Anda di halaman 1dari 32

PERDARAHAN EKSTRADURAL

TEXTBOOK READING

Disusun oleh :

VINCENT TANDIONO NIM 150100010


LUKMAN ASHARI NIM 150100034
AGNESIA ALYSSA NIM 150100176
ENOLA GRACIA SIHITE NIM 150100180
AYUMI SYIFA SAKURA NIM 150100182
NITHIYA A/P RAVAANDRAN NIM 150100204
KHAUSALYA NIM 140100245

Pembimbing :

dr. Steven Tandean, M.Ked (Neurosurg), Sp. BS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., yang dengan
rahmat dan karunia-Nya referat dengan judul “Perdarahan Ekstradural” ini dapat
diselesaikan dengan baik sebagai salah satu syarat penyelesaian Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah Saraf Universitas Sumatera
Utara.

Melalui referat ini, penulis berharap dapat memberikan gambaran terhadap


trauma toraeepidural hematoma baik berupa teori pemahaman maupun praktek
penatalaksanaan guna menurunkan mortalitas dan morbiditas di lapangan.

Selama penyelesaian referat ini, penulis sangat banyak menerima bantuan


dari berbagai pihak baik berupa dukungan moril maupun materil sehingga pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu, terkhusus kepada
dr.Steven Tandean, M.Ked (Neurosurg), Sp. BS sebagai dosen pembimbing.

Akhir kata, penulis berharap kebaikan dari semua pihak yang membantu akan
turut menjadi kebaikan yang lain dari Allah swt. Penulis menyadari bahwa referat
ini masih jauh dari kata sempurna sehingga masukan, kritik dan saran yang
membangun akan sangat diperlukan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, 3 Juli 2020

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................i
Daftar Isi ........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................1
1.3 Manfaat........................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anatomi Kepala............................................................................3
2.2.Definisi .......................................................................................11
2.3.Etiologi........................................................................................12
2.4.Patofisiologi................................................................................13
2.5.Manifestasi Klinis ......................................................................15
2.6.Diagnosis.....................................................................................16
2.7.Pemeriksaan Penunjang..............................................................17
2.8.Penatalaksanaan..........................................................................20
2.9.Komplikasi..................................................................................23
2.10 Prognosis...................................................................................24

BAB III KESIMPULAN ...........................................................................25

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................26


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Epidural Hematoma (EDH) didefinisikan sebagai sebuah perdarahan pada


rongga potensial antara lapisan dura, yang tak terpisahkan dengan periosteum
kranial, dengan tulang. EDH dapat terjadi pada intrakranial dan intraspinal yang
keduanya dapat menghasilkan morbiditas yang signifikan bahkan mortalitas jika
tidak terdiagnosa dan ditangani dengan cepat dan tepat. EDH tergolong kasus
emergensi apabila manifestasi klinis diikuti oleh penurunan kesadaran dan
herniasi otak disebabkan oleh keterlambatan penanganan ini. Walaupun
setelahnya psasien mendapatkan terapi pembedahan, hasilnya tidak akan sebaik
apabila pasien belum jatuh pada kondisi penurunan kesadaran.1

EDH sering kali didasari oleh keadaan traumatic. Gumpalan perdarahan paling
sering ditemukan di daerah temporoparietal (73%) dimana arteri meningea media
dan vena telah rusak oleh fraktur yang melibatkan tulang temporal skuamosa.
Sebelas persen gumpalan terjadi pada fossa kranial anterior (arteri meningea
anterior), 9% di daerah parasagittal (sinus sagital) dan 7% pada fossa posterior
(arteri meningea oksipital, sinus transversus dan sigmoid). Memar di kulit kepala
di atasnya merupakan patokan yang mengarah pada kecurigaan hematoma.2

Walaupun EDH relatif jarang terjadi, namun harus tetap dipertimbangkan


kemungkinan cedera otak traumatik. Oleh karena membutuhkan diagnosis dan
penanganan yang cepat dan akurat, transfer pasien ke fasilitas kesehatan yang
memadai dengan CT scan dan ahli bedah saraf dibutuhkan.1

1.2 TUJUAN

Referat ini dibuat untuk membahas tentang epidural hematom dalam hal
definisi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, penegakan diagnosis, tata laksana
hingga prognosis.
2

