Anda di halaman 1dari 25

PAPER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

PAPER

ANISOKORIA

Disusun oleh :
VINCENT TANDIONO
150100010

Supervisor :
dr. Vanda Virgayanti, M.Ked(Oph), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
kasih, berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Anisokoria”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Vanda Virgayanti, M.Ked(Oph), Sp.M selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 30 September 2020

i
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...........................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pupil......................................................................2
2.2 Neuroanatomi Jalur Pupil...........................................................................4
2.2.1 Refleks Cahaya Pupil........................................................................5
2.2.2 Jaras Refleks Cahaya (Parasimpatis)................................................6
2.2.3 Jaras Refleks Cahaya (Simpatis)......................................................7
2.3 Anisokoria..................................................................................................7
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi................................................................7
2.3.2 Klasifikasi.........................................................................................8
2.3.3 Etiologi.............................................................................................10
2.3.4 Evaluasi Anisokoria..........................................................................11
2.3.5 Tatalaksana.......................................................................................16
BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................18

ii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Pupil dan Uvea................................................................ 2


Gambar 2.2 Muskulus Sfingter dan Dilator Pupil............................................. 3
Gambar 2.3 Jaras Refleks Cahaya (Parasimpatis)............................................. 5
Gambar 2.4 Jaras Dilatasi Pupil......................................................................... 7
Gambar 2.5 Evaluasi terhadap Anisokoria........................................................ 11
Gambar 2.6 Algoritme Anisokoria.................................................................... 13
Gambar 2.7 Swinging Flashlight Test Normal (A) vs Defect (B)...................... 14

iii
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penyebab Horner's Syndrome........................................................ 9

iv
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pupil mata merupakan struktur yang penting karena merupakan komponen
yang mengatur seberapa banyak cahaya dapat masuk ke dalam mata. Pupil dapat
digunakan untuk memeriksa integritas retina dan nervus optikus. Pupil juga bisa
digunakan sebagai indikator yang sensitif terhadap gangguan pada otot iris baik
itu gangguan inervasi atau kerusakan langsung pada otot iris.1
Ukuran pupil normal manusia bervariasi dan berbeda antara orang yang satu
dengan yang lainnya. Normalnya, diameter pupil berkisar di antara 3-4 mm. Pada
saat bayi ukuran pupil lebih kecil dan cenderung membesar pada saat anak-anak
dan kembali menurun seiring bertambahnya umur. Ukuran pupil bergantung
terhadap interaksi di antara saraf yang mengatur ukuran pupil (simpatis dan
parasimpatis) dan otot sfingter iris yang menyebabkan pupil dilatasi dan
konstriksi.2,3,4
Anisokoria merupakan kondisi di mana kedua pupil memiliki ukuran yang
berbeda. Adanya ketidaksamaan ukuran pupil menandakan adanya gangguan
asimetris terhadap output otonom (simpatis dan parasimpatis) pada iris. Kondisi
seperti ini bisa menunjukkan adanya kegawatdaruratan yang sedang berlangsung
dan membutuhkan penanganan segera. Sekitar 20% populasi memiliki sedikit
perbedaan ukuran pupil kanan dan kiri yang kurang dari 1 mm. Kondisi seperti ini
masih dapat dikatakan sebagai anisokoria fisiologis atau dikenal juga dengan
anisokoria esensial.5,6,7

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi
pupil, dan ansikoria. Selain itu, tujuan penulisan paper ini adalah sebagai salah
satu syarat menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit
Universitas Sumatera Utara.
BAB 2

1
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pupil

Pupil merupakan bagian dari mata yang dibentuk oleh iris dan adanya
aktivitas dari otot siliaris. Iris merupakan perpanjangan dari badan siliar ke
anterior dan mempunyai permukaan yang relatif datar dengan celah yang
berbentuk bulat di bagian tengahnya. Bagian tengah ini disebut dengan pupil.
Pupil memiliki fungsi untuk mengontrol banyaknya cahaya yang masuk kedalam
bola mata yang dipengaruhi oleh iris karena di dalam stroma iris terdapat sfingter
dan otot-otot dilator. Fungsi kontrol banyaknya cahaya yang masuk agar mata
mendapatkan fungsi visual terbaik dalam berbagai derajat intensitas cahaya. Pupil
juga memiliki fungsi sebagai penghubung cairan aqueous antara anterior chamber
dan posterior chamber.8

