PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian dari Pertusis?
1.2.2 Bagaimana etiologi dari Pertusis?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi dari Pertusis?
1.2.4 Apa saja manifestasi klinis dari Pertusis?
1.2.5 Bagaimana WOC dari pertusis?
1.2.6 Apa saja komplikasi yang disebabkan oleh Pertusis?
1.2.7 Apa saja pemeriksaan penunjang dari Pertusis?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan dari Pertusis?
1.2.9 Bagaimana pencegahan dari Pertusis?
1.2.10 Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan untuk kasus Pertusis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dari Pertusis
1.3.2 Mengetahui bagaimana etiologi dari Pertusis
1.3.3 Mengetahui bagaimana patofisiologi dari Pertusis
1.3.4 Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari Pertusis
1.3.5 Mengetahui bagaimana WOC dari pertusis
1.3.6 Mengetahui apa saja komplikasi yang disebabkan oleh Pertusis
1.3.7 Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari Pertusis
1.3.8 Mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari Pertusis
1.3.9 Mengetahui bagaimana pencegahan dari Pertusis
1.3.10 Mengetahu bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan untuk kasus Pertusis
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.
Bordetella pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat, bakteri
gram negative pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis
sering juga disebut batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough.
Penularan pertusis melalui droplet (Marcdante etal., 2011).
Pertusis bisa membuat penderita kekurangan oksigen dalam darahnya. Selain itu
dapat terjadi berbagai komplikasi, misalnya pneumonia. Bahkan pada beberapa kasus,
tulang rusuk penderita mengalami luka akibat batuk yang sangat keras (Marianti, 2017).
Pertusis dapat menyebar dengan cepat dari orang ke orang. Maka dari itu, vaksin
pertusis diperlukan untuk mencegah seseorang terkena penyakit ini. Bakteri penyebab
batuk rejan biasanya menyebar melalui cairan yang keluar saat penderita batuk atau
bersin (Marianti, 2017).
Batuk pada Pertusis dapat berlangsung beberapa hari, minggu, hingga berbulan-
bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat menyebabkan gangguan
tidur yang signifikan (Heininger, 2012).
2.2 Etiologi
Pertusis disebabkan oleh jenis bakteri yang disebut Bordetella pertussis. Ketika
orang yang terinfeksi batuk atau bersin, tetesan kecil yang mengandung kuman
tersemprot ke udara (droplet) dan dihirup ke paru-paru siapa saja yang kebetulan berada
di dekatnya (Mayo Clinic,2018)
Spesies lainBordetella, terutama Bordetella parapertussis danBordetella
bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi
dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).
2.3 Patofisiologi
Bordetella adalah kokobasili gram-negatif yang melekat pada sel epitel
pernapasan bersilia. Perubahan inflamasi lokal terjadi pada lapisan mukosa saluran
pernapasan. Racun yang dikeluarkan (toksin pertusis, toksin dermonekrotik, toksin
adenilat siklase, dan sitotoksin trakea) bertindak secara lokal dan sistemik, meskipun
3
organisme itu sendiri tidak sepenuhnya menembus saluran pernapasan, dan hampir tidak
pernah ditemukan dalam kultur darah (Ashley dan Christopher. 2019).
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,
paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal fase
paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini terjadi melalui droplet respiratorik
(Bolanos et al., 2011).
4
2.5 WOC Pertusis
Bordetella pertussis
Inhalasi droplet
5
Orangtua anak merasa cemas dan gelisah
2.6 Komplikasi
Pertusis bisa menyebabkan sakit berat dan mengarah pada komplikasi seperti
Ansietas
apneu, sianosis, kesulitan intake (malnutrisi), pneumonia, dan ensefalopati (Altunaiji,
2012).
Komplikasi dari Pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti
pneumonia dan otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan
fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia
inguinal), kejang, ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan
serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu
pernafasan (Bayhan et al., 2012).
Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian akibat pertussis banyak
dihubungkan dengan pneumonia.
2.7Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan uji
molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015). IsolasiB. pertussis pada
spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi sehingga banyak digunakan
untuk penegakan diagnosis, meskipun tingkat sensitifitasnya bergantung dari berbagai
macam faktor, seperti transportasi dan metode pemeriksaan laboratorium yang
digunakan, fase penyakit, usia pasien, status vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah
diterima sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan dari teknik kultur tersebut, telah
dikembangkan teknik amplifikasi DNA (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA pertusis
dengan mentargetregio promoter dari gen yang mengkode ptxA, elemen insersi IS481
and IS 1001, gen adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et al., 2015). Teknik
amplifikasi DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B. pertussis.
Namun dalam praktek klinis, diagnosis biasanya ditegakkan tanpa melakukan
pemeriksaan mikrobiologi untuk mempercepat pemberian terapi dan mencegah
komplikasi (Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan, oleh karena itu,
pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel bersilia yang terdapat di
tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel
rongga hidung bagian anterior tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia
6
yang adekuat. Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan
untuk mengambil specimen (Zouhari e al., 2012).
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang fleksibel.
Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron
direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan PCR
dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak direkomendasikan karena mengandung asam
lemak yang bersifat toksik terhadap Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang swab
diinsersi secara perlahan melalui lubang hidung dan diputar perlahan selama beberapa
detik. Idealnya, swab ditempelkan selama 10 detik pada dinding faring posterior sebelum
ditarik keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus trap.
Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring posterior, sepanjang
dasar nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1 ml normal saline untuk
mengangkat spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan apabila
memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih tinggi. Namun
prosedur ini lebih sulit dan harus dikerjakan oleh tenaga medis yang professional
(Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan pemeriksaan.
Untuk keberhasilan transport, medium transport yang digunakan harus dapat mencegah
hilangnya B. pertussis dan mencegah pertumbuhan flora normal nasofaring. Medium
yang banyak dipilih adalah Regan – Lowe medium. Preinkubasi medium dilakukan pada
suhu 36°C selama semalam sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella
maksimal dan meningkatkan multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam
Casamino yang terbuat dari asam hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. Waktu
transport harus diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan sampel hingga
dilakukan kultur tidak boleh melebihi 24 jam (Zouhari et al., 2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah agar Bordet–
Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung banyak serat. Serat
berfungsi untuk menetralkan material toksik yang terkandung dalam agar maupun dalam
spesimennya sendiri. Medium ini juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan
sumber karbon.
Intuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C ± 1°C dengan
tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban tinggi. Inkubasi pada udaran
7
dengan kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates diinkubasi selama 7 – 10 hari
(Zouhari et al., 2015).
Literatur menunjukkan bahwa isolasi B. pertussis kebanyakan berhasil jika
spesimen diambil antara fase kataral hingga awal fase paroksismal (Zouhari et al., 2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1 tahun pada musim
dingin, karena patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi. Pada kasus ini,
gejala akut pertusis dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis atau infeksi pernafasan
lain yang tidak spesifik (Espinoza et al., 2015).
2.8Penatalaksanaan
B.pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring dalam
waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan penyakit,
selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkatgejala dan mengurangi keparahan
pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan
penyakit. Dengan initahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin
Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba.Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi oleh
pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa penularan (Snyder
dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia
lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.
Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih direkomendasikan
menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah
obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak
menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah
kelahiran.Sementara menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat efektif dan aman
untuk terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara lain:
1. Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
8
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari
pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
3. Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
4. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
5. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
6. Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
7. Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek samping
adalah sebagai berikut :
1. Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
3. Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari
2.9 Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi profilaksis
pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik berhubungan dengan
efek samping dan tidak secara signifikan memperbaiki gejala klinis, whoop, batuk
paroksismal, jumlah kasus yang berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau
batuk paroksismal lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan
kematian pada bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi lengkap, profilaksis kontak
direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen
terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah dengan
meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013), pertusis
merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat dicegah
dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP) dan acellular
pertussis (aP). Vaksin wP terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki
efektifitas yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013) menunjukkan
bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP tepat waktu. Dalam
penelitian Glansz et al. (2013) disebutkan bahwa status undervaccination terhadap
vaksin DTaP menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko terjadinya
9
pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang beresiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan pertusis. Pada
tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia,
95% diantaranya terdapat di negara berkembang, dan terjadi sekitar 195.000 kematian.
