Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT DI NEGARA

INDUSTRI & BERKEMBANG


Untuk :

Memenuhi Salah Satu Tugas Pancasila

Arus Sejarah Bangsa Indonesia

Disusun Oleh Kelompok 4 :

1.Arif Samsul Maulana (P20620121043

2.Rian Fahriawan (P20620121044)

3.Anisa Puji Lestari (P20620121049)

4.Indy Hunafa (P20620121053)

5.Ninda Latipah (P20620121057)

6.Elsa Yuniarni (P20620121071)

7.Salsa Dwi Saputri (P20620121074)

8.Mela Widiawati (P20620121077)

9.Siti Sarah Murtadho (P20620121078)

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN TASIKMALAYA


JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

TAHUN AKADEMIK 2021-2022


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
A. Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan........................................................................................ 2
B. Perilaku Kesehatan Di Negara Berkembang ................................................................................... 2
C. Perilaku dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Lingkungan Kawasan Industri .... 11
BAB III PENUTUP .............................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................................................... 17
B. SARAN ........................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 19

i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan adalah suatu bentuk respon manusia terhadap lingkungannya, baik itu
menyangkut lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. Di negara berkembang seperti
Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka untuk
mendapatkan akses pelayanan publik seperti pelayanan ekonomi, pelayanan kesehatan dan
sebagainya. Akan tetapi karena permintaan melebihi kemampuan pemerintah untuk
memenuhi maka timbul situasi "kekurangan" sehingga diperlukan suatu pengalokasian pusat-
pusat pelayanan publik pada masyarakat yang benar-benar optimal dalam pemerataannya,
baik dalam dimensi spasial maupun struktur sosial.

Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan di bidang kesehatan dalam Repelita V telah


digariskan dalam GBHN 1988 sebagai berikut : Pembangunan Kesehatan sebagai bagian dari
upaya untuk meningkatkan kualitas manusia diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan
dan keadaan gizi masyarakat, taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan pada umumnya.
Sehubungan dengan itu, pembangunan kesehatan perlu dilakukan secara terpadu atas dasar
Sistem Kesehatan Nasional yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dan yang
menekankan pentingnya upaya peningkatan masyarakat dan keluarga, pencegahan penyakit,
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Depkes R.I., 1989).

Industrialisasi merupakan bagian inetgral dari pemulihan serta pertumbuhan


perekonomian Indonesia. Berkembangnya industrialisasi di berbagai daerah menyebabkan
menipisnya perbedaan antara desa dan kota. Prubahannya ditunjukan oleh prilaku konsumtif
masyarakat desa yang sudah tidak jauh berbeda dengan masyarakat kota.

B. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud dengan perilaku dan perilaku kesehatan?
b) Apa saja faktor-faktor penentu perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan modern?
c) Bagaimana preilaku dalam kehidupan masyarakat di lingkungan kawasan industri?
d) Apa saja bentuk-bentuk solidaritas sosial?

C. Tujuan
a) Memahami definisi dari perilaku dan perilaku kesehatan
b) Mengetahui faktor-faktor penentu perilaku kesehatan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan modern?
c) Mengetahui perilaku dalam kehidupan masyarakat di lingkungan industri
d) Mengetahui bentu-bentuk solidaritas sosial

1
BAB II PEMBAHASAN
PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT DI NEGARA INDUSTRI DAN NEGARA
BERKEMBANG

A. Konsep Perilaku dan Perilaku Kesehatan


1. Pengertian Perilaku
Pengertian perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan respon merupakan
faktor dari dalam diri seseorang yang bersangkutan (faktor internal). Skiner membagi
perilaku menjadi 2 kelompok yaitu :
1) Perilaku tertutup (Covert behavior), dimana respon terhadap stimulus belum dapat
diamati orang lain dari luar secara jelas, masih terbatas pada bentuk pikiran, perasaan,
persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
2) Perilaku terbuka (Overt behavior), dimana respon terhadap stimulus sudah berupa
tindakan atau praktik yang dapat diamati orang lain dari luar (Notoatmodjo, 2012).
2. Pengertian Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang bisa
diamati (observable) ataupun yang tidak bisa diamati (unobservable) yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan seseorang. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup
melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan
mencari penyembuhan bila terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
3. Teori determinan perilaku kesehatan
Perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavior causes).
Selanjutnya perilaku ditentukan dari tiga faktor yaitu :
1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pendukung (renabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana kesehatan, misalnya
puskesmas, obatobatan, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.

B. Perilaku Kesehatan Di Negara Berkembang


Karena masalah kesehatan yang menimpa individu dalam semua masyarakat sangat
erat berkaitan dengan usia dan perjalanan hidup, bab ini menggunakan perspektif
rentang kehidupanuntuk struktur pembahasan perilaku kesehatan di negara berkembang.
Review ini membahasmasalah-masalah kesehatan dalam tiga kategori yang luas; bayi dan
masa kanak-kanak , tahun-tahun reproduksi , dan kelompok usia dewasa dan tua . Fokus
pembahasan adalah pada faktor-faktor penentu perilaku kesehatan dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan modern. Isu-isu yang berhubungan dengan konsekuensi sosial dan