Gambar 2.1 Anatomi Pupil dan Uvea8

Pada iris terdapat 2 otot polos:

2
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

1. Muskulus sfingter pupil (sirkularis): merupakan otot dengan lebar 0,75 mm dan
tebal sekitar 0,15 mm. Jaringan ikat kolagen terletak di depan dan di belakang
serabut otot dan beriktan dengan akhir muskulus dilator pupil. Otot ini memiliki
fungsi untuk melakukan konstriksi pupil (miosis) yang dipengaruhi oleh saraf
parasimpatis (N, III).9
2. Muskulus dilator pupil (radial): merupakan lapisan tipis yang letaknya di
bagian anterior stelah lapisan epitel posterior dari iris. Otot ini mempunyai
ketebalan 4 μm, lebar 7 μm dan panjang 60 μm. Otot ini memiliki fungsi untuk
mendilatasikan pupil (midriasis) yang dipengaruhi oleh saraf simpatis.9

Gambar 2.2 Muskulus Sfingter dan Dilator Pupil8

Ukuran pupil normal berbeda-beda bergantung umur dan pada satu orang
dengan orang lainnya. Normalnya diameter pupil berkisar antara 3-4 mm dan
cenderung membesar pada anak-anak. Namun seiring pertambahan usia pupil
akan semakin mengecil. Ukuran pupil bervariasi antara 2-8 mm bergantung
terhadap input cahaya yang masuk. Pada keadaan adaptasi gelap (mesopic) ukuran
diameter pupil mencapai 8 mm dan pada keadaan adaptasi terang (scotopic)
ukuran diameter pupil mengecil hingga 2 mm. Pada prinsipnya ukuran pupil
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivasi parasimpatis
melalui nervus kranialis III dan dilatasi akibat aktivasi simpatis.2,10

3
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

2.2 Neuroanatomi Jalur Pupil


Proses masuknya cahaya sampai terjadinya perubahan ukuran diamter pupil
melewati berbagai proses yang melibatkan neuroanatomi. Adanya kelainan dalam
jalur neuroanatomi tersebut dapat menyebabkan ketidakseimbangan ukuran kedua
pupil.11,12
2.2.1 Refleks Cahaya Pupil
Jaras refleks cahaya hampir sama dengan jaras penglihatan. Perbedaanya
terletak di serabut-serabut traktus optikus yang terlibat dalam refleks cahaya pupil.
Pada jaras penglihatan serabut-serabut tratktus optikus akan bersinaps pada badan
genikulatum lateral di thalamus. Namun, pada jaras refleks cahaya pupil sinaps
akan terjadi di nukleus pretektal di mesensefalon. Serabut pada traktus optikus
yang berada di daerah nasal (medial) mengalami dekusata (penyilangan) di ciasma
optik dan menghantarkan sinyal ke nukleus pretektal kontralateral.11,12,13,14
Impuls kemudian sampai pada kedua nukleus pretektal dan serabut-serabut
selanjutnya mengalami proyeksi dan penyilangan pada komisura posterior untuk
bersinaps di kedua nukleus Edinger-Westphal. Sebagian serabut-serabut langsung
menyampaikan impuls dari nukleus pretektal ke nukleus Edinger-Westphal di
sebelah ventral. Nukleus Edinger-Westphal yang telah teraktivasi memulai refleks
eferen dengan memicu aksi potensial. Axon-axon pada neuron preganglion
parasimpatis mengirimkan sinyal sepanjang nervus okulomotorius menuju ke
serabut saraf ganglion siliaris. Selanjutnya saraf siliaris pendek yang berasal dari
ganglion siliaris menstimulasi otot sfingter pupil dan menyebabkan pupil
mengalami konstriksi akibat refleks terhadap rangsangan cahaya.11,12,13,14
Meskipun ketika cahaya hanya disinarkan pada salah satu mata, refleks
konstriksi pupil akan terjadi pada kedua mata. Hal ini disebabkan karena serabut
traktus optikus yang berada pada bagian nasal mengalami dekusata pada ciasma
optik untuk mencapai nukleus pretektal kontralateral. Selain itu, proyeksi setiap
nukleus pretektal ke kedua nukleus Edinger-Westphal berkontribusi pada refleks
pupil konsensual di mata kontralateral. Setiap inti Edinger-Westphal yang
diaktifkan bertanggung jawab atas konstriksi pupil ipsilateral, dan inti yang

