Disusun Oleh :
Cindy Silvia Maya
P2002010
NIM : P2002010
Jalur : -
Kelompok : II
HP : 085348881754
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid atau tifoid abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi. Salmonella enterica serovar paratyphi A, B dan C dapat menyebabkan
infeksi yang disebut demam paratifoid. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Widodo, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan di seluruh dunia terdapat 11 hingga 21 juta
kasus dan sekitar 128 ribu hingga 161 ribu kematian akibat tifoid setiap tahunnya. Insiden demam
tifoid abdominalis terjadi di wilayah Asia cukup tinggi, yaitu dengan angka insiden lebih dari 100
kasus pertahun per 100.000 populasi (Widodo, 2014). Prevalensi tifoid di Indonesia sebesar 1.6%
dari rentang 0.3%-3% dengan dua belas provinsi mempunyai prevalensi diatas angka nasional
(Riskesdas, 2008).
Penularan demam tifoid berkaitan dengan tingkat higienis individu, sanitasi lingkungan.
Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar Salmonella typhi
(S.typhi) yang terdapat dalam air, es, debu dan benda lainnya Salmonella typhi (S.typhi) masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi. Kuman Salmonella typhi (S.typhi) dapat
dideteksi dengan uji widal. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Uji widal di gunakan untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum tersangka penderita demam tifoid (Widodo, 2014).
Widal merupakan salah satu teknik serologi untuk membantu dalam penegakan diagnosis
demam tifoid. Pemeriksaan ini didasarkan dengan adanya antibodi aglutinin dalam serum pasien
yang terinfeksi terhadap antigen H (flagel) dan O (somatik) bakteri, Salmonella typhi. Hasil positif
pemeriksaan Widal dapat meningkatkan indeks kecurigaan adanya demam tifoid dengan titer
aglutinin sebesar ≥ 1/320. Di Indonesia, diamana infeksi Salmonella typhi sering terjadi karena
merupakan daerah endemis, maka sebaiknya hasil positif ditetapkan pada pengenceran besar
(>1/160) agar tidak terjadi kelebihan diagnosis infeksi Salmonella typhi (Widodo, 2014).
Bagi penderita demam tifoid, terapi diet penting dalam proses penyembuhan demam tifoid
karena asupan makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita sehingga
proses penyembuhan akan semakin lama (Widodo, 2014). Asupan zat gizi yang tidak sesuai
kebutuhan sangat berkaitan dengan meningkatnya risiko penyakit maupun komplikasi, untuk itu
diperlukan asuhan gizi yang bermutu guna mempertahankan status gizi dan mempercepat
penyembuhan (Kemenkes RI,2014).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit Tifoid Abdominalis
2. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi penyakit Tifoid Abdominalis
2) Melakukan diagnosis penyakit Tifoid Abdominalis beserta diagnosis banding
3) Memberikan tata laksana pasien dan merujuk bila terjadi komplikasi
4) Memberikan asuhan keperawatan pada pasien Tifoid Abdominalis
5) Memberikan edukasi terkait penyakit kepada pasien dan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Demam tifoid atau biasa dikenal dengan typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut saluran
pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhii
(Arif Muttaqin & Kumala Sari, 2013). Saluran pencernaan yang diserang yaitu di bagian usus halus
(Arita Muwarni, 2018).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit demam tifoid atau tifus abdominalis
adalah suatu penyakit infeksi akut yang menyerang manusia khususnya pada saluran pencernaan yaitu
pada usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang masuk melalui makanan atau
minuman yang tercemar dan ditandai dengan demam berkepanjangan lebih dari satu minggu,
gangguan pada saluran pencernaan, dan lebih diperburuk dengan gangguan penurunan kesadaran.
B. Etiologi
Seperti yang dijelaskan oleh Widoyono (2011) Demam tifoid abdominalis adalah penyakit
infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B
dan C. penularan demam tyfoid melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella Typhii (Widoyono, 2011). Tetapi, ada 2
sumber penularan Salmonella Typhii yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier.
Carier adalah orang yang sudah sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi Salmonella
Tyhphii di tinja dan urin selama lebih dari setahun (Padila, 2013).
