CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Fatiatul Khairi, S.Ked
22174012
Pembimbing :
dr. Fakhrul Rizal, Sp.B
Penulis,
Fatiatul Khairi
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
2.2 Epidemiologi......................................................................................................5
2.3 Anatomi.............................................................................................................5
2.4 Fisiologi.............................................................................................................9
2.5 Klasifikasi.........................................................................................................10
2.6 Resusitasi..........................................................................................................16
2.11 Komplikasi.....................................................................................................26
2.12 Prognosis........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................28
3
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai adanya gangguan pada fungsi otak
akibat dorongan fisik dari luar.1 Gangguan fungsi pada otak dapat bersifat sementara
ataupun permanen, dan dapat menghasilkan kelainan struktural pada otak. Klasifikasi
cedera kepala dapat dibagi berdasarkan tingkat kesadaran yaitu cedera kepala ringan
dengan penilaian GCS 13-15, cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dan cedera
kepala berat dengan penilaian GCS 3-8. Kondisi paling sering dialami oleh pasien
adalah cedera kepala ringan sebanyak 80%. Kejadian cedera kepala sedang <20%,
tetapi meninggalkan kecacatan sebanyak 50%, 40% dari kasus cedera kepala sedang
ditemukan adanya kelainan pada CT-Scan kepala dan sebanyak 8% memerlukan
tindakan pembedahan. Sebanyak 40% pasien dengan cedera kepala berat mengalami
kematian pada 48 jam pertama.2
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera kepala adalah adanya dorongan fisik dari luar kepala yang menyebabkan
gangguan pada fungsi otak. Dorongan fisik dari luar kepala dapat berupa kekerasan,
terjatuh, tertabrak kendaraan bermotor, ledakan, dan sebagainya.1
2.2 Epidemiologi
Pasien dengan cedera kepala menurut Center for Disease Control and Prevention
(CDC) terjadi pada 1,7 juta kejadian setiap tahunnya di Amerika. Sebanyak 80% pasien
pasien dengan cedera kepala mendapatkan terapi dan dapat dipulangkan, 275.000 pasien
dirawat karena cedera kepala. Sekitar 75% dari total kejadian pada cedera kepala adalah
cedera kepala ringan. Sekitar 52.000 orang dengan cedera kepala mengalami kematian
tiap tahunnya. Penyebab tersering pada pasien cedera kepala adalah jatuh, banyak
terjadi pada anak usia dibawah 14 tahun sebanayk 50% dan orang dewasa usia diatas 65
tahun sebanyak 61%. Kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala
terjadi sebanyak 17%. Kasus kekerasan sebanyak 10% menyebabkan cedera kepala.
Kasus cedera kepala yang berhubungan dengan konsumsi alkohol terjadi pada 12%
dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala. Kasus ledakan yang menyebabkan cedera
kepala banyak terjadi pada orang-orang militer. Cedera kepala lebih sering terjadi pada
pria dibandingkan dengan wanita.3
2.3 Anatomi
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yaitu kulit, jaringan ikat, aponeurosis atau galea
aponeurotica, jaringan longgar areolar, dan pericranium. Karena banyaknya pembuluh
darah yang memperdarahi daerah kulit kepala, laserasi pada daerah kulit kepala dapat
menyebabkan perdarahan hebat terutama pada bayi dan anak-anak.4
5
Gambar 1. Pembuluh darah pada kulit kepala5
Tulang tengkorak terdiri dari 2 bagian yaitu bagian tempurung (cranial vault) dan
bagian basal. Bagian tempurung dari tulang tengkorak adalah tipis terutama bagian
temporal. Bentuk dari basal tulang tengkorak iregular sehingga ketika terjadi adanya
aselerasi dan deselerasi maka dapat menyebabkan trauma pada otak. Bagian dari basal
tulang tengkorak dapat dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu anterior fossa tempat dari
lobus frontal, middle fossa untuk lobus temporal, dan posterior fossa untuk cerebellum
dan brainstem bagian bawah.4
Lapisan meninges terdiri dari 3 lapisan yaitu dura mater, arachnoid mater, dan pia
mater. Dura mater merupakan lapisan meninges terluar yang menempel pada bagian
dalam dari tulang tengkorak. Diantara dura mater (epidural space) terdapat pembuluh
darah yaitu arteri meningea. Arteri meningea yang paling sering terkena trauma adalah
arteri meningea media yang berada pada bagian temporal fossa. Trauma pada arteri
meningea dapat menyebabkan epidural hematoma.5
6
Gambar 2. Lapisan meninges4
Dibawah dura mater terdapat arachnoid mater, yang merukapan lapisan transparan tipis, tidak
melekat pada dura sehingga terdapat rongga subdural (subdural space).5
7
Gambar 4. Arachnoid mater dan bridging vein5
Lapisan ketiga dari meninges adalah pia mater yang melekat pada permukaan otak.
Cairan cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater dan pia mater yang disebut
rongga subarachnoid (arachnoid space), sebagai bantalan dari otak dan medula
spinalis.4
2.3.4 Otak
8
Otak terdiri dari 3 bagian besar yaitu cerebrum, batang otak, dan cerebellum.
Cerebrum terdiri dari 2 bagian yaitu hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx
cerebri. Lobus frontal untuk mengatur fungsi eksekutif, emosi, motorik, dan motor
speech. Lobus parietal untuk fungsi sensori dan orientasi spatial. Lobus temporal untuk
regulasi memori. Lobus occipital bertanggung jawab untuk pengelihatan. Batang otak
terdiri dari otak tengah (midbrain), pons dan medulla oblongata. Midbrain dan otak
bagian atas terdiri atas reticular activating system. Pusat cardiorespiratory berada di
medulla oblongata dan diteruskan hingga ke medulla spinalis. Cerebellum berfungsi
untuk koordinasi dan keseimbangan.5
2.4 Fisiologi
Konsep fisiologi yang terjadi pada cedera kepala terdiri dari tekanan intrakranial,
doktrin Monro-Kellie dan aliran darah otak. Terjadinya peningkatan pada tekanan
intrakranial dapat mengurangi aliran darah ke otak dan menyebabkan iskemia. Tekanan
intrakranial yang normal adalah 10 – 15 mmHg. Tekanan pada intrakranial lebih dari 20
mmHg menyebabkan defisit neurologis yang berujung pada prognosis yang buruk.
Doktrin Monro-Kellie mengatakan bahwa total volume pada intrakranial haruslah
konstan, karena kranium itu rapuh dan tidak dapat mengembang. Aliran darah vena dan
cairan cerebrospinal dapat dikeluarkan dari intrakranial sebagai kompensasi dari adanya
tekanan atau pendesakkan dalam intrakranial.3,4
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu dari derajat
keparahan cedera kepala dan morfologi cedera kepala. Derajat keparahan cedera kepala
dapat dibedakan menjadi cedera kepala ringan dengan penilaian skor GCS 13-15, cedera
kepala sedang dengan penilaian skor GCS 9-12 dan cedera kepala berat dengan
penilaian skor GCS 3-8.4
Pada cedera kepala dapat dibagi lagi menjadi 2 klasifikasi yaitu kerusakan primer
dan kerusakan sekunder. Kerusakan primer disebabkan langsung oleh mekanisme
10
cedera itu sendiri, yang termasuk adalah kontusio, hematoma, laserasi, dan kerusakan
dari luka penetrasi. Kerusakan sekunder adalah hasil dari cascade pada perubahan
intraserebral. Kaskade sekunder pada cedera kepala meliputi pergeseran kalsium dan
ion, kerusakan mitokondria, produksi radikal bebas, dan enzim yang menyebabkan
kematian sel. Glutamat dilepaskan ke presinaptik dalam jumlah yang banyak. Adanya
aktivasi dari reseptor postsinaptik seperti N-metil-d-aspartat, α-amino-3-metil-4-
hidroksi-5-isoxazole asam propionat, dan lainnya. Aktivasi dari reseptor-reseptor
membuat sel penuh dengan kalsium dan mengganggu keseimbangan ion-ion penting
seperti kalium dan natrium. Pergeseran dari ion ini menyebabkan terganggunya fungsi
normal sel dan mekanisme protektif sel yang normal. Adanya pergeseran ion dan
kalsium menyebabkan kerusakan mitokondria, produksi radikal bebas, sel kehilangan
energi dan intergritas membran, kerusakan transport ion, dan sejumlah kerusakan
lainnya. Hasil akhir dari banyaknya sel yang rusak adalah kematian sel atau nekrosis.
Kerusakan selular mengaktifkan sejumlah mekanisme yang berujung pada produksi
sitokin dan enzim proinflamasi. Inflamasi yang tadinya merupakan proses natural dalam
tubuh menjadi patologis yang menyebabkan kerusakan pada jalur neuronal. Kerusakan
pada jalur neuronal menyebabkan matinya sel-sel neuron. Kerusakan seluler juga
menyebabkan edema sitotoksik (akibat hilangnya intergritas membran dan pertukaran
ion) dan edema ekstraselular. Akibat adanya edema maka terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan menyebabkan iskemia
akibat kompresi dari pembuluh darah. Herniasi dari jaringan otak dapat terjadi dan dapat
berujung kepada kematian.2
Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu fraktur
tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur tulang tengkorak dapat dibagi menjadi
fraktur tempurung dan fraktur basilar. Lesi intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu
lesi fokal dan lesi difus.4
11
Derajat keparahan Ringan Skor GCS 13-15
Sedang Skor GCS 9-12
Berat Skor GCS 3-8
Morfologi Fraktur tulang Tempurung Linear vs stellate
tengkorak Depresi/non depresi
Terbuka/tertutup
Basilar Dengan/tanpa kebocoran
CSF
Dengan atau tanpa
kelumpuhan nervus tujuh
Lesi intrakranial Fokal Epidural
Subdural
Intercereberal
Difus Konkusio
Kontusio multipel
Hypoxia/trauma iskemik
Trauma axon
Trauma pada tempurung tulang tengkorak yang tersering adalah fraktur depresi pada
bagian temporal yang berhubungan dengan terjadinya cedera juga pada otak dan
pembuluh darah. Fraktur linear pada tempurung tulang tengkorak yang melintasi arteri
meningea media dapat menyebabkan terjadinya epidural hematoma. Fraktur terbuka
pada tulang tengkorak dapat meningkatkan resiko terjadinya kebocoran dari cairan
cerebrospinal dan infeksi karena terpapar oleh lingkungan luar. Fraktur pada basal
tulang tengkorak dapat diidentifikasi dengan gejala patonomonik yaitu adanya
raccoon’s eyes atau panda bear eyes yang terjadi akibat rembesan darah dari anterior
fossa ke jaringan periorbital, battle signs (ekimosis pada mastoid) dan adanya
kebocoran dari cairan cerebrospinal dari hidung (rhinorrhea), telinga (otorrhea),
disfungsi dari saraf kranialis VII dan VIII yang dapat terjadi langsung ataupun beberapa
hari kemudian.4,5
12
Gambar 8. Tanda patonomonik dari fraktur basal tulang tengkorak dan fraktur depresi
tulang tengkorak5
Lesi interkranial dapat berupa lesi fokal maupun difus. Lesi fokal dapat dibagi
menjadi tiga yaitu hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma intercerebral.
Hematoma epidural adalah perdarahan yang terjadi diantara dura mater dan bagian
dalam dari tulang tengkorak. Terjadi sekitar 2% dari kejadian trauma kepala. Sering
terjadi pada regio temporal dan parietal, dan sekitar 90% hematoma epidural
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak. Pembuluh darah yang sering terkena
adalah arteri meningea media. Gejala klasik yang akan timbul pada pasien dengan
hematoma epidural adalah adanya lucid interval. Lucid interval adalah adanya episode
sadar diantara dua episode tidak sadar setelah terjadinya trauma. Pada pemeriksaan CT
Scan kepala akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk bikonveks diantara jaringan
otak dan tulang tengkorak.5
13
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara dura mater dan
arachnoid mater. Hematoma subdural lebih sering terjadi dibandingkan dengan
hematoma epidural, kejadiannya sekitar 15% dari pasien yang mengalami cedera
kepala. Faktor resiko dari hematoma subdural adalah orang tua. Pada orang usia lanjut,
jaringan otak mengalami penurunan volume sehingga menciptakan rongga subdural
menjadi bertambah. Dengan adanya pertambahan pada rongga subdural, maka bridging
vein yang melekat pada tulang tengkorak dan permukaan jaringan otak akan
merenggang. Ketika seseorang mengalami trauma, jaringan otak akan mengalami
aselerasi dan deselerasi yang mengakibatkan robeknya bridging vein. Pada gambaran
CT Scan kepala maka akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk konveks (cresent-
shape) yang berada antara tulang tengkorak dan jaringan otak.4,5
14
Gambar 11. Hematoma intercerebral4
Lesi difus pada cedera kepala dapat dibagi menjadi empat yaitu konkusio, kontusio
multipel, hipoksia/trauma iskemik dan trauma axonal. Konkusio atau cedera kepala
ringan terjadi akibat benturan, atau perlukaan pada daerah kepala yang sifatnya tidak
mengancam jiwa. Gejala yang ditimbulkan dibagi menjadi 4 grup yaitu masalah
memori, masalah fisik, masalah emosional dan gangguan tidur yang dapat terjadi dalam
hitungan hari atau bahkan pada beberapa kasus tertentu dapat menetap dalam hitungan
bulan atau tahun.4,5,6
Trauma axon dapat terjadi akibat adanya kombinasi dari rotasional aselerasi dan
deselerasi ketika terjadi trauma sehingga terjadi robekan antara jalur axon dan kapiler.
Kejadian yang paling sering menyebabkan trauma axonal adalah kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan tinggi. Axon yang rentan untuk mengalami trauma berada di cerebral
white matter, corpus callosum, dan batang otak. Trauma axon merupakan kesatuan yang
kompleks dimana peregangan pada axon dapat menyebabkan perubahan permeabilitas
15
pada axon yang mengganggu transpor dari axon itu sendiri dan metabolisme selular
yang berujung dengan cepat atau lambat kepada kematian sel.3
2.6 Resusitasi
Primary survey
Airway
Memastikan jalur pernafasan tidak ada yang terhambat termasuk tindakan
untuk suction dan inspeksi benda asing pada saluran pernafasan. Fraktur pada
facial, mandibular, trakea ataupun laring dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas. Dilakukan manuver chin-lift atau jaw-thrust agar jalan
nafas dapat terbuka. Pada pasien dengan cedera kepala berat dimana GCS < 8
maka dapat dilakukan intubasi. Dapat diberikan neck collar untuk
mempertahankan posisi kepala agar tidak hiperekstensi dan mempertahankan
posisi agar jalan nafas terbuka.4
Breathing
Dapat dilakukan pemeriksaan pada bagian toraks secara menyeluruh dan
cepat untuk mengetahui adanya gangguan dari ventilasi. Pada pasien dengan
cedera kepala harus dipastikan mendapatkan asupan oksigen yang cukup
untuk mencegah terjadinya kerusakan sekunder pada otak. Saturasi oksigen
dalam darah dipertahankan >98%.4
Circulation
Kegagalan dalam sirkulasi pada pasien trauma dapat berasal dari berbagai
sumber perlukaan, antara lain kuranganya volume darah, cardiac output dan
perdarahan. Observasi awal yang dapat dilakukan adalah memeriksa
kesadaran dimana ketika volume darah tidak mencukupi hingga ke otak maka
dapat terjadi penurunan kesadaran. Warna kulit dapat menjadi indikator untuk
pasien dengan hipovolemik, pasien dengan kondisi pucat, dan ekstremitas
yang dingin. Nadi terutama bagian sentral (arteri carotis atau femoralis) harus
diperiksa untuk kualitas, rate dan regularitasnya. Sumber perdarahan dapat
berasal dari internal atau eksternal. Jika sumber perdarahan eksternal, maka
dapat dilakukan penekanan manual pada daerah yang terluka. Perdarahan
16
internal dapat terjadi pada daerah dada, abdomen, retroperitoneum, pelvis,
dan bagian tulang panjang. Pada pasien dengan cedera kepala, keadaan
euvolemia harus dipertankan dengan menggunakan produk darah, ataupun
cairan isotonik.4
Disability
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan singkat dan cepat. Dilakukan
pemeriksaan tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS), reflek cahaya, dan defisit neurologis fokal. Pemeriksaan doll’s eye
movement (oculocephalic), tes kalorik dengan air dingin (oculovestibular) dan
reflek kornea dapat dilakukan oleh dokter bedah saraf. Dolls’s eye tidak boleh
dilakukan sampai dapat dipastikan tidak ada cedera pada bagian cervical.4
Exposure
Semua pakaian pasien dapat dibuka untuk mengetahui adanya perlukaan pada
daerah tubuh yang lain.4
Secondary survey
Pada secondary survey dapat dilakukan pemeriksaan status generalisata secara lebih
mendetail dibandingkan pada primary survey. Pemeriksaan neurologis yang dapat
dilakukan pada secondary survey adalah pemeriksaan GCS, lateralisasi, dan reaksi
pupil. Setelah dilakukan pemeriksaan status generalisata dan neurologis secara
mendetail dan kondisi pasien sudah stabil, pemeriksaan CT-Scan pada pasien dengan
cedera kepala harus segera dilakukan dan dapat diulang 24 jam berikutnya jika
didapatkan kontusio atau hematoma pada hasil CT-Scan awal. Penemuan bermakna
pada CT-Scan dapat meliputi pembengkakan pada bagian kulit kepala, hematoma
subgaleal di daerah yang terkena trauma. Fraktur tulang kepala dapat dilihat dengan
lebih baik menggunakan bone window, tetapi dapat juga terlihat pada soft-tissue
window. Penemuan penting pada CT-Scan kepala pada pasien dengan cedera kepala
adalah perdarahan intrakranial, kontusio, pergeseran midline (efek massa) dan
hilangnya sisterna. Pergeseran midline 5mm atau lebih biasanya mengindikasikan
perlunya operasi untuk evakuasi perdarahan yang menyebabkan pergeseran.4
17
2.7 Algoritma Cedera Kepala
Pasien cedera kepala ringan dapat dirawat inap dan dirujuk ke bedah saraf jika ada
kelainan pada hasil CT-Scan kepala, adanya gejala simptomatis yang menetap, dan
adanya kelainan neurologis yang menetap. Pasien yang sadar dan asimptomatis
dapat diobservasi, jika kondisi stabil maka pasien dapat dipulangkan dengan syarat
dirumah harus diobservasi selama 24 jam pertama, jika ada tanda-tanda seperti
18
penurunan kesadaran, nyeri kepala yang hebat, maka pasien harus segera kembali
ke rumah sakit.4
20
Gambar 14. Algoritma tatalaksana cedera kepala berat4
Tujuan utama dari tatalaksana trauma pada kepala adalah untuk mencegah adanya
kerusakan sekunder pada otak yang sudah mengalami trauma. Pengobatan
medikamnetosa yang dapat diberikan pada pasien dengan cedera kepala adalah
pemberian cairan intravena, keadaan hiperventilasi sementara, manitol, saline
hipertonik, barbiturate, dan antikonvulsan. Cairan intravena dan produk darah harus
segera diberikan ketika melakukan resusitasi pada pasien dengan cedera kepala agar
kondisi pasien tetap dipertahankan pada kondisi normovolemia. Harus juga diperhatikan
agar tidak kelebihan cairan yang dapat menyebabkan pada edema serebri. Cairan
hipotonik tidak dianjurkan untuk digunakan. Cairan yang mengandung glukosa juga
tidak dianjurkan karena dapat berujung pada hiperglikemia. Cairan yang dianjurkan
adalah ringer laktat atau normal saline. Kadar sodium juga harus di monitor agar tidak
menjadi hiponatremia yang dapat menyebabkan edema serebri.4
Kondisi normocarbia disarankan pada kebanyakan pasien. kondisi hiperventilasi bekerja
dengan cara menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi dari
pembuluh darah. Kondisi hiperventilasi yang aggresif dan berkepanjangan juga dapat
menyebabkan iskemik pada jaringan otak. Kadar PaCO2 pada keadaan hiperventilasi
21
dapat mencapai hingga dibawah 30 mmHg. Keadaan hiperkarbia dimana PaCO2 >45
mmHg maka akan terjadi vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial dimana itu
harus dicegah. Secara keseluruhan kondisi PaCO2 dapat dipertahankan pada 35 mmHg
yaitu nilai terbawah dari kadar normal. Keadaan hiperventilasi dapat menurunkan
tekanan intrakranial dengan kondisi hematoma yang bertambah luas pada keadaan yang
membutuhkan tindakan emergensi kraniotomi.4
Manitol digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Kadar manitol yang biasa
digunakan adalah 20% dari cairan (20g manitol per 100ml cairan). Tidak boleh
digunakan pada pasien dengan hipotensi karena menyebabkan eksaserbasi hipotensi dan
iskemik serebri. Kerusakan neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis, atau hilang kesadaran merupakan indikasi untuk pemberian manitol
dimana kondisi pasien adalah euvolemia. Pada kondisi seperti ini dapat diberikan
manitol blus (1g/kg) dapat diberikan dalam waktu cepat (lebih dari 5 menit) dan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau langsung dilakukan tindakan operatif jika lesi
intrakranial sudah diidentifikasi.4
Salin hipertonik digunakan juga untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, yang lebih memungkinkan
menjadi pilihan terbaik pada pasien dengan hipotensi. Barbiturate dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sulit untuk diturunkan. Tidak boleh
digunakan pada keadaan hipotensi atatu hipovolemia. Efek samping dari barbiturat
sendiri adalah hipotensi. Barbiturate tidak disarankan untuk resusitasi pada keadaan
akut.4
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
trauma kepala tertutup dan 15% dari pasien dengan trauma kepala berat. Tiga faktor
utama yang terkait tingginya insiden epilepsi adalah kejang terjadi dalam minggu
pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tulang tengkorak. Kejang akut
dapat dikontrol menggunakan antikonvulsan, akan tetapi pemberian antikonvulsan
terlalu dini tidak akan mengubah kejang traumatis jangka panjang. Antikonvulsan juga
dapat menghambat pemulihan otak, sehingga digunakan ketika benar-benar
membutuhkan. Antikonvulsan yang digunakan saat ini adalah fenitoin dalam kondisi
akut. Pada orang dewasa dosis awal yang diberikan adalah 1gram fenitoin diberikan
22
secarai intravena dan tidak lebih cepat dari 50mg/menit. Dosis pemeliharaan adalah
100mg/8jam, dengan dosis titrasi hingga mencapai kadar untuk terapi. Diazepam