4
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

terstimulasi ini bersama-sama memungkinkan terjadinya refleks pupil


bilateral.11,12,13,14
Penyinaran terhadap salah satu mata pada orang normal dapat
menyebabkan kedua pupil berkonstriksi. Reaksi pupil pada mata yang disinari
secara langsung dan mengakibatkan pupil konstriksi disebut respon direk atau
langsung. Sedangkan, reaksi pupil pada mata sebelahny disebut dengan respon
konsensual. Hal ini dapat terjadi karena adanya hemidekusatio pada jaras
pupilmotor di ciasma dan batang otak.15

Gambar 2.3 Jaras Refleks Cahaya Pupil (Parasimpatis)2

2.2.2 Jaras Refleks Cahaya (Parasimpatis)


Stimulus berupa cahaya akan diteruskan oleh serabut aferen yaitu nervus
optikus (n. II) ke nukleus pretektetal. Pada nukleus pretektal akan terjadi sinaps di
mana impuls akan diteruskan ke nukleus Edinger-Westphal pada sisi yang sama

5
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

(ipsilateral) dan nukleus pretektal kontralateral juga akan meneruskan impuls ke


nukleus Edinger-Westphal kontralateral dari sumber cahaya. Dari masing-masing
nukleus Edinger-Westphal ini, impuls akan diteruskan ke ganglion siliaris. Dari
ganglion ini kemudian impuls akan diteruskan ke otot konstriktor pupil melalui
serabut eferen parasimpatis.15

2.2.3 Jaras Refleks Cahaya (Simpatis)


Otot-otor dilator pupil mendapat rangsangan saraf simpatis yang berasal
dari:
1. Sistem ke I dari neuron pre-ganglionik yaitu berasal dari hipotalamus bagian
posterolateral yang berjalan ke arah inferior melalui segmen otak dan pons
tanpa menyilang dan berakhir pada kornu intermedia lateral medula spinal
setinggi C8 hingga T2.16
2. Sistem ke II dari serabut simpatis pre-ganglionik adalah serabut simpatis yang
keluar dari medula spinal bersama-sama dengan radiks T1 dan masuk ke
rantai simpatis para vertebra yang sangat berdekatan dengan serabut simpatis
yang menuju pleura dan apeks paru. Serabut simpatis ini berbalik keatas
bersama-sama dengan ansa subklavia di sekeliling arteri sub klavia terus ke
atas melalui ganglion servikalis inferior dan median selanjutnya berakhir di
ganglion servikalis superior yang terletak di dasar tengkorak.16
3. Sistem ke III dari serabut simpatis adalah serabut post-ganglionik
okulosimpatik yang berjalan masuk ke dalam tengkorak bersama-sama
dengan arteri karotis interna, sedangkan serabut-serabut simpatis untuk
kelenjar keringat mengikuti arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya.16
Serabut okulo simpatis post-ganglion memberikan serabut sarafnya ke
otot-otot dilator pupil, otot Muller pada kelopak atas dan bawah, kelenjar lakrimal
serta serabut trofik untuk pigmen uvea. Dalam kondisi cahaya yang redup, serabut
otot dilator pupil berkontraksi dan membuat pupil memperbesar ukurannya
(dilatasi). Serabut simpatis postganglionik dari saraf siliaris panjang menginervasi
otot dilator.11,12,13,14

6
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Gambar 2.4 Jaras Dilatasi Pupil17

2.3 Anisokoria
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi
Anisokoria merupakan kondisi di mana kedua pupil memiliki ukuran yang
berbeda. Adanya ketidaksamaan ukuran pupil menandakan adanya gangguan
asimetris terhadap output otonom (simpatis dan parasimpatis) pada iris. Kondisi
seperti ini bisa menunjukkan adanya kegawatdaruratan yang sedang berlangsung
dan membutuhkan penanganan segera. Sekitar 20% populasi memiliki perbedaan
ukuran pupil kanan dan kiri yang minim yaitu kurang dari 1 mm. Kondisi seperti
ini masih dapat dikatakan sebagai anisokoria fisiologis atau dikenal juga dengan
anisokoria esensial.5,6,7
Pada kondisi anisokoria fisiologis, ukuran relatif sama pada keadaan
terang maupun redup. Anisokoria fisiologis dapat terjadi pada mata kanan
kemudian selanjutnya berubah pada mata kiri. Penyebab dari kondisi ini sendiri

