Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Disusun Oleh :
1. Apriwan 8. M. Febri R
2. Anis Ma’rifah 9. Nurhalimah
3. Chika Indah 10. Ratri Puspaningsih
4. Erviana Yulianti 11. Siti Asiyah
5. Fanny Fatmawaty 12. Tutri Wulandari
6. Fika Novianti 13. Wahyudian K
7. Mertisa Angra 14. Yopita Sari

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME karna atas berkat dan rahmatnya yang telah
diberikan, kelompok dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Cidera Kepala” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kelompok
berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin, tetapi suatu karya tidaklah lepas dari
sebuah kekurangan sehingga kelompok mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
penyempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan yang membacanya sehingga menambah wawasan dan pengetahuan
tentang mata kuliah ini.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh

Jakarta, Oktober 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi.................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 7


A. Definisi Cidera Kepala............................................................................................ 7
B. Tekanan Itrakranial.................................................................................................. 7
C. Etiologi Cidera Kepala............................................................................................ 8
D. Klasifikasi Cidera Kepala........................................................................................ 8
E. Patofisiologi............................................................................................................. 10
F. Manifestasi Klinis.................................................................................................... 11
G. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................... 12
H. Penatalaksanaan....................................................................................................... 12
I. Komplikasi............................................................................................................... 13
J. Pencegahan.............................................................................................................. 14

BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN............................................ 17


A. Pengkajian Keperawatan......................................................................................... 17
B. Diagnosa Keperawatan............................................................................................ 18
C. Intervensi Keperawatan........................................................................................... 19
D. Implementasi Keperawatan..................................................................................... 20
E. Evaluasi Keprawatan............................................................................................... 21

BAB IV TINJAUAN KASUS............................................................................................ 22


A. Kasus....................................................................................................................... 22
B. Data Fokus............................................................................................................... 22
C. Analisa Data............................................................................................................ 23
D. Diagnosa Keperawatan............................................................................................ 24
E. Intervensi Keperawatan........................................................................................... 24
F. Implementasi Keperawatan..................................................................................... 25
G. Evaluasi Keperawatan............................................................................................. 25

BAB V Analisa Jurnal....................................................................................................... 26


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Anatomi Dan Fisiologi


Otak merupakan salah satu organ yang teksturnya lembut dan berada dalam
kepala. Otak dilindungi oleh rambut, kulit, dan tulang. Adapun pelindung otak yang lain
adalah lapisan meningen, lapisan ini yang membungkus semua bagian otak. , Lapisan ini
terdiri dari duramater, araknoid, piamater.

Gambar 1.1. Kepala (Sumber: Eric W. Baker 2014)


1. Tengkorak
Tengkorak merupakan kerangka kepala yang disusun menjadi dua bagian
kranium yang terdiri dari tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid dan
kerangka wajah terdiri dari tulang hidung, palatum, lakrimal, zigotikum, vomer,
turbinatum, maksila, mandibula.
Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah
tengkorak, yang licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan
gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan
bawah rongga dikenal dengan dasar tengkorak permukaan ini dilalui banyak lubang
supaya dapat dilalui serabut saraf dan pembuluh darah (Pearce, 2013).

1
2
3

2. Meningen

Gambar 1.2. Meningen (Sumber: Eric W. Baker 2014)

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen, ada tiga lapisan meningen yaitu
duramater, araknoid, dan piamater, masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang
berbeda.
a. Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis. Duramater melekat erat
dengan pemukaan dalam tengkorak. Duramater memiliki suplai darah yang kaya.
Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari
arteria karotis dan menyuplai fosa anterior. Duramater berfungsi untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena dan membentuk poriosteum tabula interna.
Diantara duramater dan araknoid terdapat ruang yang disebut subdural yang
merupakan ruang potensial terjadi perdarahan, pada perdarahan diruang subdural dapat
menyebar bebas , dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena yang
melewati otak yang melewati ruang ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong
oleh karena mudah terjadi cidera dan robek yang menendakan adanya trauma kepala.

b. Araknoid
Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini merupakan lapisan
avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan cerbrospinal, diantara araknoid dan piamater
4

terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu,
dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Araknoid membentuk tonjolan vilus.
c. Piamater
Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya akan pembuluh darah
halus, piamater merupakan satu-satunya lapisan meningen yang masuk ke dalam suklus
dan membungkus semua girus(kedua lapisan yang hanya menjembatani suklus). Pada
beberapa fisura dan suklus di sisi hemisfer, piamater membentuk sawar antara ventrikel
dan suklus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus
pada setiap ventrikel (Pearce, 2013).

3. Otak
Menurut Pearce (2013) Otak merupakan organ tubuh yang paling penting karena
merupakan pusat dari semua organ tubuh, otak terletak didalam rongga tengkorak
(kranium) dan dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang kuat.

Gambar 1.3. Otak (Eric W. Baker 2014)


a. Cerebrum
Cerebrum atau otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak,
berbentuk telur terbagi menjadi dua hemisperium yaitu kanan dan kiri dan tiap
hemisperium dibagi menajdi empat lobus yaitu lobus frontalis, parietalis, temporalis dan
oksipitalis. Dan bagian tersebut mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
1) Lobus perietalis
Lobus frontalis pada bagian korteks cerebri dari bagian depan suklus sentralis dan di
dasar suklus lateralis. Pada bagian ini memiliki area motorik dan pramotorik. Lobus
5

frontalis bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan keputusan moral,


dan pemikiran yang kompleks. Lobus frontalis memodifikasi dorongan emosional
yang dihasilkan oleh sistem limbik dan reflek vegetatif dari batang otak.
2) Lobus parietalis
Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di belakang suklus sentralis,
diatas fisura lateralis dan meluas belakang ke fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini
merupakan area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan pendengaran.
3) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari lobus parietalis dan diatas fisura
parieto-oksipitalis, yang memisahkan dari serebelum. Lobus ini merupakan pusat
asosiasi visual utama yang diterima dari retina mata.
4) Lobus Temporalis
Lobus Temporalis mencakup bagian korteks serebrum. Lobus temporalis merupakan
asosiasi primer untuk audiotorik dan bau.

b. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari otak belakang.
Cerebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi tentorium cerebri yang
merupakan lipatan duramater yang memisahkan dari lobus oksipitalis serebri.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang
melebar pada bagian lateral disebut hemisfer. Cerebelum berhubungan dengan batang
otak melalui pedunkulus cerebri inferior (corpus retiform). Permukaan luar cerebelum
berlipat-lipat seperti cerebrum tetapi lebih lipatanya lebih kecil dan lebih teratur.
Permukaan cerebelum ini mengandung zat kelabu. Korteks cerebelum dibentuk oleh
substansia grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan
granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari cerbrum harus melewati
cerebelum.

c. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon) pons varoli dan medula
oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak akuaduktus
cerebri yang menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi melalui otak
tengah ini.
6

Otak tengah mengandung pusat-pusat yang mengendalikan keseimbangan dan gerakan-


gerakan bola mata.