Pada tahun tersebut, imunisasi telah berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian
(Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi
pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6 minggu dan segera diberikan terapi
antibiotik yang sudah direkomendasikan secara dini Rekomendasi tersebut berlaku
secara global, khususnya di negara-negara dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat usia untuk vaksinasi akan
mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun didapat
dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang didapat dari vaksin hanya
melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti dan Rota, 2012). Sedangkan imunitas yang
diperoleh secara alami bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di Amerika Serikat,
setiap anak mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan pertusis aseluler (DTaP)
sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai menghilang setelah 5 tahun (Klein et al.,
2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu
diulang saat dewasa, hal tersebut juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi
yang tercover dengan vaksin tetap tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa
durasi imunitas protektif terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,
dengan rata-rata perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan
hilangnya perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang
divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah vaksin terakhir. Dengan
diberikannya booster untuk anak prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan akan sangat
sedikit anak > 10 tahun yang terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap
untuk remaja awal.
10
BAB III
ASKEP PERTUSIS
Tanggal 11 Mei 2019, pukul 09.00 WIB Ny. O datang ke RSUD Ibnu Sina
bersama anak P yang berusia 1 tahun.
Ny. O datang dengan keluhan bahwa anaknya batuk keras yang terus berulang
(batuk rejan), batuk tersebut di akhiri dengan suara yang melengking (whooping).
Anaknya kadang sampai susah bernapas, beberapa kali anaknya sampai muntah disertai
lendir (muntah sudah terjadi 3 hari terakhir [hari ke 13]).
Ketika dilakukan anamnesa lebih lanjut, Ny. O menceritakan kalau setelah anaknya
pulang dari rumah nenek, awalnya yang muncul cuma pilek biasa, hidung yang terus
mengeluarkan sekret, mata berair (lakrimasi), batuk kering, dan disertai demam ringan.
Tapi kemudian batuk tersebut mulai parah pada hari ke 8-14, lalu berlanjut hingga
sekarang (hari ke 16).
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan, RR: 35 x/mnt; N: 145 x/mnt; S: 37˚C.
Suara napas “whoop” saat inspirasi.
Ny. O mengaku sangat cemas dan khawatir mengetahui keadaan anaknya yang
terdiagnosa pertusis dan harus opname di RS.
11
3.2 Format Pengkajian Askep Anak
FORMULIR PENGKAJIAN
KEPERAWATAN ANAK
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATANU
UNIVERSITAS GRESIK
12
mengeluarkan sekret, mata berair, batuk kering, dan disertai demam ringan. Tapi
kemudian batuk tersebut mulai parah pada hari ke 8-14, lalu berlanjut hingga
sekarang (hari ke 16). Anaknya kadang sampai susah bernapas, lalu muncul
muntah setelah batuk keras sudah terjadi 3 hari terakhir (hari ke 13).
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan bersihanjalan nafas b.d
penumpukan mucus lendir
Masalah Keperawatan : --
4. Riwayat Nutrisi
Nafsu makan :
Sebelum sakit : baik tidak mual muntah
13
Saat sakit: baik tidak mual muntah
BB sebelum sakit: 9 Kg
BB lahir: 3 Kg
Pengkajian Perkembangan (DDST):
1. Personal Sosial: (Mampu minum dengan cangkir, menirukan kegiatan, main
bola dengan pemeriksa) Tidak ada keterlambatan
2. Adaptif-Motorik halus: (Mencoret-coret, menaruh kubus di cangkir,
membenturkan 2 kubus) Tidak ada keterlambatan
3. Bahasa: (Mengucapkan 1 kata, 2 kata, 3 kata) Tidak ada keterlambatan
4. Motorik kasar: (Berjalan dengan baik, membungkuk kemudian berdiri, berdiri
sendiri) Tidak ada keterlambatan
Tahap perkembangan psikososial: Anak sudah belajar menegakkan kemandirian,
tetapi belum berpikir secara diskriminatif dan perlu bimbingan yang tegas
Tahap perkembangan psikoseksual: (Fase Anal) Anak mulai menampakkan
ke”aku”an, sangat narsistik dan egoistik, mulai belajar kenal tubuh sendiri, anak
mendapat kepuasan dan kenikmatan dari pengalaman auto-erotiknya
Masalah Keperawatan: --
14
6. Genogram (3 generasi)
Keterangan:
a. : Laki-laki
b. : Perempuan
c. : Meninggal
d. : Pasien (Anak P)
1. PERNAFASAN
a. Bentuk dada : Normal Tidak, jenis : -
b. Pola nafas : Frekuensi 35 x/ menit
Irama : Teratur Tidak teratur
15
Ronchi Wheezing Friction rub
Supraclavicula
Suprasternal
Jumlah: 15 ml
Konsistensi: Kental
g. Lain-lain : Terdapat bunyi napas “whoop” saat inspirasi, sputum keluar saat
terjadi muntah, sering susah bernapas
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d
penumpukan mucus lendir
2. KARDIOVASKULER
a. Nyeri dada : Tidak Ya Menjalar
b. Irama Jantung : Reguler Ireguler
c. Pulsasi : Kuat Lemah
d. Bunyi jantung : S1 S2 Tunggal : Ya Tidak : Murmur
Gallop
Thrill
3. PERSYARAFAN
a. Kesadaran : CM Apatis Somnolen
Sopor Koma
c. Reflek-reflek :
Menghisap : Ada Tidak
17
Masalah Keperawatan : --
4. GENITOURINARIA
a. Bentuk alat kelamin : Normal Tidak normal, sebutkan : -
b. Urethra : Normal Hipospadia Lainnya, sebutkan : -
c. Kebersihan alat kelamin : Bersih Kotor
Frekuensi berkemih : 6 x/ hari Warna : Bening Bau : Menyengat
5. PENCERNAAN
a. Mulut :
Mukosa : Lembab Kering Stomatitis
Peristaltik : 27 x/ menit
18
Buang air besar : 2 x/ hari Konsistensi : Lembek Warna: Kuning
kecoklatan Bau: Menyengat
Lavement : Tidak Ya : -
19
7. PENGINDERAAN
a. Mata :
Pupil : Isokor Anisokor Midriasis Miosis
c. Telinga :
Bentuk : Normal Tidak
20
Masalah Keperawatan : --
8. ENDOKRIN
a. Pembesaran kelenjar tiroid : Tidak Ya : -
b. Pembesaran kelenjar parotis : Tidak Ya : -
c. Hiperglikemia : Tidak Ya : -
d. Hipoglikemia : Tidak Ya : -
e. Lain-lain : Tidak ada
Masalah Keperawatan : --
9. ASPEK PSIKOSOSIAL
a. Ekspresi afek dan emosi : Senang Sedih Menangis
Cemas Marah Diam
Takut Lainnya :
21
V. TERAPI
1. Eritromisin dalam infuse: 12.5 mg/kg 4x1
2. Infus asering 1000 ml – 14 tpm/24 jam
3. Suction NaCl 0,9% Tekanan 55 mmHg 3x/hari
Ners
(........................................)
22
Analisis Data
BB menurun
23
MK: Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
MK: Ansietas
24
3.4 Intervensi
25
1. Nutrisi 5. Kolaborasi dengan 4. Membantu
kembali Dokter dalam memberikan
seimbang pemberian terapi informasi yang
2. BB kembali IV benar terhadap
seperti semula 6. Kolaborasikan keluarga (untuk
pemberian nutrisi memberikan
yang tepat dengan asupan makan
ahli gizi yang sedikit namun
7. Edukasi keluarga sering)
tentang asupan
yang tepat dengan
keadaan pasien
3. Anxietas b.d Tujuan : 1. Kaji tingkat 1. Untuk mengetahu
ancama kematian Setelah dilakukan kecemasan ibu tingkat kecemasan
tindakan 2. Yakinkan keluarga yang diderita ibu,
keperawatan bahwa pasien agar bisa
selama 1 x 24 jam sedang diberikan memberikan
bersihan jalan perawatan terbaik kenyamanan dan
napas kembali 3. Beritahu keluarga rasa tenang
efektif mengenai rencana 2. Untuk membina
medis dan hubungan saling
Kriteria hasil: keperawatan yang percaya antara
1. Keluarga dan akan dilakukan perawat dan
ibu menjadi 4. Kolaborasi dengan keluarga
tenang tidak keluarga terhadap 3. Agar pihak
cemas dengan perencanaan keluarga juga ikut
keadaan perawatan anak memantau
anaknya perkembangan
2. Keluarga anak dan mendapat
mengerti informasi yang
dengan apa sebenar-benarnya
yang
dianjurkan
26
3.5 Implementasi
27
memberikan ASI yang
optimal
4. Berkolaborasi dengan
Dokter dalam
pemberian terapi IV
11.00
disertai pemberian obat
Eritromisin dalam
infus: 12.5 mg/kg 4x1
11.20 5. Berkolaborasi dalam
pemberian nutrisi yang
tepat dengan ahli gizi
6. Menjaga intake/asupan
11.30
yang akurat dan
mencatat output
7. Mengedukasi keluarga
tentang asupan yang
