Disusun Oleh :
1. Apriwan 8. M. Febri R
2. Anis Ma’rifah 9. Nurhalimah
3. Chika Indah 10. Ratri Puspaningsih
4. Erviana Yulianti 11. Siti Asiyah
5. Fanny Fatmawaty 12. Tutri Wulandari
6. Fika Novianti 13. Wahyudian K
7. Mertisa Angra 14. Yopita Sari
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME karna atas berkat dan rahmatnya yang telah
diberikan, kelompok dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Cidera Kepala” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kelompok
berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik mungkin, tetapi suatu karya tidaklah lepas dari
sebuah kekurangan sehingga kelompok mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
penyempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan yang membacanya sehingga menambah wawasan dan pengetahuan
tentang mata kuliah ini.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi.................................................................................................... 1
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
3
2. Meningen
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen, ada tiga lapisan meningen yaitu
duramater, araknoid, dan piamater, masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang
berbeda.
a. Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis. Duramater melekat erat
dengan pemukaan dalam tengkorak. Duramater memiliki suplai darah yang kaya.
Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari
arteria karotis dan menyuplai fosa anterior. Duramater berfungsi untuk melindungi
otak, menutupi sinus-sinus vena dan membentuk poriosteum tabula interna.
Diantara duramater dan araknoid terdapat ruang yang disebut subdural yang
merupakan ruang potensial terjadi perdarahan, pada perdarahan diruang subdural dapat
menyebar bebas , dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena yang
melewati otak yang melewati ruang ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong
oleh karena mudah terjadi cidera dan robek yang menendakan adanya trauma kepala.
b. Araknoid
Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini merupakan lapisan
avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan cerbrospinal, diantara araknoid dan piamater
4
terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu,
dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal. Araknoid membentuk tonjolan vilus.
c. Piamater
Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya akan pembuluh darah
halus, piamater merupakan satu-satunya lapisan meningen yang masuk ke dalam suklus
dan membungkus semua girus(kedua lapisan yang hanya menjembatani suklus). Pada
beberapa fisura dan suklus di sisi hemisfer, piamater membentuk sawar antara ventrikel
dan suklus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus
pada setiap ventrikel (Pearce, 2013).
3. Otak
Menurut Pearce (2013) Otak merupakan organ tubuh yang paling penting karena
merupakan pusat dari semua organ tubuh, otak terletak didalam rongga tengkorak
(kranium) dan dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang kuat.
b. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari otak belakang.
Cerebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi tentorium cerebri yang
merupakan lipatan duramater yang memisahkan dari lobus oksipitalis serebri.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang
melebar pada bagian lateral disebut hemisfer. Cerebelum berhubungan dengan batang
otak melalui pedunkulus cerebri inferior (corpus retiform). Permukaan luar cerebelum
berlipat-lipat seperti cerebrum tetapi lebih lipatanya lebih kecil dan lebih teratur.
Permukaan cerebelum ini mengandung zat kelabu. Korteks cerebelum dibentuk oleh
substansia grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan
granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari cerbrum harus melewati
cerebelum.
c. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon) pons varoli dan medula
oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak akuaduktus
cerebri yang menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi melalui otak
tengah ini.
6
4. Saraf kranial
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika mengenai batang otak
karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam saraf kranial antara lain
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Berfunsi sebagai saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa
rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan
serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf ini berfunsi sebagai pemutar mata
yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya
sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak
mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang
hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot
pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah
temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi
mata.
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
7
8
menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam
otak pada orang dewasa
9
10
antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar
tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak
cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai
beberapa hari atau minggu setelah cidera mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO
(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan
ADO.
Trauma kepala dklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS):
Tabel 2.1 Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai
Glasgow Coma Scale (GCS)
Penentuan Kparahan Deskripsi
Monitor/Ringan GCS 13-15
Sadar penuh membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral,
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontesio serebral, laserasi
atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagai berikut:
Eye : Nilai 2 atau 1
Motorik : Nilai 5 atau <5
Verbal : Nilai 2 atau 1
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat cedera kepala. Menurut Judha (2011), berdasarkan derajat penurunan tingkat
kesadaran serta ada tidaknya defisit neurologik fokal cidera kepala dikelompokan.
E. Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat yang
langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada
impact dapat terjadi indentasi, fraktur linear, fraktur stelatum, fraktur impresi, atau
bahkan hanya edema atau perdarahan subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah
fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau
fraktur impresi (Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung, (2) hematom yang menekan pada saraf otak, (3) traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau (4) kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi
komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda
kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan
kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama.
Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular
system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan
yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan
mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan menurut
poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis
asendens difus, sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti
bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
kontusio serebri, (2) laserasio serebri, (3) perdarahan subdural, (4) perdarahan epidural,
atau (5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat
13
F. Manifestasi Klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala 2 antara lain adalah :
1. Skull Fracture Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timphani, periobital
ecimos (brill haematoma), memar didaerah mastoid (battlesign), perubahan
penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi,
berkurangnya gerakan mata, dan vertigo.
2. Concussion Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5
menit, amnesia retrograde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat:
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau cepat.
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak:
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur.
2. Angiografi cerebral
Bermanfaat untuk memperkirakan diagnosis adanya suatu pertumbuhan intrakranial
hematoma.
3. CT-Scan
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya perdarahan intrakranial, edema kontosio
dan pergeseran tulang tengkorak.
4. Pemeriksaan darah dan urine.
5. Pemeriksaan MRI
6. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7. Analisa Gas Darah Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha
pernafasan.
H. Penatalaksaanan
Penanganan medis pada kasus cedera kepala yaitu :
15
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan
dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
beratsurvei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak.
I. Komplikasi
16
J. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang
dilakukan yaitu :
1. Pencegahan Primer Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang
menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman,
dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa
terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh
tercepat pada kasus cedera. Untuk menghindari gangguan tersebut penanganan
masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa
kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali
masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun
kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing,
sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke
belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.S elain itu aspirasi isi
lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
18
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya
rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a. Rehabilitasi Fisik
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan
atas dan bawah tubuh.
2) Perlengkapan splint dan caliper.
3) Transplantasi tendon
b. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
c. Rehabilitasi Sosial
1) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita
tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
2) Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat).
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Agama
e. Pendidikan
f. Pekerjaan
g. Alamat
h. Status Perkawinan
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : berisi data subjektif yang dirasakan pasien saat masuk rumah
sakit.
b. Riwayat penyakit sekarang : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
c. Riwayat penyakit dahulu : pasien pernah mengalami penyakit system syaraf,
riwayat trauma dahulu.
d. Riwayat penyakit keluarga : adanya riwayat penyakit menular
19
h. Terjadi gangguan pola tidur akibat nyeri kepala dan proses hospitalisasi
20
21
i. Eliminasi
j. Pasien mengalami inkontinensia serta obstipasi dan hematuria jika terjadi
perdarahan pada organ perkemihan.
k. Pola persepsi
l. Berisi data tentang peran pasien dalam keluarga serta koping terhadap
penyakitnya.
4. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran : GCS.
2) Fungsi saraf kranial : trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor : adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar :
tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik : hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan : disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g. Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kesadaran
22
3. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
4. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
5. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
6. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
7. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam masalah gangguan perfusi
jaringan serebral teratasi
Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital pasien
b. Evaluasi nilai GCS pasien
c. Pertahankan kepala dan leher tetap dalam posisi datar (supinasi)
d. Evaluasi keadaan pupil (reaksi terhadap cahaya)
e. Pemberian terapi oksigen sesuai kebutuhan
f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi pasien
4. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada
sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
b. Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera
vertebra
c. Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir.
d. Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
e. Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan
15 – 30 derajat.
f. Pemberian oksigen sesuai program.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan
yang di sengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim
kesehatan lainnya. Dalam hal ini di perlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
(Padila, 2012).
BAB IV
TINJAUAN KASUS
A. Kasus
Tn. B berusia 42 tahun dirawat di ruang mawar Rumah Sakit Pratama dengan diagnosa
medis CKB (Cidera Kepala Berat), pekerjaan pasien adalah petani. Keluarga
mengatakan pasien jatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter, Setelah itu keluarga
membawa pasien ke puskesmas untuk mendapatkan pertolongan pertama. Setelah itu
pihak puskesmas merujuk pasien ke Rumah Sakit Pratama untuk mendapatkan foto
rontgen. Keluarga mengatakan pasien tidak sadarkan diri sejak 4 hari yang lalu. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda vital, TD : 130/80 mmHg, N :
64x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,7o C. Keadaan umum pasien lemah, kesadaran
somnolen, nilai GCS : E1V2M5, Capillary Refil Time <3 detik, inspeksi pupil isokor,
skala kekuatan tonus otot 5, ADL pasien semua dibantu perawat dan keluarga. Hasil
pemeriksaan foto rontgen cervical dan pelvis yaitu tidak terdapat fraktur. Hasil
pemeriksaan penunjang CT Scan kepala adalah terdapat gumpalan darah 3 titik pada
bagian occipital.
