Anda di halaman 1dari 44

Case Report Session

EKSOTROPIA

Oleh:

Yola Anggreka Taufik 1740312618


Putri Awaliyah Deza 1840312428
Ayu Wulandari Utami 1840312440

Preseptor:
dr. H. M. Hidayat, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2019
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Batasan Masalah 2
1.4 Metode Penelitian 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Anatomi otot ekstra okuler 3
2.1.1 Aspek motorik 3
2.1.2 Aspek sensorik 12
2.2 Eksotropia 12
2.2.1 Definisi 12
2.2.2 Epidemiologi 13
2.2.3 Etiologi dan faktor risiko 13
2.3 Eksotropia intermiten 14
2.3.1 Gambaran klinis 15
2.3.2 Pemeriksaan klinik 15
2.3.3 Klasifikasi 16
2.3.4 Pengobatan 17
2.4 Eksotropia konstan 17
2.4.1 Etiologi 17
2.4.2 Terapi 18
2.5 Convergence insufficiency 23
2.5.1 Etiologi 23
2.5.2 Gejala klinis 24
2.5.3 Pengobatan 26
2.6 Komplikasi operasi strabismus 27
BAB 3. LAPORAN KASUS 29
BAB 4. DISKUSI 39
DAFTAR PUSTAKA 42
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ terpenting bagi manusia. Fungsi utama mata adalah
sebagai indera penglihat. Jumlah cahaya yang masuk diatur oleh pupil, kemudian diteruskan
ke lensa, hingga akhirnya sampai ke retina. Sel batang dan kerucut pada retina
memungkinkan persepsi cahaya sadar dan penglihatan seperti diferensiasi warna dan persepsi
kedalaman.1

Fisiologi mata terdiri dari aspek motorik dan sensorik. Pada aspek sensorik, dikenal
istilah penglihatan binokular. Penglihatan binokular adalah penglihatan dengan menggunakan
dua mata. Pada kondisi penglihatan binokular yang normal, bayangan suatu benda yang
menjadi fokus penglihatan jatuh secara bersamaan di fovea masing-masing mata (fiksasi
bifovea), dan posisi kedua meridian vertikal retina tegak lurus. Apabila objek tersebut tidak
serupa dicitrakan oleh fovea pada masing-masing mata, objek yang menjadi fokus
penglihatan tersebut akan terlihat tumpang tindih. Setiap penyimpangan dari penjajaran
okular yang sempurna ini disebut strabismus. Penyimpangan arah yang terjadi pada
strabismus berupa menyimpang ke arah dalam, luar, atas, atau bawah.2

Eksotropia merupakan salah satu tipe dari strabismus, yakni terjadi penyimpangan pada
satu atau kedua mata ke arah luar. Penelitian yang dilakukan di Yoygakarta pada tahun 2009
menyatakan bahwa strabismus tipe eksotropia banyak ditemukan pada anak usia 5-14 tahun
dengan persentase 34%. Berdasarkan jenis kelaminnya, tipe eksotropia lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki, yakni sebanyak 55%. Jenis kelainan
refraksi yang menjadi frekuensi tertinggi penyebab strabismus tipe eksotropia adalah miopia
dan hipermetropi dengan jumlah masing-masing 15 orang (38%).3

Eksotropia diklasifikasikan menjadi eksotropia kongenital dan didapat. Eksotropia


kongenital muncul mulai dari lahir atau segera setelah lahir, sedangkan eksotropia didapat
muncul saat penderita merasa lelah, sakit, atau setelah minum alkohol.4

Seperti halnya strabismus, eksotropia merupakan penyakit herediter yang diturunkan


melalui autosomal dominan. Risiko terkena eksotropia akan meningkat seiring peningkatan
usia. Oleh karena itu, perlu kewaspadaan mengenai tanda-tanda awal terjadinya eksotropia
pada seseorang sehingga komplikasinya dapat diminimalisir.2,4
1
1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk memahami serta menambah
pengetahuan tentang eksotropia

1.3 Batasan Masalah

Dalam referat ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi dan faktor
risiko, diagnosis, tatalaksana serta laporan kasus mengenai eksotropia.

1.4 Metode Penelitian

Penulisan case report session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dari berbagai
literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otot Ekstra Okuler5

1. Aspek Motorik

Pergerakan kedua bola mata dimungkinkan oleh adanya enam pasang otot ekstra
okuler. Pergerakan bola mata kesegala arah ini bertujuan untuk memperluas lapangan
pandang, mendapatkan penglihatan foveal, dan penglihatan binokuler untuk jauh dan dekat.
Otot bola mata ini menggerakkan bola mata pada tiga buah sumbu pergerakan yaitu, sumbu
antero-posterior, sumbu vertikal, dan sumbu naso-temporal.

Gambar 2 Sumbu pergerakan Mata

Adapun fungsi dari masing-masing otot ekstra okuler adalah:

 Otot rektus medius kontraksinya akan menghasilkan adduksi, dan dipersarafi oleh
nervus III (okulomotorius). Otot ini mendapatkan nutrisi dari cabang arteri oftalmika.
Otot ini berasal dari bagian medial annulus zinni dan berjalan sepanjang dinding
medial orbita dan berinsersi disklera 5,5 mm dari limbus. Panjang otot ini 40 mm.

 Otot rektus lateral, memepunyai dua tempat asal dari annulus zinni yang merentang
dari bagian medial fissure orbitalis superior dan juga dari bagian akhir tendon orbital

3
superior dan inferior, dan kemudian berjalan bersamaan dengan dinding lateral orbita
ke depan dan berinsersi pada sklera 6,9 mm dari limbus.panjang lebih kurang 40 mm.
Kontraksinya akan menghasilkan abduksi, dan dipersarafi oleh nervus VI
(abdusen).Perdarahan untuk otot ini berasal dari cabang arteri oftalmika.

Gambar 3 Otot Rektus

 Otot rektus superior, berasal dari bagian atas annulus zinni tepat di bawah asal
muskulus levator palpebra. Otot ini berjalan ke depan, atas, dan lateral serta berinsersi
pada sklera 7,7 mm dari limbus. Panjang otot 40 mm. Otot ini dipersarafi oleh nervus
III (okulomotorius). Perdarahan otot ini berasal dari cabang arteri oftalmika.

4
Gambar 4 Otot Rektus

 Otot rektus inferior, otot ini dipersarafi nervus III (okulomotorius). Otot ini berasal
dari bagian bawah annulus zinnia (di bawah foramen optikum) dan berjalan ke bawah
dan ke lateral sepanjang lantai orbita dan berinsersi pada sklera bagian bawah depan
bola mata lebih kurang 6,5 mm dari limbus. Otot ini melekat dengan palpebra inferior
melalui fascial conection dari sarung otot. Panjang otot lebih kurang 40 mm, arkus
kontak 6,5 mm. Dalam posisi primer fungsi utama adalah depresi, dan fungsi
sekunder adalah ekstorsi dan adduksi.

5
Gambar 5 Insersi Otot Rektus

 Otot oblik superior berasal dari apeks orbita dari periosteum yang menutupi os.
Sphenoid tepat medial dan atas dari foramen optikum. Ini merupakan otot terpanjang
dan terbagi dua bagian, bagian aktif panjangnya 32 mm, panjang tendon 26 mm. Dari
origo otot ini berjalan ke depan dan atas sepanjang dinding medial orbita. Dalam
posisi primer fungsi utama adalah intorsi, dan fungsi sekunder adalah depresi dan
abduksi. Otot ini dipersarafi nervus IV (troklear). Perdarahan otot ini berasal dari
cabang lateral arteri oftalmika.

