Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

SEREBRAL PALSY, HIDROSEFALUS, DAN CTEV


MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

DOSEN:
DR. ANITA, M.Kep., Sp.Mat.

DISUSUN OLEH:
Kelompok 4
Serli Era Tania (1914301092)
Qurrota A’yun N. (1914301096)
Selpi Tiara Ariska (1914301057)
Herma Yanti (1914301062)
Mala Sari (1914301063)
Devi Fitriyani (1914301064)
Alfiaturrohmi (1914301066)
Wayan Yuli (1914301071)
Nessie Nina Azalia (1914301073)
Dilla Nopiyanan (1914301089)
Mardhatillah H. (1914301097)
Agil Cahya Batara (1914301098)
Ayu Wandira (1914301101)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan YME yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
pada mata kuliah Keperawatan Anak. Makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan Anak
dengan Serebral Palsy, Hidrosefalus, dan CTEV.”
Terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen kami, Ibu DR. Anita, M.Kep., Sp.Mat.
serta teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide sehingga makalah ini
dapat disusun dengan baik.
Kami berharap, makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun supaya makalah
selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Bandar Lampung, 01 Agustus 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan Serebral Palsy 2
2.2 Asuhan Keperawatan Anak dengan Serebral Palsy 8
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan Hidrosefalus 13
2.4 Asuhan Keperawatan Anak dengan Hidrosefalus 19
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Anak CTEV 25
2.6 Asuhan Keperawatan Anak CTEV 4
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 8
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Palsi serebralis merupakan kelainan motorik yang banyak diketemukan di negeri yang
telah maju Kelainan ini didapati pada satu dari 500 bayi. Spektrum kondisinya sangat luas
yang dapat menyebabkan lemahnya organ gerak, kesulitan belajar, epilepsy, serta
masalah pada penglihatan dan pendengaran (Su Laurent, 2011).
Hidrosefalus adalah adanya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi cairan
serebrospinal, yang dikrakteristikan dengan karena peningkatan volume cairan
serebrospinal, dilatasi sistem ventrikel dan peningkatan tekanan intrakranial (Nielsen,
2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan anak dengan serebral palsy?
2. Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan anak dengan hidrosefalus?
3. Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan anak CTEV?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami konsep dan asuhan keperawatan dengan serebral palsy?
2. Mahasiswa dapat memahami konsep dan asuhan keperawatan dengan hidrosefalus?
3. Mahasiswa dapat memahami konsep dan asuhan keperawatan CTEV?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan Serebral Palsy


2.1.1 Pengertian
Cerebral palsy adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan
permanen pada pergerakan maupun postur tubuh, yang terjadi disebabkan karena
adanya kerusakan pada saat perkembangan otak saat prenatal maupun postnatal, yang
mengakibatkan keterbatasan pergerakan dan dengan adanya gangguan motorik ini
diikuti dengan adanya kelainan pada persepsi sensori, kognitif, komunikasi dan
perilaku, epilepsi dan kelainan muskuloskleletal dapatan.

2.1.2 Etiologi
Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya.
Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu
keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995).
Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal,
perinatal dan postnatal.
1. Pranatal
a. Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom
(Soetjiningsih, 1995)
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun (Nelson, 1994)
c. Usia ayah < 20 tahun (Cummins, 1993) dan > 40 tahun (Fletcher,1993)
d. Infeksi selama masa kandungan
e. Perdarahan selama trimester tiga
f. Inkompeten serviks
g. Trauma
2. Perinatal
a. Hipoksia, sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama,
anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik
iskemik ensefalopati.

2
b. Perdarahan otak, Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersamaan
sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi
batang otak mengganggu pusat pernafasan sehingga terjadi anoksia.
c. Prematuritas, Bayi kurang bulan memiliki kemungkinan menderita perdarahan
otak yang lebih banyak daripada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah,
enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna.
d. BBLR (Berat Badan Bayi Rendah)
3. Pascanatal
a. Anoksia otak: tenggelam, tercekik, post status epilepticus.
b. Trauma kepala: hematom subdural.
c. Infeksi: meningitis/ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan
(Anonim,2002), septicaemia, influenza, measles dan pneumonia. (Eve, et al.,
1982)
d. Luka parut pada otak pasca operasi (Anonim, 2002)
e. Racun: logam berat, CO (Soetjiningsih, 1995)
f. Malnutrisi (Eve, et,al. 1982)

2.1.3 Klasifikasi
1. Berdasarkan gejala dan tanda neurologis (Swaiman, 1998; Gilroy, 1979;
Rosenbaum, 2003)
a. Spastik
1) Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami
spastik. Umumnya hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas atas.
2) Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas. Hal
ini disebabkan oleh spastik yang menyerang traktus kortikospinal
bilateral atau lengan pada kedua sisi tubuh saja. Sedangkan sistem–
sistem lain normal.
3) Hemiplagia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang
biasanya menyerang ekstremitas atas/lengan atau menyerang lengan
pada salah satu sisi tubuh.
4) Triplegia

3
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas. Umumnya
menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki pada
salah salah satu sisi tubuh
5) Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga
ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada
tungkai.

b. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya.
Pada CP tipe ini terjadi abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau
disertai dengan abnormalitas gerakan. Otak mengalami kehilanga
koordinasi muskular sehingga gerakan–gerakan yang dihasilkan
mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang abnormal.

c. Athelosis atau koreoathelosis


Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan
yang melebar. Athetosis terbagi menjadi:
1) Distonink
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami
distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak
seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya
menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang
dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada leher dan
kepala.
2) Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan
involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala
melakukan gerakan stereotype.

d. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan
kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun lengan

4
dapat menghasilkan gerakan yang mendekati kekuatan dan koordinasi
normal.

e. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
ektrapiramidal, seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.

2. Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita untuk


melakukan aktifitas normal (Swaiman, 1998; Rosenbaum, 2003)
a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak memerlukan
pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil, dapat bersekolah biasa,
aktifitas kehidupan sehari–hari 100 % dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi ialah
brace, tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat berfungsi
sebagai pengontrol gaya berat badan. Sebagian besar aktifitas kehidupan
sehari–hari dapat dilakukan sendiri dan dapat bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk, merangkak atau
mengesot, dapat bergaul dengan teman–temannya sebaya dan aktif.
Pengertian kejiwaan dan rasa keindahan masih ada, aktifitas kehidupan
sehari–hari perlu bantuan, tetapi masih dapat bersekolah. Alat ambulasi
yang tepat ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki, kebutuhan
hidup yang vital (makan dan minum) tergantung pada orang lain. Tidak
dapat berkomunikasi, tidak dapat ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa
keindahan tidak ada.

