Anda di halaman 1dari 46

RESPONSI

KATARAK DAN UVEITIS ANTERIOR

Pembimbing:
dr. Fitrika Wahyu L, Sp.M

Disusun Oleh:
Nurmalia Marina Adji Ningsih
201910401011096

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

RESPONSI
KATARAK DAN UVEITIS ANTERIOR

Makalah dengan judul “Katarak dan Uveitis Anterior” telah diperiksa dan

disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan

Dokter Muda di bagian Ilmu Kesehatan Mata.

Surabaya, Maret 2021

Pembimbing

dr. Fitrika Wahyu L, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas responsi dengan

judul “Katarak dan Uveitis Anterior”. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu

tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di Bagian Ilmu

Kesehatan Mata RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan terima kepada dr. Fitrika Wahyu L, Sp.M selaku

dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas responsi ini, terima kasih atas

bimbingan dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga responsi ini dapat memberikan

manfaat pada pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih

jauh dari kesempurnaan. Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan

saran yang dapat membangun demi kesempurnaan laporan ini.

Surabaya, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB 1 STATUS PASIEN.......................................................................................1
1.1 Identitas Pasien..........................................................................................1
1.2 Anamnesis.................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan...............................................................................................2
1.4 Daftar Masalah..........................................................................................3
1.5 Diagnosis...................................................................................................3
1.6 Planning.....................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa....................................................................5
2.2 Katarak......................................................................................................7
2.3 Uveitis Anterior.......................................................................................25
BAB 3 PEMBAHASAN........................................................................................38
LAMPIRAN RESEP OBAT..................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................41

iv
BAB 1

STATUS PASIEN

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. SS

Jenis Kelamin : Wanita

Usia : 56 tahun

Alamat : Surabaya, Jawa Timur

Agama : Islam

Tgl Pemeriksaan : 3 Maret 2021

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama: mata kanan silau, mata kiri kabur

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Poli Mata RSU Haji Surabaya dengan keluhan mata kanan

silau setelah operasi katarak 1 minggu yang lalu. Mata kanan juga terasa

sedikit mengganjal dan kemerahan, namun saat ini kemerahan sudah

berkurang. Keluhan nyeri pada mata kanan disangkal. Pasien mengaku

penglihatan mata kanan membaik setelah dilakukan operasi, saat ini pasien

sudah bisa melihat dan membaca perlahan-lahan. Mata kiri terasa kabur,

masih bisa melihat gambaran tetapi sedikit-sedikit. Tidak ada keluhan pusing

dan nyeri.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Diabetes Mellitus (+)

Riwayat Penyakit Keluarga:

- Keluhan seperti ini tidak ada

1
1.3 Pemeriksaan

a. Tajam penglihatan

- VOD: 0,2 PH 0,4 f

- VOS: 0,15 PH tetap

b. Segmen Anterior

OD OS

Hiperemi (+), ptosis, Palpebra Hiperemi (-), pertumbuhan

pertumbuhan silia normal silia normal


Injeksi perikornea (+), Konjungtiva Hiperemi (-), massa (-),

massa (-), sekret (-) sekret (-)


Jernih, jahitan pada Kornea Jernih

limbus (+) 4
Jernih, dalam Bilik Mata Depan Jernih, dalam
Reguler, berwarna coklat Iris Reguler, berwarna coklat
Bulat 3 mm, reflek cahaya Pupil Bulat 3 mm, reflek cahaya

(+) (+)
Lensa intra okular (+) Lensa Keruh, warna keabu-

abuan, iris shadow (+)

c. Segmen Posterior

Tidak dievaluasi

1.4 Daftar Masalah

- Mata kanan silau, kemerahan

- Mata kanan pasca operasi katarak (fakoemulsifikasi) dan pemasangan IOL

- Mata kiri kabur

2
- VOD 0,2 PH 0,4 f ; VOS 0,15 PH tetap

- Segmen anterior OD: palpebra hiperemi, ptosis, injeksi perikornea (+), 4

jahitan limbus (+), IOL (+)

- Segmen anterior OS: iris shadow (+), lensa keruh

1.5 Diagnosis

OD Pseudofakia
OD Uveitis anterior
OS Katarak senilis stadium imatur
1.6 Planning

a. Diagnosis:
- Segmen posterior dengan midriatikum
- TIO
b. Terapi
- Cendo xytrol eye drops 6 x 1 tetes OD

c. Monitoring

- Keluhan pasien : mata kanan silau dan kemerahan, mata kiri kabur.