Gambar 6 Otot Obliq

6
 Otot oblik inferior berasal dari anterior nasal lantai orbita (periosteum os. Maksila)
beberapa millimeter dibelakang orbital rim dan beberapa millimeter lateral dari
lubang duktus nasolakrimalis. Panjang 37 mm. Dalam posisi primer fungsi utama
adalah ekstorsi, dan fungsi sekunder adalah elevasi dan abduksi Otot ini dipersarafi
nervus III (okulomotorius). Perdarahan otot ini berasal dari arteri infra orbitalis dan
cabang arteri oftalmika.

Gambar 7 Otot Obliq

Gambar 8 Insersi Otot Obliq

7
1.1 POSISI DAN GERAKAN BOLA MATA2

POSISI BOLA MATA

1. PRIMER

Adalah kedudukan bola mata pada waktu melihat lurus ke depan pada jarak minimal 6
meter dengan posisi badan dan kepala tegak

Gambar 9 Posisi Primer

2. SEKUNDER
Adalah kedudukan bola mata ketika mata melihat lurus ke atas, lurus ke bawah , ke
kiri dan ke kanan

Gambar 10 Posisi Sekunder

3. TERSIER
Posisi mata ketika mata melihat ke atas kanan, ke atas kiri, ke bawah kanan, dan ke
bawah kiri

Gambar 11 Posisi Tersier

4. ORTOFORIA
Kedudukan bola mata dimana kerja otot-otot mata dalam keadaan seimbang sehingga
memungkinkan terjadinya fusi tanpa usaha apapun.

5. HETEROFORIA
Adalah penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi
dengan reflex fusi dan penyimpangan ini menjadi nyata bila reflex fusi diganggu.

8
Pemeriksaan dengan cover – uncover test (diperhatikan pergerakan mata yang
ditutup) :
- Mata bergerak ke dalam (setelah tutup dibuka)  eksoforia
- Mata bergerak ke luar (setelah tutup dibuka)  esoforia
- Mata bergerak ke atas (setelah tutup dibuka)  hipoforia
- Mata bergerak ke bawah (setelah tutup dibuka)  hiperforia

6. HETEROTROPIA

Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua sumbu
penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi dan penyimpangan ini tidak dapat
diatasi dengan tenaga fusi.

Pemeriksaan dengan cover test (diperhatikan mata yang tidak ditutup) :

- Mata bergerak ke dalam (setelah satu mata ditutup)  eksotropia

- Mata bergerak ke luar (setelah satu mata ditutup)  esotropia

- Mata bergerak ke atas (setelah satu mata ditutup)  hipotropia

- Mata bergerak ke bawah (setelah satu mata ditutup)  hipertropia

GERAKAN BOLA MATA2

1. Duksi

a. Abduksi  Pergerakan satu mata ke luar / temporal

b. Adduksi  Pergerakan satu mata ke dalam / nasal

c. Supraduksi / Elevasi  Pergerakan satu mata ke atas

d. Infraduksi / Depresi  Pergerakan satu mata ke bawah

e. Insikloduksi / Intorsi  Pergerakan satu mata memutar ke dalam

f. Eksikloduksi / Ekstorsi  Pergerakan satu mata memutar ke luar

9
2. Versi

Gerakan kedua bola mata ke arah yang sama secara bersamaan

a. Dekstroversi  Pergerakan kedua mata ke arah kanan

b. Levoversi  Pergerakan kedua mata ke arah kiri

c. Supraversi  Pergerakan kedua mata ke arah atas

d. Infraversi  Pergerakan kedua mata kea rah bawah

3. Torsi

Pergerakan bola mata dalam bidang sagital dengan sumbu anteroposterior

a. Dekstrosikloversi  Gerakan kedua mata pada sumbu sagital ke kanan

b. Levosikloversi  Gerakan kedua mata pada sumbu sagital ke kiri

4. Vergen

Pergerakan kedua mata secara bersamaan dimana sumbu penglihatan bergerak


kearah yang berlawanan

a. Konvergen  kedua mata bergerak secara bersamaan ke


dalam/nasal.

b. Divergen  kedua mata bergerak secara bersaman


keluar/temporal.

c. Positif vertical divergen  mata kanan bergerak ke atas dan mata kiri
bergerak ke bawah.

d. Negative vertical divergen  mata kanan bergerak ke bawah dan mata kiri
bergerak ke atas.

e. Insiklovergen  kedua mata berputar pada sumbu antero-posterior


kearah dalam/nasal.

f. Eksiklovergen  kedua mata berputar pada sumbu antero-posterior


kearah luar/temporal.

10
Gambar 12 Gerakan Mata

Gambar 13 Gerakan Mata

11
2. ASPEK SENSORIK2

Penglihatan Binokuler

Dimasing-masing mata, apapun yang tercermin di fovea, akan terlihat secara


subjektif sebagai tepat di depan. Dengan demikian apabila dua benda yang tidak serupa
dicerminkan ke kedua fovea, ke dua benda tersebut akan tampak tumpang tindih tetapi
ketidakserupaan tersebut menghambat fusi untuk membentuk suatu impresi. Karena
perbedaan titik yang menguntungkan dalam ruang untuk masing-masing mata,
bayangan disatu mata sebenarnya sedikit berbeda dari bayangan di mata yang lain. Fusi
sensorik dan streopsis merupakan dua proses fisiologik yang berbeda yang berperan
dalam penglihatan binokuler.

Fusi Sensorik dan Streopsis

Fusi sensorik adalah proses yang membuat perbedaan antara dua bayangan
tidak disadari. Dibagian perifer retina masing-masing mata, terdapat titik-titik
korespondensi yang apabila tidak terdapat fusi melokalisasi rangsangan pada arah yang
sama dalam ruang. Dalam proses fusi nilai arah titik-titik ini dapat dimodifikasi.
Dengan demikian setiap titik di retina pada masing-masing mata mampu memfusikan
rangsangan yang jatuh cukup dekat dengan titik korespondensi di mata yang lain.
Daerah titik-titk yang dapat difusikan tersebut disebut daerah panum.

Fusi dapat terjadi karena perbedaan-perbedaan ringan antara dua bayangan


diabaikan, dan streopsis atau persepsi kedalaman binokular terjadi karena integrasi
serebral kedua bayangan yang sedikit berbeda tersebut. Stereopsis merupakan
kesanggupan melihat sebuah benda dengan kedua mata yang memberikan kesan tiga
dimensi.

2.2 Eksotropia
2.2.1 Definisi
Eksotropia merupakan salah satu tipe strabismus, yakni bergulirnya satu atau
kedua mata kearah luar. Eksotropia merupakan kebalikan dari esotropia. Pada tipe
basic eksotropia, sudut deviasi yang ditemukan berkisar 10 PD untuk jarak dekat dan
jauh.4,6

12
2.2.2 Epidemiologi

Eksotropia merupakan tipe strabismus yang sering ditemukan dan menyebabkan hingga
lebih dari 25% dari semua ketidaksejajaran okular pada anak-anak. Kelainan ini sering
ditemukan pada anak usia 7 – 12 tahun. Menurut penelitian Govindam di Minnesota, 205
kasus eksotropia terdeteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Sebanyak 64.1/100.000 pasien
berusia kurang dari 19 tahun dan 86% diantaranya merupakan eksotropia intermiten.7,8

Di Indonesia, eksotropia lebih banyak ditemukan pada kisaran usia 5-14 tahun (34%).
Berdasarkan jenis kelaminnya, eksotropia lebih banyak ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki, yakni sebanyak 55%. Jenis kelainan refraksi yang menjadi frekuensi
tertinggi penyebab strabismus tipe eksotropia adalah miopia dan hipermetropi dengan jumlah
masing-masing 15 orang (38%).3

Eksotropia terbagi atas eksotropia infantil dan didapat. Pada eksotropia infantil atau
kongenital biasanya muncul dalam rentang 6 bulan pertama kehidupan. Apabila muncul
setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan disebut sebagai eksotropia didapat. Eksotropia didapat
tipe intermiten merupakan tipe yang paling sering muncul. Tipe ini ditemukan pada anak usia
satu hingga empat tahun. Di US, 1% kasus ini muncul pada anak usia 7 tahun. Frekuensi
eksotropia intermiten lebih sering pada anak perempuan (64.1%) daripada laki-laki (35.9%)
dengan insiden pada perempuan sebanyak 38.3/100.000 orang dan insiden pada laki-laki
sebanyak 20.8/100.000 orang.7

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab pasti eksotropia tidak diketahui, namun dicurigai akibat terganggunya


kemampuan untuk mempertahankan fusi dan kesejajaran. Riwayat keluarga serta penyakit
sistemik yang berhubungan dengan kelainan kromosom dan neurologis sering menjadi
penyerta timbulnya eksotropia. Adapun faktor risiko timbulnya eksotropia yaitu down
syndrome, cerebral palsy, hidrosefalus, tumor otak, serta trauma.9

Eksotropia diketahui lebih banyak muncul pada ras kulit hitam (1.3%) dibandingkan
kulit putih (1.2%). Selain itu, berat badan lahir yang rendah (4.01%), lahir prematur, serta
riwayat merokok pada ibu saat hamil lebih dari dua bungkus sehari (2.32%) juga turut
meningkatkan risiko eksotropia.10

13
2.3 Eksotropia Intermitten

Eksotropia intermitten biasanya timbul pada usia bayi dan anak-anak, dan bisa timbul
pada usia beberapa bulan. Pada eksotropia ini disebabkan kelainan “motor innervasional”
yang terjadi pada masa bayi, dan pada sebagian pasien membaik dengan bertambahnya umur.

Eksodeviasi ini dikontrol secara intermitten oleh mekanisme fusi, sehingga deviasinya
terjadi secara intermitten dan orang tua bayi sering menyadari kelainan ini setelah bayi
berusia 6 bulan. Deviasi tipe ini merupakan eksotropia yang terbanyak ditemukan secara
klinis dan lebih kurang 50% dari pasien.,wanita lebih banyak dikenai dari laki-laki Eksotropia
intermitten merupakan kelanjutan dari eksoforia dan selanjutnya menjadi eksotropia konstan.

Faktor-faktor yang membantu perubahan ini:

a. Supresi hemiretinal bilateral. Teori ini beranggapan bahwa kemampuan untuk mensupresi
temporal vision menyebabkan terjadi divergen.

b. Teori lain mengemukakan bahwa kelainan ini disebabkan karena “innervasional


imbalance” hubungan bolak balik yang kacau antara mekanisme konvergen dan divergen.

c. Menurunnya tonik konvergen dengan bertambahnya usia, dan hilangnya kekuatan


akomodatif, serta terjadinya divergen orbita secara gradual pada perkembangan anak
menyebabkan rusaknya fusi konvergen pada pasien intermitten eksotropia.

d. Faktor perobahan mekanis dan anatomis seperti orientasi, bentuk dan besar dari orbita,
besar dan bentuk bola mata, volume dan kepadatan dari jaringan retrobulber serta fungsi
otot mata yang dipengaruhi oleh insersi, panjang, elastisitas, susunan anantomis dan
struktural serta kondisi dari fasia dan ligament dari orbita juga diduga merupakan faktor
penyebab bersama dengan faktor innervasional dan mekanikal.

e. Faktor keturunan juga berperan

f. Faktor lain yang juga mungkin ikut berperan adalah ibu yang merokok waktu hamil, berat
waktu lahir yang kurang dan kelainan kraniofasial.

Berbeda dengan eksoforia murni yang timbul bila fusi diganggu, pada eksotropia
intermitten deviasi bisa terjadi secara spontan menjadi manifest. Dalam fase foria mata akan
lurus dengan fusi yang baik dan stereoskopik yang normal. Pada fase tropia mula-mula
timbul diploipa dan sering terjadi adaptasi kortikal berupa supresi dan korespondensi retina
yang abnormal dan ambliopia terutama pada anak usia dibawah 10 tahun.

14
Deviasi terjadi karena pada fase tropia ini akibat fusi yang jelek yang timbul karena
lelah, ngelamun pada keadaan sakit/flu, dan pada orang dewasa/tua sering manifest akibat
minum alkohol atau minum obat penenang. Pada follow up selama 3 ½ tahun, penyakit ini
yang tidak diobati didapatkan menjadi progresif 75% dari 51 pasien , 9% menjadi lebih buruk
dan 16% membaik.(Von Noorden) Hill’s et al mendapatkan dari 48 pasien tidak
memperlihatkan perobahan deviasi yang signifikan dalam follow up selama 11 tahun ( 2
pasien menjadi eksotropia konstan)

2.2.2 Gambaran klinik

 Serangan biasanya pada usia 2 – 3 tahun;


 Penglihatan kabur, astenopia, kelelahan waktu membaca dan kadang-kadang ada diplopia.
 Pada anak yang lebih besar dan dewasa, juga didapatkan foto phobia dan juling waktu
kena sinar matahari yang disebabkan oleh usaha menghilangkan diplopia dan “confusion”.
 Kelurusan mata masih bisa dipertahankan oleh masih adanya fusi.
 Deviasi biasanya manifest pada waktu “visual inatension” seperti: lemah, selama sakit,
ngelamun, bangun dari tidur, anak yang sedang dimarahi.
 Pada usia anak-anak deviasi mata biasanya lebih besar waktu melihat jauh dari pada
melihat dekat/deviasi menjadi manifest bila objek penglihatan dijauhkan
 Pada orang dewasa, besar deviasi jauh dan dekat biasanya sama meskipun kontrol fusi
masih baik
 Pada beberapa pasien intermitten eksotropia berlanjut menjadi eksotropia konstan.
 Pada anak berusia < 10 tahun bisa terjadi supresi dan ARC.
 Namun pada waktu mata lurus terdapat NRC dan stereoskopik derajat tinggi atau
menurun.
 Ambliopia jarang terjadi jika eksotropia intermitten tidak berkembang menjadi eksotropia
konstan
2.2.3 Pemeriksaan klinik

Anamnesa mengenai riwayat penyakit yang lengkap tentang:


 usia serangan mulai,
 apakah eksotropia berkembang menjadi konstan
 berapa sering ekstropia terjadi

15
Pemeriksaan

Pemeriksaan dengan prisma dan “alternate cover test” untuk jarak 6 meter dan 30 cm, juga
perlu dilakukan pada jarak 100feet (30m) - 200 feet( 60m).

Kategori dari pemeriksaan eksotropia sbb:

 “Good control”: Eksotropia manifes hanya setelah dilakukan “cover test” dan segera
terjadi fusi kembali tanpa mengedip atau refixasi

 “Fair control”: Eksotropia manifest setelah fusi diputus dengan cover test dan pasien
kembali fusi hanya setelah mengedip atau refiksasi

 “Poor control”: Eksotropia manifest secara spontan dan tetap manifest untuk waktu
lebih lama.

2.2.4 Klasifikasi:

1. “Basic Intermitten Exotropia”

Bila deviasi jauh dan dekat lebih kurang sama dalam batas 10 PD dioptri dan AC/A
normal.

2. “Divergence excess”

 “True divergence excess”

Eksodeviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat (> 10PD)

 “Simulated divergence excess”

Pada tipe ini mulanya deviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat, tetapi setelah
dilakukan test oklusi selama 30 – 60 menit deviasi dekat bertambah (lebih 10 PD)
dari jauh. Contoh, deviasi jauh 30 PD ekso dan deviasi dekat 10 PD. Setelah
dilakukan patch test 30 menit deviasi jauh 30 PD dan deviasi dekat menjadi 25 PD.
Ini terjadi karena fusional tonic convergence dihilangkan secara pelan dengan oklusi
monokuler sehingga deviasi jauh dan dekat menjadi sama.

3. “Convergence insufficiensi”

Pada tipe ini eksodeviasi dekat lebih besar dari deviasi jauh (lebih dari 10 PD) dan
pasien mempunyai AC/A dan amplitudo fusi yang rendah

16
2.2.5 Pengobatan

Non bedah (biasanya tidak efektif kecuali untuk “convergence insufficiency”)

 Koreksi kelainan refraksi, overkoreksi untuk myopia ((biasanya 2 – 4D).

Pemberian lensa minus atau kaca bifokal dapat mengontrol deviasi secara efektif dan
tidak memerlukan terapi operasi pada sebagian kecil pasien. Pada hipermetrop ringan
sampai sedang tidak rutin dikoreksi karena akan menambah deviasi , sedang hipermetrop
> 4D diberikan koreksi (dengan koreksi menjadikan bayangan jadi jelas dan ini akan
merangsang akomodasi)

 Terapi ambliopia.

“Part time occlusion” pada mata non deviasi berguna pada pasien usia muda sebagai anti
supresi terutama pada anak usia < 4 tahun.

 Ortoptik untuk “convergence insufficiensy”

Untuk deviasi < 20 PD terapi ortoptik memberikan hasil baik/sukses dibandingkan


dengan operasi. “Fusional convergence training” merupakan terapi terbaik pada pasien
dengan convergence insuffisiensi.

Pengobatan dengan ortoptik yang terdiri dari terapi anti supresi/ dan latihan fusi
konvergen dapat digunakan secara tersendiri dan dapat di kombinasi dengan “patching”,
lensa minus atau operasi.

 Prisma base out untuk “exerise” dan prisma base in untuk “relaxacing prisma”

Terapi dengan prisma base in dapat mengembangkan fusi tetapi terapi ini jarang dipakai
karena akan mengurangi amplitudo fusi konvergen.

 Chemodenervasi dengan botulinum toksin

2.4 EKSOTROPIA KONSTAN


2.2.2 Etiologi

 Dari eksotropia intermitten berkembang menjadi konstan, biasanya deviasinya besar.

 Eksotropia congenital

17
o Biasanya timbul sebelum usia 6 bulan, biasanya pada eksotropia ini sudut deviasi
besar.

o Sering berhubungan dengan kerusakan pada saraf atau kelainan kraniofasial.

o Sering disertai kelainan sistemik dan kelainan mata lainnya

o Fiksasi bifoveal dan stereopsis biasanya jelek.

 Eksotropia akibat kelainan sensoris

Penurunan tajam penglihatan pada satu mata dapat menyebabkan eksotropia sensoris
seperti: kekeruhan kornea, kekeruhan lensa, atropi atau hipoplasi n. optikus, lesi makula.

Eksotropia ini lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua atau dewasa.

 Konsekutif eksotropia, eksotropia yang terjadi setelah operasi esotropia.

2.4.2 Terapi

Terapi operasi

Kebanyakan pasien dengan eksotropia akhirnya memerlukan operasi. Operasi


dilakukan pada deviasi 15 PD atau lebih. Untuk memperoleh hasil sensoris yang baik
sebaiknya operasi dilakukan pada usia sebelum 5 – 7 tahun.

Pada eksotropia intermiten reses bilateral dari rektus lateral merupakan terapi yang
terbanyak.. Pada “basic intermitten exotropia” lebih sering dilakukan terapi reses rektus
lateral dikombinasi resek rektus medial ipsilateral.

18
EKSOTROPIA INTERMITEN/KONSTAN

EKSOTROPIA (AAO)

Deviasi Reses LROU Resek MROU

15 PD 4 mm 3 mm

20 ,, 5 mm 4 mm

25 ,, 6 mm 5 mm

30 ,, 7 mm 6 mm

40 ,, 8 mm 6 mm

Deviasi Resesss LR dan Resek MR

15 PD 4 mm 3 mm

20 ,, 5 mm 4 mm

25 ,, 6 mm 5 mm

30 ,, 7 mm 6 mm

40 ,, 8 mm 6 mm

50 ,, 9 mm 7 mm

60 ,, 10 mm 8 mm

70 ,, 10 mm 9 mm

80 ,, 10 mm 10 mm

Untuk deviasi besar:

Terapi operasi tradisional

- 45 - 80 PD  Reses LR 6 – 8 mm dan resek MR 6 mm pada satu mata dan Reses


LR 6 – 8 mm pada mata lainnya

- 85 PD/lebih  Reses LR 8 mm dan resek MR 6 mm pada kedua mata

19
Terapi operatif alternatif

- 45 – 85 PD Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada mata satu mata dan Reses
LR 8 mm pada mata lainnya.

- 85 PD/lebih  Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada kedua mata.

Pada kasus overkoreksi

Deviasi 10 – 15 PD yang menetap selama 3 – 4 minggu diterapi dengan:

 Prisma base out atau alternating patching untuk mencegah ambliopia dan diplopia.

 Miotik atau kaca mata bifocal pada pasien dengan high AC/A ratio.

 Toksin botulinum.

Kasus under koreksi

 Ringan sampai sedang diawasi saja kalau masih bisa diatasi oleh fusi, tetapi eksotropia
sering akan manifest kembali.

 Pemberian koreksi prisma base in yang progresif dan secara pelan power prisma
dikurangi.

 Terapi botulinum toksin

 Terapi operasi dilakukan dengan resek m. rektus medial dan reses rektus lateral serta
resek rektus medial pada mata sebelahnya.

“HANG - BACK RECESSION”

“Hang back” merupakan cara yang sederhana dan aman sebagai alternative dari reses
konvensional. Cara ini kurang lebih menghindarkan terjadinya perforasi sklera dan lebih
dianjurkan pada sklera tipis/mudah terjadi perforasi dan juga pada kasus-kasus yang sulit
melakukan insersi pada sklera bagian posterior. Sering juga dilakukan pada strabismus
dengan ablasio retina untuk menghindari jahitan pada “scleral buckle”. Benang yang dipakai
adalah yang “non absorbable”.

20
Hasilnya dilaporkan hampir sama dengan reses konvensional.

A. Hang back pada Rektus Lateral

B. Cara mengukur besarnya reses

C. Cara hang back dengan jahitan selebar otot

D. Reses rektus superior dengan cara hang back

Gambar 14.

ADJUSTABLE SUTURE

Cara ini dapat dilakukan pada semua otot rektus

Indikasi:

1. Pasien dengan strabismus restriktif dengan potensial bisa trerjadi perbaikan fusi

(pada pasien dengan “thyroid ophthalmopathy”)

2. Pasien strabismus yang hasilnya sulit diprediksi (termasuk pasien yang operasinya
tidak berhasil).

3. Strabismus paralitik.

4. Strabismus dengan deviasi besar.

5. Bila dari pengalaman operator cara ini merupakan cara yang lebih berhasil

21
Tehnik operasi

Gambar 15.

Dengan insisi limbal otot dicari dengan muscle hook kemudian otot dijahit dekat limbus,
kemudian otot dipotong dekat insersinya.

Gambar 16

Otot dijahitkan dengan menyilang pada insersinya dan dibuat ikatan/simpul penariknya
(cukup panjang yang dibunakan untuk menambah atau mengurangi reses)

Gambar 17

22
Dibuat ikatan tambahan sebagai pemegang/penjerat dengan benang lainnya pada
jahitan sclera setelah diukur panjang reses yang dibutuhkan, kemudian ikatan tersebut
dikencangkan agar otot jadi terfiksasi pada ukuran tersebut.