2
perilaku dari penyakit , manfaat relatif dari programintervensi alternatif untuk mencegah atau
mengendalikan penyakit , dan penggunaan pelayananmedis tradisional dan alternatif tidak
dibahas sistematis.
1. Bayi dan anak
Sesuai kebutuhan, diskusi tentang perilaku kesehatan yang berhubungan dengankelompok
usia termuda harus fokus pada persepsi dan tindakan pengasuh pada siapa bayidan anak
bergantung untuk kelangsungan hidup mereka . Dalam ukuran besar , ini bermuara untuk
memahami perilaku ibu-ibu , yang memegang tanggung jawab utama untuk perawatan dan
memberi makan anak-anak mereka . Memang, dalam kesehatan internasional begitu banyak
penekanan diberikan untuk kesejahteraan anak-anak, di negara berkembang, perilaku sehat
pada kenyataannya berfokus pada ibu sebagai subjek studi atau penelitian. Banyak literatur
yang membahas mengenai pengetahuan ibu dan praktik perilaku yang berhubungan dengan
kondisi kesehatan anak, hal ini termasuk menyusui bayi, pemberian makanan, perawatan
anak, manajemen rumah terhadap penyakit diare, pelayanan preventif (imunisasi, pemantauan
pertumbuhan), dan respon teraupetik terhadap infeksi pernapasan akut.
Inti
dari penelitian ini bertujuan untuk mencari atau mengidentifikasi karakteristik dari
ibu dan rumah tangga mereka yang berkaitan dengan perilaku yang disengaja. Seperti yang
dikemukakan sebelumnya, pendidikan ibu secara konsisten berhubungan dengan praktik
kesehatan yang positif. Faktor-faktor predisposisi lainnya adalah mendapatkan penyuluhan
kesehatan, pengalaman yang baik terhadap pelayanan kesehatan yang modern, support social
(ketersediaan pengganti untuk merawat), keadaan ekonomi dan sumber daya, serta
karakter personal. Beberapa penelitian juga telah memberikan perhatian pada variabel anak y
ang berpengaruh pada kesehatan, seperti perbedaan jenis kelamin dalam merespon kesakitan,
dan bagaimana kebiasaan atau perilaku bayi dapat mempengaruhi praktik pemberian
makanan. Untuk mengilustrasikan beberapa hal ini, penelitian-penelitian kemudian dipilih
yang selanjutnya direview pada bagian menyusui, imunisasi, dan manajemen rumah terhadap
penyakit diare. Intervensi-intervensi ini membuat tiga dari empat landasan intervensi
keberlangsungan hidup dari anak yang digolongkan kedalam akronim GOBI(growth
monitoring, oral rehydration, breast-feeding, and immunization) yang telah mendominasi
program kesehatan anak di negara-negara berkembang sejak awal tahun 1980-an.
a) Menyusui
Pada intervensi keberlangsungan hidup anak, penyuluhan tentang menyusui
memilikisejarah yang terpanjang dalam penelitian kesehatan internasional karena pengakuan
akan pentingnya pada dunia yang berkembang sebelum program akan keberlangsungan hidup
nyadilaksanakan. Seringkali, studi mengenai kebiasaan atau perilaku menyusui telah
dilaksanakan dengan konteks yang lebih luas terhadap pemberian makanan pada bayi
dan praktik penyapihan. Sebuah review dari Brownlee (1990) terhadap masalah perilaku
dimana pada bagian ini menunjukkan beberapa masalah yang biasa ditemukan di banyak
negara-negara berkembang. Pertama, terdapat praktik pemberian makan yang bersifat
merusak atau tidak baik, seperti menghilangkan colostrum, memberikan makanan prelaktal
sebelum menyusui, memperkenalkan makanan suplemen terlalu dini atau terlalu lambat,
persiapan pengganti ASI yang tidak benar, dan penggunaan makanan penyapihanyang tidak
akurat kandungan nutrisinya. Ke dua, praktik pemberian makan pada bayi dipengaruhi oleh
variabel sosial budaya seperti jaringan sosial, urbanisasi dan perubahan suasana sosial, pola

3
kerja wanita, pendapatan rumah tangga, jenis kelamin (perbedaan pemberian makan pada
bayi berjenis kelamin perempuan), kesehatan ibu dan nutrisi, serta iklan susu formula bayi.
Ke tiga , intervensi-intervensi untuk mempromosikan praktik pemberian makan pada bayi
yang optimal harus menyalurkan masalah yang ada pada tingkatan-tingkatan komunitas,
institusi kesehatan, kebijakan nasional, dan peraturan dari sektor komersil.Meskipun tingkat
menyusui telah menurun pada beberapa Negara berkembang, pada kebanyakan pengaturan
pada negara dunia ke tiga, masalah yang paling serius bukan terdapat pada jumlah penurunan
kegiatan pemberian ASI tetapi perkenalan dini dari makanan suplemen atau makanan
pendamping dan cairan pada diet bayi, mengarahkan kearah nutrisi yang suboptimal dan
pemaparan terhadap agen infeksi pada bayi. (WorldHealth Organization [WHO], 1981).
Meskipun pemilihan dari penggunaan botol susu sangat berhubungan dengan
masyarakat perkotaan, keterpaparan terhadap pengaruh media massa, status ekonomi, dan
pekerjaan ibu, pemilihan untuk memperkenalkan makanan pendamping melekat pada
kepercayaan ibu mengenai perasaan khawatir terhadap keakuratan dari produksi ASI mereka.
Alasan yang sering disebutkan oleh wanita untuk memperkenalkan makanan lain adalah
ketidak cukupan susu, disebabkan oleh diet mereka yang tidak akurat, stress, kesakitan, atau
deviasi dari norma-
norma perilaku (perlakuan seksual yang tidak baik). Penjelasan mengenai ketidak
cukupan susu (ASI) kemungkinan memasukkan variasi mekanisme psikososial, termasuk
pemahaman yang buruk mengenai laktasi, kurangnya dukungan sosial untuk menyusui, dan
situasi kehidupan yang stress yang meruntuhkan praktik laktasi (Huffman, 1984)
b) Imunisasi
Di negara berkembang, rutinitas imunisasi masa kanak-kanak direkomendasikan pada
enam penyakit yang dapat dicegah : difteri, pertussis (whooping cough), tetanus, polio,
measles, dan tuberkolosis. Penelitian tentang perilaku imunisasi secara konsepsi signifikan
karena meliputi konstelasi faktor-faktor yang berhubungan erat untuk memahami fungsi dari
pelayanan kesehatan preventif secara umum (Corcil, Augustin, Holt & Halsey, 1994). Hal
tersebut membutuhkan beberapa upaya atau kesempatan untuk mendapatkan perawatan di
fasilitas kesehatan terhadap absennya kesakitan pada anak dan melibatkan pengetahuan yang
kompleks dan biaya-biaya yang dibutuhkan selama proses nya. Penelitian terhadap faktor-
faktor yang menentukan penggunaan imunisasi telat mengidentifikasi variabel “user” dan
“service delivery system” yang beroperasi di setting yang berbeda. (Heggenhougen &
Clements, 1987: Pillsbury, 1990). Di sisi pengguna pada persamaan, penelitian telah
menunjuk keadaan hambatan yang dihadapi seperti pembatasan waktu ibu dan prioritas yang
bersaing, faktor-faktor sosial ekonomi, pengetahuan yang kurang, motivasi yang rendah,
ketakutan dan opini komunitas. Pada sisi jasa pengiriman (service delivery), faktor-faktor
yang berhubungan dengan aksebilitas, ketersediaan, akseptabilitas, keterjangkauan,
pendidikan dan komunikasi telah mendapatkan perhatian. Secara keseluruhan, literatur
tentang imunisasi telah menekankan tentang pentingnya pengetahuan orangtua terhadap
terhadap jenis dan jadwal pemberian vaksin yang disarankan serta tingkat kesulitan yang
dihadapi oleh keluarga dalam mendapatkan pelayanan. Banyak orang tua yang sangat kurang
pemahamannya tentang bagaimana vaksin bekerja, beberapa bahkan berpikir hal tersebut
dapat menyembuhkan penyakit. Selebihnya memiliki kesulitan untuk menjadwalkan waktu
untuk istirahat bekerja dan kebutuhan keluarga. Jadwal klinik seringkali tidak kompatibel
dengan ketersediaan waktu dari pasien atau pengguna klinik, dan cara staf klinik
memperlakukan orang tua seringkali menghambat pemanfaatan klinik. Analisis mengenai