- Visus okuli dekstra dan okuli sinistra

- Segmen anterior: OD hiperemi palpebra, hiperemi konjungtiva,

gambaran sel radang pada kornea atau BMD (flare and cell, keratic

precipitate, eksudat fibrin), jahitan post-ekstraksi katarak, posisi dan

kekeruhan IOL; OS BMD (evaluasi resiko glaukoma sekunder),

kekeruhan lensa, iris shadow.

- TIO okuli dekstra dan okuli sinistra

d. Edukasi

- Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan silau dan mata merah pada

mata kanan pasien disebabkan oleh peradangan bagian uvea (uveitis)

3
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien diberikan obat tetes mata

diberikan 6x sehari sebanyak 1 tetes pada mata kanan untuk mencegah

infeksi dan peradangan yang terjadi

- Menjelaskan kepada pasien bahwa keluhan mata kiri kabur

disebabkan oleh kekeruhan pada lensa (katarak)

- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit Diabetes Mellitus yang

dimiliki bisa berdampak pada mata dan organ lain, sehingga perlu

mengatur kadar gula darah dan kontrol rutin

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa

Lensa adalah suatu struktur yang pada kondisi normalnya berfungsi

memfokuskan gambar pada retina. Lensa adalah bagian dari bola mata yang

berbentuk bikonveks, avaskular, transparan, terletak di bekalang iris dan di depan

vitreus. Lensa dipertahankan posisinya oleh zonula zinii, yang terdiri dari serat-

serat halus kuat yang melekat pada korpus siliaris. Serat-serat ini menyisip pada

bagian ekuator kapsul lensa (Eva, 2010; Astari, 2018).

Lensa memiliki fungsi mempertahankan kejernihan, membiaskan cahaya dan

berakomodasi. Lensa mata tersusun dari surface ectoderm yang mempunyai

susunan sel teratur sehingga bersifat jernih transparan. Lensa mata mampu

membiaskan cahaya karena memiliki indeks bias sekitar 1,4 di tengah dan 1,36 di

tepi, berbeda dengan indeks bias akuos humor dan korpus vitreus. Mata memiliki

kekuatan refraksi keseluruhan sebesar 60 dioptri (D), dalam kondisi tanpa

akomodasi lensa berkontribusi 15-20 D sedangkan udara dan kornea memiliki

kekuatan refraksi 43 D. Kemampuan akomodasi akan berubah bentuk dikarenakan

adanya otot siliaris, yang akan menurun dengan bertambahnya usia, yaitu 8D pada

usia 40 tahun dan 1-2 D pada usia 60 tahun. Daya akomodasi lensa akan

berkurang secara perlahan-lahan seiring penurunan elastisitasnya (Budiono, 2013;

Eva, 2010).

Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks dan nukleus. Lensa terus berkembang

sepanjang hidup. Kapsul lensa adalah suatu membran basalis yang mengelilingi

substansi lensa. Kapsul lensa berupa membrane basal yang transparan dan elastis

5
terdiri dari kolagen tipe IV, dibentuk oleh sel-sel epitel. Epitel lensa terletak

dibelakang kapsul lensa anterior berupa satu lapisan sel. Sel-sel epitel dekat

ekuator lensa membelah sepanjang hidup dan terus berdiferensiasi menjadi serat-

serat lensa baru sehingga serat-serat lensa yang lebih tua dimampatkan ke nukelus

sentral. Serat-serat muda yang kurang padat di sekeliling nukleus menyusun

korteks lensa. Tidak ada perbedaan morfologi antara korteks lensa dan nukleus

kecuali pada kondisi terdapat kelainan pada lensa mata dimana perbedaan antara

nukleus, epinukleus dan korteks dapat terlihat (Budiono, 2013).

Gambar 2.1. Struktur lensa (Khurana, 2015)

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina, untuk

memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot–otot siliaris relaksasi

menegangkan serat zonula zinii dan memperkecil diameter anteroposterior lensa

sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas

cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda

dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula zinii berkurang. Kapsul

lensa yang elastis kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh

peningkatan daya biasnya (Diah, 2011).

6
Akomodasi merupakan mekanisme perubahan fokus penglihatan mata dan

penglihatan jarak jauh menjadi penglihatan jarak dekat dikarenakan adanya

perubahan bentuk lensa oleh otot siliaris pada serat zonular. Setelah kira-kira usia

40 tahun, nukleus lensa menjadi kaku sehingga mengurangi akomodasi (Budiono,

2013).

Otot siliaris melingkar berupa cincin, pada saat kontraksi memiliki efek

sebaliknya dari yang diharapkan seperti fungsi sebuah sfingter. Ketika terjadi

kontraksi, ketebalan aksial lensa meningkat, penurunan diameter dan

meningkatkan kekuatan dioptrik lensa, menghasilkan suatu akomodasi. Respon

akomodasi dapat dirangsang oleh ukuran dan jarak dari obyek yang dilihat atau

dengan sesuatu yang kabur, aberasi kromatik, atau osilasi terus menerus dari tonus

otot siliaris. Akomodasi di mediasi oleh serat-serat parasimpatis dari saraf kranial

III. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris, zonula, dan lensa untuk

memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai akomodasi. Seiring dengan

pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa perlahan–lahan berkurang (Budiono,

2013).

2.2 Katarak

a. Definisi

Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies yang berarti air terjun.

Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air

terjun akibat lensa yang keruh. Proses degenerasi usia adalah faktor paling

sering terjadi pada penyakit katarak namun ada juga faktor lain yang dapat

terlibat seperti trauma, penyakit sistemik seperti diabetes, dan merokok.

Katarak kini masih menjadi penyakit paling dominan pada mata dan

7
merupakan penyebab utama dari kebutaan di seluruh dunia (Ilyas, 2010; Eva,

2010).

b. Epidemiologi

Penyebab kebutaan terbanyak di dunia adalah katarak (34,47%), diikuti

oleh gangguan refraksi yang tidak terkoreksi (20,26%), dan glaukoma

(8,30%). Lebih dari 75% gangguan penglihatan merupakan gangguan

penglihatan yang dapat dicegah. Katarak atau kekeruhan lensa mata

merupakan penyebab utama kebutaan di lndonesia, 77,7% kebutaan

disebabkan oleh katarak. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak pada

penduduk umur 50 tahun ke atas di Indonesia menurut survey nasional tahun

2014-2016 sebesar 1,9%. Katarak paling banyak mengenai ras putih (80%)

dan perempun (61%) (Kemenkes, 2018; Astari, 2018).

c. Patofisiologi

Patogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun demikian,

pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang

menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan

protein lainnya akan mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi kuning

atau coklat. Temuan tambahan mungkin berupa vesikel di antara serat-serat

lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran sel-sel epitel yang menyimpang.

Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam terbentuknya katarak,

antara lain kerusakan oksidatif, sinar ultraviolet, dan malnutrisi (Eva, 2010).

Seiring dengan bertambahnya usia, lensa mata akan mengalami

pertambahan berat dan ketebalannya dan mengalami penurunan daya

akomodasi. Setiap pembentukan lapisan baru dari serat kortikal secara

8
konsentris, nucleus lensa akan mengalami kompresi dan pengerasan (nuclear

sclerosis). Perubahan lain yang berkaitan dengan pertambahan usia termasuk

di dalamnya adalah penurunan konsentrasi glutation dan kalium, dan

peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium dalam sitoplasma sel lensa.

Patogenesis yang multifaktorial dan tidak sepenuhnya dipahami (Budiono,

2013).