Setelah selesai dan pasien sadar dilakukan penyesuaian (menambah/mengurangi reses)


dengan menarik atau melomba simpul tambahan dengan cara menggeser simpula tambahan
tersebut kearah otot (mengurangi reses) atau menjauhi otot (menambah reses) dengan
menggeser simpul tambahan dengan pinset, kemudian baru simpul yang pertama
diptong/dibuka dan benang (yang dari otot) disimpulkan dengan kuat.

2.5 “CONVERGENCE INSUFFICIENCY”

“Confergence insufficiency” adalah kurangnya kemampuan kedua mata untuk


konvergensi waktu melihat dekat. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Von Graefe
1862, dan Stuterheim 1931 menamakannya “astenovergence”.

“Convergence insufficiency” merupakan salah satu penyebab yang paling banyak dari
“ocular discomfort” dan sekaligus merupakan penyebab terbanyak dari astenopia muskuler.

Pasien biasanya mengeluh dengan “eye strain” seperti rasa tegang atau tidak enak/nyeri
disekitar mata, mata berair, tidak tahan membaca lama,sakit kepala, kalau membaca lama
huruf terlihat kabur dan kemudian menyatu. Bisa juga timbul diplopia waktu melihat dekat.

Kelainan ini sering ditemukan pada pasien eksoforia, tapi bisa juga pada ortoforia dan
esoforia. Keluhan ini biasanya timbul pada usia muda/sekolah menengah, karena pada saat itu
pasien banyak menggunakan matanya untuk melihat dekat (belajar/membaca) dalam jangka
waktu agak lama.

Sebagian ahli mata menganggap ini sebagai suatu kelainan neurosis dan
mengirimkannya ke psikiater. Tapi ini sebetulnya pendapat yang kurang tepat karena terapi
yang adekuat akan memberikan hasil yang memuaskan. Kelainan ini ditandai dengan “near
point of convergency” (NPC) yang lebih besar dari normal ( ≥11cm). Disamping itu juga
dihubungkan dengan menurunnya amplitudo akomodasi dekat ( < 20 PD ).Tetapi NPC dan
amplitudo fusi tak selalu parallel (Atzmon).

2.2.2 Etiologi

Penyebab dari kelainan ini adalah:

1. "Disuse of accommodative convergence”

23
Pada hipermetrop tinggi dan yang pakai kaca mata presbiop tidak ada usaha untuk
akomodasi dan juga myop tinggi yang memang tidak membutuhkan akomodasi untuk
melihat dekat.
2. Insufisiensi akomodatif
Lebih kurang separoh dari akomodatif insufisiensi juga dengan konvergen insufisiensi
(Fransis et al 1979). Tidak jelas apakah akomodatif atau kelainan konvergen sebagai
disfungsi primernya.
3. Bekerja didepan komputer dalam jangka lama menyebabkan NPC dan NPA menjadi
jauh (Gus et al 1994)
4. Faktor anatomis, seperti pada jarak pupil yang lebar hingga konvergensi lebih sulit.
5. Hiperforia atau hipertropia juga dapat menimbulkan “convergen insufficiency”
6. Bersamaan dengan strabismus divergen.
7. Kelelahan umum karena penyakit, toksik, kelainan metabolik atau endokrin
8. Psikogenik instability
9. Parese atau kelemahan dari otot rektus medial.
10. Bisa juga timbul tanpa sebab yang jelas

2.5.2 Gambaran klinik:

Keluhan:
 Biasanya terasa tegang didaerah mata setelah membaca dalam waktu
yang tidak lama.
 Kadang – kadang terjadi diplopia waktu melihat dekat
 Gambaran yang khas ialah pasien menutup satu mata waktu membaca untuk
menghilangkan rasa letih
 Gejala lainnya adalah sakit kepala.
 Keluhan dapat terjadi pada semua usia tapi jarang menjadi masalah klinik sampai
mencapai usia belasan tahun karena meningkatnya waktu membaca.
Pemeriksaan:
 NPC yang jauh (>10 mm)
 Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20
prisma untuk break (normal 30/35)
 NPA normal sesuai usia pasien

24
Pemeriksaan NPC:

Pemeriksaan secara objektif

Rol dengan ujung lengkung ditempatkan pada hidung (nasal bridge), objek fiksasi
ditempatkan Pada rol lebih kurang 30 – 40 cm didepan pasien pada “mid plane”. Pasien
diinstruksikan agar melihat ke objek fiksasi, kemudian objek fiksasi digerakkan pelan-pelan
kearah mata pasien sampai hilang fiksasinya dan bergerak/deviasi keluar. Jarak objek pada
saat kejadian tersebut merupakan NPC yang diukur dengan rol yang ditempatkan pada
pinggir tulang orbita dekat kantus eksternus.

Pemeriksaan secara subjektif.

Filter merah dengan densitas moderat ditempatkan pada trial frame didepan salah satu mata
(lebih baik pada mata yang dominan). Penlight ditempatkan didepan mata pasien pada jarak
40 cm dimana pasien dapat memfusikan kedua bayangan (pasien akan melihat “pinkis light”).
Kemudian penlight didekatkan secara berangsur-angsur kemata pasien pada midline.

Gambar 18

Pasien ditanya kapan melihat sinar senter menjadi dua satu merah dan satu lagi putih
(timbulnya diplopia). Jarak tersebut dicatat, kemudian diukur jarak antara margo orbita lateral
dan permukaan hidung. Jumlah dari kedua jarak tersebut adalah merupakan “near point of
convergency”. Test ini akan mengganggu fusi , efek “voluntary convergen” sedikit dan
memberikan hasil bernilai diagnostik dan prosnogtik.

NPC : - 5 – 10 cm, normal

- < 5 cm  “eksesive” (sering pada anak)

- > 10 cm  insuffisiensi

25
Pada pasien dengan “convergence insufficiency” jarak ini 10 – 30 cm atau lebih. Dengan
melakukan kedua test ini dapat dilakukan observasi sbb:

1. Pada pasien dengan fungsi konvergen yang baik, NPC yang didapat dengan ke 2 test ini
“coinsidens” dan keduanya dalam batas normal.

2. Pasien dengan “convergen insufficiency” NPC subjektif > NPC objektif dan
perbedaan ini dapat agak besar/cukup besar.

3. Pada pasien dengan “convergen insufficiensi” yang NPC nya jauh tetapi NPC subjektif
“coinsidens” dengan NPC objektif, prognosa lebih baik.

4. Selama pengobatan NPC yang diukur secara objektif lebih cepat jadi normal dari pada
NPC objektif

5. Akhir dari keberhasilan terapi, NPC tidak hanya normal tetapi nilai yang diperoleh
dengan objektif dan subjektrif menjadi “coinsidens”.

Diagnosa ditegakkan dengan:

 NPC yang jauh (>10)

 Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20 prisma
untuk break (normal 30/35)

 NPA normal sesuai usia pasien

2.5.3 Pengobatan:

1. Ortoptik

Ini merupakan pengobatan yang utama pada ‘‘convergence insufficiency ’’.

Von Noorden mengemukakan bahwa pengobatan dengan cara ini paling berhasil dan
umumnya dapat menghilangkan keluhan pasien. Terapi ini kurang berhasil pada
convergence insufficiency dengan eksoforia besar atau yang disertai dengan insuffisiensi
akomodatif.

2. “Pencil push up”

3. Prisma

Prisma base in diberikan bila pengobatan dengan ortoptik tidak berhasil.

26
Prisma base out bisa dipakai untuk melatih atau meningkatkan tenaga fusi konvergen.

4. ”Wild field fusional stimulation “

Kertez A.E. menggunakan “wield fusional stimulation” untuk pengobatan strabismus


dengan deviasi kecil (<30Δ) dan confergence insufficiency yang tidak memberikan respon
dengan terapi ortoptik. 79% dari pasien berhasil dengan pengobatan cara ini. Amplitudo
fusi konvergen meningkat dari 18/10 sebelum latihan menjadi 50/35 sesudah latihan.
Setelah follow up selama 5 tahun amplitudo menjadi 40/35. keuntungan dengan cara ini
adalah jangka waktu pengobatan yang lebih cepat dan tidak membosankan pasien.

Operasi

Operasi dilakukan setelah semua terapi konservatif tidak berhasil. Caranya yaitu
dengan memperkuat kedua otot rektus medial. Umumnya keluhan astenopia hilang dalam
waktu kurang dari 3 minggu. Dengan bimedial resect memberikan koreksi sebagai berikut:

4,5 mm mengkoreksi 16Δ untuk jauh dan 40Δ untuk dekat

4 mm mengkoreksi 4,4Δ untuk jauh dan 15,8 Δ untuk dekat

3,5 mm mengkoreksi 2Δ untuk jauh dan 10Δ untuk dekat

Operasi dilakukan juga dengan “medial resection dengan adjustable suture (3)

2.6 Komplikasi Operasi Strabismus

Komplikasi waktu operasi

1. Perdarahan selama operasi

Terjadi akibat terpotongnya pembuluh darah konjunctiva waktu operasi, atau waktu
memotong otot diinsersinya.

2. “Lost of the muscle”, karena memotong kurang hati-hati atau karena jahitan yang lepas,
atau karena slip (tergelinir dari “muscle clamp”). Biasanya dengan memegang ujung
kapsula tenon, ujung otot bisa didapatkan dengan menariknya ke luar/kedepan. Tetapi
bila komplikasi ini tidak bisa segera ditemukan maka harus segera diekplorasi, karena
bila dilakukan lebih lama akan lebih sulit.

3. Perforasi ke choroids dan retina bisa terjadi karena kurang hati-hati waktu memasukkan
jarum.

27
4. Luka pada sklera waktu memotong otot di insersinya, bisa dijahit atau kouterisasi

5. Ablasio retina dan endophthalmitis

Komplikasi waktu anastesi

1. Kardiak ares (jarang), bisa timbul karena terjadi “oculo cardiac reflex” waktu menarik
otot, terutama rektus medial.

Komplikasi post operatif

1. Infeksi. (endoftalmitis, selulitis orbita, abses pada jahitan)

2. Reaksi dari jahitan, lebih sering dari infeksi

Biasanya terjadi reaksi alergi akut dalam 24 jam- 7 hari post operatif, “delayed reaction”
6 8 minggu, dengan keluhan gatal, rasa tak enak pada mata kemosis konjuntiva dan edem
palpebra.

3. Granuloma terjadi dalam 2 – 4 minggu setelah operasi (“non allergig foreign body
reactions”).

4. Iskemi segmen anterior karena memotong 3 – 4 otot di insersinya, yang mengakibatkan


suplai darah ke segmen anterior dari a. siliaris terputus

5. “Amputation neuroma”, yang terjadi pada tempat insersi yang lama setelah tenotomi.

6. Kista konjungtiva, terjadi bila bagian konjunctiva (dengan epitel) yang terpotong
terbenam dalam luka yang telah ditutup, ini perlu dilakukan eksisi

7. “Corneal dellen” akibat terputusnya “corneal tear film” dan dehidrasi lokal dari kornea
 diobati dengan menutup mata (bandage) 24-48 jam atau dicegah dengan menutup luka
dilimbus dengan baik dan memotong kinjunctiva yang berlebih untuk mencegah elevasi
yang berlebih di dekat limbus

8. Diplopia, terjadi karena bayangan tidak lagi jatuh pada daerah scotoma

28
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : RMK
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/ Umur :2 Mei 2013/ 5 tahun
Alamat : Kubu Dalam Parak Karakah, Padang
Pekerjaan : Belum Bekerja
Tanggal Pemeriksaan : 25 Januari 2019
Anamnesis
 Keluhan Utama:
Mata kanan terlihat bergulir yang menetap ke arah luar sejak 1 tahun yang lalu.
 Riwayat penyakit sekarang:
 Mata kanan terlihat bergulir yang menetap ke arah luar sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya
ibu pasien mengaku mata pasien terlihat bergulir sejak usia kira kira 1,5 tahun, saat
pasien sedang bermain. Keluhan tidak selalu terlihat dan lebih sering terlihat bergulir ke
arah luar. Ibu pasien mengaku keluhan yang dialami pasien terjadi pada mata kanan dan
kiri secara bergantian. Keluhan mata bergulir menetap pada pada mata kanan ke arah luar
pada usia kira-kira 4 tahun.
 Pada usia 4 tahun, pasien di bawa berobat ke Padang Eye Center, lalu dilakukan
pemeriksaan tajam penglihatan dan diberikan obat tetes, akan tetapi pasien tidak follow
up. Pada usia 5 tahun, pasien dibawa berobat lagi ke Padang eye center dan pasien
langsung di rujuk ke RSUP dr. M. Djamil. Di RSUP dr. M. djamil pasien dilakukan
terapi, dengan menutup mata pasien dengan plester selama 2 jam pada mata kiri dan
kanan secara bergantian. Terapi dilakukan selama 3 bulan dan tidak ada perbaikan dan
direncanakan operasi.
 Penglihatan kabur tidak ada
 Riwayat pemakaian kacamata tidak ada
 Mata merah dan nyeri tidak ada.
 Riwayat trauma pada mata pasien (-)
 Riwayat operasi mata sebelumnya (-)
 Mual dan muntah (-)
 Riwayat Penyakit Dahulu:

29
 Pasien pernah mengalami demam tinggi yang disertai kejang pada usia 1 tahun 3 bulan,
dan di rawat di RS Yos Sudarso selama 3 hari
 Pasien pernah ada tonjolan di sela paha kanan sejak usia 2 minggu dan di rawat pada usia
1 tahun.
 Pasien pernah mengalami tifus pada usia
 Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.
 Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi:
 Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara
 Riwayat kehamilan ibu tidak ada kelainan
 Riwayat persalinan: cukup bulan, melahirkan secara SC atas indikasi faktor risiko ibu
usia 39 tahun dan asma, BBL 3 kg, langsung menangis
 Riwayat tumbuh kembang: Sesuai usia
 Riwayat mengonsumsi ASI sampai usia 2 tahun 9 bulan

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum Sakit sedang Kesadaran Composmentis


Tekanan Darah 120/80mmHg Keadaan gizi Baik
Frekuensi Nadi 80x/menit BB 16 kg
Frekuensi Nafas 20x/menit TB 107 cm
Suhu Afebris Anemis Tidak ada
Sianosis Tidak ada Ikterik Tidak ada

 KGB : tidak ada pembesaran KGB


 Kepala : tidak ada kelainan
 Mata : Status Ophthalmikus
 THT : Dalam batas normal
 Paru : Dalam batas normal
 Jantung : Dalam batas normal
 Abdomen : Dalam batas normal
 Alat kelamin : Tidak diperiksa
 Ekstremitas : Udem (-/-)

30
Status Oftalmikus

Status Oftalmikus Okuli Dekstra Okuli Sinistra


Visus tanpa koreksi 20/20 20/20
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus + +
Silia/ supersilia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edem (-) Edem (-)
dan inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kongjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Sklera Putih, intak Putih, intak
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, Coklat,
Pupil Refleks langsung (+) Refleks langsung (+)
Refleks tidak langsung Refleks tidak langsung
(+) (+)
Lensa bening bening
Korpus Vitreum jernih jernih
Fundus:
 Media bening bening
 Papil optik Bulat, refleks fovea Bulat, refleks fovea
+/+ , ukuran + 3mm +/+ , ukuran + 3mm
 Retina Perdarahan (-) eksudat (-) Perdarahan (-) eksudat (-)