2.1.4 Tanda dan Gejala


1. Bayi usia di bawah 6 bulan
Secara umum, berikut tanda atau gejala cerebral palsy yang muncul pada bayi di
bawah 6 bulan:

5
a. Tidak mengangkat kepala ketika Anda menarik tangannya.
b. Tubuhnya terkulai lemas.
c. Saat dipeluk, tubuhnya menjauhi Anda.
d. Saat tubuhnya diangkat, kaki menjadi kaku dan bentuk kakinya bersilang.

2. Bayi di atas 6 bulan


Untuk bayi di atas 6 bulan, berikut gejalanya:
a. Bayi tidak berguling ke arah mana pun.
b. Ia kesulitan menyatukan tangannya.
c. Tangannya tak mampu menggapai mulutnya.
d. Ia menggapai sesuatu hanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya
hanya mengepal.

3. Bayi usia di atas 10 bulan


Sementara itu, pada bayi usia 10 bulan, gejala yang mungkin terlihat yaitu:
a. Merangkak dengan posisi miring, mendorong pakai satu tangan dan kaki
menyeret.
b. Mengesot menggunakan paha atau bokongnya.
c. Tidak dapat berdiri meski telah berpegangan atau bertumpu pada suatu
benda.

2.1.5 Patofisiologi
Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya
neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan berat otak rendah, Anoxia
merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak. Type athetoid/dyskenetik
disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, adanya
pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf nuclei cranial. Secara
umun cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan
retardasi mental (Wong’s, 2010).
Patofisiologi dari palsi serebral sangat berkaitan dengan proses perkembangan
otak manusia dan hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan tersebut.
Perkembangan otak manusia dan waktu puncak terjadinya meliputi berikut:
1. Neurulasi primer – Minggu 3-4 kehamilan

6
2. Perkembangan Prosensefalik – Bulan 2-3 kehamilan
3. Proliferasi neuronal – Bulan 3-4 kehamilan
4. Migrasi neuronal– Bulan 3-5 kehamilan
5. Organisasi – Bulan 5 dari kehamilan sampai bertahun-tahun pasca kelahiran
6. Mielinisasi – Lahir sampai bertahun-tahun pasca kelahiran
Penelitian kohort telah menunjukan peningkatan risiko pada anak yang lahir
sedikit prematur atau postterm (42 minggu) dibandingkan dengan anak yang lahir
pada 40 minggu.

2.1.6 Diagnosis
CP dapat didiagnosis menggunakan kriteria Levine (POSTER). POSTER
terdiri dari:
P- Posturing/ Abnormal Movement (Gangguan posisi tubuh atau gangguan bergerak)
O- Oropharyngeal problems (Gangguan menelan atau fokus di lidah)
S- Strabismus (Kedudukan bola mata tidak sejajar)
T- Tone (Hipertonus atau Hipotonus)
E- Evolution maldevelopment (refleks primitif menetap atau refleks protective
equilibrium gagal berkembang)
R- Reflexes (peningkatan refleks tendon atau refleks babinski menetap) Abnormalitas
empat dari enam kategori di atas dapat menguatkan diagnosis CP.

2.1.7 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Benzodiazepin
b. Baclofen
c. Dantrolene
d. Haloperidol
e. Botox
2. Terapi Wicara (Speech Therapy)
Terapi ini sebenarnya lebih ditujukan kepada anak-anak dengan cerebral palsy
yang memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dan berbicara. Pada bayi, terapi
wicara ini bisa dilakukan untuk melatih kekuatan otot mulut dan rahangnya,
sehingga dapat memperbaiki kemampuan berbicaranya nanti.
3. Fisioterapi

7
Ada beberapa jenis terapi fisik (fisioterapi) yang bisa diterapkan untuk membantu
bayi beradaptasi dengan kondisinya. Dokter akan menentukan jenis fisioterapi dan
teknik latihan tertentu yang dibutuhkan bayi dengan kondisi ini sesuai bagian
tubuh mana yang terdampak oleh cerebral palsy.
Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk meningkatkan kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi gerakan, dan kendali gerak bayi. Dengan begitu,
diharapkan bayi bisa melakukan aktivitas dengan normal, misalnya mengangkat
kepala, berguling, dan menggenggam.
4. Evaluasi Tumbuh Kembang
Ini merupakan salah satu komponen penting dalam penanganan cerebral palsy.
Tujuannya adalah untuk menilai apakah ada masalah dalam tumbuh kembang bayi
dan memberikan penanganan sedini mungkin agar bayi dapat tumbuh dan
berkembang dengan normal.
5. Pembedahan

2.2 Asuhan Keperawatan Anak dengan Serebral Palsy


2.2.1 Pengkajian
1. Pengkajian yang pelu dilakukan pada anak dengan Cerebral Palsy yaitu
(Suriadi, 2010):
a. Menilai setiap kunjungan ke posyandu mengenai keterlambatan
perkembangan.
b. Mencatat masalah defisit pada ortopedi, visual, auditori atau intelektual.
c. Menilai reflek bayi baru lahir, pada anak dengan cerebral palsy dapat
bertahan setelah usia normal.
d. Mengidentifikasi bayi yang memiliki gangguan pada otot atau postur
tubuh tidak normal (tulang belakang melengkung, kaku saat bergerak
melawan gravitasi, leher atau ekstremitas resisten terhadap gerakan pasif).
e. Mengidentifikasi gangguan motorik, seperti asimetris dan abnormal saat
merangkak (menggunakan 2 atau 3 ekstremitas), menggunakan tangan
dominan sebelum anak berusia prasekolah
2. Keluhan utama
Biasanya pada cerebral palsy didapatkan keluhan utama yaitu: Sukar makan
atau menelan, otot kaku, sulit bicara, kejang, badan gemetar, perkembangan
yang terlambat dari anak normal, perkembangan pergerakan kurang, postur