Gambar 2.2 Patofisiologi Katarak Senilis (Khurana, 2015)

d. Klasifikasi

Ada 3 jenis utama dari katarak senilis: nuklear, kortikal dan subkapsular

posterior.

1. Nuklear

Inti lensa berisi semua serat yang telah ada sejak sebelum kelahiran.

Seperti serat korteks lensa yang lebih dalam, mereka kekurangan organel

dan proteinnya mengalami pengurangan atau tidak berganti seiring usia.

Protein yang tua seiring dengan waktu, mengalami kerusakan oksidatif

progresif. Proporsi kristal, protein lensa utama, mengalami cross-linking

dan pembentukan agregat molekul dengan ukuran yang cukup untuk

9
menyebarkan cahaya. Selanjutnya, perubahan biokimia menghasilkan

produk coklat, jadi dengan penuaan, inti lensa menjadi keruh, kekuningan

dan kemudian berwarna coklat. Warna ini cukup untuk disebut katarak

nuklear. Meskipun persepsi warna dapat berubah, ketajaman penglihatan

mungkin awalnya tidak akan terpengaruh (James, 2017) .

Gambar 2.3 Katarak Nuklear (James, 2017)

2. Kortikal

Bentuk katarak ini disebabkan oleh pemecahan kelompok serat pada

korteks lensa. Karena serat ini disusun secara radial dalam pola yang

berkaitan dengan posisi kedalaman dan posisi jam, zona yang terkena

memiliki penampilan radial, seperti jeruji dan dapat bersifat perifer atau

meluas lebih terpusat. Opasitas jeruji perifer tidak berpengaruh pada

penglihatan tapi yang mengganggu sumbu visual akan mengganggu dan

mungkin memerlukan tindakan (James, 2017).

Gambar 2.4 Katarak kortikal (James, 2017)

10
3. Subkapsular posterior

Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior.

Pemeriksaannya menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan kekeruhan

seperti plak di korteks subkapsuler posterior. Katarak subkapsular

posterior dapat diakibatkan radiasi X atau cedera tumpul pada operasi mata

atau vitreus dan jika terjadi secara bilateral, dapat menunjukkan katarak

yang disebabkan steroid (Astari, 2018; James, 2017).

Gambar 2.5 Katarak subkapsular posterior (James, 2017)

Klasifikasi katarak berdasarkan kematangan katarak:

1. Katarak insipien

Kekeruhan lensa tampak terutama dibagian perifer korteks berupa garis-

garis yang melebar dan makin ke sentral menyerupai ruji sebuah roda.

Kekeruhan lensa masih ringan, visus biasanya >6/60. Pada pemeriksaan

dapat ditemukan iris normal, bilik mata depan normal, sudut bilik mata

normal, serta shadow test negatif (Khurana, 2015; Astari 2018).

11
Gambar 2.6 Katarak insipien (Khurana, 2015)

2. Katarak imatur

Kekeruhan terutama di bagian posterior nukleus dan belum mengenai

seluruh lapisan lensa. Terjadi pencembungan lensa karena lensa menyerap

cairan, akan mendorong iris ke depan yang menyebabkan bilik mata depan

menjadi dangkal dan bisa menimbulkan glaukoma sekunder. Lensa

menjadi cembung akan meningkatkan daya bias, sehingga kelainan

refraksi menjadi lebih miopi. Lensa tampak putih keabuan tetapi korteks

yang jernih masih ada dan iris shadow tampak. Visus mulai menurun

menjadi 5/60 sampai 1/60 (Khurana, 2015; Astari, 2018).

Gambar 2.7 Katarak imatur (Khurana, 2015)

3. Katarak matur

Pada stadium ini, opasifikasi menjadi menyeluruh, seluruh korteks

terkena. Lensa menjadi berwarna putih Mutiara. Tajam penglihatan

penderita akan sangat menurun tinggal melihat gerakan tangan atau

persepsi cahaya. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test negatif

(Khurana, 2015; Astari, 2018).