4
program imunisasi yang sukses telah menggaris bawahi tentang pentingnya pendidikan,
outreach, monitoring dan sistem penyaluran yang bersahabat dalam menangani halangan-
halangan tersebut . (Sherris, Blackburn, Moore, & Mehta, 1996).
Adalah hal yang sebaiknya dicatat bahwa hambatan dalam imunisasi dan cara
menanganinya di negara-negara yang berkembang sangat mirip dengan relevansi untuk
industrialisasi dunia (Orenstein, Atkinson, Mason&Bernier, 1990). Masalah perilaku muncul
menjadi sesuatu yang penting dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan preventif transisi
nasional yang berbeda pada perkembangan ekonomi.
c) Manajemen Diare
Salah satu dampak dari perhatian internasional untuk memberikan control terhadap
diare selama tahun 1980-an telah mengakumulasikan suatu bentuk yang besar dari penelitian
comparative pada persepsi lokal dalam gangguan pencernaan dan manajemen rumah terhadap
penyakit diare, termasuk penggunaan oral rehydration terapy dan obat lain yang biasa
dipakai di rumah. (Sukkary-Stolba, 1990). Penelitian pada konstruksi budaya dalam diare
telah menunjukkan bahwa pada kebanyakan peristiwa terdapat beberapa nama kategori
penyakit dimana digolongkan gejala tinja yang encer dalam definisi mereka, yang seringkali
dibedakan ke dalam bentuk yang simpel dan kompleks, serta kemungkinan terdapat beberapa
etiologi untuk kategori penyakit yang serupa, setiap variasi dianggap memiliki patofisiologi
tersendiri atau yang bersifat unik dan pedoman rangkaian penanganan yang sesuai
(Coreil&Mull, 1988). Sebagai contoh, penelitian lintang budaya (cross-cultural) penyakit
diare telah mengidentifikasi kepercayaan etiologi yang berhubungan dengan keadaan panas
dan dingin tubuh, cacing perut, tumbuh gigi, diet, salah pencernaan, kuman, ilmu sihir,
pelanggaran tabu, mata jahat, ubun jatuh dan berbagai macam kondisi medik rakyat.
Keseriusan, prognosis, dan perawatan yang memadai dapat bervariasi tergantung pada
kategori penyakitnya. Temuan ini telah menunjukkan pentingnya penguraian atau penjelasan
yang valid secara budaya dalam hal penggunaannya pada investigasi pengetahuan dan
perilaku yang berhubungan dengan segala macam penyakit.
Diskusi mengenai proses pencarian pertolongan dalam manajemen diare telah
diberikan perhatian yang jawab terhadap ranah perawatan domestic, karena banyak dari
penelitian bertujuan pada pemahaman dan promosi penggunaan oral rehydration therapy di
rumah. Dalam hal ini, peran ibu sebagai manajer terapi untuk anak yang sakit disoroti,
termasuk pentingnya karakter dan pengetahuan ibu, peran gender, dan faktor-faktor ekonomi
seperti ketersediaan waktu ibu (Leslie, 1989). Variabel rumah tangga juga mendapatkan
perhatian pada analisa ini, seperti pada penelitian yang mendokumentasikan pentingnya
struktur keluarga dan sumber daya dalam pola respon terapi. Untuk memahami bagaimana
terapi yang baru mampu diintegrasikan ke dalam praktik tradisional, peneliti telah
mengidentifikasi tentang cara penanganan penyakit diare secara lokal atau kebiasaan pribumi,
termasuk modifikasi diet, obat-obatan herbal, pencahar, pijat, praktik ritual dan obat-obatan
farmasi. Temuan-temuan dalam penelitian terhadap manajemen diet tradisional pada penyakit
diare mengkontribusikan pergeseran kebijakan WHO yang menitikberatkan dari penggunaan
oral rehydration therapy rumahan sebagai respon awal kepada kejadian penyakit diare dan
mengarah ke rekomendasi perlanjutan kebiasaan pemberian makanan dan pemberian cairan
yang tersedia local.