8
tubuh abnormal, refleks bayi persisten, ataxic, kurang tonus otot dan
permasalahan pada BAB dan BAK.
3. Riwayat kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada anak dengan cerebral palsy di dapatkan postur tubuh abnormal,
pergerakan kurang, otot kaku, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi,
Peningkatan atau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik
(lengkung punggung berlebihan) Kelemahan Otot, Retardasi Mental,
Gangguan Hebat- Hipotonia, Melempar/Hisap Makan, Gangguan
Bicara/Suara, Visual Dan Mendengar.
2) Riwayat Kesehatan masa lalu
Prenatal : adanya gangguan pergerakan janin, adanya penyakit ibu
(toxoplasmosis, rubella), keracunan kehamilan.
Natal : adanya premature, penumbungan atau lilitan tali pusar, trauma
lahir.
Postnatal : adanya truma kapitis, meningitis, luka paruh pada otak pasca
operasi, atau lesi karena trauma.
3) Riwayat kehamilan dan persalinan
Cerebral palsy biasanya terjadi pada ibu hamil yang usianya lebih dari 40
tahun, riwayat jatuh, kecelakaan, terjadi kesulitan waktu melahirkan, anoxia
janin.
4. Fungsi Intelektual
Biasanya ditemukan pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental
pada kira-kira dua pertiga individu), kecerdasan di bawah normal, kesulitan
belajar dan gangguan perilaku.
5. Pemeriksaan reflek
Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa
pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan
menggenggam menetap atau hiperaktif, hiperefleksia, klonus pergelangan kaki
dan reflek meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif
cepat.
6. Pemeriksaan tonus
Peningkatan ataau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik
(lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau

9
berpakaian, kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk
pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).
7. Pertumbuhan dan Perkembangan
1) Perlambatan perkembangan motorik kasar
Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat
sejalan dengan pertumbuhan, Monitor Respon Bermain Anak Lambat.
2) Tampilan motorik abnormal
Penggunaan tangan unilateral yang terlalu dini, merangkak asimetris
abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi,
menghisap buruk, kesulitan makan, sariawan lidah menetap.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan mobilitas fisik b.d spasme dan kelemahan otot.
2. Perubahan tumbuh dan kembang b.d gangguan neurovaskular.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d gangguan neurovaskular dan kesukaran
dalam artikulasi
4. Resiko aspirasi b.d gangguan neuromuskular.
5. Resiko Injury b.d spasme, pergerakan yang tidak terkontrrol dan kejang
6. Perubahan proses pikir b.d serebral injury, ketidakmampuan belajar.

2.2.3 Intervensi
Dx Intervensi Rasional
Gangguan -Ajarkan cara -Dengan mengajarkan anak
mobilitas fisik berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata
b.d spasme dan kata-kata yang pendek pendek meningkatkan
kelemahan otot. -Ajak untuk latihan yang kemampuan anak dalam
berbeda-beda pada berbicara
ekstremitas -Latihan dapat meningkatkan
-Kaji per Gerakan sendi- kemampuan otot-otot
sendi dan tonus otot -Melatih gerakan sendi-sendi
-Lakukan Terapi fisik dan tonus otot
Untuk menggerakkan -Terapi fisik dapat
anggota tubuh membantu kemampuan anak
-Berikan periode istirahat. -Dengan memberikan

10
periode istirahat dapat
membuat kondisi klien
menjadi lebih baik
Perubahan -Berikan diet nutrisi untuk -Mempertahankan berat
tumbuh dan pertumbuhan (Asuh) badan agar tetap stabil
kembang b.d -Berikan stimulasi atau -Agar perkembangan klien
gangguan rangsangan untuk tetap optimal
neurovaskular. perkembangan kepada -Memenuhi kebutuhan
anak (Asah) psikososial
-Berikan kasih sayang
(Asih)
Gangguan -Kaji respon dalam -mengetahui tingkatan
komunikasi berkomunikasi. komunikasi anak
verbal b.d -Ajarkan dan kaji makna -untuk melatih kemampuan
gangguan nonverbal. nonverbal
neurovaskular -Latih dalam penggunaan -meningkatkan kemampuan
dan kesukaran bibir, mulut dan lidah. berbicara
dalam artikulasi -Gunakan kartu/gambar- -melatih daya analisis anak
gambar/papan tulis untuk -untuk menentukan
memfasilitasi komunikasi. intervensi selanjutnya
-Konsultasikan dengan
dokter tentang kebutuhan
terapi bicara.
Resiko aspirasi -Pantau tingkat kesadaran,
b.d gangguan reflek batuk, reflek
neuromuskular. muntah, dan kemampuan
menelan
-Pantau status paru-paru
(misalnya, sebelum dan
setelah pemberian makan
serta sebelum dan setelah
pemberian obat)
-Tinggikan bagian kepala
dari tempat tidur selama

11
30 sampai 45 menit setelah
pasien makan
-Potong makanan kecil-
kecil
-Berikan makanan dalam
jumlah sedikit
-Hindari cairan atau
penggunaan pengental
-Sarankan konsultasi
kepada ahli patologi
bicara, jika perlu
Resiko Injury b.d -Hindari anak dari benda-
spasme, benda yang
pergerakan yang membahayakan
tidak terkontrrol -Perhatikan anak-anak saat
dan kejang beraktifitas.
-Gunakan alat pengaman
bila diperlukan.
-Bila ada kejang; pasang
alat pengaman dimulut
agar lidah tidak tergigit
-Lakukan suction.
-Pemberian anti kejang
bila terjadi kejang.
Perubahan proses -Kaji tingkat pemahaman
pikir b.d. serebral anak.
injury, -Ajarkan dalam
ketidakmampuan memahami percakapan
belajar. dengan verbal atau
nonverbal
-Ajarkan menulis dengan
menggunakan papan tulis
atau alat lain yang dapat
digunakan sesuai

12
kemampuan orangtua dan
anak

2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan
pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar manusia (komunikasi)
dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada pertahanan
daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh,
pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim
medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Anak dengan Hidrosefalus


2.3.1 Pengertian
Menurut Suriadi, (2016) Hidrocepalus adalah akumulasi cairan
serebrospinal dalam ventrikel cerebral, ruang subarachnoid, atau ruang
subdural. Sedangkan menurut Darto Suharso, (2009) Hidrosepalus adalah
kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi,
sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Menurut Dwita (2017) Hidrosefalus
berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti kepala.
Jadi dapat disimpulkan Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS
yang secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang
subrachnoid yang dapat menyebakan dilatasi sistem ventrikel otak dimana
keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun

13
gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intracranial yang
meninggi sehingga terjadi pelebaran di ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinal.