7
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

masih belum diketahui. Namun, penyebabnya berkaitan dengan inhibisi asimetris


supranuklear yang bersifat sementara pada nukleus Edinger-Westphal di mana
nukleus ini mengontrol otot sfingter pupil.1

2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan letak lesi, anisokoria dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Lesi pada saraf parasimpatetik
a. Kelumpuhan Nervus III bersamaan dengan saraf parasimpatetik.
Akibat kelumpuhan timbuk gejala seperti pupil midriasis dan biasanya
disertai dengan disfungsi nervus III lainnya seperti ptosis dan terbatasnya
gerakan bola mata. Pemeriksaan yang menyeluruh terhadap gerakan bola mata
perlu dilakukan. Ketika menghadapi kondisi anisokoria dengan keterlibatan
nervus III, perlu juga dicurigai adanya lesi kompresi sehingga pemeriksaan
imaging seperti CT-scan atau MRI perlu dilakukan. Biasanya kondisi anisokoria
akut karena kelumpuhan nervus III akan memberikan respon terhadap pemberian
pilocarpine 1% dalam 3-7 hari.1
b. Disfungsi otot sfingter pupil.
Penyebab dari defek pada pupil bisa karena trauma langsung yang dapat
merusak otot sfingter pupil dan menyebabkan midriasis yang didahului oleh
miosis. Kondisi seperti ini sering terjadi bersamaan dengan trauma kapitis
sehingga sering salah diagnosis sebagai herniasi pada otak. Penyebab lainnya
adalah iskemia pada iris akibat adanya peningkatan akut TIO, sindroma
iridokornea endotel, operasi segmen anterior, dan infeksi (Herpes Zoster).
Penanganan berupa bedah rekonstruksi dapat dijadikan pertimbangan untuk
kondisi seperti ini.1
c. Midriasis farmakologi.
Penyebabnya adalah penggunaan inhibitor parasimpatis seperti obat
golongan antikolinergik dan simpatomimetik. Contoh golongan antikolinergik
adalah atropin, scopolamine patch dan tanaman sepertti Belladonna serta
inhalansia antikolinergik (Ipratropium, tiotropium). Midriasis karena penyebab
farmakologi ditandai dengan pupil yang dilatasi, tidak reaktif terhadap
rangsangan cahaya dan stimulasi objek yang dekat.1

8
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

d. Pupil tonik.
Penyebabnya adalah karena kerusakan pada ganglion siliaris atau nervus
siliaris pendek. Pupil tonik yang sifatnya idiopatik atau dikenal dengan pupil
Adie merupakan kondisi yang sering menyerang wanita muda dan biasanya
bersifat unilateral. Pada bilateral pupil tonik, gangguan sistemik otonom
mungkin dijumpai seperti diabetes mellitus, sifilis, disotonomia, amyloidosis,
sarcoidosis , HIV neuropati dan sindroma paraneoplastik. Pupil tonik
dikarakteristikkan dengan (1) reaksi yang lambat terhadap cahaya dengan
adanya gangguan pada sfingter iris, (2) parese akomodasi pada fase akut, (3)
cholinergic supersensitivity, (4) disosiasi objek dekat dengan cahaya.1
Konstriksi pupil lebih hebat pada pupil tonik dibandingkan mata normal
dan dapat mengakibatkan nyeri karena spasme otot siliaris. Pada pemeriksaan
slit lamp dapat terlihat beberapa segmen sfingter berkonstriksi, dengan refiksasi
pada penglihatan jauh dan redilatasi pupil yang lambat. Anisokoria dapat terlihat
pada respon akomodasi, dimana pupil yang tonik, setelah upaya akomodasi,
fokus ulang terhadap penglihatan jauh dapat terhambat.1