ataupun lorazepam dapat digunakan juga sebagai tambahan hingga kejang berhenti. Jika
kejang berlanjut terus menerus dapat dilakukan anestesi secara umum. Kejang yang
berkepanjangan (30 hingga 60 menit) dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada
otak.4
Tatalaksana pembedahan dapat dilakukan jika terdapat perlukaan pada kulit kepala,
fraktur depresi kepala, masa intrakranial, dan luka penetrasi pada kepala. Pada kasus
dengan perlukaan pada kulit kepala dapat dilakukan pembersihan luka dan inspeksi
dengan teliti sebelum dilakukan penjahitan kulit kepala. Yang menyebabkan terjadinya
infeksi pada perlukaan di kulit kepala adalah kurang bersih saat pembersihan dan
debridemen. Kehilangan darah dalam jumlah yang banyak sangat memungkinkan
terutama pada anak kecil. Perdarahan dapat dihentikan dengan cara menekan pada
tempat yang terluka atau ligase pembuluh darah besar. Inspeksi perlukaan kulit kepala
dari adanya fraktur dan benda asing juga penting. Jika ada kebocoran dari cairan
serebrospinal, menandakan bahwa ada robekan pada dura mater.4
Fraktur depresi tulang tengkorak biasanya membutuhkan tindakan operasi jika fraktur
depresi tulang tengkorak tersebut melebihi ketebalan tulang tengkorak yang berdekatan
atau jika terbuka dan terkontaminasi. Untuk mengetahui seberapa dalam fraktur depresi
maka dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Pada pasien cedera kepala dengan adanya
massa intrakranial maka harus dilakukan tindakan operatif oleh dokter bedah saraf. Jika
berada di daerah yang tidak ada dokter bedah saraf maka harus langsung segera dirujuk.
Pada pasien dengan luka penetrasi pada kepala CT-Scan sangat direkomendasikan. Foto
polos kepala dapat dilakukan jika tidak ada CT-Scan untuk melihat adanya peluru dalam
kepala atau benda asing yang besar. Pasien dengan luka penetrasi yang melibatkan
orbitfacial atau region pterional sebaiknya dilakukan angiografi untuk mencari adanya
aneurisma traumatic atau arteriovenous fistula. Jika didapatkan penemuan pada CT-
Scan berupa kontusio yang besar, hematoma atau perdarahan intraventrikular maka
tingkat mortalitas meningkat terutama jika melibatkan kedua hemisfer. Antibiotik
23
broad-spectrum sebagai profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan trauma
penetrasi pada kepala. Benda asing yang penetrasi ke dalam jaringan otak (contoh :
panah, pisau, dan lain-lain) harus tetap didiamkan ditempatnya sampai trauma vaskular
dan tatalaksana bedah saraf sudah dievaluasi dan dilakukan. Pencabutan benda asing
yang penetrasi pada jaringan otak dapat membuat kejadian trauma vaskular dan
perdarahan intrakranial yang fatal.4
Herniasi pada otak terjadi karena adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
menyebabkan adanya bagian otak yang bergeser ke kompartemen yang lainnya.
Terdapat 4 tipe herniasi otak yaitu herniasi subfalcine, herniasi sentral, herniasi uncal,
dan herniasi serebelotonsilar. Herniasi subfalcine terjadi pada pasien dengan massa yang
terjadi pada bagian lobus frontal yang menyebabkan girus cingulate herniasi melewati
falx serebri.7 Herniasi subfalcine merupakan herniasi yang paling sering terjadi diantara
semua tipe herniasi otak. Gejala yang ditimbulkan saat terjadi herniasi subfalcine adalah
penurunan kesadaran, kelemahan ekstrimitas bawah kontralateral. Pada gambaran
radiologi, karakterisitik dari herniasi subfalcine adalah adanya pergeseran dari septum
pellucidum, tanduk anterior dari ventrikel lateral terlihat tipis dan adanya kompresi
arteri serebral anterior.8
Herniasi uncal terjadi ketika bagian dari uncus berpindah melalui superstelar sisterna.