2.3.2 Etiologi
1. Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
Merupakan penyebab terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-
90%). Aqueduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali atau
abnormal, yaitu lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat
sejak lahit atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah
kelahiran.
b. Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya yang berhubungan dengan
sindrom Arnould-Jhiari akibat tertariknya medulla spinalis dengan medulla
oblongata dan cerebellum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen
magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c. Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia congenital Luscha dan Magendie yang
menyebabkan hidrosefalus obtruktif dengan pelebaran system ventrikel
terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya sehingga merupakan
suatu kista yang besar di daerah fosa pascaerior.
d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
Dapat terjadi congenital tapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder
suatu hematoma.

2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi
obliterasi ruangan subarahnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat
pirulen di aqueduktus sylviin atau system basalis. Hidrosefalus banyak terjadi
pada klien pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa
minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis. Secara
patologis terlihat pelebaran jaringan piamater dan arahnoid sekitar system

14
basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan
meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sistem kiasmatika dan
interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purunlenta lokasisasinya lebih
tersebar.

3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap
tempat aliran CSS. Pengobatannya dalam hal ini di tujukan kepada
penyebabnya dan apabila tumor tidak di angkat, maka dapat di lakukan
tindakan paliatif dengan mengalihkan CSS melalui saluran buatan atau pirau.
Pada anak, penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii biasanya suatu
glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III
disebabkan kraniofaringioma.

4. Perdarahan
Menurut Allan H. Ropper, 2011:360 Perdarahan sebelum dan sesudah
lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada
daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari
darah itu sendiri.

2.3.3 Tanda dan Gejala


1. Perubahan ukuran lingkar kepala yang meningkat dengan cepat
2. Ukuran lingkar kepala sangat besar lebih dari yang seharusnya
3. Titik tonjolan lunak (fontanel) di atas kepala yang menonjol dan sangat terlihat
4. Kulit kepala yang tipis dan mengkilap dengan aliran darah vena yang mudah
terlihat
5. Mata memandang atau terpakut ke bawah
6. Tidak mau makan atau nafsu makan menurun
7. Bayi muntah-muntah
8. Mudah mengantuk
9. Kejang tubuh
10. Penurunan kekuatan otot atau tubuh bayi melemah
11. Bayi menagis, rewel, atau mudah marah
12. Pertumbuhan tubuh tidak berjalan dengan baik

15
2.3.4 Patofisiologi
Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem
ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di
ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan
serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang
0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai
dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3,
selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke
foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan
kanalis spinalis. Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus,
yaitu:
1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling
jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh
adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula
yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.
2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus
hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau
tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di
ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab
terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:
a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya
stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.
b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik
saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista
arakhnoid, dan hematom.
c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,
termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili
arakhnoid.
3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom
vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan
serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau
pseudotumor serebri.

16
2.3.5 Diagnosis
1. Rontgen foto kepala, dengan prosedur ini dapat diketahui:
a. Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya
pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik
berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.
b. Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka
dari foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan
intrakranial.
2. Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan
ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi
selama 3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan
rubber adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat
lebih lebar 1-2 cm.
3. Lingkaran kepala
Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan
lingkar kepala melampaui satu atau lebih garisgaris kisi pada chart (jarak
antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak
yang besar lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena
hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional. Tetapi
jika hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka
penutupan sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.
4. Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 murni atau kontras
lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung
masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka
akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak
yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras
dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis.
Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di
rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah
ditinggalkan.
5. Ultrasonografi

17
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan
USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus
ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem
ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan
anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT
Scan.
6. CT Scan kepala
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS. Pada hidrosefalus komunikans
gambaran CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem
ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.
7. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan
menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat
bayangan struktur tubuh.

2.3.6 Penatalaksanaan
1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus
koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan obat
azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan
serebrospinal
2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi caira serebrospinal dengan
tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan subarachnoid.
3. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial, yakni:
drainase ventrikule-peritoneal, drainase lombo-peritoneal
4. Farmakologi: Asetazolamid, Furosemid, Antibiotika (Bila ada kuman
penyebab)
5. Pembedahan: Surgical removal or bypass the obstruction using a
ventriculoperitoneal (VP) shunt atau AV shunt. Komplikasi: Hernia
serebri, Kejang, dan Renjatan.

18
2.4 Asuhan Keperawatan Anak dengan Hidrosefalus
2.4.1 Pengkajian
1. Identitas
Meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, anak-ke,
BB/TB, alamat.
2. Keluhan Utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada
peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri kepala,
letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, dan kontriksi
penglihatan perifer.
3. Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang:
Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput otak dan
meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat meliputi seorang anak
mengalami pembesaran kepala. Tingkat kesadaran menurun (GCS <15),
kejang, muntah, sakit kepala, lemah, kelemahan fisik umum, akumulasi
secret pada saluran napas, dan adaya liquor dari hidung. Adanya
perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi.
Riwayat Kesehatan Lalu:
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak, kelaian
bawaan pada otak dan riwayat infeksi.
4. Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga (orang
tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan perubahan
peran dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengruhnya dalam
kehidupan sehari-hari. Baik dalam keluarga maupun masyarakata. Apakah
ada dampak yang timbul pada klien dan orang tua, yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal. Perawat juga memasukkan pengkajian

19
terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah:
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungan
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mengunakan pemeriksaan fisik secara head to-toe.
6. Pengkajian tingkat kesadaran
Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya dimensia.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien hidrosefalus biasanya berkisar
pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.
7. Pengkajian fungsi serebral, meliputi:
a. Status mental
Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. Pada
bayi dan anak-anak pemeriksaan statuss mental tidak dilakukan.
Fungsi intelektual. Pada beberapa kedaan klien hidrosefalus
didapatkan. Penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
b. Pengkajin saraf cranial, meliputi
- Saraf I (Olfaktori)
Pada beberapa keaaan hidrosefalus menekan anatomi dan
fissiologis ssaraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/ anosmia lateral atau bilateral.
- Saraf II (Optikus)
Pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema pupil saraf
otak II pada pemeriksaan funduskopi.
- Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens)
Tanda dini herniasi tertonium adalah midriasis yang tidak
bereaksi pada penyinaran. paralisis otot-otot ocular akan
menyusul pada tahap berikutnya. Konvergensi sedangkan alis
mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas,

20
Strabismus, nistagmus, atrofi optic sering di dapatkan pada anak
dengan hidrosefalus.
- Saraf V (Trigeminius)
Karena terjadinya paralisis saraf trigeminus, didapatkan
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah atau
menetek.
- Saraf VII (facialis)
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
- Saraf VIII (Akustikus)
Biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi pendengaran.
- Saraf IX dan X (Glosofaringeus dan Vagus).
- Saraf XI (Aksesorius)
- Saraf XII (Hipoglosus)
Indra pengecapan mengalami perubahan.
8. Mobilitas
Kurang baik karena besarnya kepala menghambat mobilitas leher
klien.
9. Pengkajian system motorik
Pada infeksi umum, didapatkan kelemahan umum karena kerusakan
pusat pengatur motorik.
a.Tonus otot. Didapatkan menurun sampai hilang
b. Kekuatan otot. Pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan
otot didapatkan penurunan kekuatan otot-otot ekstermitas.
c.Keseimbangan dan koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan
karena kelemahan fisik umum dan kesulitan dalam berjalan.
10. Pengkajian Refleks
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat reflex pada rrespon normal. Pada tahap lanjut,
hidrosefalus yang mengganggu pusat refleks, maka akan didapatkan
perubahan dari derajat refleks. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase
akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks
11. Pengkajian system sensorik

21
Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serbral b.d peningkatan TIK.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d perubahan kemampuan
mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolism.
3. Ansietas keluarga b.d keadaan yang kritis pada keluarga.
4. Resiko kerusakan integritas kulit b.d imobilisas, tidak adekuatnya.
5. Resiko infeksi b.d penumpukan cairan di otak (serebral)

2.4.3 Intervensi
No Dx.Kep Intervensi
1 ketidakefektifan 1. Monitor tanda - tada vital.
perfusi jaringan 2. Monitor adanya kebingungan, perubahan
otak (serebral) b.d pikiran pusing, pingsan.
Gangguan aliran 3. Monitor status neurologis dengan ketat an
darah ke otak bandingkan dengan nilai normal.
akibat peningkatan 4. Monitor status pernapasan: frekuensi, irama,
TIK kedalaman pernapaan, PaO2, PCO2, pH.
5. Kurangi stimulus dalam lingkungan pasien.
6. Sering percakapan dalam pendengaran pasien.
7. Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 atau
lebih.
8. Batasi cairan
9. Dorong keluarga untuk bicara pada pasien.
10. Lakukan latihan ROM-pasif.
11. Pertahankan suhu normal
2 Gangguan nutrisi 1. Kaji adanya alergi makanan 2. Kolaborahi
kurang dari dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kebutuhan tubuh kaloridan nutrisi yang dibutuhkan oleh pasien.
b.d perubahan 3. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

22
kemampuan 4. Yakinkan diet ang dimakan mengandung tinggi
mencerna serat.
makanan, 5. Anjurkan makan sedikit tapi sering.
peningkatan 6. Berat badan pasien dalam batas normal.
kebutuhan 7. Monitor adanya penurunan berat badan.
metabolism. 8. Monitor kulit kering
9. Monitor turgor kulit.
10. Monitor mual muntah.
11. Monitor Hb dan kadar Ht.
12. Monitor pucat, konjungtiva
3 Ansietas keluarga 1. Gunakan pendekatan yang tenang dan
b.d keadaan yang meyakinkan.
kritis pada 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
keluarga. perilaku pasien.
3. Dorong keluarga untuk menemani anak.
4. Jelaskan semua prosedur dan apa yang
dirasakan selama prosedur.
5. Dengarkan dengan penuh perhatian.
6. Bantu pasien untuk mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan.
7. Dorong keluarga untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, persepsi.
8. Instruksikan keluarga untuk menggunakan
teknik Relaksasi.
4 Resiko kerusakan 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
integritas kulit b.d yang longgar.
imobilisas, tidak 2. Hindari kerutan pada tempat tidur.
adekuatnya. 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering.
4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
dua jam sekali.
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan.
6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
derah yang tertekan.

23
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
5 Resiko infeksi b.d 1. Batasi pengunjung.
penumpukan cairan 2. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
di otak (serebral) tangan saat kunjungan dan setelah kunjungan.
3. Gunakan sabun antimikroba untuk mencuci
tangan.
4. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
tindakan keperawatan.
5. Monitor hitungan WBC.
6. Anjurkan masukan nutrisi yang cukup.
7. Ajarkan pada keluarga tanda dan gejala infeksi.
8. Ajarkan cara menghindari infeksi.
9. Kolaborasi terapi

2.4.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan
pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar manusia (komunikasi)
dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada pertahanan
daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh,
pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim
medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.

2.4.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Anak CTEV


2.5.1 Pengertian

24
CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang paling
sering terjadi seperti dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM,
dengan gambaran klinis tumit yang bergeser kebagian dalam dan kebawah,
forefootjuga berputar kedalam. Tanpa terapi, pasien dengan clubfoot akan
berjalan dengan bagian luar kakinya, yang mungkin menimbulkan nyeri dan
atau disabilitas. Meskipun begitu, hal ini masih menjadi tantangan bagi
keterampilan para ahli bedah ortopedik anak akibat adanya kecenderungan
kelainan ini menjadi relaps, tanpa memperdulikan apakah kelainan tersebut
diterapi secara operatif maupun konservatif. Salah satu alasan terjadinya relaps
antara lain adalah kegagalan ahli bedah dalam mengenali kelainan
patoanatomi yang mendasarinya. clubfoot seringkali secara otomatis
diangggap sebagai deformitas equinovarus, namun ternyata terdapat
permutasi dan kombinasi lainnya, seperti Calcaneovalgus,,
Equinovalgus danCalcaneovarus yang mungkin saja terjadi.

2.5.2 Etiologi
Penyebab utama CTEV tidak diketahui. Adanya berbagai macam teori
penyebab terjadinnya CTEV menggambarkan betapa sulitnya membedakan
antara CTEV primer dengan CTEV sekunder karena suatu proses adaptasi.
Beberapa teori mengenai penyebab terjadinya CTEV:
1. Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang tidak
dibuahi dan muncul sebelum fertilisasi.
2. Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang
mengimplikasikan defek terjadi antara masa konsepsi dan minggu ke-12
kehamilan.
3. Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain
hambatan temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau sekitar
minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi suatu
deformitasclubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi setelah
minggu ke-9, terjadilah deformitas clubfoot yang ringan hingga sedang.
Teori hambatan perkembangan ini dihubungkan dengan perubahan pada
faktor genetic yang dikenal sebagai “Cronon”. “Cronon” ini memandu
waktu yang tepat dari modifikasi progresif setiap struktur tubuh semasa

25
perkembangannya. Karenanya, clubfoot terjadi karena elemen disruptif
(lokal maupun umum) yang menyebabkan perubahan faktor genetic
(cronon).
4. Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan akibat intrauterine
crowding.
5. Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
6. Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.

