Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH GANGGUAN AMAN NYAMAN

PATOLOGIS SISTEM INTEGUMEN REAKSI OBAT

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 3:


1. ASRUL
2. MASLANG
3. RAHAYU

PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN


DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR TAHUN AJARAN 2020-2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kelompok kami sehingga dapat

menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Gangguan Kebutuhan Rasa Aman dan

Nyaman Akibat Patologis Sistem Integumen dan Sistem Immune Tentang

Masalah Keperawatan Pada Reaksi Obat dan Alergi”. Makalah ini kami susun

untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.

Penulis menyadari bahwa didalam proses penulisan makalah ini masih

jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,

penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki

sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karena itu dengan rendah hati penulis

berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan, saran dan kritik yang

sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi

seluruh pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh

manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis.

Menurut A. Maslow disebutkan salah satu kebutuhan dasar manusia adalah

kebutuhan aman dan nyaman. Dimana keamanan adalah keadaan bebas dari

cedera fisik dan psikologis (Potter dan Perry, 2006). Sedangkan nyaman atau

kenyamanan, keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak

menyenangkan dan berespons terhadap suatu rangsangan yang berbahaya

(Carpenito, Linda Jual, 2000).

Sistem intergumen merupakan bagian sistem organ terbesar di dalam

tubuh yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar dan

produknya (keringat atau lendir), dimana sistem inilah yang membedakan,

memisahkan, melindungi, dan menginformasikan terhadap lingkungan

sekitarnya, dan berfungsi sebagai sistem imun yang memproteksi tubuh dari

sengan benda asing.

Sedangkan sistem kekebalan atau imunitas adalah suatu sistem

pertahanan tubuh yang digunakan untuk melindungi tubuh dari infeksi

penyakit atau kuman, dimana kuman atau penyakit ini berupa protein asing

yang berbeda dari protein tubuh yang sering disebut antigen. Antigen tersebut
akan disingkirkan, dinetralisirkan, atau dihancurkan oleh antibodi dalam

tubuh karena dianggap sebagai sesuatu benda asing. Secara garis besar, sistem

imun ini dibedakan menjadi sistem imun spesifik dan non spesifik. Dimana

sistem imun non spesifik bertugas sebagai lini pertama dalam melawan benda

asing. Sistem imun non spesifik terbagi menjadi tiga jenis yaitu yang bersifat

fisik, larut, dan selular. Jika sistem imun non spesifik jenis selular belum bisa

mengatasi serangan antigen, maka akan dilanjutkan oleh sistem imun spesifik

pada kulit aktivitasnya dilakukan oleh sel limfosit T dan B.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan rasa aman dan nyaman tersebut,

seseorang individu harus terbebas dari berbagai sistem dalam tubuh termasuk

sistem intergumen dan imun.


BAB II

PEMBAHASAN

A. GANGGUAN KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN AKIBAT PATOLOGIS


SISTEM INTEGUMEN DAN SISTEM IMMUNE

1. PENGERTIAN GANGGUAN KEBUTUHAN RASA AMAN

NYAMAN

Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan

psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter&

Perry, 2006). Keamanan juga berarti suatu kondisi ketika seseorang

atau suatu kelompok terhindar dari segala bentuk bahaya atau

ancaman. Aman adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan

psikologis. Pemenuhan kebutuhan keamanan dilakukan untuk

menjaga tubuh bebas dari kecelakaan baik pasien, perawat atau

petugas lainnya yang bekerja untuk pemenuhan kebutuhan tersebut

(Asmadi, 2008).

Kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan

ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan

sehari-hari) (Potter&Perry, 2006). Ketidaknyamanan adalah

keadaan ketika individu mengalami sensasi yang tidak

menyenangkan dalam berespon terhadap suatu ransangan.

Kenyamanan sering diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari


nyeri (Kolcaba, 1992) . Gangguan rasa nyaman berarti perasaan

kurang senang, lega, dan sempurna dalam dimensi fisik,

psikospiritual, lingkungan, dan social (SDKI, 2016).

2. PENGERTIAN SISTEM INTEGUMEN DAN SISTEM IMMUNE

A. PENGERTIAN REAKSI OBAT DAN ALERGI

1. PENGERTIANREAKSI OBAT DAN ALERGI

Alergi adalah suatu reaksi abnormal jaringan terhadap berbagai

substansi yang secara normal tidak berbahaya bagi individu pada

umumnya. Istilah alergi berasal dari bahasa Yunani (Allos= yang lain,

suatu penyimpangan dari cara biasa; ergon= kerja). Sehingga semua

keadaaan penderita yang menyimpang dari reaksi imun biasa

dinamakan alergi, seperti keadaan penderita yang mengalami reaksi

terhadap toksin, serbuk sari atau urtikaria yang disebabkan oleh

makanan tertentu.