4. Saraf kranial
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika mengenai batang otak
karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam saraf kranial antara lain
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Berfunsi sebagai saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan
serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf ini berfunsi sebagai pemutar mata
yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya
sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak
mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang
hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot
pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah
temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi
mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
7

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot


lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf
otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah
untuk menghantarkan rasa pengecap.
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan
dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini
dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung sarafsaraf motorik, sensorik dan
parasimpatis faring, laring, paruparu, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-
kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya
sebagai saraf tambahan.
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah,
fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung
(Smeltzer, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, A. 2011).
Cidera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat
mengakibatkan perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari
luar yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perubahan
kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil, 2011).
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan
peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Rendy, 2012).
Jadi, cidera kepala ringan adalah cidera karena tekanan atau kejatuhan yang di
tandai denngan GCS 13-15 dan mengeluhkan pusing.

B. Tekanan Intra Kranial (TIK)


Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 –
10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti
gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal.
Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu
konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro- Kellie. Otak memperoleh suplai
darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk

8
menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam
otak pada orang dewasa

9
10

antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar
tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak
cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai
beberapa hari atau minggu setelah cidera mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan
ADO.

C. Etiologi Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga, trauma akibat
persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian besar kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas.

D. Klasifikasi Cedera Kepala


Klasifikasi cedera kepala yang terjadi melalui dua cara yaitu efek langsung
trauma pada fungsi otak (cedera primer) dan efek lanjutan dari sel-sel otak yang
bereaksi terhadap trauma (cedera sekunder).
1. Cedera primer
Cedera primer, terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, lasetasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
2. Cedera sekunder
Cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi
atau tidak ada pada area cedera.Konsekuensinya meliputi hyperemia (peningkatan
volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia dan hipotensi.
11

Trauma kepala dklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS):
Tabel 2.1 Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai
Glasgow Coma Scale (GCS)
Penentuan Kparahan Deskripsi
Monitor/Ringan GCS 13-15
Sadar penuh membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral,
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontesio serebral, laserasi
atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagai berikut:
 Eye : Nilai 2 atau 1
 Motorik : Nilai 5 atau <5
 Verbal : Nilai 2 atau 1

Table 2.2 Skala Koma Glasgow


1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisai 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnornal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3-15
12

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. Menurut Judha (2011), berdasarkan derajat penurunan tingkat
kesadaran serta ada tidaknya defisit neurologik fokal cidera kepala dikelompokan.

E. Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang
langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada
impact dapat terjadi indentasi, fraktur linear, fraktur stelatum, fraktur impresi, atau
bahkan hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah
fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi
komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda
kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan
kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama.
Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular
system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan
yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan
mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut
poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis
asendens difus, sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti
bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan epidural,
atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat
13

penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi


berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan penggeseran otak ke arah
yang berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang akhirnya
akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan
duramater. Lesi kontusio di bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di
seberang impact disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu
lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta,
2010).

F. Manifestasi Klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala 2 antara lain adalah :
1. Skull Fracture Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani, periobital
ecimos (brill haematoma), memar didaerah mastoid (battlesign), perubahan
penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi,
berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.
2. Concussion Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5
menit, amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau cepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak:

1. Cedera kepala ringan


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku Gejala-
gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
14

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat


a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
2. Angiografi cerebral
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan intrakranial
hematoma.
3. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema kontosio
dan pergeseran tulang tengkorak.
4. Pemeriksaan darah dan urine.
5. Pemeriksaan MRI
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha
pernafasan.

H. Penatalaksaanan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
15

1. Stabilisasi kardio pulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airways-Brething-


Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan cenderung memper-
hebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
2. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan inkubasi pada kesempatan
pertama. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan di bagian tubuh lainnya.
3. Pemeriksaan neurologos mencakup respon mata, motorik, verbal, pemeriksaan
pupil, refleks okulor sefalik dan reflel okuloves tubuler.
4. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
5. Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
6. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi, komputer otak,
angiografi serebral, dan lainnya.

Penanganan non medis pada cedera kepala, yaitu:


1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
beratsurvei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak.

I. Komplikasi
16

Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma


intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema
paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah keotak,
bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi
respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadaan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg pada penderita kepala. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke
paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses
berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera
lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah pemberian obat,
diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara
perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada sistem pernafasan, pantau
selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
3. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau
dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.Instruksikan klien
untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
4. Hipoksia
17

5. Gangguan mobilitas Hidrosefalus


6. Odem Otak
7. Dipnea

J. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang
dilakukan yaitu :
1. Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang
menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman,
dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa
terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera. Untuk menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali
masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun
kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,
sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke
belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.S elain itu aspirasi isi
lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
18

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang


berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan ikatan
yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila
perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya disebabkan
karena penderita kehilangan banyak darah.