Penularan tifus abdominalis secara langsung hanya sekitar 10%. Makanan dan minuman yang
menjadi sumber penularan adalah makanan dan minuman yang tidak dimasak dengan baik (kurang
matang). Makanan yang sudah dimasak dengan baik juga dapat menularkan tifus abdominalis jika
kontak dengan tangan yang kotor atau air yang mengandung bakteri salmonella thypi. Feses penderita
merupakan sumber utama bagi penularan demam tyfoid (Widoyono, 2011).
Menurut Widagdo (2011) Etiologi dari demam Thypoid adalah Salmonella typhi, termasuk
genus Salmonella yang tergolong dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella bersifat bergerak,
berbentuk spora, tidak berkapsul, gram (-). Tahan terhadap berbagai bahan kimia, tahan beberapa hari /
minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan makanan kering, bahan farmasi, dan tinja. Salmonella
mati pada suhu 54,4º C dalam 1 jam atau 60º C dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O
(somatik) adalah komponen dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas dan antigen H
(flagelum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada S. typhi, juga pada S. Dublin dan S.
hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu polisakarida kapsul.
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari Salmonella typhi demam >37,5o c, gangguan pencernaan mual, muntah, nyeri
perut, serta atau tanpa gangguan kesadaran (Prayoga, 2018). Demam lebih dari tujuh hari adalah tanda
gejala yang paling mononjol dari demam typhoid dan diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti
anoreksia atau batuk. Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah konstipasi dan obstipasi
(sembelit), meskipun bisa juga terjadi diare dan timbul gejala lain seperti mual, muntah, dan perasaan
tidak enak diperut. Pada keadaan parah bisa disertai dengan gangguan kesadaran (Widoyono, 2011).
D. Komplikasi
Menurut Widagdo (2011) Komplikasi dari demam tifoid dapat digolongkan dalam intra dan
ekstra intestinal.
1. Komplikasi intestinal diantaranya adalah :
a) Perdarahan
Dapat terjadi pada 1-10 % kasus, terjadi setelah minggu pertama dengan ditandai antara
lain oleh suhu yang turun disertai dengan peningkatan denyut nadi.
b) Perforasi usus
Terjadi pada 0,5-3 % kasus, setelah minggu pertama didahului oleh perdarahan berukuran
sampai beberapa cm di bagian distal ileum ditandai dengan nyeri abdomen yang kuat, muntah,
dan gejala peritonitis.
2. Komplikasi ekstraintestinal diantaranya adalah :
a) Sepsis
Ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobik
E. Patofisiologi
Kuman Salmonella Typhii masuk ke saluran pencernaan khusunya usus halus bersama makanan,
melalui pembuluh limfe. Kuman ini masuk atau menginvasi jaringan limfoid mesenterika. Di sini akan
terjadi nekrosis dan peradangan. Kuman yang berada pada jaringan limfoid tersebut masuk ke
peredaran darah menuju hati dan limpa. Di sini biasanya pasien merasakan nyeri. Kuman tersebut akan
keluar dari hati dan limpa. Kemudian, akan kembali ke usus halus dan kuman mengeluarkan
endotoksin yang dapat menyebabkan reinfeksi di usus halus. Kuman akan berkembang biak disini.
Kuman Salmonella Typhii dan endotoksin merangsang sintesis dan pelepasan pirogen yang akhirnya
beredar di darah dan mempengaruhi pusat termoregular di hypothalamus yang menimbulkan gejala
demam. Kuman menyebar ke seluruh tubuh melalui system peredaran darah serta dapat menyebabkan
terjadinya tukak mukosa yang mengakibatkan perdarahan dan perforasi (Marni, 2016).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan typhus abdominalis dibagi menjadi 3 bagian (Bambang
Setiyohadi, Aru W. Sudoyo, Idrus Alwi, 2006 dalam Andra Saferi & Yessie Mariza, 2013), yaitu :
1. Istirhat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi dengan
perawatan sepenuhnya ditempat yang akan membantu dan mempercepat penyembuhan.
2. Diet
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan demam tifoid karena
makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun
dan proses penyembuhannya akan menjadi semakin lama.
3. Pemberian antibiotik
Pemberian obat-obatan chloramphenikol, cefixme, kotrimoksazol, amoxilin dan quinolon.
a) Chloraphenikol
Chloraphenikol adalah obat antibiotik yang bekerja menghambat sintesis protein dari
bakteri penyebab gejala tipes. Ketika sintesis protein ini terganggu, bakteri tidak dapat
berkembang biak dan menyebarkan infeksinya lebih lanjut.
b) Cefixme
Cefixime adalah obat antibiotik lini kedua yang digunakan untuk mengatasi sakit tipes.