B. Data Fokus
1. Data Subjektif
a. Keluarga mengatakan pasien jatuh dari pohon kelapa setinggi 10 meter
b. Keluarga mengatakan pekerjaan pasien adalah petani
a. Keluarga mengatakan pasien tidak sadarkan diri sejak 4 hari yang lalu sehingga
semua kebutuhan ADL pasien semua dibantu perawat dan keluarga
2. Data Objektif
b. Tn. B berusia 42 tahun dirawat di ruang mawar Rumah Sakit Pratama dengan
diagnosa medis CKB (Cidera Kepala Berat)
c. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hasil tanda-tanda vital, TD :
140/80 mmHg, N : 64x/menit, RR : 20x/menit, S : 36,7o C
d. Pasien tampak lemah berbaring di tempat tidur
e. Kesadaran pasien somnolen, nilai GCS : E1V2M5, Capillary Refil Time <3 detik
f. ADL pasien tampak dibantu keluarga dan perawat
g. Hasil pemeriksaan foto rontgen cervical dan pelvis yaitu tidak terdapat fraktur.
25
h. Hasil pemeriksaan penunjang CT Scan kepala adalah terdapat gumpalan darah 3
titik pada bagian occipital.
26
27
C. Analisa Data
NO Data Masalah keperawatan Etiologi
1. DS: Gangguan perfusi Cidera kepala akut
- Keluarga jaringan serebral
mengatakan pasien
jatuh dari pohon
kelapa setinggi 10
meter
DO:
- Pasien tampak lemah
berbaring di tempat
tidur
- Kesadaran pasien
somnolen, nilai GCS
:E1V2M5, Capillary
Refil Time <3 detik
- TD : 140/80
- Hasil pemeriksaan
penunjang CT Scan
kepala adalah
terdapat gumpalan
darah 3 titik pada
bagian occipital.
D. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data diatas diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus diatas,
antara lain:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cidera kepala akut
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kesadaran
E. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
F. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang di buat Ketika di RS. Catat hasil
dari implementasi yang dilakukan. Pastikan implementasi dilakukan secara baik dan
benar sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) yang dianjurkan. Sertakan tanggal,
nama terang dan TTD (tanda tangan) ketika membuat dokumentasi evaluasi sebagai
legalitas.
G. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan
yang di sengaja dan terus menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim
kesehatan lainnya. Dalam hal ini di perlukan pengetahuan tentang kesehatan,
patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan
dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
(Padila, 2012).
BAB V
HASIL ANALISIS JURNAL
A. Judul
Hubungan antara Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala
dengan Perdarahan Subdural
B. Peneliti
Vera Apriawanti, Sonny G.R. Saragih, Diana Natalia
C. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dimasyarakat
karena berperan sebagai pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Selama 20
tahun terakhir penatalaksanaan terhadap pasien cedera kepala telah meningkat secara
signifikan dan telah dikembangkan, namun walaupun ada metode diagnostik dan
penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih jauh dari harapan. Sebagai negara
maju, di Eropa dan Amerika Serikat sekitar 1–1,5 juta jiwa mengalami cedera kepala
tiap tahunnya. Sementara itu sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki jumlah
insiden cedera kepala relatif tinggi yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas, yaitu
sebesar 19,6%. Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia jumlah korban
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 sebanyak 560 orang, pada
tahun 2014 sebanyak 550 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 470 orang. Korban
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas tercatat pada tahun 2014 sebanyak 94 orang dan
pada tahun 2015 sebanyak 63 orang. Data RSUD DR Abdul Aziz Kota Singkawang
menunjukkan bahwa jumlah kasus cedera kepala pada periode tahun Januari 2016-Mei
2017 adalah sebanyak 529 kasus dengan jumlah pasien laki-laki sebesar 60,3% dan
perempuan 39,7%. Pasien cedera kepala yang hidup pada periode tersebut adalah 89,8%
dan yang meninggal adalah 10,2%. Kejadian cedera kepala ringan 72,8%, cedera kepala
sedang hingga berat 27,2%. Perdarahan subdural akut merupakan salah satu kelainan
penyerta pada kasus cedera kepala berat. Insiden perdarahan subdural akut mencapai
12–30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat dan terjadi terutama pada
usia dewasa muda dibawah 45 tahun dengan penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
lintas. Perdarahan subdural akut merupakan cedera paling mematikan dari semua tipe
cedera kepala.