3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya
rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a. Rehabilitasi Fisik
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan
atas dan bawah tubuh.
2) Perlengkapan splint dan caliper.
3) Transplantasi tendon
b. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
c. Rehabilitasi Sosial
1) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita
tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
2) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Agama
e. Pendidikan
f. Pekerjaan
g. Alamat
h. Status Perkawinan

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : berisi data subjektif yang dirasakan pasien saat masuk rumah
sakit.
b. Riwayat penyakit sekarang : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
c. Riwayat penyakit dahulu : pasien pernah mengalami penyakit system syaraf,
riwayat trauma dahulu.
d. Riwayat penyakit keluarga : adanya riwayat penyakit menular

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Persepsi dan pemeliharaan Kesehatan
b. Berisi tentang pengetahuan pasien terhadap penyakit yang diderita, harapah di
RS, alergi pengobatan dan data lainnya
c. Nutrisi dan metabolic
d. Pasien mengalami mual, muntah, gangguan cerna, gangguan menelan dan kaji
bising usus
e. Aktivitas dan Latihan
f. Terjadi gangguan aktivitas karena adanya nyeri kepala dan proses hospitalisasi
g. Tidur dan istirahat

19
h. Terjadi gangguan pola tidur akibat nyeri kepala dan proses hospitalisasi

20
21

i. Eliminasi
j. Pasien mengalami inkontinensia serta obstipasi dan hematuria jika terjadi
perdarahan pada organ perkemihan.
k. Pola persepsi
l. Berisi data tentang peran pasien dalam keluarga serta koping terhadap
penyakitnya.

4. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran : GCS.
2) Fungsi saraf kranial : trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor : adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar :
tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik : hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan : disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kesadaran
22

3. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
5. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
6. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
7. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.

C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam masalah gangguan perfusi
jaringan serebral teratasi
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital pasien
b. Evaluasi nilai GCS pasien
c. Pertahankan kepala dan leher tetap dalam posisi datar (supinasi)
d. Evaluasi keadaan pupil (reaksi terhadap cahaya)
e. Pemberian terapi oksigen sesuai kebutuhan
f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi pasien

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kesadaran


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam masalah intoleransi
aktivitas dapat teratasi
Intervensi :
a. Bantu klien dan keluarga untuk mengidentifikasi kelamahan dan level aktvitas
tertentu
b. Berikan aktivitas motoric untuk mengurangi kejang otot
c. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk terlibat dalam aktivitas
d. Bantu klien dan keluarga dalam pemenuhan ADL
e. Bantu klien dan keluarga untuk memantau perkembangan klien.
23

3. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri,
dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya,
serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
b. Mengatur posisi sesuai kebutuhan pasien untuk mengurangi nyeri.
c. Kurangi rangsangan.
d. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
e. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
f. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

4. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada
sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
b. Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera
vertebra
c. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir.
d. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
e. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan
15 – 30 derajat.
f. Pemberian oksigen sesuai program.

5. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit
dalam batas normal.
Intervensi:
24

a. Kaji intake dan out put.


b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau
mata cekung dan out put urine.
c. Berikan cairan intra vena sesuai program.
D. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang di buat Ketika di RS. Catat hasil
dari implementasi yang dilakukan. Pastikan implementasi dilakukan secara baik dan
benar sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dianjurkan. Sertakan tanggal,
nama terang dan TTD (tanda tangan) ketika membuat dokumentasi evaluasi sebagai
legalitas.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan
yang di sengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim
kesehatan lainnya. Dalam hal ini di perlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
(Padila, 2012).
BAB IV
TINJAUAN KASUS

A. Kasus
Tn. B berusia 42 tahun dirawat di ruang mawar Rumah Sakit Pratama dengan diagnosa
medis CKB (Cidera Kepala Berat), pekerjaan pasien adalah petani. Keluarga
mengatakan pasien jatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter, Setelah itu keluarga
membawa pasien ke puskesmas untuk mendapatkan pertolongan pertama. Setelah itu
pihak puskesmas merujuk pasien ke Rumah Sakit Pratama untuk mendapatkan foto
rontgen. Keluarga mengatakan pasien tidak sadarkan diri sejak 4 hari yang lalu. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda vital, TD : 130/80 mmHg, N :
64x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,7o C. Keadaan umum pasien lemah, kesadaran
somnolen, nilai GCS : E1V2M5, Capillary Refil Time <3 detik, inspeksi pupil isokor,
skala kekuatan tonus otot 5, ADL pasien semua dibantu perawat dan keluarga. Hasil
pemeriksaan foto rontgen cervical dan pelvis yaitu tidak terdapat fraktur. Hasil
pemeriksaan penunjang CT Scan kepala adalah terdapat gumpalan darah 3 titik pada
bagian occipital.

B. Data Fokus
1. Data Subjektif
a. Keluarga mengatakan pasien jatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter
b. Keluarga mengatakan pekerjaan pasien adalah petani
a. Keluarga mengatakan pasien tidak sadarkan diri sejak 4 hari yang lalu sehingga
semua kebutuhan ADL pasien semua dibantu perawat dan keluarga
2. Data Objektif
b. Tn. B berusia 42 tahun dirawat di ruang mawar Rumah Sakit Pratama dengan
diagnosa medis CKB (Cidera Kepala Berat)
c. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda vital, TD :
140/80 mmHg, N : 64x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,7o C
d. Pasien tampak lemah berbaring di tempat tidur
e. Kesadaran pasien somnolen, nilai GCS : E1V2M5, Capillary Refil Time <3 detik
f. ADL pasien tampak dibantu keluarga dan perawat
g. Hasil pemeriksaan foto rontgen cervical dan pelvis yaitu tidak terdapat fraktur.

25
h. Hasil pemeriksaan penunjang CT Scan kepala adalah terdapat gumpalan darah 3
titik pada bagian occipital.

26
27

C. Analisa Data
NO Data Masalah keperawatan Etiologi
1. DS: Gangguan perfusi Cidera kepala akut
- Keluarga jaringan serebral
mengatakan pasien
jatuh dari pohon
kelapa setinggi 10
meter
DO:
- Pasien tampak lemah
berbaring di tempat
tidur
- Kesadaran pasien
somnolen, nilai GCS
:E1V2M5, Capillary
Refil Time <3 detik
- TD : 140/80
- Hasil pemeriksaan
penunjang CT Scan
kepala adalah
terdapat gumpalan
darah 3 titik pada
bagian occipital.