1.3 MANFAAT

Referat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa


kedokteran dan praktisi kesehatan agar dapat menegakkan diagnosis dan
memberikan penanganan yang tepat pada kasus epidural hematom serta dapat
diterapkan dalam praktik di lapangan ketika menghadapi pasien secara langsung
sehingga berdampak pada penurunan angka mortalitas dan morbiditas.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA

2.1.1 SCALP

Pengetahuan yang baik tentang anatomi kepala dan lapisannya sangat penting
agar dapat memahami dengan jelas tentang pengelolaan luka dan patofisiologi
kelainan wilayah ini. Kulit kepala merupakan jaringan lunak yang menutupi
tempurung kranial. Anatomi ini memanjang dari alis yang menutupi garis supra-
ciliaris tulang frontal anterior ke garis nuchal superior posterior. Yang terakhir
adalah tonjolan rendah yang membentang di kedua sisi dari protuberentia
occipitalis eksternus, bagian tengah oksipital ke proses mastoid kiri dan kanan.
Kemudian kulit kepala meluas sampai ke tingkat lengkung zygomatic ddan
meatus akustikus eksternus. Kulit kepala teridiri dari lima lapisan jaringan yang
terdiri atas skit (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranalis
(galea aponeuritica), loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan
pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan SCALP.3

Anatomi lapisan –lapisan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1. Lapisan kulit kepala dan tulang


4

a. Kulit
Kulit kepala merupakan struktur yang tebal, bervariasi dari rambut dan
merupakan daerah kulit yang paling kaya dengan kelenjar sebasea,
karenannya terasa berminyak. Sebagai konsekuensi dari konsentrasi
kelenjar sebaceous ini, kulit kepala adalah tempat yang paling umum
untuk kista sebaceous. Jaringan ikat ini terdiri dari lobulus lemak yang
terikat pada septa berserat yang kuat. Pembuluh darah utama dan saraf
kulit kepala terletak pada lapisan ini dan kulit kepala memiliki pasokan
darah terkaya dari area kulit mana pun di tubuh.4
b. Jaringan ikat (fasia superfisialis)
Fasia superfisial adalah lapisan fibrofatty yang menghubungkan kulit
dengan aponeurosis yang mendasari otot occipitofrontalis dan
memberikan jalan bagi saraf dan pembuluh darah. Ketika kulit kepala
dikoyak, pembuluh yang terbagi mencabut antara sekat berserat yang
mudah terjadi perdarahan. Jika pembuluh darah dipotong, sekat ini
mencegah vasopasme, yang bisa menyebabkan perdarahan hebat
setelah cedera perdarahan ini tidak dapat diambil oleh forseps arteri
dengan cara biasa, dua teknik digunakan untuk membendung
perdarahan yang diakibatkan laserasi pada kulit kepala yaitu
melakukan tekanan dengan kuat ke bawah tengkorak yang mendasari
dengan jari-jari sehingga mengompres pembuluh darah yang
menyembur, atau meletakkan serangkaian forseps arteri pada lapisan
ketiga, aponeurotik, dan membaliknya ke belakang. Sebagai penutup
luka, ahli bedah menjahitkan laserasi dengan kuat pada dua lapisan
aponeurosis dan kulit. Hal ini yang menguntungkan dari suplai darah
yang sangat baik ini adalah bahwa flap kulit kepala bahkan hanya
dengan pedikel sempit memiliki peluang bertahan lebih tinggi
dibandingkan dengan flap kutaneous yang serupa di tempat lain.
Aponeurosis, lapisan berserat ini ditemukan di sebagian besar sudut
tengkorak, di mana ia menghubungkan otot occipitalis posterior,
(timbul dari garis nuchal superior, ke otot frontalis, yang masuk ke
5

dalam dermis kulit di wilayah alis dan jembatan hidung. Kemudian,


aponeurosis meluas sebagai lembaran tipis yang menutupi fasia
temporalis dan menjadi tidak jelas selama lengkungan zygomatic.
Jaringan ikat yang longgar menyumbang mobilitas kulit kepala pada
tengkorak yang mendasarinya.
Seperti disebutkan di atas, pada kulit kepala yang robek dan luas,
vaskularisasi darah mungkin akan bertahan karena pembuluh darahnya
yang luar biasa. Darah yang terkumpul di lapisan jaringan ikiat yang
longgar ini melintang bebas di bawah kulit kepala, namun tidak dapat
masuk ke daerah oksipital atau temporal karena adanya posterior
occipito-frontalis dan lampiran lateralis fasia temporalis.
c. Aponeurosis epikranial (galea aponeurotica)
Aponeurosis epikranial adalah strukur tipis dan tendinus yang
menyediakan tempat penyisipan otot occipitofrontalis. Posterolateral,
lampiran aponeurosis epikranial memanjang dari garis nuchal superior
ke garis temporal superior. Selajutnya, aponeurosis epikranial berlanjut
sebagai fasia temporal. Anterior, ruang subaponeurotic meluas ke
kelopak mata bagian atas karena kurangnya penyisipan tulang.
Jaringan areolar yang longgar ini menyediakan ruang subkaponeurotik
potensial yang memungkinkan cairan dan darah berpindah dari kulit
kepala ke kelopak mata bagian atas.
d. Jaringan areolar longgar
Jaringan areolar secara longgar menghubungkan aponeurosis
epikranial ke perikranium dan memungkinkan lapisan 3 superfisial
kulit kepala unutk bergerak di atas perikranium. Lapisan kulit kepala
ditinggikan di sepanjang bidang yang relatif avaskular dalam prosedur
kraniofacial dan bedah saraf. Namun, pembuluh darah rahin tertentu
melintas lapisan ini, yang menghubungkan pembuluh darah kepala
dengan pembuluh darah diplois dan sinus vena intrakranial.
e. Tengkorak5
6

Perikranium adalah periosteum tulang tengkorak. Periosteum melekat


pada garis sutura tengkorak di regio kepala ini terdapat sutura koronal,
sagital, temporal dan lamboid. Kumpulan darah di bawah lapisan ini
menggambarkan tulang yang patologis yang terkena. Hal ini terlihat
terutama pada luka lahir yang mempengaruhi tengkorak (seperti kasus
cephalohaematoma). Hematoma subperiosteal terbentuk dalam bentuk
tulang tengkorak.

Gambar 2.2 Tulang-tulang penyusun kranium.6

f. Occipitofrontalis otot6
Otot occipitofrontalis terdiri dari 2 perut oksipital dan 2 perut depan.
Perut oksipital timbul dari garis nuchal superior pada tulang oksipital.
Perut frontal berasal dari kulit dan fasia superfisial kelopak mata
bagian atas. Perut oksipital dan frontal masuk ke dalam aponeurosis
epikranial
7

Gambar 2.3 Otot yang menyelimuti kranium.6

g. Vaskularisasi kulit7
Pasokan darah setiap sisi kulit kepala dipasok oleh total lima arteri.
Yang berasal dari arteri karotid eksternal yaitu arteri oksipital (nadi
dapat dirasakan dengan palpasi di atas garis nuchal superior),
superficial temporal auricular arteri dan anterior auricular arteri
(nadinya bisa dirasakan di atas lengkung zygomatic di depan tragus
telinga) dari arteri karotis interna berasal yaitu arteri supraorbital dan
arteri supratrochlear medial yang letaknya lebih medial
8

Gambar 2.4 Vaskularisasi pada lapisan kulit kepala.6

2.1.2 Intrakranial
Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang
menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal berkisar aatara 5 dan 15
mmHg (millimeter air raksa).5,8
a. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) adalah cairan jernih yang mengelilingi otak
dan korda spinalis. CSS melindungi otak terhadap getaran fisik. Antara
CSS dan jaringan saraf terjadi pertukaran zat-zat gizi dan produk sisa.5,8
b. Sawar Darah otak
Sawar darah otak mengacu kepada kemampuan sistem vaskular otak untuk
memanipulasi komposisi cairan interstisium serebrum sehingga berbeda
9

dibandingkan dengan cairan interstisium dibagian tubuh lainnya. Sawar


darah otak terbentuk dari sel-sel endotel yang saling berkaitan erat
dikapiler otak, dan dari sel-sel yang melapisi ventrikel yang mematasi
filtrasi dan difusi.5,8
c. Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam
seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme
oksidasi glukosa. Jaringan otak sangat rentan dan kebutuhan oksigen dan
glukosa melalui aliran darah adalah konstan. Metabolisme otak merupakan
proses tetap dan kontinu, tanpa ada masa istirahat.9

Gambar 2.5. Diagram otak potongan sagital dilihat dari medial.

1. Otak besar (cerebrum)


Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua
hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang
disebut corpus callosum.8
2. Otak kecil (cerebellum)
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang
dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada
kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain.8
10

3. Batang otak (trunkus serebri)


Batang otak terdiri dari :
- Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebllum dengan
mesensefalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan
lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap
kesamping.
- Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke
atas, dua disebelah atas disebut korpus ke atas, dua di sebelah atas
disebut korpus kuadrgeminus superior dan dua disebelah bawah
disebut korpus kuadrigeminus inferior.
- Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu
memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah.
- Medulla oblongata
Medulla oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling
bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis.

d. Meningens10
Meningen (selaput otak) adalah selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang,melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebsrospinalis), memperkecil
benturan atau getaran yang terdiri dari 3 lapisan :
- Duramater (lapisan luar) adalah selaput keras pembungkus otak yang
berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
- Araknoid (lapisan tengah) merupakan selaput halus yang memisahkan
dura mater dengan pia mater membentuk sebuah kantong atau balon
berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
- Pia mater (lapisan sebelah dalam) merupakan selaput tipis yang
terdapat pada permukaan jaringan otak. Ruangan diantara araknoid.
11

Pada reaksi radang, ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir
cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.

Gambar 2.6 Selaput otak potongan coronal pada daerah dural sinus.

2.1.3 Durameter
Secara konvensional, dura mater diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu
periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang-tulang kranium. Pada
foramen magnum lapisan endosteal tidak berlanjut dengan duramater medulla
spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura.
Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar kranium.11

2.2 DEFINISI

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak ditutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang
12

mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu


lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan sebutan epidural
hematom.12,13,14
Epidural hematom sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.15

2.3 ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya
benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat
trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi pembuluh darah.16,17
Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada
kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur
tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau
vena meningea media. Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek
tanpa adanya fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara
dura dengan kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut
akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan hematoma
menjadi massa yang mengisi ruang.
Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak
terkontrol,  maka akan mengakibatkan  terjadinya akumulasi yang cepat dari darah
13

pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK) yang cepat,
herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.

2.4 PATOFISIOLOGI
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak didaerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar.18
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formatio
retikularis di medula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuklei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.12
Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma,
maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan
tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intrakranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan
fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar.12
14

Gambar 2.7 Gambaran perdarahan pada epidural hematoma

Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar


dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera
primer yang ringan pada epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma
15

primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri
dan tidak pernah mengalami fase sadar.18 Sumber perdarahan:
• Artery meningea ( lucid interval : 2–3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf
karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi
trans dan infratentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang
mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus
segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.18,19

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Pada pasien dengan EDH, 22-56 %, berada dalam keadaan saat sebelum
operasi. Secara klinis disebut sebagai "Lucid Interval". Pada anamnesa didapatkan
riwayat cedera kepala dengan penurunan kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen
kasus kesadaran pasien membaik dan adanya lucid interval diikuti adanya
penurunan sebagaimana peningkatan TIK. Cotohnya pasien yang secara
penurunan kesadaran saat masuk ke rumah sakit atau beberapa kesadaran secara
perlahan tiba-tiba tidak sadarkan diri, kemudian terbangun/sadar lalu hilang
kesadaran kembali. Kondisi ini diteliti pada total 456 - dari 963 pasien (47%)
menjalani operasi EDH dalam tujuh penelitian. Pada kasus lainnya, lucid interval
tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran berlangsung diikuti oleh detoriasi
progresif. Antara 12 dan 42% pasien tetap sadar sepanjang waktu antara trauma
dan operasi. Kelainan pupil diamati antara 18 dan 44% pasien, dan sekitar 27%
(3-27%) pasien secara neurologis tidak ada kelainan. Gejala penyajian lainnya
meliputi defisit fokal, seperti hemiparesis, decerebration, dan seizure. Kejang saat
awal terjadi pada 8% pasien anak-anak yang datang ke rumah sakit dengan EDH.2
Ekstradural hematoma terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada
beberapa kasus dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat
16

kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid interval dan
mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada kecepatan tinggi akan
mempunyai prognosis yang lebih buruk.2,20
Gejala dan tanda klinis ekstradural hematoma di fossa posterior yaitu :
 Lucid interval tidak jelas
 Fraktur kranii oksipital
 Durasi kehilangan kesadaran yang singkat
 Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan
 Pupil Isokor

2.6 DIAGNOSIS

Pemeriksaan pada penderita-penderita cedera kepala hendaklah ditekankan


pada pemeriksaan neurologi seperti menilai kesadaran penderita dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale, diameter kedua pupil, defisit motorik, dan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera
kepala. Pemeriksaan GCS seharusnya telah dilakukan pada penderita-penderita
pada awal cedera kepala terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan
sebelum intubasi, skor ini disebut skor awal GCS, dimana mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Skor GCS 8 atau
kurang, diterima sebagai derajat cedera kepala berat atau koma, skor 9-13 cedera
kepala sedang dan skor 14-15 cedera kepala ringan. Derajat kesadaran tampaknya
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan.
GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis
dimana suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan
prognosis yang buruk.21
Penegakan diagnosis epidural hematoma ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.21

1. Anamnesa
17

Ajukan pertanyaan seputar gejala dan faktor risiko yang dialami oleh
penderita. Apabila penderita tidak sadarkan diri, dokter akan bertanya pada
orang yang mengantar pasien maupun keluarga. Ditanyakan adanya
riwayat trauma, Lucid interval, riwayat muntah, kejang, dan defisit
neurologis.

2. Pemeriksaan Fisik
Dokter kemudian memeriksa tubuh penderita dengan tujuan
mendeteksi gejala epidural hematoma, seperti ada tidaknya cedera kepala.
Dari pemeriksaan fisik kita bisa mendapatkan beberapa gejala klinis
seperti:
a. Fraktur kranium, Hematom,
b. Laserasi
c. Ottorhea, Rhinorrhea
d. Hemiparesis kontralateral
e. Defisit neurologis lainnya (Aphasia, Visual field defects, Ataxia)
f. Cushing’s reflex
g. Penurunan kesadaran

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya22,23,24
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah
juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik
perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
18

5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif


darurat.

Radiologi Epidural Hematoma


Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan
penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala.

a. Foto Polos Kepala (X-Ray)


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada
sisi yang mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.22,23

Gambar 2.8. Fraktur temporoparietal (panah) yang berakibat perdarahan epidural

b. Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
19

kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,


Densitas yang tinggi pada stadium yang akut (60 – 90 HU)

Gambar 2.9 Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra (A,B), nampak


garis fraktur (C, anak panah)

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens
bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang
tengkorak dan duramater. MRI kepala juga dapat menggambarkan batas
fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang
dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada perdarahan epidural spinal
MRI penting untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami
perdarahan.22,23,24

Gambar 2.10 T1 MRI kepala potongan koronal, didapatkan gambaran perdarahan epidural di
daerah vertex
20

Gambar 2.10 T2 MRI kepala potongan sagittal, nampak perdarahan epidural pada region parietoccipital
dekstra (kanan)

2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Tatalaksana Awal
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Dilakukannya primary survey yaitu stabilisasi pada patensi jalan napas
(A), pernapasan (B), dan sirkulasi (C). Lalu lakukan inspeksi pada trauma
yaitu daerah fraktur. Lakukan juga immobilisasi pada leher karena curiga
fraktur servikal.22
2. Mengurangi tekanan intracranial
Dilakukan dengan cara elevasi kepala 30o dan dilakukannya hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan
paCO2 diantara 28 - 32 mmHg.22
2.8.2 Tatalaksana Operatif
Persiapan Operasi
21

1. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup
kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan
kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi
saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di
bahu kiri dan sebaliknya.25
2. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek
steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.25
3. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah
benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut –
untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk
mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII
(kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis
orbita).25
4. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin
1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi
dengan doek steril.25
Teknik Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang
haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat. Buka flap
secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di
bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan
fiksasi pada doek. Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-
hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji
kemudian dan rawat perdarahan. Penentuan lokasi burrhole idealnya pada
22

setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan. Lakukan burrhole pertama


dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan mata bor yang
melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna. Boorhole
minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. Perdarahan dari tulang
dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole dengan kapas
basah/ wetjes. Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium
dengan menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang
boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai
menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan
gergaji dan asisten memfixir kepala penderita. Patahkan tulang kepala
dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan
knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator kemudian
miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang. Setelah nampak
hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan
suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich) dengan benang silk 3.0
sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning
secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan degan
diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes
tambahkan hitch stich pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan
spongostan di bawah tulang. Bila perdarahab profus dari bawah tulang
(berasal dari arteri) tulang boleh diknabel untuk mencari sumber
perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus. Bila ada dura yang
robekjahit dura denga silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan jarak
kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan
spoeling berulang-ulang.25