Obat ini dikenal sebagai golonan antibiotik sefalosporin yang berfungsi menghentikan
pertumbuhan bakteri. Cefixime aman diberikan untuk anak dan bisa dikonsumsi secara oral.
c) Cotrimaxazole
Cotrimoxazole adalah obat golongan sulfonamide yang terdiri dari kombinasi
trimethoprim dan sulfamethoxazole. Obat ini bekerja menghentikan pertumbuhan bakteri
penyebab tipes. Cotrimoxazole tersedia dalam bentuk tablet dan suspensi (cair) untuk
dikonsumsi langsung dengan air.
d) Amoxilin
Amoxilin adalah obat antibiotik yang membunuh dan menghentikan bakteri penyebab
sakit tipes berkembang biak dalam tubuh. Bentuknya dapat berupa kapsul atau cairan yang
Anda minum. Amoxicillin juga bisa diberikan melalui injeksi saat Anda dirawat di rumah
sakit.
e) Quienolon
Obat antibiotik ini bekerja menghambat sintesis DNA bakteri agar tidak bisa berkembang
biak semakin liar. Quinolon efektif mencegah infeksi bakteri penyebab tipes semakin parah.
Akan tetapi, pemberian obat ini tidak dianjurkan untuk anak karena punya efek samping pada
pertumbuhan tulang.
c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan berbagai manifestasi klinik yang berhubungan
dengan perjalanan dari penyakit demam tifoid (Arif Muttaqin & Kumala Sari, 2013).
Tabel 2.1 Pemeriksaan fisik pada pasien tifus abdominalis
Pemeriksaan Manifestasi Klinis
Survei umum dan Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan
tingkat kesadaran adanya perubahan. Pada fase lanjut secara umum pasien
terlihat sakit berat dan sering didapatkan penurunan
tingkat kesadaran.
TTV Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat
39-41°C pada malam hari dan biasanya turun pada pagi
hari. Pada pemeriksaan nadi didapatkan penurunan
frekuensi nadi (bradikardi relative)
Sistem Pernafasan System pernapasan biasanya tidak didapatkan adanya
kelainan, tetapi akan mengalami perubahan apabila
terjadi respons akut dengan gejala batuk kering. Pada
beberapa kasus berat bisa didapatkan adanya komplikasi
tanda dan gejala pneumonia.
Sistem Kardiovaskuler Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan
dan Hematologi diaphoresis sering didapatkan minggu pertama.
Kulit pucat dan akral dingin berhubungan dengan
penurunan kadar hemoglobin.
Pada minggu ketiga, respons toksik sistemik bisa
mencapai otot jantung dan terjadi miokarditis dengan
manifestasi penurunan curah jantung dengan tanda
denyut nadi lemah, nyeri dada, dan kelemahan fisik
Neurosensori Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan
penurunan perfusi serebral dengan manifestasi sakit
kepala, perasaan lesu, gangguan mental seperti
halusinasi dan delirium. Pada beberapa pasien
didapatkan kejang umum yang merupakan respons
terlibatnya system saraf pusat oleh infeksi typus
abdominalis.
Didapatkannya icterus pada sklera terjadi pada kondisi
berat.
Sistem genitourinarius Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urin
output respons dari penurunan curah jantung.
Sistem gastrointestinal Inspeksi:
Lidah kotor berselaput putih dan tepi hyperemesis
disertai stomatitis. Tandai ini jelas nampak mulai
pada minggu kedua berhubungan dengan infeksi
sistemik dan endotoksin kuman.
Sering muntah
Perut kembung
Distensi abdomen dan nyeri, merupakan tanda yang
diwaspadai terjadinya perforasi dan peritonitis.
Auskultasi:
Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5
kali/menit pada minggu pertama dan terjadi
konstipasi, serta selanjutnya meningkat akibat
terjadi diare.
Perkusi:
Didapatkan suara timpani abdomen akibat
kembung
Palpasi :
Hepatomegaly dan splenomegaly. Pembesaran hati
dan limpa mengindikasikan infeksi RES yang
mulai terjadi pada minggu ke II
Nyeri tekan abdomen.
Sistem muskuloskletal Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan
dan integumen fisik umum, dan didapatkan kram otot ekstremitas.
Pemeriksaan integument sering didapatkan kulit kering,
turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam, dan yang terpenting sering didapatkannya
roseola (bitnik merah pada leher, punggung, dan paha).
Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol
dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah, pucat serta
hilang pada penekanan, lebih sering terjadi pada akhir
minggu pertama dan awal minggu kedua. Roseola ini
merupakan emboli kuman dimana didalamnya
mengandung kuman Salmonella dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada dan terkadang
dibokong maupun bagian fleksor dari lengan atas
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan typhus abdominalis (Padila, 2013), yaitu:
a. Pemeriksaan leukosit
Beberapa literature menyebutkan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limpositosis, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Kebanyakan kasus
demam typhoid, jumlah leukosit sediaan darah tepi berada pada batas normal bahkan kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi. Oleh karena itu pemeriksaan
leukosit tidak berguna untuk demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya
typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif itu menandakan demam typhoid, tetapi bila negative tidak
menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
d. Uji widal
Uji widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (aglutinin). Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutitnin dalam serum klien yang disangka
menderita typhoid.
3. Data Laboratorium
Hematologi
Paket Darah Satuan Nilai Normal
Hemoglobin g/dL 11.3-15.5
Leukosit 10^3/uL 3.6- 11.0
Hematokrit % 35-47
Eritrosit 10^6/uL 3.80-5.20
Trombosit 10^3/uL 150-400
MCH L Pg 26-34
MCHC g/dL 32-36
MCV L Fl 4-8
Eosinofil % 1-6
Basofil % 0-1
Netrofil % 50-70
Limfosit % 22-40
Monosit % 4-8
Immunologi :
TYPHI O POS 1/400 Negatif < 1/320
TYPHI H Negatif Negatif < 1/320
PARATYPHI O-A Negatif < 1/320
PARATYPHI O-B Negatif < 1/320
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis mengenai seseorang, keluarga, atau
masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau
potensial. Diagnosa keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan
keperawatan (Dinarti & Yuli Muryanti, 2017). Diagnosa yang mungkin muncul menurut (PPNI,
2017):
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit infeksi salmonella thyposa
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan akibat anoreksia, mual
c. Hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan dan kehilangan cairan aktif.
d. Diare berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal pada dinding usus halus
5. Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Hipertermia Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan Definisi : Pengaturan suhu tubuh (I.15506)
agar tetap berada pada rentang
proses penyakit infeksi Definisi : mengidentifikasi dan
normal.
salmonella thyposa mengelola peningkatan suhu
(D.0130) tubuh.
Definisi : Suhu tubuh Indikator Dikaji Tujuan
meningkat diats rentang Suhu tubuh 2 5
Suhu kulit 2 5 Aktivitas :
normmal
1.1 Monitor tanda-tanda
Penyebab : Skala: ansietas
1: memburuk
1. Proses penyakit 1. Monitor suhu tubuh
2: cukup memburuk
(infeksi) 3: sedang 2. Berikan cairan oral
4: cukup membaik 3. Lakukan pendinginan
Gejala dan Tanda 5: membaik eksternal (kompres dingin)
Mayor: 4. Anjurkan tirah baring
Subjektif : -
Objektif :
1. Suhu tubuh diatas nilai
normal
BAB III
ANALISA KASUS
Tn. A berusia 23 tahun masuk RS AWS melalui UGD pada tanggal 25 Januari 2021 pada pukul 09.00 WITA
diantar dengan keluarga dengan keluhan demam 4 hari sebelum masuk RS ,klien demam tinggi, riwayat
minum obat warung tidak pernah, mual dan ingin muntah. Tingkat kesadaran Composmetis, GCS : E4 M6
V5. Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg, N : 68 x/menit, S : 37,9 oC, RR : 20 x/menit.
Penatalaksanaan : IVFD (Intravena Fluid Drops) RL 20 / TPM, ceftriaxone 1 gram/12 jam, ranitidine 1
mg/12 jam, pct 500 mg/12 jam. Kemudian pasien dipindahkan ke ruang penyakit dalam pada hari senin 25
Januari 2021 pukul 11.40 WITA.