2. DS: Intoleransi aktivitas Penurunan kesadaran


- Keluarga
mengatakan pasien
tidak sadarkan diri
sejak 4 hari yang
lalu
- Semua kebutuhan
ADL pasien semua
dibantu perawat dan
keluarga
DO:
28

- ADL pasien tampak


dibantu keluarga dan
perawat
- Pasien tampak lemah
berbaring di tempat
tidur

D. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data diatas diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus diatas,
antara lain:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kesadaran

E. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi

Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tanda-tanda vital


perfusi jaringan keperawatan 3x24 jam masalah pasien
serebral gangguan perfusi jaringan serebral 2. Evaluasi nilai GCS
berhubungan teratasi pasien
dengan cidera Kriteria hasil: 3. Pertahankan kepala dan
kepala akut - Tekanan intrakranial normal leher tetap dalam posisi
- Tekanan darah normal datar (supinasi)
(110/80) 4. Evaluasi keadaan pupil
- Nilai GCS meningkat (reaksi terhadap
- Kesadaran membaik cahaya)
(composmentis) 5. Pemberian terapi
- Tanda-tanda vital dalam batas oksigen sesuai
normal kebutuhan
6. Kolaborasi pemberian
obat sesuai indikasi
pasien

Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu klien dan


aktivitas keperawatan 3x24 jam masalah keluarga untuk
berhubungan intoleransi aktivitas dapat teratasi mengidentifikasi
29

dengan Kriteria hasil: kelamahan dan level


penurunan - Toleransi terhadap aktivitas aktvitas tertentu
kesadaran - Status perawatan diri 2. Berikan aktivitas
meningkat motoric untuk
- ADL (Activity Dail Life) mengurangi kejang
pasien terpenuhi otot
- Saturasi O2 saat aktivitas 3. Berikan kesempatan
dalam batas normal (95-100%) kepada keluarga
- Nadi saat aktivitas dalam batas untuk terlibat dalam
normal (60-100x/mnt) aktivitas
- RR saat aktivitas dalam batas 4. Bantu klien dan
normal (12-20x/mnt) keluarga dalam
- Tekanan darah systole saat pemenuhan ADL
aktivitas dalam batas normal 5. Bantu klien dan
(100-120mmHg) keluarga untuk
- Tekanan darah diastole saat memantau
aktivitas dalam batas normal perkembangan klien.
(60-80mmHg)

F. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang di buat Ketika di RS. Catat hasil
dari implementasi yang dilakukan. Pastikan implementasi dilakukan secara baik dan
benar sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dianjurkan. Sertakan tanggal,
nama terang dan TTD (tanda tangan) ketika membuat dokumentasi evaluasi sebagai
legalitas.

G. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan
yang di sengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim
kesehatan lainnya. Dalam hal ini di perlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
(Padila, 2012).
BAB V
HASIL ANALISIS JURNAL

A. Judul
Hubungan antara Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala
dengan Perdarahan Subdural

B. Peneliti
Vera Apriawanti, Sonny G.R. Saragih, Diana Natalia

C. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dimasyarakat
karena berperan sebagai pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Selama 20
tahun terakhir penatalaksanaan terhadap pasien cedera kepala telah meningkat secara
signifikan dan telah dikembangkan, namun walaupun ada metode diagnostik dan
penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih jauh dari harapan. Sebagai negara
maju, di Eropa dan Amerika Serikat sekitar 1–1,5 juta jiwa mengalami cedera kepala
tiap tahunnya. Sementara itu sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki jumlah
insiden cedera kepala relatif tinggi yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, yaitu
sebesar 19,6%. Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia jumlah korban
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 sebanyak 560 orang, pada
tahun 2014 sebanyak 550 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 470 orang. Korban
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas tercatat pada tahun 2014 sebanyak 94 orang dan
pada tahun 2015 sebanyak 63 orang. Data RSUD DR Abdul Aziz Kota Singkawang
menunjukkan bahwa jumlah kasus cedera kepala pada periode tahun Januari 2016-Mei
2017 adalah sebanyak 529 kasus dengan jumlah pasien laki-laki sebesar 60,3% dan
perempuan 39,7%. Pasien cedera kepala yang hidup pada periode tersebut adalah 89,8%
dan yang meninggal adalah 10,2%. Kejadian cedera kepala ringan 72,8%, cedera kepala
sedang hingga berat 27,2%. Perdarahan subdural akut merupakan salah satu kelainan
penyerta pada kasus cedera kepala berat. Insiden perdarahan subdural akut mencapai
12–30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat dan terjadi terutama pada
usia dewasa muda dibawah 45 tahun dengan penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
lintas. Perdarahan subdural akut merupakan cedera paling mematikan dari semua tipe
cedera kepala.

30
31
32

D. Masalah Penelitian
Bagaimana hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera
Kepala dengan Perdarahan Subdural

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan Glasgow Coma Scale
dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan Perdarahan Subdural

F. Manfaat Penelitian
Mengetahui adanya hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien
Cedera Kepala dengan Perdarahan Subdural

G. Kerangka Konsep

Glasglow Coma Pasien Cedera Kepala


Scale (GCS) dan
Lama Perawatan dengan Perdarahan
Subdural

H. Variabel
Variabel independen penelitian ini adalah Glasglow Coma Scale (GCS) dan Lama
Perawatan, sedangkan variabel dependen penelitian ini adalah Pasien Cedera Kepala
dengan Perdarahan Subdural

I. Hipotesis
Ada hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala
terhadap Perdarahan Subdural

J. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan menggunakan pendekatan
potong lintang.
33

K. Populasi/Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien cedera kepala dengan lesi perdarahan subdural di
DR Abdul Aziz Kota Singkawang dengan pemilihan sampel menggunakan metode total
samplingdengan jumlah sampel sebanyak 30 orang yang memenuhi kriteria penelitian.

L. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis dan gambaran CT-
Scan pasien

M. Analisis Data
Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji normalitas data dan
dilanjutkan dengan uji Pearson apabila asumsi normal terpenuhi. Uji Spearman akan
digunakan sebagai alternatif uji Pearson apabila distribusi data tidak normal.

N. Hasil Penelitian
Analisis data dengan uji Spearman mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara
Glasgow Coma Scale (GCS) dan lama perawatan (p=0,006). Keeratan hubungan yang
terjadi diwakili dengan nilai ρ (koefisien korelasi) yaitu 0.486 yang berarti kedua
variabel ini memiliki hubungan yang positif atau berbanding lurus.

