Tidak a. Bagaimana perasaan ibu sekarang


?
b. Apakah keluhan yang ibu alami
30
berkurang ?
59

B TB IM Obat Dosi Lokasi Lam Jeni Tete Suhu Sebelum 0 menit 5 menit 15 menit 30
B T anestesi s Penyu a op. s s Ruangan intervensi setelah setelah setelah s
ntikan Infu Infu yang intervensi intervensi intervensi in
Kode Umur s s diberikan
Nama
No Respo
(inisial) (tahun) Intr RR Suh Men Suh Men Suhu, Me Suhu, Men Suh
nden
a u, ggigi u ggigi ngg ggig u,
Ane l? l? igil il?
stesi ?

4
60

Lampiran 3 Lembar Permohonan Menjadi Responden

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


Kepada :
Yth Calon Responden studi kasus
Di ITEKES Bali
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sang Putu Indra Pratama
NIM : 18D10108
Pekerjaan : Mahasiswa semester tujuh Program Studi Sarjana Keperawatan
Anestesiologi, ITEKES Bali
Alamat : Jalan Tukad Balian No. 180 Renon, Denpasar-Bali
Bersama ini saya mengajukan permohonan kepada Ibu untuk bersedia
menjadi partisipan dalam studi kasus saya yang berjudul “Case Study
Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan Pemberian Infus Hangat Pada
Post Sectio Caesarea Spinal Anestesi Di RSD Mangusada” yang
pengumpulan datanya akan dilaksanakan pada tanggal 1 Februari 2022
s.d 1 April 2022. Adapun tujuan dari studi kasus ini adalah untuk
mengetahui bagaimana respon pasien penggunaan Infus Hangat untuk
mencegah hipotermi pada pasien post operasi sectio caesarea dengan
spinal anestesi.Saya akan tetap menjaga segala kerahasiaan data maupun
informasi yang diberikan. Demikian surat permohonan ini disampaikan,
atas perhatian, kerjasama dari kesediaannya saya mengucapkan
terimakasih.
Denpasar, ………………
Peneliti

Sang Putu Indra Pratama


NIM.18D10149
61

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Responden


LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
Alamat :
Setelah membaca Lembar Permohonan Menjadi Responden yang diajukan oleh
Saudara Sang Putu Indra Pratama, Mahasiswa Semester tujuh Program Studi D-
IV Keperawatan Anestesiologi ITEKES Bali, yang studi kasusnya berjudul
“Case Study Pencegahan Risiko Hipotermi Dengan Pemberian Infus Hangat
Pada Post Sectio Caesarea Spinal Anestesi Di RSD Mangusada”, maka dengan
ini saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam studi kasus tersebut,
secara sukarela dan tanpa ada unsur paksaan dari siapapun. Demikian
persetujuan ini saya berikan agar dapat digunakan sebgaimana mestinya.

………..., ……
Responden

…………………………
62

Lampiran 5 Permohonan Izin Penelitian


63

Lampiran 6 Izin rekomendasi penelitian Prrovinsi Bali


64

Lampiran 7 Permohonan izin penelitian Kabupaten Badung


65
66

Lampiran 8 Permohonan surat izin penelitian dan Ethical clearance di RSD


Mangusada
67
68
69

Lampiran 9 Face Validity


70

Anda mungkin juga menyukai