Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat
(Sudoyo, 2006). Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan
bertambahnya usia (Keshav, 2004). Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa.
Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20% - 40%) dan rendah di
negara Asia (3%-4%) (Robbins, 2007).
Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan
dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan
8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu
empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya (Beckingham, 2001).
Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak
mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik
yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat
(Sudoyo, 2006).
Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua
pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran
empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun
akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan (Robbins, 2007).
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG)
maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat
dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas (Sabiston, 1994).
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koleduktus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita
batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Defenisi
Menurut Doenges, Marilyn, E (1999) kolelitiasis adalah inflamasi akut atau kronis dari
kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus
kistik, menyebabkan distensi kandung empedu. Kolelitiasis atau koledokolitiasis merupakan
adanya batu dikandung empedu atau pada saluran kandung empedu yang umumnya
komposisi utamanya adalah kolesterol (wiliams, 2005).
Cholelitiasis merupakan adanya batu dikandung empedu, atau pada saluran kandung
empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol (Williams,2003).
Cholelitiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu, batu ini mungkin
terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus
(choledocholithiasis).Cholelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki
ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Cholelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun terutama pada
wanita dikarenakan memiliki faktor resiko,yaitu: obesitas, usia lanjut, diet tinggi lemak dan
genetik. Sinonimnya adalah batu empedu,gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.

B. Etiologi
Faktor predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi batu empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu. Selain itu, ada
beberapa faktor resiko antara lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu
empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu
empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.
3. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
4. Berat Badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
5. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat(seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
6. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi IV dalam janggka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.

C. Manifestasi Klinis (Baughman, 2000)


1. Menunjukkan gejala-gejala gastrointestinal ringan
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala,yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri
dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Pasien
merasakan sakit atau nyeri pada perut bagian kuadran kanan atas, serta warna feses
pasien menjadi pucat.
2. Mungkin akut dan kronis dengan distress epigastrik (begah, distensi abdomen, nyeri tak
jelas pada kuadran kanan atas) setelah majan makanan banyak mengandung lemak.
Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang
samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat terjadi setelah
individu mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak.
3. Jika saluran empedu tersumbat, maka kandung empedu mengalami distensi dan akhirnya
terinfeksi akan terjadi demam dan teraba massa pada abdomen.
Kolik bilier dengan nyeri abdomen kanan atas, manjalar ke punggung atau bahu
kanan, mual dan muntah beberapa jam setelah makan banyak. kolik bilier semacam ini
disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar
akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung
empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta sembilan dan
sepuluh kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran
kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan
rongga dada.
4. Ikterik terjadi dengan tersumbatnya duktus komunis empedu.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibaawa ke dalam duodenum akan
diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok
pada kulit.
5. Urine berwarna sangat gelap; feses warna pucat.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut “clay-coloured”.
6. Defisiensi vitamin A, D, E dan K (vitamin yang larut dalam lemak).
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin A, D, E dan K yang
larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
7. Abses, nekrotis, an perforasi dengan peritonitis dapat terjadi jika batu empedu terus
menyumbat saluran empedu.
a. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat
menyebabkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat, kandung empedu akan
mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang
relative singkat.
D. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan
atas 3 (tiga) golongan : (Lesmana, 2000)

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :

a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung
<20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)


Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat
adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Bila terjadi infeksi saluran empedu,
khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan
dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat
bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Umumnya batu pigmen cokelat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.

b. Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya
batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu
dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.