 P. darah a:v = 2:3 a:v = 2:3


Retina

31
 Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
Tekanan Bulbus Normal (P) Normal (P)
Okuli
Posisi Bulbus Okuli XT 300 / Ortho Ortho / XT 150
Gerak Bulbus Okuli Bebas Bebas

Foto mata pasien:

Hasil Laboratorium (21 Januari 2019)


Hb : 12,3 gr/dl PT : 11,1 detik
Leukosit : 6590 /mm3 APTT : 33,5 detik
Trombosit : 335.000 /mm3
Ht : 37%
Hitung jenis leukosit :0/5/0/47/40/8
Kesan : Eosinofilia

32
Diagnosis kerja:
Exotropia konstan fixating alternate

Penatalaksanaan
Rencana operasi koreksi strabismus (monocular recess resect OD)

Prognosis :

 Quo ad vitam Bonam


 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanam : Dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN
Rabu, 23 Januari 2019
S/ Pasien masuk via poli dengan ekstropia konstan fixating alternate. Rencana monocular RR
OD dalam anestesi umum tanggal 24 Januari 2019
O/
Keadaan Umum Sakit sedang
Kesadaran Composmentis Cooperatif
Tekanan Darah 120/80mmHg
Frekuensi Nadi 80x/menit
Frekuensi Nafas 20x/menit
Suhu Af

Status Oftalmikus

Status Oftalmikus Okuli Dekstra Okuli Sinistra


Visus tanpa koreksi 20/20 20/20
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus Tidak dinilai Tidak Dinilai
Silia/ supersilia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edem (-) Edem (-)
dan inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)

33
Margo Palpebra Udem (-), Hiperemis (- Udem (-), Hiperemis (-),
), Krusta (-), sekret (-) Krusta (-),sekret (-)
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kongjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Sklera Putih, intak Putih, intak
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
Pupil Refleks langsung (+) Refleks langsung (+)
Refleks tidak langsung Refleks tidak langsung
(+) (+)
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Tidak di nilai Tidak di nilai
Fundus:
 Media
 Papil optik Tidak di nilai Tidak di nilai
 Retina

 P. darah
Retina
 Makula
Tekanan Bulbus Normal (P) Normal (P)
Okuli
Posisi Bulbus Okuli XT 300 /Ortho Ortho / XT 150
Gerak Bulbus Okuli Bebas Bebas

 Assessment
Ekstropia konstan fixating alternate
 Terapi:

34
Monocular recess resect OD dalam GA
Kamis, 24 Januari 2019
S/ Kedua mata beegulir ke arah luar bergantian
Penglihatan kabur tidak ada
O/
Keadaan Umum Sakit sedang
Kesadaran Composmentis Cooperatif
Tekanan Darah 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi 92x/menit
Frekuensi Nafas 16x/menit
Suhu Af

Status Oftalmikus
Status Oftalmikus Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Visus tanpa koreksi 20/20 20/20
Visus dengan koreksi - -
Refleks fundus Tidak dinilai Tidak dinilai
Silia/ supersilia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Madarosis (-) Madarosis (-)
Palpebra superior Edem (-) Edem (-)
dan inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Margo Palpebra Udem (-), Hiperemis (- Udem (-), Hiperemis (-),
), Krusta (-), sekret (-) Krusta (-),sekret (-)
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kongjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Sklera Putih, intak Putih, intak
Kornea Bening Bening
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat

35
Pupil Refleks langsung (+) Refleks langsung (+)
Refleks tidak langsung Refleks tidak langsung
(+) (+)
Lensa bening bening
Korpus Vitreum Tidak dinilai Tidak dinilai
Fundus:
 Media
 Papil optik Tidak Dinilai Tidak Dinilai
 Retina

 P. darah
Retina
 Makula
Tekanan Bulbus Normal (P) Normal (P)
Okuli
Posisi Bulbus Okuli XT 300 / Ortho Ortho / XT 150
Gerak Bulbus Okuli Bebas Bebas

 Assessment
Ekstropia konstan fixating alternate
 Terapi:
Monocular recess resect OD dalam GA

Jumat, 25 Januari 2019


S/ nyeri pada mata sebelah kanan ada
Mual muntah tidak ada
Demam tidak ada
O/
Keadaan Umum Sakit sedang
Kesadaran Composmentis
Tekanan Darah 120/90mmHg
Frekuensi Nadi 80x/menit
Frekuensi Nafas 20x/menit
Suhu Af

36
Status Oftalmikus
Status Oftalmikus Okuli Dekstra Okuli Sinistra
Visus tanpa koreksi Tidak dinilai (Tertutup Sulit dinilai (pasien
perban) tidak kooperatif)
Visus dengan koreksi Tidak dinilai (Tertutup -
perban)
Refleks fundus Tidak dinilai (Tertutup Tidak Dinilai
perban)
Silia/ supersilia Tidak dinilai (Tertutup Trichiasis (-)
perban) Madarosis (-)
Palpebra superior Tidak dinilai (Tertutup Edem (-)
dan inferior perban) Hiperemis (-)
Margo Palpebra Tidak dinilai (Tertutup Udem (-), Hiperemis (-),
perban) Krusta (-),sekret (-)
Konjungtiva Tarsalis Tidak dinilai (Tertutup Hiperemis (-)
perban) Papil (-)
Folikel (-)
Konjungtiva Forniks Tidak dinilai (Tertutup Hiperemis (-)
perban)
Kongjungtiva Bulbi Tidak dinilai (Tertutup Injeksi konjungtiva (-)
perban) Injeksi siliar (-)
Sklera Tidak dinilai (Tertutup Putih, intak
perban)
Kornea Tidak dinilai (Tertutup Bening
perban)
COA Tidak dinilai (Tertutup Cukup dalam
perban)
Iris Tidak dinilai (Tertutup Coklat
perban)
Pupil Tidak dinilai (Tertutup Refleks langsung (+)
perban) Refleks tidak langsung
(+)
Lensa Tidak dinilai (Tertutup Bening

37
perban)
Korpus Vitreum Tidak dinilai (Tertutup Tidak dinilai
perban)
Fundus:
 Media
 Papil optik Tidak dinilai (Tertutup Tidak dinilai
 Retina perban)

 P. darah
Retina
 Makula
Tekanan Bulbus Tidak dinilai (Tertutup Normal (P)
Okuli perban)
Posisi Bulbus Okuli Tidak dinilai (Tertutup Ortho
perban)
Gerak Bulbus Okuli Tidak dinilai (Tertutup Bebas
perban)

 Assessment
Monocular recess resect OD
 Terapi:
Lefofloxacin fls 6 x 1(ed) OD
Ibuprofen tab 2 x 150 mg (po)
Cefixime tab po 2 x 100 mg (po)