2. ETIOLOGI REAKSI OBAT

Reaksi alergi disebabkan oleh adanya benda asing atau alergen

yang masuk ke dalam tubuh. Alergen bersifat antigenik, artinya

menyebabkan pembentukan antibodi atau mempunyai kemampuan

untuk menginduksi respon imun. Jika jaringan orang yang rentan

berulang kali terpapar dengan alergen, seperti mukosa nasal terhadap

serbuk sari, maka dapat mengakibatkan jaringan ini tersensitisasi

sehingga terjadi pembentukan antibodi. Dan pada pemaparan

berikutnya terjadi reaksi antigen-antibodi.


Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat

adalah:

a. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh

lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian,

belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme ini.

b. Sistem imunitas

Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang

mengalami penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya,

penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko

timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan

dengan populasi normal.

c. Usia

Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada

anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan

karena perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna.

Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya

orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih

tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi

menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang

berat.

d. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan

memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase

induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat

menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan,

Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada

penderita yang peka.

e. Infeksi dan keganasan

Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat

berat yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus

laten dengan human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan

pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

3. PATOFISIOLOGI

Ada dua macam mekanisme yang dikenal dalam perjalanan

terjadinya reaksi alergi obat. Pertama adalah mekanisme imunologis

dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya alergi obat

timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme

imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang

menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui

mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat,

over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolism

tubuh.
4. MEKANISME IMUNOLOGIS

Berdasarkan mekanisme imunologis perjalanan terjadinya reaksi

alergi obat dibagi menjadi beberapa tipe:

a. Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig

E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan

basofil. Perjalanan pertama dari obat dalam tubuh tidak

menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali

obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai

antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam

mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin.

Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-6

macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling

ditakutkan adalah timbulnya syok.

b. Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang

melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu

sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

c. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk

kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini

mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh


mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai

akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.

d. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi

mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi

tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah perjalanan

terhadap antigen.

5. MEKANISME NON IMUNOLOGIS

Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat

antibody-dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya

adalah aspirin. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih

mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara

langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh

langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel. Efek kedua,

diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat

menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena

penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu

secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang

lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi

generalisata diffuse.
6. MANIFESTASI KLINIS

Adapun gejala klinisnya :

a. Pada saluran pernafasan : asma

b. Pada saluran cerna : mual, muntah, diare, nyeri perut

c. Pada kulit urtikaria, angioderma, dermatitis, pruritus, gatal,

demam, gatal

d. Pada mulut : rasa gatal dan pembekalan bibir.

B. PENGKAJIAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN DAN SISTEM

IMMUNE

C. MASALAH KEPERAWATAN

a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen

b. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,

intradermal sekunder

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan

berlebih

e. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi

D. PENATALAKSANAAN

Penanganan terhadap reaksi alergi obat dapat dilakukan secara

Farmakologi dan non farmakologi.

1. Farmakologi

a. Sistemik
1) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat

sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah

prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis

medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema

fikstum, dan PEGA karena reaksi alergi obat. Dosis standar

untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

sehari.. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan

TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian

intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat

menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48

jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg

selama 4 hari pertama.

2) Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika

terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika

dibandingkan dengan kortikosteroid.

b. Topikal

1) Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit,

apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat

diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus

seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam

keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan


asam salisilat 1%.

2) Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan

membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya

hidrokortison 1% sampai 2 ½%.

3) Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang

menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep

lanolin 10%.

4) Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in

orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan

sofratulle atau krim sulfadiazin perak.

2. Non Farmakologi

1) Melindungi kulit khususnya, dengan tidak memberikan atau

menghentikan penggunaan obat yang diduga menjadi penyebab

alergi.

2) Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan

untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya alergi yang lebih parah

atau relaps setelah berada pada fase pemulihan.

3) Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan

cairan tubuhnya. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan

nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat

lesi di mulut dan tenggorok.

4) Pengobatan erythema multiforme major, SSJ dan NET pertama


kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan

pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan

perawatan gizi penderita

5) Bila diperlukan dapat menggunakan jenis sabun khusus dn

sunscrem

E. EVALUASI
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Perry dan Potter, 2002. Fundamental Keperawatan, Edisi 4. Penerbit buku

kedokteran :EGC

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi

Kebutuhan Dasar Klien. Jkarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai