Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

TRAUMA CAPITIS

KELAS 3A KEPERAWATAN

KELOMPOK 1:

ASRIANDINI : 201801008

ELIN PUSPITASARI : 201801013

CLAUDIA EMERALDA : 201801010

MUTIARA ANNISA : 201801021

NIKADEK MAHARANI : 201801022

NURYANI RAUF : 201801030

NURAINUN A : 201801026

SILFANI MAHADALI : 201801033

LUSIANA JUMARLITA : 201801019

SITI NURHALIZA : 201801042

RENALDY : 201801034

PROGRAM STUDI NERS

STIKES WIDYA NUSANTARA PALU

TAHUN AJARAN

2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan yang maha esa karena
atas berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul Trauma Capitis.
Dalam pembelajaran kali ini, mahasiswa di tuntut untuk mampu
memahami bagaimana Trauma Capitis.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Trauma Capitis. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna.
Sekiran makalah yang telah di susun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupuun orang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat dapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenandan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan

PALU, MARET 2021

PENYUSUN

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTARS ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Pengertian Trauma Kapitis............................................................... 3
B. Anatomi fisiologi…………………………………………………...3
C. Etiologi............................................................................................. 10
D. Manifestasi klinik............................................................................. 11
E. Patifisiologi ..................................................................................... 11
F. Patway.............................................................................................. 13
G. Komplikasi....................................................................................... 14
H. Penetalaksanaan…………………………………………………....14
I. Klasifikasi........................................................................................ 15
J. Asuhan keperawatan Trauma Kapitis ............................................ 15
BAB III PENUTUP.....................................................................................22
A. Kesimpulan......................................................................................22
B. Saran.................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada
tulang tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan interfisial dalam subtansi
otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak ( Muttaqin,2008 ).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan
akibat trauma dibanyak negara berkembang. (Tjahjadi et al,2013 ). Kejadian cedera
kepala diseluruh dunia pada tahun 2010 sekitar 2,5 juta orang, dan sudah
menagkibatkan beban biaya ekonomi diperkirakan 76,5 milyar dollar Amerika.
Menurut irawan et al ( 2010 ) Angka kejadian cedera kepala indonesia sebesar 27%
dari total cedera yang dialami akibat kecelakaan lalu lintas. Menurut Tdjajadi et al,
(2013) kejadian cereda otak besar di indonesia antara 6-12% dari seluruh kasus
cedera otak dengan angka kematian berkisar antara 25-37%.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan
sebagai berikut : Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien Cedera otak sedang di
1
Ruang Bedah Mina Rumah sakit Siti Khotijah Sepanjang.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum Tujuan Umum dari penulisan karya tulis ilmiah ini agar penulis
mampu memahami dan mempelajari asuhan keperawatan pada pasien cedera otak
sedang diRuang Bedah Mina Rumah sakit Siti Khotijah Sepanjang.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan Pengkajian pada penderita cedera otak sedang di Ruang Bedah
Mina Rumah Sakit Siti Khotijah Sepanjang
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada penderita cedera otak sedang di
Ruang Bedah Mina Rumah Sakit Siti Khotijah Sepanjang
c. Menyusun rencana keperawatan pada penderita cedera otak sedang di Ruang
Bedah Mina Rumah Sakit Siti Khotijah
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada penderita cedera otak sedang di
Ruang Bedah Mina Rumah Sakit Siti Khotijah Sepanjang.
Melakukan evaluasi tindakan pada penderita cedera otak sedang di Ruang Bedah
Mina Rumah Sakit Siti Khotijah Sepanjang

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Cedera kepala ( trauma capitis ) merupakan cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang megakibatkan luka dikulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan
otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.

B. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan salah satu organ yang teksturnya lembut dan berada dalam
kepala. Otak dilindungi oleh rambut, kulit, dan tulang. Adapun pelindung otak
yang lain adalah lapisan meningen, lapisan ini yang membungkus semua bagian

3
otak. , Lapisan ini terdiri dari duramater, araknoid,piamater.

4
1. Tengkorak
Tengkorak merupakan kerangka kepala yang disusun menjadi dua bagian
kranium yang terdiri dari tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid
dan kerangka wajah terdiri dari tulang hidung, palatum, lakrimal, zigotikum,
vomer, turbinatum, maksila, mandibula.Rongga tengkorak mempunyai
permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, yang licin pada
permukaan luar dan pada permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan
lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah.Permukaan
bawah rongga dikenal dengan dasar tengkorak permukaan ini dilalui banyak
lubang supaya dapat dilalui serabut saraf dan pembuluh darah (Pearce,
2009).
a. Meningen

Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen, ada tiga lapisan
meningen yaitu duramater, araknoid, dan piamater, masing-masing
memiliki struktur dan fungsi yang berbeda.
a) Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis.
Duramater melekat erat dengan pemukaan dalam tengkorak.
Duramater memiliki suplai darah yang kaya. Bagian tengah
dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang
5
bercabang dari
arteria karotis dan menyuplai fosa anterior. Duramater
berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena
dan membentuk poriosteum tabula interna. Diantara
duramater dan araknoid terdapat ruang yang disebut subdural
yang merupakan ruang potensial terjadi perdarahan, pada
perdarahan diruang subdural dapat menyebar bebas , dan
hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena
yang melewati otak yang melewati ruang ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong oleh karena mudah
terjadi cidera dan robek yang menendakan adanya trauma
kepala.
b) Araknoid
Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini
merupakan lapisan avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan
cerbrospinal, diantara araknoid dan piamater terdapat ruang
subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada
tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan
serebrospinal. Araknoid membentuk tonjolan vilus.
c) Piamater
Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya akan
pembuluh darah halus, piamater merupakan satu-satunya
lapisan meningen yang masuk ke dalam suklus dan
membungkus semua girus(kedua lapisan yang hanya
menjembatani suklus).Pada beberapa fisura dan suklus di sisi
hemisfer, piamater membentuk sawar antara ventrikel dan
suklus atau fisura. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada
6
setiap ventrikel (price, 1995).

2. Otak
Menurut Pearce (2009) Otak merupakan organ tubuh yang paling penting
karena merupakan pusat dari semua organ tubuh, otak terletak didalam
rongga tengkorak (kranium) dan dibungkus oleh selaput otak (meningen)
yang kuat.
a. Cerebrum
Cerebrum atau otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar
dari otak, berbentuk telur terbagi menjadi dua hemisperium yaitu kanan
dan kiri dan tiap hemisperium dibagi menajdi empat lobus yaitu lobus
frontalis, parietalis, temporalis dan oksipitalis. Dan bagian tersebut
mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada bagian korteks cerebri dari bagian depan suklus
sentralis dan di dasar suklus lateralis. Pada bagian ini memiliki area
motorik dan pramotorik. Lobus frontalis bertanggung jawab untuk
perilaku bertujuan, penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang
kompleks. Lobus frontalis memodifikasi dorongan emosional yang
7
dihasilkan oleh sistem limbik dan reflek vegetatif dari batang otak.
2) Lobus parietalis
Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di belakang
suklus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas belakang ke fisura
parieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan area sensorik primer otak
untuk sensasi raba dan pendengaran.
3) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari lobus parietalis dan
diatas fisura parieto-oksipitalis, yang memisahkan dari serebelum.
Lobus ini merupakan pusat asosiasi visual utama yang diterima dari
retina mata
4) Lobus Temporalis
Lobus Temporalis mencakup bagian korteks serebrum. Lobus
temporalis merupakan asosiasi primer untuk audiotorik dan bau.
b. Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari otak
belakang. Cerebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi
tentorium cerebri yang merupakan lipatan duramater yang memisahkan
dari lobus oksipitalis serebri.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada bagian lateral disebut hemisfer.

8
c. Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon)pons varoli dan medula
oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak
akuaduktus cerebriyang
menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi melalui otak
tengah ini.
Otak tengah mengandung pusat-pusat yang mengendalikan
keseimbangan dan gerakan-gerakan bola mata.
3.Saraf kranial

Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika mengenai batang
otak karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam saraf kranial antara lain

a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)


Berfunsi sebagai saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh
dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung
ke otak;
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak;
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola
mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk
melayani otot siliaris dan otot iris;
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf ini berfunsi
sebagai pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf
penggerak mata;

e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)


Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah
cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan
saraf otak besar, sarafnya yaitu
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata;
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam
saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk
wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk
menghantarkan rasa pengecap;

h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)


Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan
dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf
pendengar;
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan
lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf- saraf
motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru- paru,
esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan
10
dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa;
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan;
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah.
Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung (Smeltzer, 2001).
C. Etiologi
Cedera kepala dapat berasal dari beberapa sumber yaitu, kekerasan tumpul :
kasus yang paling sering dalam etiologi ini adalah kecelakaan, pembubuhan atau
dapat juga bunuh diri. Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan
yang cukup banyak terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atau
kayu runcing, pecahan kaca, atau benda-benda lain yang tajam. Cedera akibat
tembakan juga dapat menyebabkan kematian, dimana dilihat dari kerusakan
yang ditimbulkan kaliber peluru dan jenis peluru yang digunakan, jarak
tembakan, deformitas yang terjadi pada tulang dan peluru, jalannya peluru yang
masuk pada otak. Cedera kepala akibat gerakan mendadak dapat juga dimasukan
dalam etiolgi yang dapat meyebabkan kematian meskipun tidak terdapat
kekerasan yang nampak langsung pada kepala cedera dapat terajdi oleh karena
gerakan yang mendadak misalnya suatu percepatan, perlambatan atau
perputaran. Kerusakan yang terjadi teruatam apada pembuluh darah otak dan
jaringan sekitarnya.
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas:
1. Cedera primer yang merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat berupa benturan langsung ataupun proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat diakibatkan
pada peristiwa coup dan countrecou.
11
2. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat beberapa proses
patologi yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron yang berkelanjutan,
iskemia dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera sekunder terjadi
gangguan proses metabolisme dan homeostatis ion-ion sel otak,
hemodinamika intrakranial, dan kompartemen cairan screbrospinalis
( CSS ) yang dimulai dari terjadinya trauma namun tidak nampak secara
klinis segera setelah trauma.
D. Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran
2. Kebingungan
3. Iritable
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen glukosa
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
matabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa
12
tubuhm sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada sata otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (
CBF ) adalah 50-60 ml/menit/100gr. Jaringan otak yang merupakan15% dari
cardiac output. Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan distrima, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak, seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vvaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala
primer merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada
cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, seperti akibat
dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

13
F. Pathway

14
15

G. Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat
sinus atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang
Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik
seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh akrena kompresi jaringan otak.
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada penderita cedera
kepala. Adapaun penalatalaksanaa umum, yaitu :
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi Tanda-tandavital
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Awasi kemungkinan munculnya kejang

I. Klasifikasi
16
Klarifikasi cedera kepala penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat di
lakukan dengan menggunakan Glasgow coma scale (GCS) yang di ciptakan oleh
jennet dan teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai
secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang
terjadi ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening),
reaksi berbicara (verbal respon ) , dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai
GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada
CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di
rumah sakit setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9 (George, 2009).

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengakajian
a. Dasar data pengkajian pasien
b. Pengkajian data dasar meliputi tipe, lokasi, keparahan cedera dan
mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ vital
c. Aktivitas / istirahat
Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda: perubahan kesadaran, letargi, hemiparesis, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma)
ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik
d. Sirkulasi
17
Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi). Perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi bradikardi,
disritmia)
e. Integritas Ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis). Tanda: cemas, mudah tersinggung, derilium, agitasi,
bingung, depresi, impulsif
f. Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami
gangguan fungsi makanan/ cairan
g. Nutrisi
Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Tanda:
muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar, disfagia)
h. Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitius, kehilangan pendengaran, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, Fotopobia. Tanda: perubahan
kesadaran dari biasa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku, memori). Perubahan pupil(respon
terhadap cahaya, simetri). Deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti penciuman, pengcapan
dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, apraksia,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian anggota tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
i. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas, lokasi yang berbeda, biasanya
18
lama. Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih
j. Pernapasan
Gejala: perubahan pola napas(apnea yang diselingi hiperventilasi),
napas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi)
k. Keamanan
Gejala: trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Tanda: fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi,
perubahan warna seperti racoon eye, tanda bale disekitar telinga,
demam , gangguan regulasi suhu tubuh.
l. Interaksi sosial
Tanda: afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang.
(Doengoes, 1999).