5
2. Tahun-tahun Reproduktif
Masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan tahun-tahun reproduktif
kebanyakan fokus pada wanita, umumnya karena tingginya angka kematian maternal (ibu)
yang ditemukan pada negara berkembang. Walaupun kematian bayi adalah 10 kali lebih
besar di Negara-negara yang sedang berkembang dibandingkan dengan Negara-negara maju,
kematian maternal (ibu) 50 kali lebih besar bahkan lebih. Ada sejumlah faktor
yang berpengaruh terhadap hal tersebut, termasuk keadaan tidak menguntungkan dari status
social dan ekonomi wanita pada Dunia ketiga, status gizi kurang pada ibu, kebutuhan ibu
tidak mencukupi (deplesi ibu hamil) karena frekuensi kehamilan, akses pelayanan kehamilan
yang tidak akurat. Selain itu, tidak seperti kebanyakan masalah kesehatan pada dunia yang
sedang berkembang, yang sebagian besar dapat dihindari melalui perbaikan lingkungan, gizi
yang baik, usaha preventif care, dan deteksi dini, kematian maternal dapat dikurangi secara
signifikan hanya melalui akses pada intervensi menggunakan teknologi untuk komplikasi
kehamilan dan persalinan (Freedman & Maine, 1993). Usaha-usaha untuk mengidentifikasi
faktor risiko untuk 4 komplikasi utama yaitu pendarahan, eklampsia, infeksi, dan
obstructedlabor tidak berhasil untuk menyediakan kriteria deteksi dini. Sehingga, terdapat
perawatan gawat darurat untuk masalah-masalah tersebut yang membuat perbedaan apakah
wanita tersbut meninggal karena persalinan, dan hal ini menjelaskan perbedaan yang amat
besar kematian maternal antara masyarakat industry dan praindustri.
a. Keluarga Berencana
Walaupun tidak secara langsung dipraktekkan untuk pencegahan kematian maternal,
keluarga berencana dapat menurunkan kematian maternal pada saat sekarang hingga 25%
(Freedman & Maine,1993) melalui pengaturan jarak kelahiran, pencegahan aborsi yang
membahayakan, dan mengurangi sindrom deplesi ibu hamil. Keuntungan lain dari keluarga
berencana, melalui pengaturan jarak kehamilan dapat memperbaiki kesehatan dan status gizi
anak dan mengurangi tuntutan sosial dan ekonomi yaitu tingginya kesuburan mendesak pada
keluarga, masyarakat, Negara, dan dunia.

Pada awalnya, penelitian tentang keluarga berencana fokus pada status budaya dari
metode berbeda pada kontrasepsi (Polgar & Marshall, 1978). Saat ini, diskusi lebih konsen
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi praktik keluarga berencana secara umum
(McNicoll, 1992). Prevalensi dari penggunaan kontrasepsi modern adalah 32% pada Negara
berkembang, tidak termasuk China (Robey, Rutsein, Morris, & Blackburn, 1992). Faktor
demografi yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi adalah umur ibu, jumlah anak,
tempat tinggal di perkotaan, dan pendidikan ibu. Seperti yang diharapkan, wanita yang lebih
tua dengan jumlah anak banyak lebih memilih menunda menambah anak, dan wanita dengan
pendidikan tinggi dan tinggal di daerah perkotaan memilih untuk membatasi jumlah keluarga
mereka. Bagaimanapun, di Negara-negara yang mengalami transisi fertilitas akan lebih maju

6
(e.g Sri Lanka dan Thailand), pendidikan memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap
praktik keluarga berencana di daerah-daerah tersebut, wanita dari semua jenjang pendidikan
memilih membatasi fertilitas mereka.
Perhatian pada pendidikan dan faktor demografi lainnya dalam menjelaskan perilaku
kontraseptif mencerminkan pengaruh perubahan dari model ekonomi fertilitas yang
mendominasi area ini. Terutama pada dua decade terakhir. Analisis-analisis tersebut
berpedoman pada model “rational actor” pada perilaku manusia, yang menganggap bahwa
keputusan berdasar pada taksiran biaya dan keuntungan, peluang dan keterbatasan, faktor-
faktor sebagian besar dilaporkan dari proses transisi demografi. Bagaimanapun, beberapa
peneliti telah berpendapat bahwa perubahan budaya dan penyebaran teknologi kontrasepsi
(proses transisi kesehatan) keduanya juga merupakan variabel penting dalam menjelaskan
perubahan pada praktik kontrasepsi (Pollak & Watkins, 1993). Perhatian lebih telah
difokuskan pada penjelasan apa yang dinamakan celah KAP, yaitu perbedaan antara besarnya
jumlah umur produktif wanita yang tidak menginginkan memiliki banyak anak atau wanita
yang menunda kehamilan dan angka penggunaan kontrasepsi. Perencana menggunakan hal
ini sebagai sebuah indikator dari kebutuhan yang tidak dijumpai pada pelayanan keluarga
berencana, dan hal yang banyak didiskusikan adalah pada validitas dari metode yang
digunakan untuk menghitung kebutuhan. Untuk sejumlah kebutuhan yang tidak
dijumpai,peneliti telah menginvestigasi alasan kontrasepsi modern tidak digunakan, dengan
hasil-hasil yang mereka dapatkan mengarah pada faktor perilaku seperti kekhawatiran
terhadap efek samping atau pengaruh pada kesehatan, penolakan (tidak setuju) pada
kontrasepsi oleh wanita itu sendiri atau orang tua mereka, dan kepercayaan agama (NaIR &
Smith, 1984, Williams, Baumslag, & Jellife, 1994).
b. Penggunaan pelayanan maternal
Berbeda pada pengaruh yang kecil dari kematian maternal, perawatan sebelum
melahirkan (prenatal care) dapat secara signifikan meningkatkan kesehatan anak di negara
berkembang, dan ada keuntungan kesehatan ibu menjadi lebih baik. Diasumsikan bahwa
pelayanan prenatal pada faktanya tersedia, perilaku apa yang menentukan penggunaannya.
Penelitian secara konsisten menemukan kebalikan hubungan antara umur dan paritas pada
satu kasus dan penggunaan perawatan antenatal formal. Didapatkan bahwa umur dan paritas
memiliki hubungan yang kuat satu sama lain, hal ini menyarankan bahwa wanita yang lebih
tua dan memiliki pengalaman pengalaman yang lebih besar dalam memiliki anak, tidak
terlalu memilih menggunakan pelayanan prenatal, kemungkinan karena pengalaman mereka

7
yang sebelumnya meningkatkan kepercayaan diri mereka. Bagaimanapun, fakta dari
Philipina menunjukkan bahwa kehadiran anak yang lain yang membatasi paritas tinggi pada
wanita dalam mencari perawatan dan sangat kecil yang dapat dilakukan dari umur (Leslie &
Gupta, 1989). Hal ini kemungkinan karena faktor situasi yang lain berinteraksi dengan umur
ibu dalam pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan.
3. Dewasa Dan Usia Lanjut
Meskipun anak dan kesehatan reproduksi telah menjadi fokus dominan penelitian
kesehatan masyarakat dan kebijakan di negara-negara berkembang selama beberapa dekade,
telah ada peningkatan kekhawatiran tentang kebutuhan diabaikan dari populasi orang dewasa
tumbuh (Mosley, Jamison, & Henderson, 1990). Kematian orang dewasa dari penyakit kronis
semakin menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara-negara Dunia Ketiga,
tetapi tidak karena harga untuk penyakit ini terus meningkat, seperti yang umum diyakini.
Kematian usia-spesifik dari penyakit menular sebenarnya menurun, tetapi besarnya masalah
telah meningkat karena orang dewasa membuat sebagian tumbuh dari populasi orang dewasa
(Phillips, Feacham, Murray, Selama, & Kjellstrom, 1993). Meskipun penyakit tropis dan
lainnya menular, penyebab utama kematian orang dewasa adalah penyakit jantung, kanker,
dan cedera yang tidak disengaja.

a. Perilaku terkait AIDS.


Penelitian tentang perilaku yang berhubungan dengan AIDS telah memiliki lebih dari
orientasi murni perilaku dari penelitian tentang masalah kesehatan lainnya di negara
berkembang, terutama karena pencegahan begitu sangat tergantung pada aksi individu yang
disengaja. Akibatnya, belum ada upaya yang relatif lebih besar diarahkan pada
pengembangan model teoritis difokuskan perilaku terkait AIDS. Misalnya, Terapan
Perubahan Perilaku Model (Smith & Middlestad , 1993), AIDS Pengurangan Risiko Model
(Catania, Kegeles, & Coates, 1990), dan adaptasi lain dari teori perubahan perilaku telah
diterapkan dalam studi perilaku pencegahan AIDS . Sedangkan penelitian awal difokuskan
terutama pada hubungan antara variabel prediktor dan faktor risiko HIV, penelitian terbaru
membahas pengaruh psikososial dan budaya pada pengambilan keputusan dan hasil pada
berbagai tahap proses perubahan perilaku. Pada saat yang sama, yang lain telah mengarahkan
perhatian kita pada kondisi struktural dan sosial politik yang menciptakan apa yang disebut
kelompok risiko tinggi , seperti tekanan ekonomi yang memaksa miskin, perempuan marjinal

8
menjadi pekerja seks formal maupun kemitraan seksual untuk bertahan hidup ( McGrath dkk
. , 1992; Miles , 1993) .
Seperti penelitian tentang kontrasepsi dibahas sebelumnya dalam bab ini, penelitian
perilaku tentang AIDS menghadapi semua tantangan yang ditimbulkan oleh penelitian
tentang topik-topik sensitif secara sosial, dalam hal ini perilaku seksual yang berhubungan
dengan penyakit yang sangat hina. Banyak dari studi mengandalkan survei KAP untuk
ukuran aktivitas seksual, tapi bisa ada masalah dengan akurasi dan validitas informasi yang
dilaporkan (Schopper et al., 1993). Mengingat potensi masalah tersebut, penelitian
antropologi telah pikir penting dalam literatur AIDS, karena perhatiannya terhadap kepekaan
budaya dan konteks sosial dari perilaku, howefer, bahkan penelitian antropologi tidak dapat
digunakan secara tidak kritis (Standing, 1993). Memang, keragaman pendekatan metodologis
telah diterapkan untuk mempelajari perilaku seksual terkait AIDS, termasuk model
matematika yang kompleks dari kontak seksual (Anderson, 1992).
Diantara wilayah berkembang di dunia, Afrika merupakan yang terparah terkena
pandemic AIDS. Di Afrika, wanita memiliki resiko lebih besar terkena HIV disbanding pria,
bukan karena perilaku mereka sendiri namun karena perilaku seksual pria. Pria dilaporkan
paling banyak sebagai partner seks wanita, dan mereka cenderung memiliki hubungan dengan
wanita yang lebih muda, yang membentuk kohort yang lebih luas dalam
populasi.Konsekuensinya, prevalensi infeksi HIV di kalangan wanita di wilayah ini lebih
tinggi, dan ini berimplikasi pada transmisi ibu hamil-bayi (Decosas &Pedneault,1992).
Wanita secara tradisional telah menjadi kelompok target intervensi kesehatan masyarakat;
seperti, program pencegahan AIDS yang memberikan pesan seks aman pada wanita, tapi
pada kenyataannya mereka memiliki control yang sedikit pada resiko perilaku dari pasangan
pria mereka.
a. Penyakit Tropis dan Perilaku.
Komponen khusus dari perilaku kesehatan di Negara berkembang adalah pentingnya
aktivitas individu, rumah tangga, dan komunitas yang berhubungan dengan penyakit tropis.
Walaupun bukan penyebab utama kematian dewasa, penyakit tropis seperti malaria, sakit
kuning, filiriasis, skistomiasis,demam berdarah, drakunkualis (kutu guinea), onkosersiasis,
dan trakoma menyumbang untung jumlah kesakitan dan kematian yang signifikan di wilayah
berkembang. Penyakit infeksi dan parasit ini berhubungan erat dengan kondisi linkungan,
termasuk kemiskinan dan kekurangan air bersih serta sanitasi, dan banyak dari control
variable yang tersedia adalah intervensi kesehatan masyarakat berbasis komunitas.

9
Bagaimanapun, pekerjaan public skala besar seperti peningkatan suplai air dan control vector
kimia seringkali membutuhkan tingkat pendanaan dan pengembangan infrastruktur yang
diluar jangkauan pemerintah local. Dalam kesadaran akan kegagalan usaha dalam control
lingkungan, perubahan perilaku mengalami peningkatan perhatian dalam hal control penyakit
tropis beberapa tahun terakhir. Tergantung pada penyakit, pengukuran control perilaku yang
spesifik seringkali melibatkan aspek teknologi (seperti pil propilaktik untuk malaria, kelambu
untuk demam berdarah, penyaring air untuk kutu guinea) atau praktik hygienis (cuci muka
untuk trakoma, pemakaian jamban untuk skistomiasis). Usaha untuk mendorong orang
mengadopsi ukuran-ukuran tersebut seringkali menemukan hambatan sosioekonomi dan
budaya yang kompleks yang menghalangi pemasukan rekomendasi perubahan perilaku ke
dalam aktivitas sehari-hari. Pendidikan kesehatan intensif dan usaha komunikasi organisasi
dibutuhkan untuk mendukung perubahan perilaku (Gordon,1988).
Studi transmisi penyakit tropis telah mengidentifikasi variasi perilaku manusia
(seperti air, habitat, dan aktifitas penghidupan) berhubungan dengan paparan vector penyakit.
Model teori memandu penelitian perilaku pada penyakit tropis, tidak mengejutkan, telah
memiliki orientasi ekologi yang kuat, dengan penekanan pada pengaruh lingkungan dan
respon adaptif individu. Beberapa tahun terakhir, peneliti telah mengintegrasikan perspektif
produksi rumah tangga dengan pendekatan ekologi tradisional untuk penyakit tropis. Sebagai
contoh, Castro dan Mokate (1988) menganalisa determinan individu, rumah tangga, dan
komunitas pada malaria di Colombia, menyoroti pentingnya variable seperti pola pekerjaan
dan pola pengumpulan air yang mengatur paparan terhadap gigitan nyamuk. Sama dengan
Coreil, Whiteford, dan Salazar (1997) menggunakan model untuk mempelajari ekologi rumah
tangga transmisi penyakit dari demam berdarah di republic Dominica, menguji aspek
biofisik, social, dan lingkungan budaya yang mempengaruhi perilaku berisiko, perilaku
transmisi, dan perlindungan risiko untuk nyamuk.
Pada ulasan pola social dari skistosomiasis, Huang dan Manderson (1992)
mengidentifikasi skistosomiasis sebagai penyakit perlaku, dimana paparan terhadap vector
keong dikondisikan oleh factor seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan agama. Selain
mengakui konteks politik proyek pengembangan yang menyebarkan vector, pengulas
mencatat pentingnya peran wanita yang membawa mereka pada kontak yang lebih besar
dengan air dibandingkan pria atau larangan agama yang memberikan efek sebaliknya. Lebih
lanjut, pengetahuan dan persepsi mengenai penyakit ditemukan mempengaruhi
paparan/kontak pada resiko seperti perilaku pencarian pengobatan, komponen penting dari

10
control penyakit karena penderita penyakit kronis dapat menginfeksi yang lain melalui
kontak air.
Studi lintas budaya dari malaria telah mendokumentasikan pentingnya model
penjelasan asli untuk beberapa macam demam, dimana malaria sering satu jenis, dalam
respon local untuk mengontro pengukuran (Oaks, Mitchel,Pearson & Carpenter, 1991). Ada
beberapa penyebab tipe demam malaria, beberapa darinya terlihat diluar control individu
(seperti kerja keras, demam) dengan demikian, komunitas masih skeptic tentang
kemungkinan pencegahan infeksi ini).
C. Perilaku dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Lingkungan
Kawasan Industri

 Solidaritas Sosial
1) Pengertian solidaritas sosial
Solidaritas dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “Takaful”23 yang artinya dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung pengertian Sifat (perasaan) solider;
sifat satu rasa (senasib dsb); perasaan setia kawan.24 Adapun pengertian solidaritas menurut
Siti Sholehah adalah sikap saling membantu, menanggung dan memikul kesulitan dalam
hidup bermasyarakat.

Secara terminologi, solidaritas sosial adalah potensi spiritual komitmen bersama


sekaligus jati diri bangsa. Oleh karena itu, kesetiakawanan sosial merupakan Nurani Bangsa
Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran,
keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-
masing dari warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban
demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Oleh karena itu,
kesetiakawanan sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial yang ada
dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-
cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu, masyarakat sejahtera.
Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis dalam
membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan solidaritas sosial
merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Menurut Durkheim dikutip
dari Johnson menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan
antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang
dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
1. Bentuk-bentuk Solidaritas sosial
11
Menurut Durkheim, solidaritas sosial dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori
yakni solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
a) Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik pada umumnya terdapat pada masyarakat primitif, terbentuk
karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama
dan memerlukan keterlibatan secara fisik. Solidaritas tersebut mempunyai kekuatan sangat
besar dalam membangun kehidupan harmonis antara sesama, sehingga solidaritas tersebut
lebih bersifat lama dan tidak temporer.

Solidaritas mekanik juga didasarkan pada tingkat homogenitas yang tinggi. Tingkat
homogenitas yang tinggi dengan tingkat ketergantungan antar individu yang sangat rendah.
Hal ini dapat dilihat misalnya pada pembagian kerja dalam masyarakat. Dalam solidaritas
mekanik, individu memiliki tingkat kemampuan dan keahlian dalam suatu pekerjaan yang
sama sehingga setiap individu dapat mencukupi keinginannya tanpa bergantung dengan
individu lain.

Ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran
kolektif yang kuat, yang menunjuk pada totalitas-totalitas kepercayaan dan sentiment-
sentimen bersama. Dimana ikatan kebersamaan tersebut terbentuk karena adanya kepedulian
diantara sesama. Solidaritas mekanik terdapat dalam masyarakat yang homogen terutama
masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, karena rasa persaudaraan dan kepedulian
diantara mereka biasanya lebih kuat daripada masyarakat perkotaan. Ia menyimpulkan
bahwa masyarakat primitive dipersatukan terutama oleh fakta nonmaterial, khususnya oleh
kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang biasa ia sebut sebagai kesadaran
kolektif.
Bagi Durkheim, indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang
lingkup dan kerasnya hokum-hukum yang bersifat represif (menekan). Anggota masyarakat
ini memiliki kesamaan satu sama lain dan mereka cenderung sangat percaya pada moralitas
bersama, apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main
oleh seriap individu.

Hukuman yang dikenakan terhadap pelanggaran aturan-aturan represif itu pada


hakikatnya adalah merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif untuk menjamin supaya
masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan teratur dan baik. Ikatan yang
mempersatukan anggota-anggota masyarakat disini adalah homogen dan masyarakat terikat
satu sama lain secara mekanik.
Perilaku disebut melawan hukum jika dipandang mengancam atau melanggar
kesadaran kolektif. Jenis dan beratnya hukuman tidak selalu harus mempertimbangkan

12
kerugian atau kerusakan yang yang diakibatkan oleh pelanggarannya, tapi lebih dirasakan
pada kemarahan bersama akibat terganggunya kesadaran kolektif seperi penghinaan untuk
menjamin supaya masyarakat yangbersangkutan berjalan dengan teratur dan baik.
b) Solidaritas organik
Solidaritas organik merupakan sebuah ikatan bersama yang dibangun atas dasar
perbedaan, mereka justru dapat bertahan dengan perbedaan yang ada di dalamnya karena
pada kenyataannya bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang
berbeda-beda.32 Tetapi perbedaan tersebut saling berinteraksi dan membentuk suatu ikatan
yang sifatnya tergantung. Masing-masing anggota masyarakat tidak lagi dapat memenuhi
semua kebutuhannya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar
dengan orang atau kelompok lain. saling ketergantungan antar anggota ini disebabkan karena
mereka telah mengenal pembagian kerja yang teratur.

Solidaritas organik biasanya terdapat dalam masyarakat perkotaan yang heterogen.


Hubungan atau ikatan yang dibangun biasanya didasarkan atas kebutuhan materi atau
hubungan kerja dalam sebuah perusahaan. Pembagian yang mencolok terdapat dalam
masyarakat perkotaan yang sebagian masyarakatnya bekerja dalam berbagai macam sektor
perekonomian. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial
menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, sehingga tingkat
solidaritas organik uncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Bertambahnya
spesialisasi dalam pembagian pekerjaan akan berakibat pada bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan akan berakibat pada bertambahnya saling ketergantungan antara
individu, yang juga meungkinkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu.
Munculnya perbedaan-perbedaan dikalangan individu merombak kesadaran kolektif itu,
yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial.

Akibat dari pembagian kerja yang semakinrumit, timbullah kesadaran yang lebih
mandiri.33 Kesadaran individual berkembang dala cara yang berbeda dari kesadaran kolektif,
seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif. Sehingga kepedulian diantara
sesama menjadi luntur dan berkurang dalam sebuah masyarakat. Dari kondisi tersebut
timbullah aturan-aturan baru yang berlaku pada individu, misalnya aturan bagi para dokter,
para guru, buruh atau pekerja, konglomerat, dan sebagainya. Aturan-aturan tersebut
menurut Durkheim yangdisebut bersifat restitutif.
Hukum yang bersifat restitutuf (memulihkan), ia bertujuan bukan untuk menghukum

13
melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Hukum restitutif berfungsi untuk melndungi dan mempertahankan pola ketergantungan
antara berbagai individu dan kelompok yang berbeda. Hukuman yang diberikan bukan untuk
balas dendam tapi untuk memulihkan keadaan. Jenis dan beratnya hukuman disesuaikan
dengan parahnya pelanggaran yang dilakukan dan dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak
korban atau menjamin bertahannya pola ketergantungan yang tercipta dalam masyarakat.

Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik

Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik


1. Pembagian kerja 1. Pembangian kerja
rendah tinggi
2. Kesadaran kolektif 2. Kesadaran kolektif
kuat lemah
3. Hukum represif 3. Hukum restitutif
dominan dominan
4. Konsensus terhadap 4. Konsensus pada
pola-pola normative nilai-nilai abstrak
penting dan umum penting
5. Individualitas 5. Individualitas tinggi
rendah
6. Keterlibatan 6. Badan kontrol sosial
komunitas dalam yang menghukum
menghukum orang orang-orang yang
yang menyimpang
menyimpang
7. ketergantungan
7. ketergantungan tinggi
rendah 8. Bersifat industrial
Perkotaan
8. Bersifat primitive
atau pedesaan

14
3) Gotong royong
Solidaritas tentunya tidak lepas dari makna gotong royong. Hubungannya dengan
gotong royong, Sajogyo mengatakan bahwa gotong royong merupakan satu bentuk tolong
menolong yang umumnya berlaku pada daerah pedesaan Indonesia. Gotong royong sebagai
bentuk kerjasama antar individu, individu dengan kelompok, dan diantara sesama kelompok
membuat suatu norma yang saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani
permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk gotong royong seperti ini
merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial, karena salah satu sumber solidaritas adalah
gotong royong.
Gotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan
bersifat suka rela dengan tujuan agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan
lancar, mudah dan ringan. Menurut Kentjoroningrat dalam Rary, gotong royong atau tolong
menolong dalam komunitas kecil bukan saja tergolong oleh keinginan spontan untuk
berbakti kepada sesama, tetapi dasar tolong menolong adalah perasaan saling membutuhkan
yang ada dalam jiwa masyarakat.