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PSIK STIKES
WIYATA HUSADA SAMARINDA
5. Genogram
Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki
: Serumah
: Pasien
: Meninggal
6. Diagnosa medik pada saat MRS, pemeriksaan penunjang dan tindakan yang telah dilakukan
Diagnosa medik Tn. A Tifoid Abdominalis
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hemoglobin 17,5 [ g/dL] 11.3-15.5
Leukosit 1,80 [10^3/uL] 3.6- 11.0
Eritrosit 6,34 [10^3/uL] 3.80-5.20
Trombosit 318 [10^3/uL]
150-400
MCH L 27,6 [pg]
26 – 34
MCH C 35,1 [ g/dL]
32 – 36
MCV L 78,5 [fL]
80-100
Hitung jenis
-Basofil 0 0,5%-1%
-Eosinofil 5 1%-4%
-Limfosit 47 20%-40%
-Monosit 10 2%-8%
LED 4 0 – 15 mm/jam
Malaria Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Tes widal
-Typhi H antigen (+) 1/320 (-) <1/320
-Typhi O antigen (+) 1/320 (-) <1/320
-Paratyphi A – O (+) 1/320 (-) <1/320
-Paratyhphi B - O (+) 1/160 (-) <1/160
III. Pengkajian saat ini (mulai hari pertama saudara merawat klien)
Minum
Sebelum sakit : Pasien mengatakan minum 7 - 8 gelas dalam sehari (1750 – 2000 cc /hari ). Saat sakit :
Pasien mengatakan : Hanya minum 5 gelas /hari (1250 cc /hari )terpasang infuse RL 20 tts/mnt.
3. Pola Eliminasi
BAK
Sebelum sakit : Pasien mengatakan : BAK 6 x/hari dengan warna kuning jernih, berbau khas tidak ada
keluhan saat buang air kecil.
Saat sakit : Pasien mengatakan : BAK 3 x/hari dengan warna kuning pekat, berbau khas, tidak ada keluhan
saat buang air kecil, tidak terpasang kateter.
BAB
Sebelum sakit : Pasien mengatakan : BAB 1 x/hari, warna fasses kekuningan, lunak, tidak ada keluhan saat
BAB.
Saat sakit : Pasien mengatakan : Belum pernah BAB selama dirawat di RS.
6. Pola persepsual
Pengelihatan jernih, tidak ada gangguan, pengelihatan baik
Pendengaran : tidak ada gangguan, pendengaran baik
Pengecap : lidah terasa pahit, nafsu makan menurun, mual dan muntah.
7. Pola persepsi diri
Pasien mengatakan cemas dengan penyakit yang dialaminya, namun dengan dukungan orang tua dan saudara
pasien merasa lebih kuat.
8. Pola seksualitas dan reproduksi
Pasien berjenis kelamin laki-laki, belum menikah
Pasien belum penah melakukan hubungan badan
Reproduksi : tidak ada gangguan (pasien tidak berkenan di kaji)
9. Pola peran hubungan
Hubungan pasien dan keluarga terjalin baik, pasien mendapatkan dukungan keluarga.
10. Pola managemen koping dan stress
Pasien mengatakan cemas dengan penyakit yang dialami nya, namun merasa lebih kuat dengan dukukungan
dari keluarga.
11. Nilai dan Keyakinan
Sebelum sakit : Selalu beribadah tepat waktu, berdoa sebelum makan dan sesudah makan, mengucapkan
salam saat bertamu.
Saat sakit : pasien mengatakan; Tidak menjalankan ibadah karna kondisi yang sedang sakit, tetapi klien tidak
lupa berdoa sebelum dan sesudah aktivitas, klien percaya bahwa sakitnya ini merupakan cobaan dari Allah
SWT.
IV. Pemeriksaan Fisik
TD : 120/80 mmHg, Suhu tubuh 37,9 C RR 22 x/mnt Nadi 69 x/mnt, SPO2 : 95%
BB : 62 TB : 186 IMT : 17,9, kurang (<18,5-24,9)
Kepala:
Inspeksi : Bentuk mesochepal, simetris bagian kiri dan kanan tidak ditemukan adanya benjolan. Tidak ditemukan
adanya lesi.
Rambut : Berwarna hitam, distribusi merata, tidak ditemukan adanya ketombe.