O. Simpulan Dan Rekomendasi


Terdapat hubungan antara Glasgow Coma Scale (GCS) dan lama perawatan pada pasien
cedera kepala dengan lesi perdarahan subdural di RSUD DR Abdul Aziz Kota
Singkawang.

Hubungan antara Glasgow Coma Scale dan Lama


34

Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan Perdarahan


Subdural

Verra Apriawanti1, Sonny G.R. Saragih2, Diana Natalia3


1
Program Studi Kedokteran, FK UNTAN
2
SMF Bedah Saraf, RS Abdul Aziz Singkawang
3
Departemen Parasitologi Medik, Program Studi Kedokteran, FK UNTAN

Abstrak

Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius
dimasyarakat karena berperan sebagai pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Perdarahan subdural termasuk pada cedera paling mematikan dari semua tipe cedera kepala.
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu alat prediksi yang dapat digunakan dalam
menentukan prognosis. Metode. Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan
pendekatan potong lintang. Subjek penelitian berjumlah 30 orang. Data Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan diambil dari rekam medis di RSUD DR Abdul Aziz Kota
Singkawang. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil. Analisis data dengan
uji Spearman mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan (p=0,006). Keeratan hubungan yang terjadi diwakili dengan nilai
ρ (koefisien korelasi) yaitu 0.486 yang berarti kedua variabel ini memiliki hubungan yang
positif atau berbanding lurus. Kesimpulan. Terdapat hubungan antara Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan yaitu peningkatan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) dapat
meningkatkan lama perawatan pada pasien cedera kepala dengan lesi perdarahan subdural.

Kata kunci : Perdarahan subdural, Glasgow Coma Scale (GCS), lama perawatan

Background. Head injury is one of the serious health problems in society because it plays a
role as a trigger for disability and death worldwide. Subdural hemorrhage is one of the most
deadly injuries of all types of head injuries. Glasgow Coma Scale (GCS) is one predictor tool
that can be used in determining prognosis. Method. This study was an analytic study with
cross-sectional design where 30 patient were studied. Glasgow Coma Scale (GCS) and length
of stay data were obtained from medical records at RSUD DR Abdul Aziz Singkawang. The
data were analyzed by Spearman correlation test. Result. Spearman analysis of the data
indicates a significant difference between Glasgow Coma Scale (GCS) and length of stay (p
= 0.006). The closeness of the relationship that occurs is represented by the value of ρ
(correlation coefficient) is 0.486 which means that these two variables have a positive or
proportional relationship. Conclusion. There was a relationship between Glasgow Coma
Scale (GCS) and length of stay that increases the value of Glasgow Coma Scale (GCS) can
increase the length of stay head injury patient with subdural hemorrhage.

Keywords : Subdural hemorrhage, Glasgow Coma Scale (GCS), length of stay.


PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan salah satu
35

masalah kesehatan yang serius meninggal akibat kecelakaan lalu lintas


dimasyarakat karena berperan sebagai tercatat pada tahun 2014 sebanyak 94
pemicu kecacatan dan kematian di seluruh orang dan pada tahun 2015 sebanyak 63
dunia.1,2 Selama 20 tahun terakhir orang.7 Data RSUD DR Abdul Aziz Kota
penatalaksanaan terhadap pasien cedera Singkawang menunjukkan bahwa jumlah
kepala telah meningkat secara signifikan kasus cedera kepala pada periode tahun
dan telah dikembangkan, namun walaupun Januari 2016-Mei 2017 adalah sebanyak
ada metode diagnostik dan 529 kasus dengan jumlah pasien laki-laki
penatalaksanaan yang muktahir prognosis sebesar 60,3% dan perempuan 39,7%.
masih jauh dari harapan.1-3 Pasien cedera kepala yang hidup pada
Sebagai negara maju, di Eropa dan periode tersebut adalah 89,8% dan yang
Amerika Serikat sekitar 1–1,5 juta jiwa meninggal adalah 10,2%. Kejadian cedera
mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2 kepala ringan 72,8%, cedera kepala sedang
Sementara itu sebagai negara berkembang, hingga berat 27,2%.8
Indonesia memiliki jumlah insiden cedera Perdarahan subdural akut merupakan
kepala relatif tinggi yang diakibatkan oleh salah satu kelainan penyerta pada kasus
kecelakaan lalu lintas, yaitu sebesar cedera kepala berat. Insiden perdarahan
19,6%.4,5 Kalimantan Barat sebagai salah subdural akut mencapai 12–30% dari
satu provinsi di Indonesia jumlah korban pasien yang masuk dengan cedera kepala
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas berat danterjaditerutama pada usia
pada tahun 2013 sebanyak 560 orang, pada dewasa muda dibawah 45 tahun dengan
tahun 2014 sebanyak 550 orang dan pada penyebab tersering adalah kecelakaan lalu1
tahun 2015 sebanyak 470 orang.6 Korban lintas.9 Perdarahan subdural akut

merupakan cedera paling mematikan dari

semua tipe cedera kepala.10 Terdapat


36

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tertarik untuk melakukan penelitian


pasien cedera kepala dengan perdarahan mengenai hubungan antara Glasgow Coma
subdural akut yaitu waktu antara trauma Scale (GCS) dan lama perawatan pada
dan evakuasi perdarahan. Interval waktu pasien cedera kepala dengan lesi
evakuasi perdarahan lebih dari empat jam perdarahan subdural di RSUD Dr Abdul
pasca trauma dilaporkan menyebabkan Aziz Kota Singkawang.
peningkatan angka kematian sampai 85%

dibandingkan bila evakuasi dilakukan METODE


dibawah empat jam yaitu 30%.10 Penelitian ini bersifat analitik dengan
Terdapat berbagai cara penilaian menggunakan pendekatan potong lintang.
prognosis pada pasien cedera kepala, Penelitian ini dilakukan di RSUD DR
diantaranya adalah dengan menggunakan Abdul Aziz Kota Singkawang dan RS
Glasgow Coma Scale (GCS). Glasgow Santo Vincentius Kota Singkawang.
Coma Scale (GCS) dapat diterima sebagai Populasi penelitian ini adalah pasien
salah satu alat untuk mengklasifikasikan cedera kepala dengan lesi perdarahan
tingkat keparahan suatu cedera kepala subdural di DR Abdul Aziz Kota
karena mudah digunakan.11 Kemampuan Singkawang dengan pemilihan sampel
Glasgow Coma Scale (GCS) dalam menggunakan metode total sampling
menentukan kondisi yang membahayakan dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang
jiwa adalah sebesar 74,8%.12 Penelitian yang memenuhi kriteria penelitian.
mengenai hubungan antara Glasgow Coma Variabel yang diteliti adalah Glasgow
Scale (GCS) dan lama perawatan pada Coma Scale (GCS) dan lama perawatan.
pasien cedera kepala dengan lesi Data dari penelitian ini dikumpulkan
perdarahan subdural belum pernah melalui rekam medis dan gambaran CT-
dilakukan sebelumnya sehingga peneliti Scan pasien, kemudian dilakukan analisis
37