38
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien anak perempuan umur 5 tahun datang ke poliknik mata RSUP dr. M
djamil Padang dengan keluhan mata bergulir yang menetap ke arah luar sejak 1 tahun yang
lalu. Kondisi pada pasien ini disebut dengan strabismus, dimana hal ini merupakan suatu
keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak ke satu arah. Satu mata bisa terfokus pada
satu objek sedangkan mata yang lain dapat bergulir ke dalam, ke luar, ke atas, atau ke bawah.
Mata yang bergulir ke arah luar disebut dengan eksotropia atau strabismus divergen.
Ekstropia dapat diklasifikasikan menjadi ekstropia kongenital dan didapat. Pada eksotropia
infantil atau kongenital biasanya muncul dalam rentang 6 bulan pertama kehidupan. Apabila
muncul setelah anak berusia lebih dari 6 bulan disebut sebagai eksotropia didapat. Pasien ini
tergolong pada ekstropia didapat karena berdasarkan hasil anamnesis mata terlihat bergulir
sejak kira kira usia 1,5 tahun, Penyebab pasti eksotropia belum diketahui, namun dicurigai
akibat terganggunya kemampuan untuk mempertahankan fusi dan kesejajaran. Riwayat
keluarga serta penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelainan kromosom dan
neurologis sering menjadi penyerta timbulnya eksotropia. Pada pasien diketahui memiliki
riwayat demam tinggi disertai dengan kejang, hal ini merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya strabismus.
Mata juling biasanya terlihat saat pasien sedang bermain. Keluhan tidak selalu
terlihat dan lebih sering terlihat bergulir ke arah luar. Keluhan yang dialami pasien terjadi
pada mata kanan dan kiri secara bergantian. Keluhan mata bergulir menetap pada pada mata
kanan ke arah luar pada usia kira-kira 4 tahun.. hal ini menunjukkan trabismus divergen
berawal dari suatu eksoforia yang berkembang menjadi eksotropia intermiten dan akhirnya
menjadi eksotropia yang menetap apabila tidak dilakukan terapi. Mata kanan dan kiri terlihat
bergulir secara bergantian disebut dengan alternan. Eksotropia alternan merupakan bentuk
eksotropia laten dimana bola mata dapat melakukan fiksasi secara bergantian. Hal ini dapat
terjadi bila kedua mata masih memiliki tajam penglihatan yang memungkinkan melakukan
fiksasi. Sehingga, diagnosis pada pasien ini adalah exotropia konstan fixating alternate.
Pada beberapa orang, strabismus membuat kehilangan fungsi penglihatan. Pada anak
dengan strabismus biasanya disertai dengan ambliopia (mata malas) yang berkembang dan
gangguan streopsis, dan hal ini harus di tatalaksana dengan tetap, karena berisiko untuk
kehilangan penglihatan yang menetap. Untuk itu dilakukan terapi oklusi atau patching dengan
menutup mata pasien Terapi oklusi dapat diberikan mulai dari full-time, yaitu saat penderita
39
bangun hingga tidur kembali, atau secara parsial yaitu 1 hingga beberapa jam sehari. Terapi
ini jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan biasanya diberikan untuk menunda terapi
bedah.
Terapi eksotropia dapat berupa koreksi terhadap gangguan refraksi yang ada, pem-
berian kacamata prisma, latihan orthoptik, dan pembedahan.Pada pasien direncanakan untuk
dilakukan operasi karena kebanyakan pasien dengan eksotropia memerlukan operasi pada
usia sebelum 5-7 tahun agar memperoleh hasil sensoris yang baik. Selain itu, operasi
dilakukan pada deviasi 15 PD atau lebih. .

Pasien tidak mengeluhkan adanya penglihatan kabur, mata merah berair dan nyeri,
ataupun gangguan penglihatan lainnya, pusing mual, muntah juga tidak dirasakan. Eksotropia
tidak memberikan keluhan yang khas namun beberapa pasien dapat mengeluhkan
penglihatannya berkurang secara progresif. Gejala seperti penglihatan kabur, asthenopia,
nyeri kepala, fotofobia, dan diplopia jarang dikeluhkan kecuali jika terdapat convergence
insufficiency. Jarangnya keluhan gejala ini menandakan mekanisme supresi yang berkembang
dengan baik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal
dengan tekanan darah tinggi sebesar 120/80 mmHg dan denyut nadi teratur sebesar 80x/menit,
dengan frekuensi nafas 20x/menit. Status oftalmikus didapatkan visus mata kanan dan kiri
sebesar 20/20 yang artinya orang normal dapat melihat benda dengan jelas pada jarak 20 m
begitu juga dengan pasien. Hasil pemeriksaan segmen anterior mata didapatkan silia,
palpebra, dan konjungtiva palpebra tidak ada tanda radang, konjungtiva dalam batas normal.
Bilik mata depan (COA) cukup dalam dan jernih dan iris coklat bentuk kripte, lensa jernih.
Pada pemeriksaan pupil refleks langsung dan tidak langsung ada. Pada pemeriksaan
funduskopi pasien ini tidak ditemukan adanya kelainan, hal ini mengindikasikan tidak ada
kelainan pada bagian posterior mata.

Gerak bola mata pada pasien bebas pada kedua bola mata mengindikasikan tidak ada
kelainan neuromuskuler pada mata. Pada posisi bulbus okuli dilakukan pemeriksaaan
hirschberg (reflek cahaya kornea) yang mana pada mata kanan didapatkan XT 300 yaitu
pantulan sinar tampak di pertengahan antara pupil dan limbus pada mata yang deviasi,
sedangkan ortho pantulan sinar tampak di tengah pupil pada mata fiksasi. Pada mata kiri
didapatkan deviasi XT 150 yaitu pantulan sinar tampak di pinggir pupil pada mata yang

40
deviasi. Pemeriksaan refleks cahaya kornea berguna untuk medeteksi adanya strabismus dan
menentukan derajat deviasi

Keberhasilan terapi pada eksotropia dipengaruhi oleh usia dimulainya terapi, terutama
bila penanganan dimulai pada dekade awal pertama kehidupan. usia dimana sistem peng-lihatan
masih imatur dan masih berkem-bang, yaitu pada dekade pertama kehidupan. Umumnya,
semakin muda usia dimulai terapi, semakin tinggi keberhasilan terapi.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Haeny N. Analisis faktor risiko keluhan subjektif kelelahan mata pada radar controller
di PT Angkasa Pura II (Persero) cabang utama bandara soekarno-hatta. Tangerang:
FKM UI;2009.

2. West CE, Asbury T. Strabismus. In: Eva PR, Whitcher JP. Vaughan dan Asbury
oftamologi umum jilid 17.Jakarta:EGC;2007.p.230–50.

3. Anonim, Yudono H. Gambaran kejadian strabismus dengan kelainan refraksi.


Yogyakarta. FK UII;2009.

4. American Association for Pediatric Ophthamology and Strabismus. Exotropia (serial


online).2015. Available from: https://www.aapos.org/terms/conditions/49. Accessed
January 27th 2019.

5. Eva PR. Anatomi dan embriologi mata. In: Eva PR, Whitcher JP. Vaughan dan Asbury
oftamologi umum jilid 17.Jakarta:EGC;2007.p.1-27.

6. American Ophthometric Association. Opthometric clinical practice guideline care of


the patient with strabismus : esotropia and exotropia.St. Louis. AOA Board of
trustees;2015.

7. Wright KW, Strube YNJ. Pediatric Ophthalmology and Strabismus third edition.
Oxford University Press;2012.

8. Govindan M, Mohney BG, Diehl NN, Burke JP. Incidence and types of childhood
exotropia a population-based study. Ophthalmology. 2005 Jan;112(1):104-8.

9. Jaafar M. Pediatric Esotropia and Exotropia. Children National Health System (serial
online). Available from: https://childrensnational.org/choose-childrens/conditions-and-
treatments/eye-conditions/esotropia-and-exotropia. Accessed January 27th 2019.

10. Chew E, Remaley NA, Tamboli A, Zhao J, Podgor MJ, Klebanoff M. Risk factors for
esotropia and exotropia. Arch Ophthalmol. 1994 Oct;112(10):1349-55.

11. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. American Academic of Ophthalmology. San


Fransisco. 2005-2006.

42

Anda mungkin juga menyukai