30
31
32
D. Masalah Penelitian
Bagaimana hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera
Kepala dengan Perdarahan Subdural
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan Glasgow Coma Scale
dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan Perdarahan Subdural
F. Manfaat Penelitian
Mengetahui adanya hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien
Cedera Kepala dengan Perdarahan Subdural
G. Kerangka Konsep
H. Variabel
Variabel independen penelitian ini adalah Glasglow Coma Scale (GCS) dan Lama
Perawatan, sedangkan variabel dependen penelitian ini adalah Pasien Cedera Kepala
dengan Perdarahan Subdural
I. Hipotesis
Ada hubungan Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala
terhadap Perdarahan Subdural
J. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan menggunakan pendekatan
potong lintang.
33
K. Populasi/Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien cedera kepala dengan lesi perdarahan subdural di
DR Abdul Aziz Kota Singkawang dengan pemilihan sampel menggunakan metode total
samplingdengan jumlah sampel sebanyak 30 orang yang memenuhi kriteria penelitian.
L. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis dan gambaran CT-
Scan pasien
M. Analisis Data
Analisis bivariat yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji normalitas data dan
dilanjutkan dengan uji Pearson apabila asumsi normal terpenuhi. Uji Spearman akan
digunakan sebagai alternatif uji Pearson apabila distribusi data tidak normal.
N. Hasil Penelitian
Analisis data dengan uji Spearman mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara
Glasgow Coma Scale (GCS) dan lama perawatan (p=0,006). Keeratan hubungan yang
terjadi diwakili dengan nilai ρ (koefisien korelasi) yaitu 0.486 yang berarti kedua
variabel ini memiliki hubungan yang positif atau berbanding lurus.
Abstrak
Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius
dimasyarakat karena berperan sebagai pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.
Perdarahan subdural termasuk pada cedera paling mematikan dari semua tipe cedera kepala.
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu alat prediksi yang dapat digunakan dalam
menentukan prognosis. Metode. Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan
pendekatan potong lintang. Subjek penelitian berjumlah 30 orang. Data Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan diambil dari rekam medis di RSUD DR Abdul Aziz Kota
Singkawang. Analisis data menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil. Analisis data dengan
uji Spearman mengindikasikan adanya perbedaan bermakna antara Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan (p=0,006). Keeratan hubungan yang terjadi diwakili dengan nilai
ρ (koefisien korelasi) yaitu 0.486 yang berarti kedua variabel ini memiliki hubungan yang
positif atau berbanding lurus. Kesimpulan. Terdapat hubungan antara Glasgow Coma Scale
(GCS) dan lama perawatan yaitu peningkatan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) dapat
meningkatkan lama perawatan pada pasien cedera kepala dengan lesi perdarahan subdural.
Kata kunci : Perdarahan subdural, Glasgow Coma Scale (GCS), lama perawatan
Background. Head injury is one of the serious health problems in society because it plays a
role as a trigger for disability and death worldwide. Subdural hemorrhage is one of the most
deadly injuries of all types of head injuries. Glasgow Coma Scale (GCS) is one predictor tool
that can be used in determining prognosis. Method. This study was an analytic study with
cross-sectional design where 30 patient were studied. Glasgow Coma Scale (GCS) and length
of stay data were obtained from medical records at RSUD DR Abdul Aziz Singkawang. The
data were analyzed by Spearman correlation test. Result. Spearman analysis of the data
indicates a significant difference between Glasgow Coma Scale (GCS) and length of stay (p
= 0.006). The closeness of the relationship that occurs is represented by the value of ρ
(correlation coefficient) is 0.486 which means that these two variables have a positive or
proportional relationship. Conclusion. There was a relationship between Glasgow Coma
Scale (GCS) and length of stay that increases the value of Glasgow Coma Scale (GCS) can
increase the length of stay head injury patient with subdural hemorrhage.