2.5.3 Patofisiologi
Teori patogenesis clubfeet adalah sebagai berikut:
1. Penangkapan perkembangan janin dalam tahap fibula
2. Cacat anlage kartilaginosa dari talus
3. Faktor neurogenik: kelainan histokimia telah ditemukan di kelompok otot
peroneal posteromedial dan pasien dengan clubfeet. Hal ini mendalilkan
terjadi karena perubahan persarafan dalam kehidupan intrauterin
sekunder untuk acara neurologis, seperti stroke menyebabkan
hemiparesis ringan atau paraparesis. Hal ini lebih didukung oleh kejadian
35% dari varus dan equinovarus deformitas dalam spina bifida.
4. Mencabut fibrosis (atau myofibrosis) sekunder untuk jaringan fibrosa
meningkat pada otot dan ligamen: Dalam penelitian janin dan kadaver,
Ponseti juga menemukan kolagen dalam semua struktur ligamen dan
tendon (kecuali Achilles tendon), dan itu sangat longgar dan berkerut
bisa diregangkan. Tendon Achilles, di sisi lain, terdiri dari kolagen erat
berkerut dan tahan terhadap peregangan. Zimny et al menemukan
myoblasts di fasia medial pada mikroskop elektron dan mendalilkan
bahwa mereka menyebabkan kontraktur medial.
5. Insersi tendon anomali: Inclan mengusulkan arag hasil insersi tendon
anomali club feet. Namun, penelitian lain tidak didukung. Hal ini lebih
mungkin bahwa anatomi clubfeet dapat membuatnya tampak bahwa
insersi tendon anomlali.

2.5.4 Manifestasi Klinis

26
Gejala klinis dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga yang menderita
clubfootatau kelainan neuromuskuler, dan dengan melakukan pemeriksaan
secara keseluruhan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi prone, dengan bagian plantar yang
terlihat, dan supine untuk mengevaluasi rotasi internal dan varus. Jika anak
dapat berdiri , pastikan kaki pada posisi plantigrade, dan ketika tumit sedang
menumpu, apakah pada posisi varus, valgus atau netral.
Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis. Oleh
sebab itu agar selalu memeriksa gejala-gejala yang berhubungan dengan
kondisi- kondisi tersebut. Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi
(normalnya kaki bayi dapat dorso fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat
menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi 90° tidak
memungkinkan.
Kemungkinan manifestasi klinis yang ditemui adalah :
1. Tidak adanya kelainan congenital lain
2. Berbagai kekakuan kaki
3. Hipoplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan
4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki terlihat
relatif memendek.
5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung dengan alur
atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang
equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat lipatan kulit
transversal yang dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan
kaki. Atrofi otot betis, betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit
dipalpasi.
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat dieversikan dari
posisi varus. Kaki yang kaku ini yang membedakan dengan kaki
equinovarus paralisis dan postural atau positional karena posisi intra
uterin yang dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas
gerak sendi pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan
ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan terjadinya
deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit equinus dan dorsofleksi

27
pada sendi tarsometatarsal. Maleolus lateralis akan terlambat pada
kalkaneus, pada plantar fleksi dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak
terjadi pergerakan maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat
penonjolan korpus talus pada bagian bawahnya.
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian distal
anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis mengalami pergeseran
medial, plantar dan terlambat pada maleolus medialis, tidak terdapat
celah antara maleolus medialis dengan tulang navikularis. Sudut aksis
bimaleolar menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya
perputaran subtalar ke medial.
8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu otot-otot
tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta mengalami kontraktur
sedangkan otot-otot peroneal lemah dan memanjang. Otot-otot ekstensor
jari kaki normal kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki memendek.
Otot triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan adanya
spina bifida. Sendi lain seperti sendi panggul, lutut, siku dan bahu harus
diperiksa untuk melihat adanya subluksasi atau dislokasi.

2.5.5 Diagnosis
Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada waktu lahir
(early diagnosis after birth). Pada bayi yang normal dengan equinovarus postural, kaki
dapat mengalami dorsifleksi dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh bagian depan
tibia. “Passive manipulation dorsiflexion → Toe touching tibia → normal”. Bentuk
dari kaki sangat khas. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari kaki
terlihat relatif memendek. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung
dengan alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki. Kaki bagian belakang
equinus. Tumit tertarik dan mengalami inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang
dalam pada bagian atas belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis, betis
terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
Diagnosis Banding:

28
1. Postural clubfoot- disebabkan oleh posisi fetus dalam uterus. Kaki dapat
dikoreksi secara manual oleh pemeriksa. Mempunyai respon yang baik dan
cepat terhadap serial casting dan jarang akan kambuh kembali
2. Metatarsus adductus (atau varus)- adalah deformitas pada metatarsal saja.
Kaki bagian depan mengarah ke bagian medial dari tubuh. Dapat dikoreksi
dengan manipulasi dan mempunyai respon terhadap serial casting.
Deformitas ini dapat dideteksi secara dini pada saat prenatal dengan
ultrasonography atau terdeteksi saat kelahiran.

2.5.6 Penatalaksanaan
1. Non-Operative :
Pertumbuhan yang cepat selama periode infant memungkinkan untuk penanganan
remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga
tahapan yaitu : koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai
keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah
kembalinya deformitas.
Koreksi dari CTEV adalah dengan manipulasi dan aplikasi dari serial “cast” yang
dimulai dari sejak lahir dan dilanjutkan sampai tujuan koreksi tercapai. Koreksi ini
ditunjang juga dengan latihan stretching dari struktur sisi medial kaki dan latihan
kontraksi dari struktur yang lemah pada sisi lateral.
Manipulasi dan pemakaian “cast” ini diulangi secara teratur (dari beberapa hari
sampai 1-2 bulan dengan interval 1-2 bulan) untuk mengakomodir pertumbuhan yang
cepat pada periode ini. Jika manipulasi ini tidak efektif, dilakukan koreksi bedah
untuk memperbaiki struktur yang berlebihan, memperpanjang atau transplant tendon.
Kemudian ektremitas tersebut akan di “cast” sampai tujuan koreksi tercapai. Serial
Plastering (manipulasi pemasangan gibs serial yang diganti tiap minggu, selama 6-12
minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan menggunakan sepatu khusus, sampai
anak berumur 16 tahun.
Perawatan pada anak dengan koreksi non bedah sama dengan perawatan pada
anak dengan anak dengan penggunaan “cast”. Anak memerlukan waktu yang lama
pada koreksi ini, sehingga perawatan harus meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan
jangka pendek. Observasi kulit dan sirkulasi merupakan bagian penting pada
pemakaian cast. Orangtua juga harus mendapatkan informasi yang cukup tentang