2. Lesi pada saraf simpatetik


Lesi sepanjang jaras simpatetik dapat menyebabkan Horner's Syndrome
yang terdiri dari ptosis, miosis, anhidrosis pada wajah ipsilateral dan enopthalmus.
Penyebab dari Horner's Syndrome dibagi menjadi 3 dan tertera pada tabel 2.11
Tabel 2.1 Penyebab Horner's Syndrome1

9
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Pemeriksaan farmakologi dapat dilakukan untuk membantu menegakkan


diagnosis Horner's Syndrome yaitu dengan menggunakan obat topikal tetes mata.
Obat yang digunakan adalah kokain 4% sampai 10% atau apraclonidine 0.5%
sampai 1%. Kokain dapat memblok pengambilan kembali norepinefrin di terminal
saraf simpatis di otot dilator iris dan biasanya menyebabkan midriasis,
konjungtiva pucat, dan retraksi kelopak mata. Namun, setiap gangguan pada jalur
simpatis menyebabkan penurunan pelepasan norepinefrin sehingga pemberian
kokain hanya menimbulkan efek sedikit atau tidak ada dan pemeriksaan pupil
akan tetap miosis.1
Letak lesi penyebab Horner's Syndrome perlu ditentukan, sebab lesi distal
terhadap gangion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal
terhadapnya sebanyak 50% ganas. Pada anak yang sering terjadi adalah kongenital
Horner’s Syndrome yang sering disebabkan karena trauma lahir, atau adanya
neuroblastoma yang tumbuh pada jaras simpatetik. Penanganan terhadap Horner's
Syndrome sesuai dengan penyebabnya dan tindakan operasi merupakan salah satu
tatalaksana definitif.1

2.3.3 Etiologi
Penyebab yang sering mengakibatkan anisokoria adalah karena adanya
perdarahan intrakranial yang disebabkan oleh trauma kepala, tumor otak atau
abses. Adanya massa baik itu darah maupun tumor pada intrakranial dapat
meningkatkan tekanan intrakranial serta intraokular dan kadang bisa dijumpai
penekanan pada nervus III sehingga terjadi anisokoria. Adapun penyebab lain dari
anisokoria bermacam-macam yaitu:18

10
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

1. Kegagalan persarafan parasimpatis sehingga menyebabkan pupil yang relatif


dilatasi akan bereaksi lambat terhadap cahaya langsung.
2. Horner's Syndrome yang dapat menyebabkan anisokoria di mana pupil yang
terkena lebih kecil.
3. Blokade kimia terjadi ketika parasimpatolitik (atropin) bahan kimia
bersentuhan dengan konjungtiva secara disengaja. Mekanismenya dengan
cara menonaktifkan otot sfingter iris. Hal ini sering pada kasus di mana mata
terkena tanaman yang mengandung atropin (Atropa belladonna).
4. Kerusakan langsung pada otot sfingter iris karena adanya peradangan atau
trauma yang membuat pupil berbeda bentuk. Dalam melakukan pemeriksaan
ditemukan adanya bukti kerusakan otot.

2.3.4 Evaluasi Anisokoria

Gambar 2.5 Evaluasi terhadap Anisokoria19

11
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Anamnesis

Anamnesis yang tepat dan terarah dapat memprediksi onset dari anisokoria
dan berkaitan dengan etiologinya. Apabila pernah dilakukan pemeriksaan
sebelumnya juga bisa menjadi tambahan informasi karena pada beberapa kasus
gejala mungkin tidak terdeteksi. Anisokoria kronik tanpa adanya gejala mungkin
mengarah kepada anisokoria fisiologis. Tetapi apabila disertai dengan gejala
seperti nyeri kepala, penurunan kesadaran dan defisit neurologis fokal, maka bisa
mengindikasikan adanya kegawatdaruratan seperti adanya massa intrakranial.20
Anamnesis menyeluruh tentang riwayat pembedahan, trauma pada kepala
atau mata dan gangguan pada mata perlu ditanyakan untuk mengetahui etiologi
anisokoria. Penggunaan obat topikal tetes mata bisa menjelaskan terjadinya
anisokoria farmakologis.20

Pemeriksaan Pupil

Dalam melakukan pemeriksaan pupil ada beberapa komponen yang dinilai yaitu
ukuran, bentuk, isokori, reaksi terhadap cahaya langsung atau tidak langsung dan
reaksi akomodasi dan konvergensi.21