Palpasi : Deformitas tidak teraba di kepala klien, tidak teraba adanya benjolan. Tidak ditemukan adanya nodul.
Hidrasi kulit cepat dan lembab.
Keluhan : Tidak ditemukan pada pasien.
b. Pendengaran
Normal Berdengung Berkurang Alat bantu Tuli
Keluhan lain:
Tidak ada keluhan
Hidung:
Inspeksi : Nervus I : Reaksi alergi tidak ditemukan adanya pada klien. Tidak ditemukan adanya sekret saat
pengkajian, terlihat silia lebat. Tidak ada ditemukan pendarahan, maupun polip. Fungsi penciuman mampu
membedakan aroma kopi, teh dan minyak kayu putih. Tidak ada trauma maupun epitaksis pada pasien.
Palpasi : tidak ada benjolan dan nyeri tekan
Mulut/Gigi/Lidah:
Inspeksi : Warna mukosa bibir merah muda. gigi tampak bersih, bibir kering, lidah tampak kotor, tidak ada
stomatis, maupun sariawan saat mengkaji di daerah mulut klien. Ukuran tonsil T1 dengan tidak pembesaran tonsil.
Mampu berbicara secara jelas dan tepat tanpa adanya gangguan saat berbicara.
Palpasi : Bibir kering
Leher :
Inspeksi : Tidak ada pembengkakan, vena jugularis tidak mengalami pembesaran, tidak ditemukan lesi.
Palpasi : Posisi trakea tepat berada di tengah, distensi vena jugularis, tiroid tidak teraba, tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening.
Respiratori
a. Dada :
Inspeksi : Tidak ada pembengkakan, tidak terlihat pergerakan otot bantu napas
Palpasi : tidak ada benjolan abnormal
Perkusi : suara sonor pada paru
Auskultasi : bunyi napas normal, bunyi jantung irama teratur
b. Batuk : tidak
c. Bunyi napas : vesikuler
Tipe pernapasan : dada
Frekuensi napas : 22 x/menit
Penggunaan otot napas : tidak
Cuping hidung : tidak
Kardiovaskuler
Inspeksi : Ictus cordis di ICS 3 dan 4.
Palpasi : Nadi 69x/menit, ictus cordis di ICS 3 dan 4.
Perkusi : Posisi jantung di ICS 3 dan 4, terdengar redup.
Auskultasi : Terdengar S1 lup dan S2 dup, regular.
a. Riwayat Hipertensi : tidak ada riwayat hipertensi
b. Masalah jantung : tidak ada
c. Demam Rematik: tidak ada
d. Bunyi Jantung: Bunyi jantung pertema (lup) suara lebih rendah, bunyi jantung kedua (dup) suara lebih tinggi.
e. Irama : reguler
f. Murmur: tidak ada
Nyeri dada: klien mengatakan tidak merasakan nyeri pada dada
Pusing: klien mengatakan tidak merasa pusing
Sianosis: klien tidak mengalami sianosis
Capillary refill: 2 detik
Edema, lokasi: tidak ada edema
Hematoma, lokasi: tidak ada hematoma
Neurologis
a. Rasa ingin pingsan/ pusing : pasien mengatakan tidak merasa pusing
b. Sakit Kepla : tidak ada
Lokasi nyeri : bagian atas
GCS : Eye = 4 Verbal = 5 Motorik = 5
Pupil : isokor
Reflek cahaya : ya
Sinistra :+ cepat
Dextra :+ cepat
Bicara :
Komunikatif Aphasia Pelo
Keluhan lain :
Gelisah Bingung Tremor Kesemutan
Kejang
Koordinasi ekastemitas
Normal Paralisis, Lokasi : Plegia, Lokasi :
Integumen
a. Warna kulit
Kemerahan Pucat Sianosis Jaundice Normal
b. Kelembaban : lembab
Turgor : elastis 2 detik
c. Keluhan lain : tidak ada keluhan.
Abdomen
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, tidak pembesaran pada perut, abdomen datar, tidak ada benjolan/massa,
tidak ada bayangan vena,
Auskultasi : Bising usus 29 x/menit.
Palpasi : nyeri tekan pada perut bagian ulu hati. Turgor kulit elastis dan lembab. Teraba keras.
Perkusi : Terdengar timpani
Keluhan lain: pasien mengatakan perut bagian ulu hati terasa nyeri.
Muskuloskeletal
a. Nyeri otot/tulang, lokasi : tidak ada nyeri intensitas : -
b. Kaku sendi, lokasi : tidak ada kaku sendi
c. Bengkak sendi, lokasi : tidak ada bengkak
d. Fraktur (terbuka/tertutup), lokasi : tidak ada fraktur
e. Alat bantu, jelaskan : tidak menggunakan alat bantu
f. Pergerakan terbatas, jelaskan : pergerakan normal, namun kurang kuat seperti sebelum sakit
g. Keluhan lain, jelaskan : tidak ada keluhan lain
Seksualitas
a. Aktif melakukan hubungan seksual: tidak (pasien belum menikah)
b. Penggunaan alat kontrasepsi: tidak
c. Masalah/kesulitan seksual: tidak
d. Perubahan terakhir dalam frkuensi : tidak
e. Payudara : Bentuk payudara simetris kanan dan kiri, warna aerola kehitaman, tidak ada
benjolan pada axilla dan clavikula.
V. Program Terapi
( Tanggal, 25 Januari 2021)
Penatalaksanaan : IVFD (Intravena Fluid Drops) RL 20 / TPM, ceftriaxone 1 gram/12 jam, ranitidine 1 mg/12
jam, pct 500 mg/12 jam.
Hasil Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hemoglobin 17,5 [ g/dL] 11.3-15.5
Leukosit 1,80 [10^3/uL] 3.6- 11.0
Eritrosit 6,34 [10^3/uL] 3.80-5.20
Trombosit 318 [10^3/uL]
150-400
MCH L 27,6 [pg]
26 – 34
MCH C 35,1 [ g/dL]
32 – 36
MCV L 78,5 [fL]
80-100
Hitung jenis
-Basofil 0 0,5%-1%
-Eosinofil 5 1%-4%
-Limfosit 47 20%-40%
-Monosit 10 2%-8%
LED 4 0 – 15 mm/jam
Malaria Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Tes widal
-Typhi H antigen (+) 1/320 (-) <1/320
-Typhi O antigen (+) 1/320 (-) <1/320
-Paratyphi A – O (+) 1/320 (-) <1/320
-Paratyhphi B - O (+) 1/160 (-) <1/160
Samarinda, 25 Januari 2021
Perawat
Catatan Perkembangan
A. Implementasi
Hari/tgl No.Dx Implementasi Paraf
Senin, 1 1.1 Memonitor suhu tubuh TTD
25/01/2 1.2 Memberikan cairan oral Perawat Cindy
1 1.3 Melakukan pendinginan eksternal (kompres dingin)
12.00 – 1.4 Menganjurkan tirah baring
12.20
Senin, 2 2.1 Mengidentifikasi asupan makanan TTD
25/01/2 2.2 Menyajikan makanan secara menarik Perawat Cindy
1 2.3 Menganjurkan posisi duduk
12.30 –
13.00
Senin, 3 3.1 Mengidentifikasi skala nyeri TTD
25/01/2 3.2 Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, Perawat Cindy
frekuensi dan intensitas nyeri
1
3.3 Memberikan teknik nonfarmakologis terapi musik
13.30 – untuk mengurangi nyeri
14.30
B. Evaluasi
Tanggal Diagnosa Evaluasi (SOAP) Paraf
& Keperawatan
Waktu
Senin, Dx 1 S: TTD
25/01/21 Hipertermia - Pasien mengatakan kulit masih terasa hangat Perawat
berhubungan
17.00 – - Pasien mengatakan ingin beristirhat Cindy
dengan proses
17.30 penyakit
infeksi O:
salmonella
- Pasien lemas
thyposa
(D.0130) - Kulit pasien hangat
- Suhu : 37,8 oC
A:
Indikator Dikaji Hasil
Suhu 2 3
tubuh
Suhu 2 4
kulit
P : Intervensi dilanjutkan
1.1 Memonitor suhu tubuh
1.2 Memberikan cairan oral
1.3 Melakukan pendinginan eksternal (kompres
dingin)
1.4 Menganjurkan tirah baring
Senin, Dx 2 S: TTD
25/01/21 Resiko Defisit - Pasien mengatakan nafsu makan mulai membaik Perawat
17.00 – Nutrisi O: Cindy
17.30 berhubungan - Pasien makan makanan yang di sediakan oleh
dengan RS bubur nasi, sayur sawi, kacang panjang, labu
ketidakmampua kuning dan telur rebus
n menelan - Pasien makan setengah porsi
makanan A:
(anoreksia, mual) Indikator Dikaji Hasil
Nafsu 2 4
makan
Porsi makan 2 3
habis
P : Intervensi dilanjutkan
1.1 Mengidentifikasi asupan makanan
1.2 Menyajikan makanan secara menarik
1.3 Menganjurkan posisi duduk
Senin, Dx 3 S: TTD