2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk cidera kepala menurut Rosjidi & Nurhidayat (2007)
yaitu:
a. MRI dan CT Scan untuk mengidentifikasi adanya hematoma epidural,
menentukan ukuran intra ventrikuler, kontusio danperdarahan jaringan
otak, edema serebri, pergeseran jaringan otak, fraktur cranium.
b. Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
sepertipergesran jaringanotak, perdarahan;
c. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis;
d. Sinar x untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah, adnya fragmen tulang;
e. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi
19
korteks dan batang otak;
f. PET ( Positron Emision Tomography) menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak;
g. Pungsi Lumbal, Cairan Serebrospinal dapat menduga kemungkinan
adanya perdarahan subaraknoid;
h. GDA (Gas Darah Arteri ) mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan menigkatnya tekanan intrakranial;
i. Kimia / elektrolit darah untuk mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial;
j. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran;
k. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata (Doenges, 1999).
b. Gangguan perfusi jaringan cerebral b/d edema cerebri, meningkatnya
aliran darah ke otak (Doenges, 1999).
c. Nyeri kepala b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, dan
alat traksi (Doenges, 1999).
d. Perubahan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial (Doenges, 1999).
e. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik (Doenges, 1999).
f. Resiko infeksi b/d jaringan trauma,
kerusakan kulit kepala (Carpenito, 2006).
g. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d haluaran urine dan
20
elektrolit meningkat (Carpenito, 2006).
h. Gangguan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot untuk mengunyah
dan menelan (Carpenito, 2006)
4. Intervensi

Dia T I R
gno u n a
sa j t s
u e i
a r o
n v n
e a
n l
s
i
Gangguan perfusi Gangguan perfusi 1. Pantau status neurologis secara Mengkaji adanya kecenderungan pada
jaringan jaringan teratur. tingkat
cerebral b/d oedema dapat diatasi dengan kesadaran dan potensial peningkatan
cerebri, Kriteria hasil : tekanan intra kranial dan bermanfaat
meningkatnya aliran - Mampu dalam menentukan lokasi, perluasan
darah ke otak. mempertahankan dan perkembangan kerusakan sistem
tingkat kesadaran. saraf pusat.
- Fungsi sensori dan
motorik membaik. 2. Evaluasi kemampuan membuka
mata (spontan, rangsang nyeri). Menentukan tingkat kesadaran.

3. Kaji respon motorik terhadap


perintah yang sederhana. Mengukur kesadaran secara
(meremas dan melepas tangan keseluruhan dan kemampuan untuk
pemeriksa). berespon pada rangsangan eksternal.

4. Pantau TTV dan catat hasilnya. Untuk mengetahui status tekanan darah
dan adanya disritmia.

5. Anjurkan orang terdekat untuk Ungkapan keluarga yang


berbicara dengan klien. menyenangkan klien tampak efek
relaksasi pada beberapa klien koma
yang menurunkan tekanan intra kranial.
21
6. Kolaborasi pemberian cairan
sesuai indikasi melalui IV Pembatasan cairan diperlukan untuk
dengan alat kontrol. menurunkan oedema cerebral:
meminimalkan fluktuasi aliran
vaskuler, tekanan darah dan tekanan
intra kranial.
Nyeri kepala Rasa nyeri berkurang 1. Teliti keluhan nyeri, catat Mengidentifikasi karakteristik nyeri
peningkatan dengan intensitasnya, merupakan
Kriteria hasil : lokasinya dan lamanya. faktor yang penting untuk menentukan
tekanan intrakranial. 1. pasien mengatakan terapi yang cocok serta mengevaluasi
nyeri berkurang. keefektifan dari terapi.
2. Pasien
menunjukan
penurunan skala nyeri.
3. Ekspresi wajah klien rileks.
2. Catat kemungkinan patofisiologi yang Pemahaman terhadap penyakit yang
khas, misalnya adanya infeksi, trauma mendasarinya membantu dalam memilih
servikal. intervensi yang sesuai.
3. Berikan kompres dingin / hangat pada Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan
kepala. vasodilatasi.