Indikasi Operasi

Perkembangan teknologi kedokteran dengan menggunakan CT scan kepala


mampu menurunkan mortalitas pada pasien EDH. Penentuan lokasi, perkiraan
volume hematoma, apakah terdapat midline shift dan lesi fokal dapat segera
23

diketahui melalui pemeriksaan CT scan. Besarnya volume perdarahan dan lokasi


EDH sangat mempengaruhi outcome.26

Berdasarkan studi-studi sebelumnya, Brain Trauma Foundation membuat


sebuah panduan tentang indikasi dilakukannya operasi untuk mengevakuasi
EDH.2,3

 Epidural hematoma dengan volume yang lebih besar dari 30 cm3 harus
segera dilakukan tindakann evakuasi tanpa melihat GCS pasien.
 Epidural hematoma dengan volume kurang dari 30 cm 3, ketebalan kurang
dari 15 mm, midline shift kurang dari 5 mm pada pasien dengan GCS > 8
tanpa deficit fokal dapat ditangani secara non operatif dengan CT-scan
serial (6-8 jam) dan observasi pada neurosurgical center.
 Pasien epidural hematoma dengan GCS < 9 dan anisokor harus dilakukan
tindakan evakuasi segera.
Untuk metode operasi, kraniotomi dapat memberikan evakuasi yang sempurna
pada hematoma.2

2.9 KOMPLIKASI
Epidural Hematoma dapat memberikan komplikasi berupa:27
1. Edema Serebri, yang merupakan keadaan gejala patologis, dan dapat
ditemukan secara radiologis di mana keadaan ini mempunyai peranan
yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Herniasi, terjadi protusi jaringan otak ke bagian tulang cranium
ataupun jaringan lain yang kontralateral dari lesi atau disebut dengan
supratentorial herniation, maupun protusi ke bagian cerebellum,
midbrain hingga bagian pons atau disebut dengan infratentorial
herniation.
3. Kompresi Batang Otak, merupakan komplikasi selanjutnya yang
dapat terjadi jika edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial
terus terjadi dan tidak tertangani. Hal ini menyebabkan fungsi vital
24

batang otak menjadi terganggu seperti terjadinya penurunan kesadaran


yang progresif, terganggunya ritme denyut jantung dan pola
pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian pada pasien.
4. Iskemik Jaringan, akibat lain yang dapat terjadi jika tekanan
intracranial semakin meingkat, dapat menyebabkan terjadinya
penekanan pada pembuluh darah diotak yang berfungsi sebagai
penyalur nutrisi dan oksigen ke otak.
5. Kejang, terjadi jika adanya penekanan yang kuat ataupun adanya
kerusakan hingga mencapai korteks otak.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis Epidural Hematom tergantung pada:27


1. Lokasi hematom (infratentorial lebih jelek )
2. Besarnya hematon (volume)
3. Kesadaran pasien sebelum dilakukan tindakan operasi

Secara umum, pasien dengan EDH tanpa disertai dengan kerusakan lain
ataupun faktor komorbid lainna memiliki prognosis yang sangat baik setelah dapat
terdeteksi dengan cepat dievakuasi dengan cepat, dan progronosis juga sangat baik
secara fungsional setelah dilakukannya evakuasi bedah. Keterlambatan diagnosis
dan pengobatan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas dari pasien.27
EDH yang disebabkan oleh perdarahan arteri memiliki karakteristik
perkembangan hematom yang cepat dan sehingga dapat dideteksi dengan cepat.
Tetapi, pada EDH yang disebabkan oleh adanya robekan pada sinus di atas
duramater ataupun vena yang berada didalam struktur diploe berkembang lebih
lambat akibat tekanan vena yang rendah. Dengan demikian, manifestasi klinis
mungkin memerlukan waktu yang lebih dibandingkan dengan diangsosi pada
EDH akibat ruptur arteri. Umumnya, volume EDH >50 cm sebelum evakuasi
menghasilkan defisit neurologis yang lebih buruk dan bahkan dapat mengkibatkan
kematian.27
25

BAB III

KESIMPULAN

Epidural hematoma (EDH) merupakan akumulasi darah pada rongga diantara


tabula interna tulang tengkorak dengan lapisan duramater. EDH terbentuk akibat
adanya cedera kepala traumatik, yang biasanya berhubungan dengan fraktur
tengkorak dan laserasi arteri. Klinis pasien biasanya akan menampilkan tanda-
tanda yang khas seperti lucid interval. Diagnosa didukung dengan pemeriksaan
penunjang yaitu CT scan yang menggambarkan adanya lesi hiperdens berbentuk
bikonveks dan memiliki prognosis yang sangat baik jika dapat cepat dikenali dan
ditangani secara operatif maupun non-operatif atas dasar indikasi.
26

DAFTAR PUSTAKA

1. McDonald, D. K. Imaging in Epidural Hematoma.


https://emedicine.medscape.com/article/340527-overview diakses tanggal 1
Juli 2020.
2. Dharmajaya, Ridha. Perdarahan Ekstradural. USU Press : Medan. 2017
3. Satyanegara. Anatomi Susunan Saraf. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-4. Jakarta:
Gramedia. 2010. Hal. 11-76.
4. Harris CM. Scalp Anatomy. Diaskes dari
https://emedicine.medscape.com/article/834808-overview#a3. Diakses
tanggal 1 Juli 2020
5. Snell RS. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinalis, serta Sawar Darah Otak
dan Sawar Darah Cairan Serebrospinalis. Neuroanatomi Klinik. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC. 2010. Hal. 456-85
6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia:Elsevier Saunders;
2014.
7. Drake, Richard L, Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M. Gray’s Anatomy
for Students. Edisi ke-2. Philadelpia Elsevier. 2010. Hal. 862.
8. Baehr M dan Frotscher M. Cerebellum. Duus’ Topical Diagnosis in
Neurology. Stuttgart: Thiem. 2005.
9. Mayfield Brain and Spine. Anatomy of The Brain. Dapat diakses
https://www.mayfieldclinic.com/PE-anatBrain.htm. Diakses tanggal 2 Juli
2020
10. Chico dan McCaffrey P. The Meninges and Cerebrospinal Fluid. Dapat
diakses di: https://www.csuchico.edu/~pmccaffrey//syllabi/CMSD
%20320/362unit3.html. Diakses tanggal : 2 Juli 2020
11. Waxman SG. Ventricles and Covering of the Brain. Clinical Neuroanatomy.
Edisi ke-26. New York: Mc Graw Hill. 2010.
12. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, Edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016
27

13. Anonym, Epidural Hematoma, Available from:


www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html
14. Anonym, Epidural Hematoma, Available from: www.nyp.org
15. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert
A.L.Thieme Medical Publisher, New York,1996
16. Anonym, Epidural Hematoma, Available from:
www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html
17. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, Available from: www.emedicine.com
18. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Kedua, Jong
W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819
19. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua,
Harsono,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
20. Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glaider CM. Compression Of The
Posterior Fossa Venous Sinuses By Epidural Hemorrhage Stimulating Venous
Sinus Thrombosis: CT and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-
72
21. Mansjoer, Arif. Kapita selekta kedokteran / editor, Arif Mansjoer .. [at al].
Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005
22. Liebeskind David, Lutsep Helmi. Epidural Hematom. Tersedia di: www.
emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2018
23. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma:
Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011
24. Abelsen Nadine, Mitchell. Neurotrauma: Managing Patients with Head
Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013
25. Metrus, N. 2020. ‘Burr Hole Surgery’, Verywelhealth, [Online], Accessed 5
July 2020, available at https://www.verywellhealth.com/burr-hole-surgery-
information3157273#:~:text=Burr%20hole%20surgery%20is%20performed
%20by%20a%20neurosurgeon%2C,be%20placed%20must%20be%20shaved
%20clean%20of%20hair
28

26. Atmadja, A., 2016. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. Cermin Dunia
Kedokteran, [online] 43(1), pp.31-32. Available at:
http://www.cdkjournal.com [Diakses 2 Juli 2020].
27. Khairat A, Waseem M. Epidural Hematoma. [Updated 2020 Mar 31]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/ [Accessed
27 June 2020].

Anda mungkin juga menyukai