univariat dan analisis bivariat. Analisis lalu lintas yaitu sebanyak 26 orang
bivariat yang dilakukan dalam penelitian (86,7%), Dari seluruh subjek penelitian
ini adalah uji normalitas data dan tersebut, sebanyak 8 orang (26,7%)
dilanjutkan dengan uji Pearson apabila termasuk dalam kategori cedera kepala
asumsi normal terpenuhi. Uji Spearman ringan, 10 orang (33,3%) termasuk dalam
akan digunakan sebagai alternatif uji kategori cedera kepala sedang dan 12
Pearson apabila distribusi data tidak orang (40%) termasuk dalam kategori
normal. cedera kepala berat. Pada subjek

penelitian, sebagian besar tidak dilakukan


HASIL tindakan operasi yaitu sebanyak 22 orang
Sebanyak 30 subjek terlibat dalam (73,3%) dan memliki status keluar
penelitian ini. Sebagian besar sampel meninggal yaitu sebanyak 17 orang
dieksklusikan dari penelitian karena rekam (56,7%).
medis yang tidak lengkap dan tidak Nilai Glasgow Coma Scale (GCS)
menjalani pemeriksaan CT-Scan. Usia pada subjek penelitian memiliki nilai rata-
termuda dari subjek penelitian adalah 7 rata 9,9 3,79. Nilai GCS terbanyak
tahun dan usia tertua adalah 73 tahun.
adalah 7 dan 15 yaitu masing-masing
Rata-rata usia dari seluruh subjek
sebanyak 6 orang (20%). Lama perawatan
penelitian adalah 41,37 ± 17,14 tahun.
subjek penelitian memiliki nilai rata-rata
Persentase usia terbesar subjek penelitian
4,53 3,09, dengan jumlah lama rawat
adalah kelompok usia 31-42 tahun yaitu
terendah adalah 1 dan 3 hari yaitu masing-
sebanyak 10 orang (33,3%). Sebagian
masing sebanyak 6 orang (20%) dan
besar subjek penelitian adalah berjenis
tertinggi adalah 7 hari, 8 hari, 9 hari dan
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 20 orang
11 hari yaitu masing-masing sebanyak 1
(66,7%) dan diakibatkan oleh kecelakaan
orang (3,3%). Kelompok pasien terbanyak
38

adalah dalam kategori tidak lama (≤ 9 hari) besar nilai GCS maka lama perawatannya
yaitu sebanyak 26 orang (86,7%). akan semakin tinggi.
Pada penelitian ini, hubungan

Glasgow Coma Scale (GCS) dan lama PEMBAHASAN


perawatan dianalisis menggunakan Tujuan pada penelitian ini adalah
program Statistical Product and Service untuk mengetahui hubungan antara
Solution (SPSS) 23. Data ini tidak Glasgow Coma Scale (GCS) dan lama
memenuhi syarat untuk dilanjutkan dengan perawatan pada pasien cedera kepala
uji Pearson karena data tidak terdistribusi dengan lesi perdarahan subdural di RSUD
secara normal (sig>0.05) sehingga uji yang DR Abdul Aziz Kota Singkawang. Cedera
digunakan sebagai alternatif pada kepala merupakan cedera yang dapat
penelitian ini adalah uji Spearman. Pada berakibat fatal seperti disabilitas hingga
seluruh data tersebut, terdapat adanya kematian.13 Benturan pada kepala secara
hubungan antara Glasgow Coma Scale statik dan dinamik dapat menyebabkan
(GCS) dan lama perawatan p=0,006 kerusakan pada bagian luar dan dalam
(p<0,05) hal ini mengindikasikan adanya kepala. Cedera kepala dapat menyebabkan
korelasi atau hubungan saling kerusakan pada pembuluh darah otak,
mempengaruhi secara signifikan dengan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
derajat kepercayaan 99% atau dengan perdarahan intrakranial meliputi
standar error 0,01 antara GCS dan lama perdarahan subdural, epidural,
perawatan. Keeratan hubungan yang subaraknoid, intraventrikular dan
terjadi diwakili dengan nilai ρ (koefisien intraserebral.14,15 Terjadinya cedera kepala
korelasi) yaitu 0.486 yang berarti kedua disebabkan oleh benturan pada bagian
variabel ini memiliki hubungan yang kepala secara langsung ataupun tidak
positif atau berbanding lurus atau semakin langsung yang dapat terjadi dengan
39

mekanisme benturan secara mendadak kecelakaan lalu lintas semakin


ataupun terus-menerus dan oleh gaya meningkat.18
rotasi, deselerasi dan akselerasi yang dapat Pada penelitian ini, sebagian besar
diakibatkan oleh beberapa hal seperti subjek penelitian didiagnosis dengan
kecelakaan lalu lintas, dipukul, terjatuh cedera kepala berat. Subjek penelitian
dan sebagainya.13,16 yang tidak dilakukan tindakan operasi
Pada penelitian ini, cedera kepala adalah sebanyak 73,3% dan sebanyak 56,7
paling banyak terjadi pada jenis kelamin % subjek penelitian keluar dengan status
laki-laki dengan kelompok umur 31-42 meninggal. Sebanyak 64,71% dari subjek
tahun. Pada kelompok umur tersebut, 90% dengan status meninggal telah didiagnosis
kasus diakibatkan oleh kecelakaan lalu cedera kepala berat berdasarkan nilai GCS
lintas dan 80% diantaranya adalah laki- dan sebanyak 52,94% subjek tersebut tidak
laki. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilaksaan tindakan operasi. Beberapa
dilakukan oleh Cohen dkk17 di Inggris, faktor yang mendasari pasien tidak
jenis kelamin laki-laki memiliki resiko melakukan tindakan operasi yaitu pasien
lebih besar dibandingkan wanita dengan dengan kondisi parah (nilai GCS 3), pasien
rasio sekitar 3:1, dikarenakan oleh faktor dengan diagnosis cedera kepala ringan
tingkah laku saat berkendara. Pada kasus yang dapat dilakukan terapi konservatif
cedera kepala lebih banyak dialami oleh dan pasien dengan hasil CT-Scan yang
usia-usia produktif yaitu dibawah 45 tahun tidak memenuhi persyaratan untuk
dikarenakan gaya hidup pada usia dilakukan tindakan operasi.19 Sebuah
produktif yang lebih banyak mengendarai penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kendaraan dan terutama berjenis kelamin mortalitas pada pasien cedera kepala
laki-laki sehingga resiko terjadinya semakin tinggi seiring dengan tingginya