4. Kolaborasi dalam pemberian analgetika. Analgetika dapat mengurangi rasa nyeri yang
dialami pasien.
Perubahan persepsi sensori Fungsi persepsi sensori kembali 1. Evaluasi secara teratur perubahan Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh
b/ d penurunan kesadaran, normal dengan Kriteria hasil : orientasi, kemampuan berbicara, alam lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi,
peningkatan tekanan intra 1. mampu mengenali orang dan perasaan, sensori dan proses pikir. oksigenasi. Perubahan persepsi sensori motorik
kranial. lingkungan sekitar. dan kognitif mungkin akan berkembang dan
2. Mengakui adanya perubahan menetap dengan perbaikan respon secara
dalam kemampuannya. bertahap.

2. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan
panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan
kesadaran terhadap gerakan. atau penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan berespon sesuai
dengan stimuli.

3. Bicara dengan suara yang lembut dan Pasien mungkin mengalami keterbatasan
pelan. Gunakan kalimat pendek dan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan
sederhana. Pertahankan kontak mata. penyembuhan. Dengan tindakan ini akan
membantu pasien untuk memunculkan
komunikasi.
4. Gunakan penerangan siang atau malam. Mengurangi kelelahan, kejenuhan dan
memberikan kesempatan untuk tidur REM
(ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan
gangguan persepsi sensori).

5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif. menciptakan rencana panatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus pada masalah klien
Gangguan mobilitas fisik Pasien dapat melakukan 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional
b/d spastisitas kontraktur, mobilitas fisik dengan kriteria secara fungsional pada kerusakan yang dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan
kerusakan saraf motorik. hasil : terjadi dilakukan.
1. tidak adanya kontraktur,
footdrop.
2. Ada peningkatan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh
yang sakit.
3. Mampu mendemonstrasikan
aktivitas yang
memungkinkan
dilakukannya

2. Pertahankan kesejajaran tubuh secara Penggunaan sepatu tenis hak tinggi dapat
fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. membantu mencegah footdrop, penggunaan
Pantau selama penempatan alat atau tanda bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat
penekanan dari alat tersebut. membantu mencegah terjadinya abnormal pada
bokong.

3. Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/
posisi normal ekstrimitas dan menurunkan
terjadinya vena statis.

4. Bantu pasien dalam program latihan dan Proses penyembuhan yang lambat seringakli
penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik
aktivitas dan partisipasi dalam merawat merupakan bagian yang sangat penting.
diri sendiri sesuai kemampuan. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat
penting untuk meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.

Resiko infeksi b/d jaringan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, Cara pertama untuk menghindari nosokomial
trauma, kerusakan kulit tindakan keperawatan infeksi pertahankan teknik cuci tangan yang baik infeksi.
kepala. tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda
infeksi (rubor, kalor, dolor,
tumor dan fungsio laesa)
2. Tanda-tanda vital normal
terutama suhu (36-370C)
2. Observasi daerah kulit yang mengalami Deteksi dini perkembangan infeksi
kerusakan, daerah yang terpasang alat memungkinkan untuk melakukan tindakan
invasi, catat karakteristik drainase dan dengan segera dan pencegahan terhadap
adanya inflamasi. komplikasi selanjutnya.

3. Batasi pengunjung yang dapat menularkan Menurunkan pemajanan terhadap pembawa


infeksi atau cegah pengunjung yang kuman infeksi.
mengalami infeksi saluran nafas atas.

4. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien
indikasi. yang mengalami trauma, kebocoran LCS atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
Gangguan keseimbangan Ganguan keseimbangan cairan 1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah
cairan dan elektrolit b/d dan elektrolit dapat teratasi cairan kekurangan / kelebihan fluktuasi keseimbangan
haluaran urine dan dengan kriteria hasil : cairan.
elektrolit meningkat. 1. Menunjukan membran
mukosa lembab, tanda vital
normal haluaran urine
adekuat dan bebas oedema.
2. Catat masukan dan haluaran, hitung Kehilangan urinarius dapat menunjukan
keseimbangan cairan, ukur berat jenis terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah
urine. indikator hidrasi dan fungsi renal

3. Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor Hipokalimia/ fofatemia dapat terjadi karena


serum, Ht dan albumin serum. perpindahan intraselluler selama pemberian
makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila
tidak diatasi.
Gangguan kebutuhan Pasien tidak mengalami 1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan
nutrisi b/ d kelemahan otot gangguan nutrisi dengan kriteria dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi. sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
untuk menguyah dan hasil:
menelan 1. Tidak mengalami tanda-
tanda mal nutrisi dengan
nilai lab. Dalam rentang
normal.
2. Peningkatan berat badan
sesuai tujuan.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya Fungsi bising usus pada umumnya tetap baik
penurunan/ hilangnya atau suara pada kasus cidera kepala. Jadi bising usus
hiperaktif. membantu dalam menentukan respon untuk
makan atau berkembangnya komplikasi seperti
paralitik ileus.
3. Jaga keamanan saat memberikan makan Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi
pada pasien, seperti meninggikan kepala pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat
selama makan atatu selama pemberian meningkatkan kerjasama pasien saat makan
makan lewat NGT.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi secara
langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan
atau berpengaruh berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif,
perilaku, dan emosi. Pada kasus Nn. N didapatkan data yang dapat
mendukung dikumpulkan penulis adalah:
1) Nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan lunak;
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal;
3) Risiko infeksi berhubungan dengan masukny kuman kedalam
tubuh. Setelah melakukan pengkajian dan melaksanakan perawatan
selama 4 hari pada Nn. N, penulis merasa mampu untuk mencoba
menerapkan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala, lebih mengenal tentang cedera kepala, mengidentifikasi
masalah yang muncul pada klien serta menentukan dan
menerapkan rencana tindakan yang tepat pada klien. Faktor
pendukung keberhasilan penulis asuhan keperawatan adalah
partisipasi keluarga atau bantuan dari keluarga, sedangkan faktor
penghambat dari keberhasilan dalam 61 pemberian asuhan
keperawatan adalah waktu yang dimiliki penulis dalam pemberian
asuhan keperawatan dimana masalah yang dihadapi klien
memerlukan waktu yang cukup lama dalam penyembuhan Penulis
memberikan perawatan selama 4 hari klien pulan pada hari ke
lima, telah banyak ilmu lapangan yang penulis dapatkan. Ini
membuktikan bahwa angka kejadian tinggi pada cedera kepala dan
angka mortalitasnya juga tinggi pula. Hal ini juga semoga memberi
semangat kepada para tenaga kesehatan untuk lebih komprehensif

1
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera
kepala.
B. SARAN
1. Kepada Masyarakat Cedera kepala dapat terkena pada siapa saja.
Banyak yang terkena pada usia produktif. Sebelum cedera kepala
mengenai gunakan alat pelindung kepala yang sesuai standar.
Khususnya bagi pengendara kendaraan bermotor, pekerja
konstruksi hendkanya memakai pelindung kepala yang standar
2. Kepada Tenaga Kesehatan Pasien-pasien dengan cedra kepala
dapat memburuk jika tidak ditangani secara optimal. Berikanlah
perawatan yang optimal, cepat, tanggap, dan komprehensif dengan
hati yang tulus tanpa ada yang dibedakan.

2
DAFTAR PUSTAKA

Irawan, H., Setiawan, F., Dewi, Dewanto G. ( 2010 ). Perbandingan


Glasgow coma scale dan revised trauma score dalam memprediksi
disabilitas pasien trauma di RS. Atma jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol. 60. No 10.

Muttaqin, A ( 2008 ). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan


gangguan sistem persyarafan. Jakarta: Salemba medika

Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A.S., & Farid,A ( 2013 ). Early mortality
predicator of severe traumatic brain injuri: A single center study of
prognosis variabels based on admission characteristics. The indian
Journal Of Neurotrauma, 10(1),3-8.doi:
http://dx.doi/org/10.1016/j.ijnt.2013.04.00

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’ im TWA, Sidhi, Hertian S, et


al. Ilmu Kedokteran Forensik. Universitas Indonesia. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik. FKUI, 1997; p. 37-41.

Solmaz I, Kural C, Temiz C, Secer H, Traumatic brain otak injury due to


gunshot wounds: a single institusion’ experience with 442
consecutive patients. Turkish Neurosurgery. 2009; 19:217.

Weisberg LA, Garcia CA, Strub RI. Head truma. In: Essentials of Clinical
Neurology. Aspen Publishers, 1989; p 3-4,10.

3
4

Anda mungkin juga menyukai