29
diagnosis, penanganan yang lama dan pentingnya penggantian “cast” secara teratur
untuk menunjang penyembuhan.
Perawatan “cast” (termasuk observasi terhadap komplikasi), dan menganjurkan
orangtua untuk memfasilitasi tumbuh kembang normal pada anak walaupun ada
batasan karena deformitas atau therapi yang lama.
Perawatan “cast” meliputi :
1. Biarkan cast terbuka sampai kering
2. Posisi ektremitas yang dibalut pada posisi elevasi dengan diganjal bantal pada
hari pertama atau sesuai intruksi
3. Observasi ekteremitas untuk melihat adanya bengkak, perubahan warna kulit dan
laporkan bila ada perubahan yang abnormal
4. Cek pergerakan dan sensasi pada ektremitas secara teratur, observasi adanya rasa
nyeri.
5. Batasi aktivitas berat pada hari-hari pertama tetapi anjurkan untuk melatih otot-
otot secara ringan, gerakkan sendi diatas dan dibawah cast secara teratur.
Istirahat yang lebih banyak pada hari-hari pertama untuk mencegah trauma
Jangan biarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam cast, jauhkan benda-benda
kecil yang bisa dimasukkan ke dalam cast oleh anak.
6. Rasa gatal dapat dukurangi dengan ice pack, amati integritas kulit pada tepi cast
dan kolaborasikan bila gatal-gatal semakin berat
7. Cast sebaiknya dijauhkan dari dengan air

2. Operatif
Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :
1. Jika terapi dengan gibs gagal
2. Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
Operasi dilakaukan dengan melepasakan karingan lunak yang mengalami
kontraktur maupun dengan osteotomy. Osteotomy biasanya dilakukan pada kasus
club foot yang neglected/ tidak ditangani dengan tepat.
Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu, tindakan ini
dimulai dengan pemanjangan tendo Achiles ; kalau masih ada equinus,
dilakuakan posterior release dengan memisahkan seluruh lebar kapsul
pergelangan kaki posterior, dan kalau perlu, kapsul talokalkaneus. Varus
30
kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis medial dan
pemanjangan tendon tibialis posterior.(Ini Menurut BuKu Appley).
Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10
tahun atau kalau tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakanartrodesis triple
yang terdiri atas reseksi dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art.
talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid.

2.6 Asuhan Keperawatan Anak CTEV


2.6.1 Pengkajian
Biodata klien :
 Nama :Ny S
 Alamat :Dukuh Setro Ruwasan
 Agama :Islam
 Suku :Jawa
 Pekerjaan :Ibu rumah tangga
 Pendidikan :SMA
 Nama Suami :Tn W
 Pekerjaan suami :PNS guru
a. Keluhan Utama :
Kelainan pada kaki anak T yang masuk ke arah dalam dan terlihat kaku saat
menggerakkan kaki.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny S datang ke RSUA untuk memeriksakan anak T yang sampai sekarang (5 hari
kelahirannya) ketika menggerakkan kaki terlihat kaku dan kaki terlihat masuk ke
dalam. Ny S cemas dengan keadaan anaknya sehingga memeriksakan anaknya ke
RSUA.
c. Riwayat penyakit keluarga
Dalam keluarga Ny S tidak ada yang menderita kelainan seperti ini. Anak pertama
Ny S juga normal.
d. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal
1. Antenatal

31
Selama hamil Ny S ANC di puskesmas Tanah Kali Kedinding. Ny S tidak
merokok, tidak pernah mengkonsumsi alkohol, hanya minum obat-obatan dari
puskesmas saat ANC. Ny S juga tidak menderita penyakit apapun selama hamil.
2. Natal
Ny S melahirkan anak T di bidan desa secara spontan dengan usia kehamilan
38minggu. Anak T langsung menangis ketika lahir, berat badan 2900gram
dengan panjang 50cm.
3. Post natal
Setelah melahirkan anak T, Ny S menginap semalam di bidan desa tersebut dan
melakukan pemeriksaan postnatal pada bidan tersebut.
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan anak T belum terlihat secara signifikan karena
umur anak T baru 5 hari.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluaraga Ny S sampai saat ini hanya menderita sakit seperti batuk, pilek,
demam ringan, dan tidak pernah sampai opname.
g. Riwayat Imunisasi
Anak T belum pernah menerima imunisasi apapun.
h. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola nutrisi
Sejak lahir sampai saat ini anak T hanya minum ASI.
2. Pola eliminasi
Anak T BAB dan BAK di pampers, BAB cair, berwarna kuning, dan berampas.
3. Pola aktivitas
Anak T ketika menggerakkan kaki terlihat kekakuan dalam menggerakkan.
4. Pola istirahat
Sehari-hari anak T tidur sekitar 12 jam.
5. Pola kebersihan diri
Sehari-hari anak T mandi diseka dua kali sehari dengan menggunakan air hangat

Review of System
1. B1(Breathing)
 RR : 50x/menit

32
 Suara nafas vesikuler
 Irama nafas regular
 Tidak ada alat bantu nafas
 Tidak ada retraksi otot bantu nafas
 Tidak ada pernafasan cuping hidung
2. B2
 TD 80/70 mmhg
 Nadi 80x/menit
 Crt 2 detik
3. B3
Tidak ada gangguan
4. B4
Diet ASI
5. B5
Tidak ada gangguan
6. B6
Akral hangat kering merah, tidak ada pucat, tidak ada jaundice, kaki terlihat kaku,
pergerakan tidak bebas, kaki terlihat masuk ke arah dalam

2.6.2 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera fisik
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal
4. Ansietas berhubungan dengan abnormalitas kaki pada anak.