derajat cedera kepala. Penanganan dan


40

perawatan medis yang baik serta formasio reticularis maka tingkat


pemberian terapi yang tepat dapat kesadarannya akan semakin menurun.21,22
menurunkan angka mortalitas pada kasus Lama perawatan merupakan jumlah
cedera kepala.20 hari yang diukur mulai dari kedatangan
Penilaian Glasgow Coma Scale pasien hingga kepulangan pasien.23 Subjek
(GCS) meliputi tiga parameter penilaian, penelitian menunjukkan jumlah lama rawat
yaitu respon mata, verbal dan motorik tertinggi adalah pada 1 dan 3 hari yang
dengan skor maksimum adalah 15 dan masing-masing sebesar 20% dengan
skor minimum adalah 3 yang dirincikan kelompok pasien terbanyak adalah pada
pada tabel 2.1. Skor Glasgow Coma Scale kategori tidak lama (≤9 hari) yaitu
(GCS) 13-15 mengindikasikan cedera sebanyak 86,7%. Lama perawatan pada
kepala ringan, skor Glasgow Coma Scale pasien cedera kepala berbeda-beda
(GCS) 9-12 mengindikasikan cedera tergantung tingkat keparahan cedera
kepala sedang dan skor Glasgow Coma kepala. Berdasarkan penelitian Sipayung
Scale (GCS) 3-8 mengindikasikan cedera dan Syafitri24, pada pasien cedera kepala
kepala berat.21,22 Subjek penelitian ringan memiliki lama perawatan minimum
menunjukkan bahwa, skor Glasgow Coma 1 hari dan maksimum 7 hari dan faktor
Scale (GCS) terbanyak adalah 7 yang paling berpengaruh dalam
(somnolen) dan 15 (kompos mentis) yang memprediksi lama perawatan pada pasien
masing-masing sebesar 20%. Cedera cedera kepala adalah GCS.24
kepala sangat berhubungan dengan fungsi Berdasarkan hasil penelitian yang
kesadaran dari otak. Semakin besar telah dianalisis, terdapat perbedaan
kerusakan pada jaringan otak di Ascending bermakna antara nilai Glasgow Coma
Reticular Activating System (ARAS) dari Scale (GCS) dan lama perawatan pada

pasien cedera kepala dengan lesi


41

perdarahan subdural dimana semakin intrakranial. Perdarahan intrakranial dapat


tinggi nilai Glasgow Coma Scale (GCS) mengganggu keadaan hemodinamik
maka semakin tinggi juga lama rawatnya. sehingga dapat menyebabkan iskemi
Namun, hasil tersebut menunjukkan hingga infark pada jaringan otak serta
perbedaan hasil dengan penelitian dapat menimbulkan lesi desak ruang yang
sebelumnya yaitu jika semakin tinggi nilai dapat merusak jaringan otak dan
Glasgow Coma Scale (GCS) maka mengganggu fungsi otak. Cedera otak
semakin rendah lama rawatnya. Lama hari akibat perdarahan intrakranial tersebut
perawatan pada pasien cedera kepala dapat dapat menyebabkan kerusakan jaringan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, kortikal dan subkortikal otak yang
diantaranya adalah usia, jenis kasus atau mengakibatkan terganggunya mekanisme
penyakit (multiple trauma), pekerjaan dan sistem saraf otonom yang merupakan
alasan keluar dari rumah sakit yang bisa fungsi fisiologis penting seperti dalam
diminta oleh pasien atau keluarga atau pengaturan pernafasan, tekanan darah
keluar dari rumah sakit dalam status hingga sistem kompleks kesadaran.32,33
meninggal sehingga akan memperpendek Gangguan hemodinamik intrakranial
lama hari rawat.15-31 Pada penelitian ini, serta tekanan intrakranial dapat
subjek penelitian memiliki sebagian besar menyebabkan cedera jaringan otak
status keluar meninggal dalam waktu sekunder dan dapat mempengaruhi
perawatan yang tidak lama dengan hipotalamus dalam menghasilkan
diagnosis cedera kepala berat sehingga katekolamin secara lokal maupun sistemik
menjadi faktor yang memperpendek lama serta pengaturan sistem parasimpatis yang
hari rawat subjek penelitian. dapat menyebabkan gangguan tekanan
Cedera kepala dapat menyebabkan darah, sistem pernafasan dan kesadaran.
cedera otak primer dan perdarahan Hipotalamus memiliki peran penting
42