E. Patofisiologi
Ada dua tipe utama batu empedu, yakni :
1. Batu Pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini :
bilirubinat,karbonat, fosfat, dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal
akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim
glukorinil transferase, dan bila bilirubun ini tidak terkonjugasi diakibaatkan karena
kurang nya atau tidak adanya enzim glukorinil transferase tersebut yang akan
mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena
bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak, sehingga
lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang dapat
menyebabkan batu empedu. Resiko terbentuknya batu pigmen ini sangat besar pada
pasien sirosis, hemolisi, dan infeksi percabangan bilier.
Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu

Akibatnya berkurang atau tidak adanya enzim glukorinil transferase

Terjadinya Presipitasi/pengendapan

Terbentuk batu empedu (batu ini tidak dapat dilarutkan tetapi harus dikeluarkan
melalui operasi)
2. Batu Kolestrol
Kolestrol merupakan unsure normal pembentukan empedu dan berpengaruh
dalam pembentukan empedu. Kolestrol ini sebagai pembentuk empedu bersifat tidak
larut dalam air, pasien penderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam
empedu dan peningkatan sintesis kolestrol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu yang jenuh oleh kolestrol yang kemudian keluar dari
getah empedu dan mengendap serta membentuk batu dan menjadi iritan yang
menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer, Suzanne C, 2000)
Kolestrol

Pembentukan empedu

Mal absorpsi garam empedu penurunan sintesis (pembentukan) asam empedu

Peningkatan sintesis kolestrol

Berperan sebagai penunjang iritan pada kandung empedu supersaturasi


(kejenuhan)getah empedu oleh kolestrol

Peradangan dalam peningkatan sekresi kolestrol kandung empedu

Kolesterol keluar dari getah empedu

Penyakit kandung empedu (kolesistitis)


Pengendapan kolestrol

Batu empedu.
F. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
1) Penatalaksanaan Medis
a. Litotripsi
1. Litotripsi syok-gelembung ekstrakorporeal: kejutan gelombang berulang yang
diarahkan pada batu empedu yang terletak di dalam kandung empedu atau duktus
komunis untuk memecahkan batu empedu.
2. Litotripsi syok-gelembung intrakorporeal: batu dapat dipecahkan dengan
ultrasound, tembakan laser, atau litotripsi hidrolik tang dipasang melalui
endoskopi yang diarahkan pada batu empedu.
b. Penatalaksanaan pembedahan
1. Koleksistektomi: kandung empedu diangkat setelah ligasi duktus sistikus dan
arteri sistikus.
2. Minikoleksistektomi: kandung empedu diangkat melalui insisi 4cm.
3. Koleksistektomi laparoskopi: dilakukan melalui insisi kecil atau pungsi yang
dibuat melalui dinsing abdomen dalam umbilicus.

2) Penatalaksanaan keperawatan
- Pendukung diit : cairan dan makanan yang rendah lemak
Pasien tidak dianjurkan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan tinggi kolestrol
seperti makanan yang bersantan, tinggi gula, makanan yang berminyak.
- Cairan infuse
Pertolongan pertama pada pasien yang masuk rumah sakit diberikan cairan infuse, cairan
ini diberikan sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang dan mencegah kelemahan pada
pasien.
- Analgetik
Analgetik ini diberikan sebagai penghilang rasa nyeri pada pasien, karena pada pasien
merasakan nyeri pada perut dibagian kuadran kanan atas
- Antibiotik
Diberikan sebagai pencegahan inflamasi oleh bakteri yang berada di saluran empedu
maupun di kantong empedu dan mencegah meningkatnya hipertermi pada pasien.
- Istirahat
Istirahat yang cukup dapat membuat pasien merasa nyaman dan menghemat energi
pasien.
G. Evaluasi Diagnostik
1. Sinar-x abdomen, ultrasonografi, pencitraan radionukleida, atau kolesintografi.
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat tanda gejala dari
penyakit kandung empedu. Namun demikian, hanya 15% hingga 20% batu empedu yang
mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat digunakan
pada penderita disfungsi hati dan ikterus, Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan
bahwa USG mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
Koleskintografi telah berhasil dalam membantu menegakkan diagnosis
kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat radioaktif disuntikkan melalui intravena.
Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan
gambar kandung empedu dan percabangan bilier.

2. Endoskopi retrogad kolangiopankreatografi (ERCP).


Pemeriksaan ERCP atau kolangiopankreatografi retrograde endoskopik
memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat
melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang
fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula
dimasukkan ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan
kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta
evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini
dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu
empedu. ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati
(ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat
digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung
empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi
3. Perkutaneus transhepati kolangiografi (PTC).

4. Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam


percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu terlalu besar,
maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus
dalam hati, keseluruhan panjang duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu,
dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

H. Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melibatkan lima fase berikut i:
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
Proses Asuhan Keperawatan terdiri dari beberapa tahap :
1. Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan .
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat,
semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas
(Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
a) Penampilan Umum
Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien
b) Kesadaran
Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan klien.
c) Tanda-tanda Vital
Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi (TPRS)
2) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada
penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
d. Pola aktivitas
1) Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2) Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran
bedrest
3) Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati
4) Aspek penunjang
a) Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat) 
b) Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan

1 Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Asuhan a. Identifikasi lokasi,


agen injuri keperawatan 3x24 jam karakteristik,durasi ,frekuensi,
fisik tingkat kenyamanan klien dan skala nyeri
b. Identifikasi respon nyeri non
meningkat dengan kriteria
verbal
hasil: c. Kontrol lingkungan yang
dapatdapat memperberat rasa
a. Klien melaporkan nyeri
nyeri
berkurang dengan scala
d. Kolaborasi pemberian analgetik
2-3
b. Ekspresi wajah tenang
c. Klien dapat istirahat dan
tidur

2 Ketidakseimba Setelah dilakukan asuhan a. Identifikasi status nutrisi


ngan nutrisi keperawatan 3x24 jam klien b. Identifikasi alergi dan
kurang dari menunjukan status nutrisi intoleransi makanan
c. Monitor asupan makanan
kebutuhan adekuat dengan Kriteria
d. Monitor berat badan
tubuh b/d tidak Hasil:
e. Monitor hasil pemeriksaan
mampu dalam laboratorium
a. Mempertahankan
memasukan f. Lakukan oral hygien sebelum
BB dalam batas
dan mencerna makan
normal
makanan karan g. Kolaborasi dengan ahli gizi
b. Klien mampu
faktor biologis menghabiskan untuk menentukan jumlah kalori
makanan ½ porsi dan jenis nutrien yang
makanan dari yang dibutuhkan
disediakan
c. Mengalami
peningkatan napsu
makan

3 Risiko infeksi Setelah dilakukan asuhan a. Pemantauan tanda vital


b/d imunitas keperawata3x24 jam tidak b. Kaji tanda – tanda infeksi
tubuh terdapat faktor risiko infeksi c. Monitor tanda dan gejala infeksi
menurun, dan dengan KH: sistemik dan lokal
d. Melakukan cuci tangan sebelum
prosedur
dan sesudah setiap melakukan
invasive. ·      1. Mengenali tanda dan tindakan keperawatan
gejala yang e. Mengajarkan pasien dan
mengindikasikan risiko keluarga bagaimana
dalam penyebaran infeksi menghindari infeksi
f. Rawat luka (inspeksi kondisi
2. Mengetahui cara luka)
mengurangi penularan
infeksi
3. Mengetahui aktivitas
yang dapat
meningkatkan infeksi

4 Kurang Setelah dilakukan asuhan Mengajarkan proses penyakit


pengetahuan keperawatan 1x24 jam
a. Kaji pengetahuan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C., & JoAnn, C.H. (2000). Keperawatan medikal bedah: buku saku dari Brunner
dan Suddarth.Jakarta: EGC.
Beckingham, I.J., Gallstone disease. (2001). In:ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder.
London: BMJ Books.
Keshav, S. (2004). The Gastrointestinal system at a Glance. London: Blackwell science.
Kumar, R.S., & Robbins, S.L. (2007). Buku ajar atologi edisi 7. Jakarta: EGC
David, S.C. (1994). Buku ajar bedah, Bagian 2. Jakarta: EGC.
Lesmana, L. (2000). Batu empedu. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sudoyo, A.W., dkk. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universittas Indonesia.
Sudoyo, A.W., dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta: Internal
Publishing.
http://medicastore.com/penyakit/67/Batu_Empedu.html

Anda mungkin juga menyukai