25/01/21 Nyeri akut - Pasien mengatakan pikiran lebih tenang Perawat
17.00 – berhubungan - Pasien mengatakan tidak berfokus pada nyeri Cindy
17.30 dengan agen tapi pada musik yang di dengarkan
pencedera - Pasien merasa lebih nyaman
fisiologis (infeksi - Pasien dapat tidur dengan nyenyak
bakteri
salmonella thypi) O:
- Pasien nyaman
- Pasien tertidur nyenyak
A:
Indikator Dikaji Hasil
Keluhan 2 4
nyeri
Gelisah 2 4
Kesulitan 2 4
tidur
P : Intervensi di lanjutkan
3.1 Identifikasi skala nyeri
3.2 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi dan intensitas nyeri
3.3 Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
FORMAT ANALISA KETERAMPILAN
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kasus tifoid abdominalis dapat dilakukan penatalaksanaan istirahat, perawatan, diet, dan
pemberian antibiotik. Tifoid abdominalis harus segera di tangani agar tidak terjadi komplikasi.
Komplikasi tifus abdominalis yang paling sering terjadi adalah komplikasi intestinal yaitu perdarahan
usus dan perforasi usus. Komplikasi demam tifoid dapat dihindarkan dengan cara meningkatkan
derajat daya tahan tubuh pasien dan memberikan perawatan yang sebaik-baiknya pada pasien demam
tifoid.
Selain memberikan perawatan perawat juga memberikan rasa aman dan nyaman pada pasien agar
pasien merasa nyaman selama di rawat. Perawatan dilakukan dengan memberikan kompres dingin
pada pasien demam tifoid, karena suhu tubuh pasien meningkat >37,9 oC agar suhu tubuh pasien
dapat terkontrol. Selanjutnya manajamen nutrisi pada pasien, karena pasien deman tifoid mengalami
gejala mual dan muntah sehingga perlu diberikan manajemen nutrisi agar nutrisi dapat terpenuhi dan
tidak terjadi defisit nutrisi yang dapat menghambat penyembuhan pasien. Serta memberikan terapi
musik, tujuannya agar pasien tidak berfokus pada nyeri yang dialami dan pasien merasa lebih
nyaman.
B. Saran
Saran bagi perawat agar dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien tifoid abdominalis
sesuai dengan keluhan yang dialami pasien. Pasien mengalami penyakit yang menyerang organ
pencernaan sehigga dapat menimbulkan gejala-gejala serius hingga komplikasi. Oleh sebab itu, di
harapkan agar perawat memastikan bahwa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dari
gejala-gejala yang timbul agar teratasi dengan baik dan mencegah terjadinya komplikasi sehingga
penyembuhan dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Arif Muttaqin dan Kumala Sari. (2013). Asuhan Keperawatan Perioperatif : Konsep Proses dan aplikasi.
Cetakan Ketiga. Jakarta : Salemba Medika.
Dinarti dan Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan (1st ed.). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Muwarni Arita, Priyantarai Wiwin. Gerontik, Konsep dasar dan Asuhan Keperawatan Home Care dan
Komunitas. Yogyakarta: Fitramaya 2018
Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Nursalam. (2017). Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Jakarta: Salemba
Medika. Nursalam
Prayoga DK., Fatmawati ND. Identifikasi Salmonella spp pada feses penjamah makanan di rumah
potong ayam RJ dengan metode kultur. Intisari Sains Medis. 2018. 9(3). DOI:
10.15562/ism.v9i3.287.
Widagdo. (2011). Masalah & TataLaksana Penyakit Infeksi Pada Anak, Jakarta: CV Sagung Seto
Widodo Djoko. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Tifoid Edisi VI Jilid 1, Internal
Publishing, Jakarta, pp 552-554.