Herniasi pada bagian uncal menyebabkan adanya penekanan pada otak tengah. Gejala
24
yang dapat timbul adalah dilatasi pupil karena adanya penekanan pada nervus III,
hemiparesis kontralateral karena terkena di traktus kortikospinal yang menyilang di
bawah otak tengah, penurunan kesadaran karena adanya distorsi dari jalur ascending
arousal system dimana mereka melalui otak tengah. Adanya dilatasi pupil tanpa disertai
adanya penurunan kesadaran bukan berasal dari herniasi uncal.2,7,8
25
Herniasi serebelotonsilar terjadi ketika tonsil serebelar turun kebawah melalui
foramen magnum yang menyebabkan terjadinya kompresi dari medulla oblongata dan
spinal cord bagian servikal. Herniasi sereberotonsilar dapat menyebabkan disfungsi dari
jantung dan fungsi pernafasan.7,8
2.11 Komplikasi
2.12 Prognosis
Prognosis pada pasien dengan trauma kepala bergantung kepada seberapa cepat
penangangan awal dan terapi-terapi lainnya. Jika terapi yang dilakukan dengan benar
dan cepat maka prognosis yang didapatkan lebih baik.4
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Struchen MA, Ritter LM. Training Session 1a: Basic Definition of TBI, Mechanism
of Injury, and Epidemiology.
http://www.tbicommunity.org/resources/publications/vr_manual/pdf/session1a.pdf
(accessed 7 Februari 2015).
2. Wright DW, Merck LH. Chapter 254. Head Trauma in Adults and Children. In:
Tintinalli JE, Stapczynski J, Ma O, Cline DM, Cydulka RK, Meckler GD, T. eds.
Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7e. New York, NY:
McGraw-Hill; 2011. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=348&Sectionid=40381742. Accessed Februari 3, 2015.
3. Watanabe TK, Marino MH. Traumatic Brain Injury. In: Maitin IB, Cruz E. eds.
CURRENT Diagnosis & Treatment: Physical Medicine & Rehabilitation. New York,
NY: McGraw-Hill; 2014. http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=1180&Sectionid=70377685. Accessed Februari 1, 2015.
4. ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support, 9th ed. Chicago:
Americans College of Surgeons; 2012.
5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter's Neurology, 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2012.
6. U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and
Prevention. Facts about Concussion and Brain Injury.
http://www.cdc.gov/concussion/pdf/Facts_about_Concussion_TBI-a.pdf (accessed 5
Februari 2015).
7. Pandey AS, Thompson B. Neurosurgery. In: Doherty GM. eds. CURRENT Diagnosis
& Treatment: Surgery, 14e. New York, NY: McGraw-Hill; 2014.
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=1202&Sectionid=71524516. Accessed February 20, 2015.
8. Halliday A. Cerebral Herniation Syndromes.
https://www.peacehealth.org/Documents/Neuro%202012%20Halliday
%20Presentation.pdf (accessed 20 February 2015).
28
9. Asikainen I, Kaste M, Sarna S. Early and late posttraumatic seizures in traumatic
brain injury rehabilitation patients: brain injury factors causing late seizures and
influence of seizures on long-term outcome. Epilepsia. 1999 May. 40(5):584-9.
10. Packard RC, Ham LP. Pathogenesis of posttraumatic headache and migraine: a
common headache pathway?. Headache. 1997 Mar. 37(3):142-52.
11. Krauss JK, Trankle R, Kopp KH. Post-traumatic movement disorders in survivors of
severe head injury. Neurology. 1996 Dec. 47(6):1488-92.
12. Bilgic B, Baral-Kulaksizoglu I, Hanagasi H, et al. Obsessive-compulsive disorder
secondary to bilateral frontal damage due to a closed head injury. Cogn Behav
Neurol. 2004 Jun. 17(2):118-20.H
29
30