univariat dan analisis bivariat. Analisis lalu lintas yaitu sebanyak 26 orang
bivariat yang dilakukan dalam penelitian (86,7%), Dari seluruh subjek penelitian
ini adalah uji normalitas data dan tersebut, sebanyak 8 orang (26,7%)
dilanjutkan dengan uji Pearson apabila termasuk dalam kategori cedera kepala
asumsi normal terpenuhi. Uji Spearman ringan, 10 orang (33,3%) termasuk dalam
akan digunakan sebagai alternatif uji kategori cedera kepala sedang dan 12
Pearson apabila distribusi data tidak orang (40%) termasuk dalam kategori
normal. cedera kepala berat. Pada subjek
adalah dalam kategori tidak lama (≤ 9 hari) besar nilai GCS maka lama perawatannya
yaitu sebanyak 26 orang (86,7%). akan semakin tinggi.
Pada penelitian ini, hubungan
15. Maugeri R, Anderson DG, Graziano F, Meccio F, Visocchi M, Iacopino DG.Conservative vs. Surgical
Management of Post-Traumatic EpiduralHematoma: A Case and Review of Literature. Am J Case Rep.
2015;16:811-817.
16. Abelson-Mitchell N. Neurotrauma: Managing Patients with Head Injury. Oxford: John Wiley & Sons; 2013.
17. Cohen M, Scheimberg I. Subdural haemorrhage and child maltreatment. Lancet. 2009;373(9670):1173-4.
18. Lynch C. The Epidemiology and Predictors of Worse Outcome for Traumatic Brain Injury Patients at
Kilimanjaro Christian Medical Center, MoshiTanzania. Diss. Duke University, 2013.
19. Chamoun RB, Robertson CS, Gopinath SP. Outcome in patients with blunt head trauma and a Glasgow Coma
Scale score of 3 at presentation. J Neurosurg. 2009;111(4):683– 687
20. Martins ET, Linhares MN, Sousa DS, Schroeder HK, Meinerz J, Rigo LA, et al. Mortality in severe traumatic
brain injury: a multivariated analysis of 748. Brazillian patients from Florianopolis City. J Trauma. 2009; 67(1):
85-90.
21. Peterson N, Scardiglia J. Advanced Trauma Life Support for Doctors: ATLS Student Course Manual. Edisi 18.
Chicago: American College Surgeons; 2008.
22. American College of Surgeons, Committee on Trauma. Advanced trauma life support: student course
manual. Edisi 9. Chicago: American College of Surgeons; 2012.
23. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Pelayanan Minimal. Direktoral Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Jakarta; 2005
24. Sipayung NP, Syafitri H, GCS sebagai prediktor length of stay pasien CKR di RSU Pringadi Medan. 2015;2(2):1
25. Herman C, Karolak W, Yip AM, Buth KJ, Hassan A, Legare JF. Predicting Prolonged Intensive Care Unit Length
of Stay in Patients Undergoing Coronary Artery Bypass Surgery Development of An Entirely Preoperative
Scorecard. Current Opinion in Critical Care.2009;9(4)654-8
26. Barbara J, Billie F, Brahm Pendit. Buku Ajar Perawatan Perioperatif. Volume 2. Edisi ke-1. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2006.
27. Anggraini, Dian. Perbandingan Kepuasan Pasien Gakin dan Pasien Umum di Unit Rawat Inap RSUD Budi Asih
Tahun 2008. FKMUI. 2008.
28. Letarte P. Management of Spesific Injury : The Brain. Edisi 6. USA : McGraw Hill, 2008. p. 397-417.
DAFTAR PUSTAKA
Apriawanti, Verra., Saragih. G.R., Sonny., Natalia, Diana. 2019. Jurnal: Hubungan antara
Glasgow Coma Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan
Perdarahan Subdural. Kalimantan: FK UNTAN
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Intervensi Classification (NIC) edisi bahasa Indonesia.
Indonesia
Bulechek, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi bahasa
Indonesia. Indonesia
Evelyn C, Pearce. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Judha, M.,& Rahil, H. N. 2011. Sistem Asuhan Keperawatan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta : Gosyeng Publishing.
Mansjoer, Arif, dkk. (2011). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mardjono, M., dan Sidharta, P. 2010. Mekanisme Trauma Susunan Saraf Pusat. Jakarta: Dian
Rakyat. h. 250.
NANDA. 2016. Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017 edisi 10. Jakarta :
EGC
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8. Jakarta : EGC.
45