2.6.3 Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera fisik
Tujuan : ketidaknyamanan yang dialami pasien tidak ada atau minimal
Kriteria Hasil:
a. Anak tidak menunjukkan bukti-bukti ketidaknyamanan
b. ketidaknyamanan minor dapat ditoleransi
Intervensi :
 Berikan posisi yang nyaman, gunakan bantal untuk menyokong area dependen

33
Rasional : Mengurangi ketegangan ekstremitas yang di gips
 Bila perlu batasi aktivitas yang melelahkan
Rasional : Untuk mencegah nyeri
 Hilangkan rasa gatal dibawah gips dengan udara dingin yang ditiupkan dari spuit
asepto, fan, atau pengering rambut.

Rasional : Udara dingin dapat mengurangi rasa gatal


 Hindari menggunakan bedak atau lotion dibawah gips
Rasional : Karena substansi ini mempunyai kecenderungan untuk ”menggumpal”
dan menimbulkan iritasi

2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips


Tujuan : Pasien tidak mengalami iritasi kulit
Kriteria Hasil : Tidak ditemukannya tanda- tanda kerusakan integritas kulit
Intervensi :
 Pastikan bahwa semua tepi gips halus dan bebas dari proyeksi pengiritasi
Rasional : Tepi gips yang tidak halus dapat mengiritasi kulit
 Jangan membiarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam gips
Rasional : Untuk mencegah trauma kulit
 Waspadai anak yang lebih besar untuk tudak memasukkan benda-benda kedalam
gips, jelaskan mengapa ini penting
Rasional : Untuk mendorong kepatuhan
 Jaga agar kulit yang terpajan tetap bersih dan bebas dari iritan
Rasional : Karena kulit yang tidak bersih dapat memicu timbulnya
 Lindungi gips selama mandi, kecuali jika gips sintetik tahan terhadap air
Rasional : Karena kulit dapat teriritasi akibat adanya air di dalam gips
 Selama gips dilepas, rendam dan basuh kulit dengan perlahan
Rasional : Karena gips akan mengeras dengan kulit terdeskuamasi dan sekresi sebasea

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal


Tujuan : Pasien mempertahankan penggunaan otot pada area yang tidak sakit
Kriteria hasil :
a. Ekstremitas yang tidak sakit tetap mempertahankan tonus otot yang baik.
b. Anak melakukan aktivitas yang sesuai dengan usia dan kondisi anak

34
Intervensi :
 Dorong untuk ambulasi sesegera mungkin
Rasional : Untuk meningkatkan mobilitas
 Ajarkan penggunaan alat mobilisasi seperti kurk untuk kaki yang di gips
Rasional : Untuk membantu melatih ekstremitas dengan bantuan penopang berat
badan
 Dorong anak dengan alat ambulasi untuk berambulasi segera setelah kondisi
umumnya memungkinkan
Rasional : Untuk melatih dan meningkatkan mobil
 Dorong aktivitas bermain dan pengalihan
Rasional : Untuk melatih otot yang tidak sakit
 Dorong anak untuk menggunakan sendi-sendi di atas dan di bawah gips
Rasional : Untuk mempertahankan fleksibilitas dan fungsi sendi

4. Ansietas berhubungan dengan abnormalitas kaki pada anak.


Tujuan : Ibu pasien tidak cemas
Kriteria Hasil : Tidak ada ekspresi takut dari ibu pasien
Intervensi : Jelaskan apa yang terjadi pada An T termasuk faktor penyebab dan solusi
yang akan dilaksanakan pihak RS.
Rasional : Menghilangkan rasa takut dan mendorong kerja sama

2.6.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual,
kemampuan hubungan antar manusia (komunikasi) dan kemampuan teknis
keperawatan, penemuan perubahan pada pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan
komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh, pemantapan hubungan klien dengan
lingkungan, implementasi pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman
dan keselamatan klien.

2.6.5 Evaluasi

35
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian
dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan klien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.

36
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cerebral palsy adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan permanen
pada pergerakan maupun postur tubuh, yang terjadi disebabkan karena adanya kerusakan
pada saat perkembangan otak saat prenatal maupun postnatal, yang mengakibatkan
keterbatasan pergerakan dan dengan adanya gangguan motorik ini diikuti dengan adanya
kelainan pada persepsi sensori, kognitif, komunikasi dan perilaku, epilepsi dan kelainan
muskuloskleletal dapatan.
Menurut Suriadi, (2016) Hidrocepalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam
ventrikel cerebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural.
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot merupakan
istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki
berubah dari posisi normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas
yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan,
dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz)

37
DAFTAR PUSTAKA

[1] Adrian, Kevin. (2019). Gejala Cerebral Palsy pada Bayi dan Cara Menanganinya.
Alodokter. https://www.alodokter.com/gejala-cerebral-palsy-pada-bayi-dan-cara-
menanganinya
[2] Joseph, Novita. (2021). Apa itu Cerebral Palsy. Hellosehat, ditinjau oleh dr. Damar
Upahita. https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/penyakit-pada-anak/cerebral-
palsy/
[3] Septiandi, Ricky. (2015). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA
PASIEN CEREBRAL PALSY DI RUANG PEDIARATIC INTENSIV CARE UNIT
RSUD ABDUL WAHAB SYAHRANI SAMRINDA TAHUN 2015. Program Study
Profesi Ners STIKES Muhammadiyah Samarinda.
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/1137/RICKY%20SEPTIANDI,
%20S.Kep%20KIAN.pdf?sequence=1
[4] Budiasih, Anggit T. (2013). ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. R DENGAN
GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN MENINGITIS: CEREBRAL PALSY DI
RUANG MELATI II RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA. Program Studi Diploma III Keperawatan FIK Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/25876/12/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
[5] Selekta, Mayang C. (2018). Cerebral Palsy Tipe Spastik Quadriplegi Pada Anak Usia 5
Tahun. Majority Volume 7 Nommor 3.
[6] Trilestari. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. M DENGAN
HIDROSEFALUS POST PASANG SHUNTING DI RUANG RAWAT INAP ANAK
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2018. Program Studi
Diploma III Keperawatan STIKES Perintis Padang.
http://repo.stikesperintis.ac.id/144/1/22%20TRI%20LESTARI.pdf
[7] Rachmawati P.D., Krisna I. (2017). MODUL ASUHAN KEPERAWATAN PADA
ANAK DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN. Fakultaas Keperawatan
Universitas Airlangga. http://eprints.ners.unair.ac.id/1174/1/130%20Modul%20Neuro
%20ISBN%20new.pdf
[8]

38

Anda mungkin juga menyukai