Perilaku masyarakat dalam kegiatan gotong royong menunjukkan bentuk solidaritas


dalam kelompok masyarakat tersebut. Gotong royong merupakan ciri bangsa Indonesia yang
berlaku secara turun-temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata dalam tata
nilai kehidupan sosial. Nilai tersebut menjadikan kegiatan gotong royong selalu terbina
dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan yang patut untuk dilestarikan.
Gotong royong sebagai solidaritas sosial mengandung dua pengertian, yaitu gotng
royong dalam bentuk tolong menolong dan gotong royong dalam bentuk kerja bakti.
Keduanya merupakan sama-sama bertujuan untuk saling meringankan beban namun berbeda
dalam hal kepentingan. Tolonng menolong dilakukan untuk kepentingan perseorangan pada
saat kesusahan atau memerlukan bantuan dalam menyeesaikan pekerjaannya sehingga pihak
yang bersangkutan mendapat keuntungan dengan adanya bentuan tersebut. Sedangkan kerja
bakti dilakukan untuk kepentingan bersama sehingga keuntungannya pun dirasakan bersama
baik bagi warga yang bersangkutan maupun orang lain walaupun tidak turut serta dalam
kerja bakti. Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara
sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi
sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga memunculkan kebersamaan
komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh.
Pada akhirnya menumbuhkan kembali solidaritas sosial.

15
Menurut Koendjaraningrat dalam Suprihatin mengemukaan konsep atau bentuk kegiatan
gotong royong sebagai berikut :
a) Gotong royong dalam kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti
siskamling, memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan
umum, dsb. Dalam hal ini penduduk desa dapat bergerak untuk kerja bakti
atasperintah dari kepala desa.
b) Gotong royong dalam menangani musibah seperti kematian, sakit, atau
kecelakaan, dimana keluarga yang tertimpa musibah tersebut mendapat
pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangga dan orang lain
yang tinggal di desa sekitar.
c) Gotong royong dalam pesta atau hajatan, bantuan tidak hanya dapat
diminta dari kaum kerabat saja tetapi juga tetangga untuk mepersiapkan
dan penyelenggaraan pestanya.

16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan materi mengenai “Perilaku Kesehatan Masyarakat di Negara
Industri & Negara Berkembang” dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua
kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat
diamati oleh pihak luar.

Perilaku kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan derajat kesehatan
masyarakat. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Faktor genetik adalah modal
dasar untuk perkembangan perilaku makhluk hidup untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan
merupakan lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara
kedua faktor tersebut disebut dengan proses belajar.
Bab ini menggunakan perspektif rentang kehidupan untuk struktur pembahasan
perilaku kesehatan di negara berkembang ini membahas masalah-masalah kesehatan dalam
tiga kategori yang luas:
1. Bayi dan masa kanak kanak
2. Tahun-tahun reproduksi
3. Kelompok usia dewasa dan tua
Adapun Perilaku Kesehatan Di Negara Industri lebih tepatnya Perilaku dalam
Kehidupan Sosial Masyarakat di Lingkungan Kawasan Industri Solidaritas Sosial. Solidaritas
sosial adalah potensi spiritual,komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa. Bentuk – bentuk
Solidaritas Sosial meliputi :
a.) Solidaritas Mekanik
b.) Solidaritas Organik
c.) Gotong Royong
d.) Perilaku Konsumtif

B. SARAN
Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang telah menjadi semakin
kabur karena banyak negara yang kurang berkembang. Untuk itu sangat diharapkan agar
mampu membuat langkah penting dalam kondisi sosial serta pengembangan ekonomi.
Meskipun telah lama diakui bahwa bangsa-bangsa di dunia tidak termasuk secara rapi
menjadi dua kategori "lebih" dan "kurang" maju, melainkan meluas di sebuah kontinum
keragaman sosial ekonomi, hanya baru-baru ini pengamat mencatat bahwa indikator
kesehatan dan kualitas hidup bisa sangat bervariasi di negara-negara yang secara tradisional

17
dianggap terbelakang. Meskipun negara-negara maju sangat urbanisasi dan industri, negara
berkembang memiliki ekonomi terutama pertanian didukung oleh penduduk tinggal di
pedesaan dengan pendidikan sedikit. Akses terhadap air bersih dan layanan medis modern
relatif rendah, dengan kematian bayi, anak gizi buruk dan mortilitas ibu yang sangat tinggi di
daerah yang kurang berkembang. Harapan hidup jauh lebih rendah, dan kesuburan jauh lebih
tinggi.

Oleh karena itu, penelitian perilaku kesehatan di negara-negara berkembang dibentuk


oleh tujuan kesehatan yang dominan mengurangi angka kematian anak dari penyakit menular
yang dapat dicegah, sedangkan di negara maju penekanan pada mengurangi angka kesakitan
dewasa dari penyakit kronis, terutama melalui modifikasi gaya hidup.

18
DAFTAR PUSTAKA

 https://www.scribd.com/presentation/501180986/Ppt-Perilaku-Kesehatan-Di-Negara-
Berkembang-Dan-Negara-Industri
 https://www.academia.edu/5714897/Kelompok_1_Perilaku_Kesehatan_di_Negara_Berkem
bang

19

Anda mungkin juga menyukai