dalam mengontrol sistem saraf otonom. DAFTAR PUSTAKA


1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
Hipotalamus menerima input dari bagian management of traumatic brain injury. Int J
Crit Illn Inj Sci; 2011.
kortikal otak dan akan ditransmisikan ke 2. Leitgeb JL, Mauritz W, Brazinova A, Janciak I,
Madjan M, Wilbacher I, et al. Outcome after
severe brain trauma due to acute subdural
batang otak dan medulla spinalis sebagai
hematoma. J Neurosurg. 2012;117(2):324–33.
3. Moppet IK. Traumatic brain injury:
sinyal saraf otonom yang akan diteruskan assessment, resuscitation and early
management. Br J Anaesth. 2007;99(1):18–31.
pada sistem saraf dan organ perifer. 4. Lingsma HF, Roozenbeek B, Steyerberg EW,
Murray GD, Maas AIR. Early prognosis in
Kerusakan pada bagian kortikal dan traumatic brain injury: from prophecies to
predictors. Lancet Neurol. 2010;9:543-54.
5. Riyadina W, Suhardi, Permana M. Pola dan
subkortikal otak dapat menyebabkan
Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat
Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Maj Ked
gangguan kesadaran, psikologis, motorik Indonesia. 2009;59(10).
6. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan
dan sensorik. Semakin berat kerusakan Barat. Kalimantan Barat dalam Angka 2015.
Pontianak: BPS-Provinsi Kalimantan Barat;
pada jaringan otak dibagian kortikal atau 2015.
7. Badan Pusat Statistik Kota Pontianak. Kota
Pontianak dalam Angka 2015. Pontianak: BPS-
subkortikal maka kemampuan fungsional Kota Pontianak; 2015.
8. Kepolisian Resort Kota Singkawang. Data
pasien akan semakin memburuk. Keadaan Penyelesaian Perkara Laka Lantas Tahun 2012-
2016. Singkawang: Kepolisian Negara Republik
fisiologis tersebut dapat dinilai secara Indonesia Daerah Kalimantan Barat Resort
Singkawang; 2017.
objektif salah satunya melalui penilaian 9. Karibe H, Hayashi T, Hirano T, Kameyama M,
Nakagawa A, Tominaga T. Surgical
management of traumatic acute subdural
Glasgow Coma Scale (GCS).33,34 hematoma in adults: A review. Neurol Med
Chir. 2014;54:887–94.
10. Karasu A, Civelek E, Aras Y, Sabanci PA,
Cansever T, Yanar H et.al. Analysis of clinical
KESIMPULAN prognostic factors in operated traumatic acute
subdural hematomas. Turkish Journal of
Terdapat hubungan antara Glasgow Trauma & Emergency Surgery. 2010;16(3):
233–36.
11. Sadaka F, Patel D, Lakshmanan R. The FOUR
Coma Scale (GCS) dan lama perawatan score predicts outcome in patients after
traumatic brain injury. Neurocritical Care.
pada pasien cedera kepala dengan lesi 2012;16(1):95-101.
12. Fedakar R, Aydiner AH, Ercan I. A comparison
perdarahan subdural di RSUD DR Abdul of “life threatening injury” concept in the
Turkish penal code and trauma scoring
systems. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg.
Aziz Kota Singkawang.
2007;13:192-8
13. Kumar R dan Mahapatra AK. A Textbook of
Head Injury. Edisi ke-1. New Delhi: JP Medical
Ltd; 2012.
14. Naidu B, Truman SM, Selvakumar K.
Computed tomography predictors for
inhospitalmortality in severe and moderate
43

head injury patients. J Int Surg. 2016;3(3):


1306-9.
44

15. Maugeri R, Anderson DG, Graziano F, Meccio F, Visocchi M, Iacopino DG.Conservative vs. Surgical
Management of Post-Traumatic EpiduralHematoma: A Case and Review of Literature. Am J Case Rep.
2015;16:811-817.
16. Abelson-Mitchell N. Neurotrauma: Managing Patients with Head Injury. Oxford: John Wiley & Sons; 2013.
17. Cohen M, Scheimberg I. Subdural haemorrhage and child maltreatment. Lancet. 2009;373(9670):1173-4.
18. Lynch C. The Epidemiology and Predictors of Worse Outcome for Traumatic Brain Injury Patients at
Kilimanjaro Christian Medical Center, MoshiTanzania. Diss. Duke University, 2013.
19. Chamoun RB, Robertson CS, Gopinath SP. Outcome in patients with blunt head trauma and a Glasgow Coma
Scale score of 3 at presentation. J Neurosurg. 2009;111(4):683– 687
20. Martins ET, Linhares MN, Sousa DS, Schroeder HK, Meinerz J, Rigo LA, et al. Mortality in severe traumatic
brain injury: a multivariated analysis of 748. Brazillian patients from Florianopolis City. J Trauma. 2009; 67(1):
85-90.
21. Peterson N, Scardiglia J. Advanced Trauma Life Support for Doctors: ATLS Student Course Manual. Edisi 18.
Chicago: American College Surgeons; 2008.
22. American College of Surgeons, Committee on Trauma. Advanced trauma life support: student course
manual. Edisi 9. Chicago: American College of Surgeons; 2012.
23. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Pelayanan Minimal. Direktoral Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Jakarta; 2005
24. Sipayung NP, Syafitri H, GCS sebagai prediktor length of stay pasien CKR di RSU Pringadi Medan. 2015;2(2):1
25. Herman C, Karolak W, Yip AM, Buth KJ, Hassan A, Legare JF. Predicting Prolonged Intensive Care Unit Length
of Stay in Patients Undergoing Coronary Artery Bypass Surgery Development of An Entirely Preoperative
Scorecard. Current Opinion in Critical Care.2009;9(4)654-8
26. Barbara J, Billie F, Brahm Pendit. Buku Ajar Perawatan Perioperatif. Volume 2. Edisi ke-1. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2006.
27. Anggraini, Dian. Perbandingan Kepuasan Pasien Gakin dan Pasien Umum di Unit Rawat Inap RSUD Budi Asih
Tahun 2008. FKMUI. 2008.
28. Letarte P. Management of Spesific Injury : The Brain. Edisi 6. USA : McGraw Hill, 2008. p. 397-417.
DAFTAR PUSTAKA

Apriawanti, Verra., Saragih. G.R., Sonny., Natalia, Diana. 2019. Jurnal: Hubungan antara
Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan
Perdarahan Subdural. Kalimantan: FK UNTAN

Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Intervensi Classification (NIC) edisi bahasa Indonesia.
Indonesia

Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi bahasa
Indonesia. Indonesia

Evelyn C, Pearce. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Judha, M.,& Rahil, H. N. 2011. Sistem Asuhan Keperawatan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta : Gosyeng Publishing.

Mansjoer, Arif, dkk. (2011). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

Mardjono, M., dan Sidharta, P. 2010. Mekanisme Trauma Susunan Saraf Pusat. Jakarta: Dian
Rakyat. h. 250.

NANDA. 2016. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017 edisi 10. Jakarta :
EGC

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Purwanto,Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Kemenkes RI

Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8. Jakarta : EGC.

45

Anda mungkin juga menyukai