tepat dengan keadaan
pasien seperti memberi
makanan lembek dan
cair dengan porsi
sedikit tapi berkala
Sabtu Ansietas b.d ancaman 11.45 1. Mengkaji tingkat
12/05/2019
kematian kecemasan ibu
Skor kecemasan: 24
(kecemasan sedang)
11.55 2. Meyakinkan keluarga
bahwa pasien sedang
diberikan perawatan
terbaik
3. Memberitahu keluarga
12.15
mengenai rencana
medis dan keperawatan
yang akan dilakukan
4. Berkolaborasi dengan
28
12.30 keluarga terhadap
perencanaan perawatan
anak
3.6 Evaluasi
O: - RR= 33 x/mnt
- Pengeluaran
sputum dari
jalan napas
- Masih terdapat
sekret dalam
- traktus
respiratoria
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Intervensi
dilanjutkan
29
muncul
O: - Anak P menerima
makanan dengan baik
- Berat badan
mengalami
sedikit
kenaikan: 8,1
kg
- Dilakukan
pemberian
makanan lunak
seperti bubur
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Intervensi
dilanjutkan
Sabtu Ansietas b.d ancaman 11.45 S: Ibu bayi merasa
12/05/2019 kematian
rileks dan tidak cemas
lagi dengan keadaan
anaknya
O: - Ny. O sudah
tampak rileks
- Ny. O terlihat
lebih nyaman
- Skor
kecemasan
menurun di
angka 15
A: Masalah teratasi
P: Intervensi
dihentikan
30
31
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis.
Bordetella pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat,
bakteri gram negative pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk
tumbuh. Pertusis sering juga disebut batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau
violent cough. Penularan pertusis melalui droplet
Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi
lapisan tenggorokan, trakea dan saluran nafas lainnya sehingga terbentuk lendir yang
semakin banyak. Pada awalnya lendir yang terbentuk encer, tetapi kemudian menjadi
kental dan lengket. Infeksi berlangsung sekitar 6-10 minggu dan berkembang melalui
3 tahapan, antara lain: Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10
hari setelah terinfeksi), tahap paroksismal (terjadi dalam waktu 10-14 hari setelah
gejala awal), tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala
awal).
4.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah asuhan keperawatan tentang Pertusis pada
anak membuat kita semua lebih memahami masalah tentang Pertusis pada bayi dan
anak-anak lahir danupaya yang harusdilakukan untuk mencegah Pertusis, dengan
memeberikan vaksin lengkap pada bayi dan dilanjut hingga umur 4 tahun keatas.
Karena lebih baik mencegah dari pada mengobati.
32
DAFTAR PUSTAKA
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for whooping cough
(pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health7:3: 893–956
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinical
characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a four-year
period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 : 596-60
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al (2015). BioMed
Central Infectious Disease, 15: 554
Heininger U (2012). Pertussis:What the Pediatric Infectious Disease Specialist Should Know.
The Pediatric Infectious Disease Journal. 31 (1) : 78-79
Jackson DW, Rohani P (2013). Review Article: Perplexities of pertussis: recent global
epidemiological trends and their potential causes. Epidemiol. Infect. 1-13.
Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6. Elsevier :
Singapura, pp: 523-525)
33
Sandhya Pruthi, M.D.2018. Whooping Cough. https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/whooping-cough/symptoms-causes/syc-20378973
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose andPrevention
of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of Pertussis Among
Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis Vaccine Compared to Recipients of
Acellular Pertussis Vaccines in a Large US Cohort. Clinical Infectious Disease, 56: 1248 –
1254
Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). The diagnosis of pertussis: which method to choose?
Informa Healthcare, 38(2): 111–121
34