PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA
Oleh :
Birgitta Stella Dewi 115070100111016
Nydia Ayu Ulima 115070107111014
Dea Syafira Mahlevi 125070107111009
Pembimbing :
dr. Aulia Abdul Hamid, MbiomedSc, Sp.M
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
jaringan.Hematoma biasanya muncul dalam otot-otot skelet dan dapat
membentuk massa di bawah kulit. Hematoma biasanya dapat menghilang,
namun ada juga yang tidak maupun semakin membesar. Hematoma palpebral
biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah orbital, etiologi hematoma
palpebral non trauma sampai sekarang belum diketahui dan belum banyak
penelitian yang mengarah kearah sana. (Ilyas S, 2006)
Berdasarkan latar belakang ini maka akan dijabarkan lebih lanjut
mengenai perdarahan subkonjungtiva dan hematom palpebra sehingga apabila
terdapat kasus perdarahan subkonjungtiva dan hematom palpebra di prehospital
dapat melakukan penanganan awal terlebih dahulu sehingga dapat mencegah
komplikasi trauma mata yang lebih parah. (Ilyas S, 2006)
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Definisi dari Perdarahan Subkonjungtiva
1.3.2 Untuk mengetahui penyebab dari perdarahan Subkonjungtiva?
1.3.3 Untuk mengetahui Klasifikasi dari Perdarahan Subkonjungtiva?
1.3.4 Untuk mengetahui Manifestasi Klinis dari perdarahan Subkonjungtiva?
1.3.5 Untuk mengetahui cara mendiagnosis perdarahan Sub konjungtiva?
1.3.6 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Perdarahan Subkonjungtiva?
1.3.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan perdarahan Sub konjungtiva?
1.3.8 Untuk mengetahui komplikasi dari Perdarahan Subkonjungtiva?
1.3.9 Untuk mengetahui prognosis dari Perdarahan Subkonjungtiva
3
1.4 Manfaat
Mengerti mengenai perdarahan sub konjungtiva dan hematom palpebra
sehingga dapat dengan segera memberikan penatalaksanaan tepat untuk
mencegah terjadinya komplikasi sehingga tidak terjadi penurunan fungsi mata
yang lebih parah.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
dengan kornea disebelah anterior dan duramater nervus opticus di posterior.
Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan
elastik halus, episklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang
mengaliri sklera . (Kanski, 2003)
Kornea menempati pertengahan dari rongga bola mata anterior yang
terletak diantara sklera. Kornea sendiri merupakan lapisan avaskuler dan
menjadi salah satu media refraksi (bersama dengan humor aquous membentuk
lensa positif sebesar 43 dioptri). Kornea memiliki permukaan posterior lebih
cembung daripada anterior sehingga rata mempunyai ketebalan sekitar 11.5 mm
(untuk orang dewasa). Fungsi dari kornea adalah merefraksiakan cahaya dan
bersama dengan lensa memfokuskan cahaya ke retina serta melindungi struktur
mata internal. (Kanski, 2003)
Kornea memiliki lima lapisan yang berbeda dari anterior ke posterior,
yaitu : epitel., membrana Browman, stroma, membrana Descman dan endotel.
Kornea mendapat suplai makan dari humor aquous , pembuluh-pembuluh darah
sekitar limbus dan air mata. Perbedaan antara kapasitas regenarasi epitel dan
endotel sangat penting. Kerusakan lapisan epitel, misalnya karena abrasi,
dengan cepat diperbaiki. Endotel, yang rusak karena penyakit atau pembedahan
misalnya, tidak dapat bergeneras. Hilangnnya fungsi sawar dan pompa pada
endotel menyebakan hidrasi berlebihan, distorsi bentuk reguler serat kolagen
dan keruhnya kornea. (Kanski, 2003)
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan
hampir transparan. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9mm. Lensa terletak
dibelakang pupil yang dipegang didaerah ekuator pada badan siliar melalui
zonula zinni. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah, atau saraf dilensa. Lensa
mata mempunyai perana pada akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar
dapat difokuskan didaerah makula lutea (Kansky, 2003; Vaugn, 2009).
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan uvea dan sklera
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah jika terjadi perdarahan
pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea ini terdiri
atas iris, badan siliar dan koroi. Pada iris didapatkan pupil yang oleh tiga susunan
otot dapat mengatur jumlah sinar masuk kedalam bola mata. Badan siliar yang
terletak dibelakang iris menghasilkan cairan bilik mata (aquos humor) yang
dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris dibatasi kornea
dan sklera. (Kanski, 2003)
6
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan.
Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen
retina, sehingga juga bertumpuk dengan membrana Bruch, koroid dan sklera,
disebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah
sehingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio
retina. (Kanski, 2003)
Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membrane
neurosensoris yang merubah sinar menjadi rangsangan kesaraf optik dan
diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid
sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina.
(Kanski,2003)
7
Gambar 2.2. Anatomi konjungtiva mata
2.2.1 Definisi
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya
pembuluh darah konjungtiva (ilyas, 20008). Darah terdapat di antara konjungtiva
dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya
mengkhawatirkan bagi pasien (Vaughan, 2000).
8
3. ruptured blood vessels
4. blood in the eye
5. bleeding under the conjunctiva
6. bloodshot eye
7. pink eye
2.2.3 Epidemiologi
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua
kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan
pertambahan umur (Graham, 2009). Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata
usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun
(Kaimbo, 2008). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral
(90%).
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan
yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi
memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan
subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin,
malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk
pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa
kehamilan dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (Stolp, 2013)
9
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu
kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi
(American Academy, 2009).
2.2.5 Patofisiologi
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih
dari bola mata (sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva
merupakan lapisan pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung
serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-
pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata
mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh
dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan
subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna
merah terang di sklera.
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar
secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus,
yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh
darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas.
Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan
kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi
trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi
murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit (graham, 2009).
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan
yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup
berat sehingga menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di
atas tepi kelopak mata.
Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma,
ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau
episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi
dua, yaitu :
a. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara
tiba – tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya
fungsi endotel sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.
10
Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh
adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik,
anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan (Ilyas, 2008).
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral.
Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh
kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah
(gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu (Vaughan,
2000).
b. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami
trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala
daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi
perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
2.2.6 Etiologi
a. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas
Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu
dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan
baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan
faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel
Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko perdarahan
subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami
kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu
mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
episode perdarahan subkonjungtiva (Incovaia, 2013).
b. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)
c. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan
retrobulbar atau ruptur bola mata)
d. Hipertensi (Pitts, 2013).
e. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda
tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati
atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C.
11
f. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A
dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya
perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin (Leiker, 2013).
g. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi
pada konjungtiva.
h. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan
subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet,
demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox,
measles, yellow fever, sandfly fever).
i. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat
emboli dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi
jantung, operasi bedah jantung.
j. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan
subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah
konjungtivakhalasis dan pinguecula (Mimura, 2013).
k. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang
memainkan peranan penting pada patomekanisme terjadinya
perdarahan subkonjungtiva.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma,
trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan
subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah
diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan,
hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata
proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena
sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia.
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan. Selanjutnya, periksa reaktivitas
pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan
dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi
penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva
berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu
12
prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah
trombosit, serta protein C dan S (Chern, 2002).
Pasien dengan pendarahan berulang, tes laboratorium seperti
Prothrombin Time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) dan hitung
darah lengkap harus diperiksa untuk menyingkirkan penyakit sistemik. Tes
laboratorium ini juga penting untuk pasien yang menggunakan obat antikoagulan
seperti heparin dan warfarin, penyakit von Willebrand's, hemofili, dan defisiensi
vitamin K. Tes laboratorium PT adalah untuk protrombin, yang merupakan
protein yang diproduksi oleh hati dan yang produksinya tergantung pada vitamin
K. PT mengevaluasi mekanisme pembekuan ekstrinsik, termasuk faktor I, II, V,
VII dan X (Graham, 2009).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan
subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva
traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di
rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah
pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya
(selain pada konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya
kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus
merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat
perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya (Graham,
2009).
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek
pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata
jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki
riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa
waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah
lengkap dengan jumlah trombosit (Chern, 2002).
2.2.9 Penatalaksanaan
13
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa
diobati (Ilyas, 2008).
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea,
dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan.
Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian
terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah
perdarahan yang semakin meluas beberapa dokter memberikan vasacon
(vasokonstriktor) dan multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan
mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang (Rifki,
2010).
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika
ditemukan kondisi berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau
kesulitan untuk melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata.
2.2.10 Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam
waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun
adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata
jika ditemui berbagai hal seperti yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008)
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang
(kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks
D dan Mick A mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau
mengalami kekambuhan didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan
subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa
okuler (Graham, 2009).
2.2.11 Prognosis
14
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik.
Karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan
tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan
pandangan maka dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi (Ilyas, 2008).
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I.1. Identitas
• Nama : An. A A L
• Umur : 4 tahun 10 bulan
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Agama : Islam
• Suku : Jawa
• Pekerjaan : Belum bekerja
• Alamat : Sidomulyo, Malang
I.2. Anamnesis
16
Pasien dikeluhkan batuk lama sejak 1 minggu yang lalu. Batuk ‘ngikil’,
seperti orang tua, jika sudah batuk lama berhentinya hingga pasien seringseperti
mau muntah karena batuknya. Batuk Berdahak (-), batuk berdarah (-), selain
batuk pasien dikeluhkan sumer-sumer dan pilek sejak 1 minggu yang lalu. Orang
tua pasien kemudian membawa pasien k e dokter umum untuk mengobati
batuknya 4 hari yang lalu. oleh dokter, pasien diberikan obat puyer dan sirup,
tetapi orang tua pasien tidak tahu namanya, diminum 3x sehari sebanyak 1
sendok sirup dan 1 bungkus puyer, tetapi keluhan batuk tidak berkurang.
Pasien lahir spontan ditolong bidan dengan berat badan lahir 3500
gram, langsung menangis. Biru (-), kuning (-), sesak (-).
17
I.3. Pemeriksaan Fisik
18
I.4. Status Generalis
GCS 456
Tanda –Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/80 mmHg.
Nadi : 105x/menit
RR : 36x/menit
Temperatur Axilla : 37,5 C
Gambar 3.1 Pada Pemeriksaan Fisik didapatkan kedua mata merah dan
terdapat hematom pelpebra inferior
19
Gambar 3.2 Pada kedua mata terlihat perdarahan subkonjungtiva dan
hematom palpebra inferior dengan luas perdarahan antara mata kanan
dan mata kiri sama
Assesment
OD SCH Hematom Palpebra
20
I.7. Catatan Perkembangan Medis
Gambar 3.4 perdarahan masih terlihat dan bertambah luas pada kontrol
pertama dipoli anak 1 hari setelah pengobatan
21
Segmen Anterior
OD OS
FR (+) Funduscopy FR (+)
22
Assesment : ODS SCH + Hematoma palpebra
Terapi : Vasacon ED 4X1 ODS
Cendo Lyteers ED 6X1 ODS
Konsul TS IKA untuk keluhan batuk pilek
Cek Lab (DL, LED, FH)
23
BAB IV
PEMBAHASAN
24
disangkal, riwayat hipertensi disangkal, pemakaian obat-obatan pengencer darah
disangkal, tetapi pasien dikeluhkan batuk sejak 1 minggu yang lalu. Batuk pasien
jika kambuh lama berhentinya, batuk hebat, terkadang hingga menyebabkan
pasien muntah. Pasien tidak ada riwayat operasi mata sebelumnya.
25
bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan
dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga
dapat membantu pada pasien yang simtomatis selain itu untuk iritasi ringan.
Dapat juga diberikan vasokonstriktor.
Prinsip pengobatan dari perdarahan subkonjungtva adalah dicari
penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan
penyebabnya.Pada pasien ini untuk mencari penyebabnya dlakukan
pemeriksaan darah lengkap, Laju endap darah dan Faal Homeostasis, serta
pasien dikonsulkan ke TS IKA mengenai keluhan batuk yang diderita pasien
sejak 1 minggu yang lalu untuk mengetahui apakah kemungkinan penyebab dari
perdarahan adalah batuk dan untuk mengobati keluhan batuk pasien. Untuk
medikamentosa yang diberikan adalah Vasacon ED 6X1 ODS yaitu berupa
dekongestan yang berfungsi mengurangi kepekaan terhadap cahaya sehingga
akan mengurangi nyeri, agar dapat mempercepat penyembuhan. Cendo Lyteers
ED6X1 ODS yaitu air mata buatan, dan diberikan KIE untuk tidak mengucek
mata, dan menyentuh lokasi perdarahan.
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini tergantung dari
penyebab, kondisi pasien, ada/tidaknya komplikasi, serta pengobatannya. (PPK,
2014) . Pada pasien ini prognosis yang ada dubia ad bonam karena masih
tergantung dari penyebab dari perdarahan yang masih dilcari penyebabnya,
serta kepatuhan pasien untuk menghindari komplikasi seperti mengucek-ucek
mata agar tidak terjadi iritasi pada mata.
26
BAB V
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta
Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and
complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin.
Kansan. USA. Diakses pada tanggal 28 November 2016, dari http//pubmed.com/
Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking
warfarin/3i2r43
28
Parmeggiani F et all. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in
patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Itali.
Diakses pada tanggal 28 November 2016, dari http//pubmed.com/Prevalence of
factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous
subconjunctival hemorrhage/42u3-upr2
29