Cara pemeriksaan :21

• Tentukan ukuran pupil kiri dan kanan. Normalnya ukuran pupil adalah 3-4
mm.
• Melihat bentuk pupil kiri dan kanan kemudian bandingkan kedua bentuk
apakah isokor atau anisokoria.
• Menilai reaksi pupil terhadap cahaya dengan cara:
• Menyinari salah satu mata.
• Melihat reaksi pupil pada mata yang disinar (refleks cahaya langsung).
• Melihat reaksi pupil pada mata kontralateral (refleks cahaya tidak
langsung).
Interpretasi:
• Refleks dikatakan normal apabila terjadi konstriksi pada mata yang
disinari dan mata kontralateral.

12
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

• Refleks dikatakan menurun apabila respon konstriksi menurun.


• Refleks dikatakan negatif apabila tidak ada respon sama sekali.
• Refleks akomodasi dan konvergensi:
• Pasien diminta melihat obyek yang jauh.
• Kemudian diminta untuk mengikuti jari pemeriksa yang digerakkan ke
arah hidung pasien.
• Interpretasi dikatakan normal apabila terjadi kontraksi m. Rektus
medialis dengan respon konstriksi pupil.
• Refleks siliospinal
• Memberikan rangsangan berupa cubitan pada leher pasien dan melihat
reaksi pupil yang terjadi.
• Interpretasi dikatakan normal apabila pupil berdilatasi.

Gambar 2.6 Algoritme Anisokoria20

13
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Dalam melakukan pemeriksaan pupil, normalnya kedua pupil akan


berkonstriksi dengan ukuran yang sama pada kondisi terang dan berdilatasi pada
kondisi redup. Pada anisokoria fisiologis, perbedaan ukuran pupil tetap sama pada
kondisi terang maupun redup dan biasanya kurang dari 1 mm.21
Apabila anisokoria dijumpai pada pemeriksaan pupil maka perlu
dievaluasi pada kondisi cahaya terang dan redup. Jika anisokoria lebih berat pada
kondisi cahaya redup, maka pupil yang gagal dilatasi yang merupakan abnormal.
Penyebabnya adalah Horner's Syndrome, miosis farmakologi atau sinekia
posterior. Sedangkan, jika anisokoria lebih berat pada cahaya terang, pupil yang
gagal konstriksi yang mengalami gangguan. Penyebabnya karena lesi pada N.III,
pupil Adie, midriasis farmakologi, glaukoma sudut tertutup atau trauma (termasuk
post operasi).21
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah swinging flashlight test.
Cara pemeriksaanya adalah:22
• Kondisi ruangan diredupkan dan pasien diminta untuk fokus pada benda
jarak jauh.
• Cahaya dari senter disinari pada salah satu mata, kemudian dengan cepat
dipindahkan ke mata yang lain.

A B

Gambar 2.7 Swinging Flashlight Test Normal (A) vs Defect (B)22

14
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Respons normal berupa pupil mata yang terstimulasi mengalami konstriksi


dan konstriksi pada mata yang lain secara simultan, kondisi tetap dipertahankan
saat cahaya dipindahkan dari satu mata ke mata lainnya. Defek relatif aferen pupil
ditandai dengan mata yang berdilatasi (atau gagal mengerut dengan cepat) setelah
cahaya dengan cepat dipindahkan dari mata yang sehat ke mata yang abnormal. 22
Pemeriksaan lain dalam mengevaluasi anisokoria adalah dengan
penggunaan farmakologi seperti kokain (4-10%), hydroxyamphetamine, dan
pilocarpine (0,1-1%). Penggunaan kokain topikal 4-10% pada mata normal terjadi
dilatasi sedangkan pada Horner's Syndrome dilatasi sangat berkurang. Kokain
dapat memblok pengambilan kembali norepinefrin di terminal saraf simpatis di
otot dilator iris dan biasanya menyebabkan midriasis.23
Pemeriksan menggunakan apraclonidine bisa menjadi alternatif karena
ketersediaan kokain. Apraclonidine merupakan α-2 agonis yang kuat dan α-1
agonis lemah. Apraclonidine 0.5-1% dapat menyebabkan konstriksi pada pupil
karena aktivitas adrenergiknya. Namun pada Horner's Syndrome akan
menyebabkan pupil yang mengalami gangguan berdilatasi.20
Pemeriksaan menggunakan paredrin 1% (Hidroksi amfetamin) untuk
menentukan lokasi lesi. Efek paredrine melepaskan nor-epinefrin dari terminal
pre-sinaptik. Pada lesi post ganglion, saraf terminal mengalami degenerasi
sehingga terjadi gangguan dilatasi pupil pada pemberian paredrin, sedangkan pada
lesi preganglion, jaras post ganglion masih intak sehingga paredrin
mengakibatkan dilatasi pupil.23
Pemeriksaan menggunakan obat golongan kolinergik (Pilocarpine 0,1%)
dapat digunakan untuk diagnostik pada kasus yang berkaitan dengan pupil tonik
atau pada kasus midriasis farmakologi (Pilocarpine 1%). Penggunaan obat
golongan ini normalnya tidak membuat pupil berkonstriksi. Tetapi, pada pupil
tonik terjadi miosis karena cholinergic supersensitivity. Namun, setelah
pemberian agen dilator seperti atropin, pilocarpine tidak memberikan efek
miosis.23

15
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Pemeriksaan Penunjang
Apabila anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah ke adanya pupil
Argyll Robertson maka, pemeriksaan VDRL dan FTA-ABS untuk skrining dan
konfirmasi sifilis diperlukan. Lumbar punksi untuk VDRL, FTA-ABS, protein
total dan hitung sel diindikasikan untuk evaluasi neurosifilis.20
Penggunaan modalitas seperti CT-scan atau MRI tergantung pada
penyebab yang mendasari anisokoria. Pada kondisi anisokoria yang disebabkan
oleh Horner's Syndrome dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI. Pada kasus
diseski karotis dapat digunakan Magnetic Resonance Angiography (MRA),
angiografi kontras atau USG Doppler, bergantung pada segmen yang terlibat.23

2.3.5 Tatalaksana
Tatalaksana terhadap anisokoria bergantung dengan penyebabnya.
Anisokoria fisiologis umumnya asimtomatis dan tidak memerlukan intervensi.
Ansikoria akibat trauma mungkin memerlukan tindakan pembedahan untuk
koreksi defek struktural. Anisokoria karena kondisi okular lainnya seperti uveitis
atau glaukoma akut mungkin bisa ditatalaksana secara medikamentosa saja.
Anisokoria farmakologis dapat sembuh dengan menghentikan agen yang memicu.
Pupil tonik dapat ditangani dengan kacamata dan pilocarpine untuk konstriksi
pupil. Penyebab jinak dari sindrom Horner dan kelumpuhan saraf okulomotor
dapat dilaukan observasi saja dengan harapan gejala mengalami resolusi sebagian
atau seluruhnya.20
Konsultasi dengan neurologist atau neuro-ophthalmologist
direkomendasikan untuk kasus atipikal, seperti ganglionopathy otonom autoimun
dan sefalgia otonom trigeminal. Namun, penyebab yang mengancam jiwa seperti
stroke, aneurisma, perdarahan, diseksi, dan tumor harus disingkirkan dan
ditangani dengan tepat melalui intervensi bedah atau medis.20

16
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

17
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

BAB 3
KESIMPULAN

Pupil mata merupakan struktur yang penting karena merupakan komponen


yang mengatur seberapa banyak cahaya dapat masuk ke dalam mata. Ukuran pupil
normal manusia bervariasi dan berbeda antara orang yang satu dengan yang
lainnya. Normalnya, diameter pupil berkisar di antara 3-4 mm. Pada saat bayi
ukuran pupil lebih kecil dan cenderung membesar pada saat anak-anak dan
kembali menurun seiring bertambahnya umur.
Anisokoria merupakan kondisi di mana kedua pupil memiliki ukuran yang
berbeda. Adanya ketidaksamaan ukuran pupil menandakan adanya gangguan
asimetris terhadap output otonom (simpatis dan parasimpatis) pada iris. Kondisi
seperti ini bisa menunjukkan adanya kegawatdaruratan yang sedang berlangsung
dan membutuhkan penanganan segera.
Evaluasi terhadap anisokoria dilakukan melalui berbagai pemeriksaan
termasuk pemeriksaan pupil, pemeriksaan menggunakan senter (swinging
flashlight test), pemeriksaan dengan farmakologi dan modalitas seperti CT-scan
atau MRI untuk mengetahui penyebab pastinya. Penanganan terhadap anisokoria
adalah dengan mengatasi etiologinya.

18
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

1. Falardeau J. Anisocoria. International Ophthalmology Clinics.


2019;59(3):125-139.
2. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan- Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw
Hill, 2007
3. Kline, Lanning B ; Neuro-ophthalmology Review Manual, 5th edition,
SLACK incorporated, 2001, p.135 - 147.
4. Steck R, Kong M, McCray K, Quan V, Davey P. Physiologic anisocoria
under various lighting conditions. Clinical Ophthalmology. 2018;Volume
12:85-89.
5. Lam BL., Thompson HS, Corbett JJ. The prevalence of simple anisocoria.
Am J Opthalmol. 1987;104:69-73 3.
6. Kennedy S, Noble J, Wong A. Examining the pupils. Canadian Medical
Association Journal. 2013;185(9):E424-E424.
7. Abraham A, George A, Nair S, Joseph M. The prevalence of physiological
anisocoria and its clinical significance - A neurosurgical perspective.
Neurology India. 2019;67(6):1500.
8. Ansari M, Nadeem A. Atlas of ocular anatomy. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016.
9. Remington L. Clinical anatomy and physiology of the visual system. 3rd
ed. St. Louis: Elsevier/Butterworth-Heinemann; 2012
10. Massimo Camellin, Federico Gambino, Stefano Casaro ; Measurement of
the spatial shift of the pupil center, J Cataract Refract Surg 2005; 31: 1719
– 1721.
11. Smith A, Czyz C. Neuroanatomy, Cranial Nerve 2 (Optic) [Internet].
Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 30 September 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507907/
12. Belliveau A, Somani A, Dossani R. Pupillary Light Reflex [Internet].
Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 30 September 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537180/
13. McDougal D, Gamlin P. Autonomic Control of the Eye. Comprehensive
Physiology. 2014;:439-473.
14. Ruskell, Gordon L. “Access of autonomic nerves through the optic canal,
and their orbital distribution in man.” The anatomical record. Part A,
Discoveries in molecular, cellular, and evolutionary biology vol. 275,1
(2003): 973-8.
15. Yoo H, Mihaila DM. Neuroanatomy, Visual System, Pupillary Light
Reflexes and Pathway. [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls [Internet].

19
PAPER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NAMA : VINCENT TANDIONO
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS UNIVERSITAS NIM : 150100010
SUMATERA UTARA

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing [cited 30 September


2020]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553169/
16. Slamovits, Thomas L ; Glaser, Joel S ; The Pupils and Acomodation,
Duane’s Clinical Ophthalmology, Chapter 15, Vol. 2; Revised edition,
Lippincot Williams & Wilkins, 2004 p. 1-5
17. Duus P, Baehr M, Frotscher M. Duus’ Topical Diagnosis in
Neurology: Anatomy, Physiology, Signs, Symptoms. Ed 4th. EGC,
Jakarta. 2005; p198–212
18. Baloh RW, Jen J. Neuro-ophthalmology. In: Goldman L, Schafer AI, eds.
Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier;
2011:chap 432.
19. Themes U. Neuro-Ophthalmic Disease [Internet]. Ento Key. 2020 [cited
30 September 2020]. Available from: https://entokey.com/neuro-
ophthalmic-disease-2/
20. Ug Ryu B, Othman B, Boisvert C. Anisocoria - EyeWiki [Internet].
Eyewiki.aao.org. 2020 [cited 2 October 2020]. Available from:
https://eyewiki.aao.org/Anisocoria
21. Kennedy SA, Noble J, Wong AM. Examining the pupils. CMAJ.
2013;185(9):E424. doi:10.1503/cmaj.120306
22. Broadway DC. How to test for a relative afferent pupillary defect
(RAPD). Community Eye Health. 2012;25(79-80):58-59.
23. Eggenberger E. Anisocoria Workup: Laboratory Studies, Imaging Studies,
Procedures [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2020 [cited 30
September 2020]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1158571-workup#c5

20

Anda mungkin juga menyukai