12
Gambar 2.8 Katarak matur

4. Katarak hipermatur

Ketika katarak matur tetap dibiarkan pada tempatnya, terjadilah

hipermatur. Visus sudah sangat menurun hingga bisa mencapai 0, dan

dapat terjadi komplikasi berupa uveitis dan glaukoma (Khurana, 2015;

Astari, 2018).

Katarak hipermatur dapat terjadi dalam 2 bentuk, yaitu:

 Katarak hipermatur morgagnian

Ada beberapa pasien, setelah seluruh likuefikasi korteks matur dan

lensa menjadi sebuah kantong berisi cairan susu. Nukleus kecoklatan

kecil berada di bawah, dapat terubah posisinya sesuai pergantian posisi

kepala. Terkadang, deposit kalsium dapat terlihat pada kapsul lensa

(Khurana, 2015).

Gambar 2.9 Katarak hipermatur tipe morgagnian (Khurana, 2015)

13
 Katarak hipermatur sklerotik

Terkadang, setelah stadium matur, korteks menjadi hancur dan lensa

menjadi menciut karena kekurangan air.Kapsul anterior mengkerut dan

menebal tergantung proliferasi sel anterior dan katarak kapsular putih

padat dapat terbentuk pada area pupil. Dikarenakan lensa menciut, bilik

mata depan menjadi dalam dan iris menjadi iridodonesis (Czepita,

2014).

e. Gejala Klinis

Secara subyektif gejala klinis yang dapat muncul pada penderita antara

lain:

- Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif: Visus menurun yang

derajatnya tergantung pada lokalisasi dan tebal tipisnya kekeruhan lensa.

Bila kekeruhan lensa tipis, kemunduran visus sedikit atau sebaliknya.

Katarak pada nuklear biasanya menyebabkan kabur pada penglihatan

jauh dan baik pada penglihatan dekat. Katarak pada subkapsular

menyebabkan kabur yang lebih berat pada penglihtan dekat daripada

penglihatan jauh. Katarak kortikal gejalanya bervariasi biasanya bilateral

dengan gejala umum silau pada sumber cahaya (Ocampo, 2017).

- Glare: yaitu menurunnya sensitivitas kontras pada cahaya terang atau

silau pada siang hari atau pada arah datangnya sinar pada malam hari.

Gangguan seperti ini muncul utamanya pada pasien dengan katarak

subkapsular posterior dan katarak kortikal (Harper, 2010).

- Miopisasi: pada stadium permulaan terjadi ”artificial myope” sehingga

penderita melihat jauh kabur dan akan merasa lebih enak membaca dekat

14
tanpa kacamata. Hal ini terjadi karena proses pembentukan katarak

sehingga lensa menjadi cembung dan kekuatan refraksi mata meningkat

(Ocampo, 2017).

- Gangguan penglihatan warna: lensa yang bertambah kuning atau

kecoklatan akan menyebabkan gangguan diskriminasi warna, terutama

pada spektrum cahaya biru (PDT, 2006).

- Dipoplia monokuler: diplopia monokuler juga bisa terjadi (Budiono,

2013).

Secara objektif, gejala klinis dapat ditemukan (PDT, 2006):

- Leukoria: pupil berwarna putih pada katarak matur.

- Tes iris shadow (bayangan iris pada lensa): yang positif pada katarak

imatur dan negatif pada katarak matur.

- Reflek fundus yang berwarna jingga akan menjadi gelap (refleks fundus

negatif) pada katarak matur.

f. Diagnosis

Pemeriksaan yang harus dilakukan untuk melihat tanda-tanda katarak

adalah: (Czepita, 2014)

1. Tes tajam penglihatan: Tergantung dari lokasi dan maturasi katarak,

tajam penglihatan dapat berkisar antara 6/9 hingga hanya persepsi

cahaya/light perception (LP+).

2. Pemeriksaan iluminasi oblik. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan warna

lensa pada area pupil yang mana bervariasi tergantung tipe katarak.

3. Tes iris shadow. Ketika cahaya oblique dari sinar diarahkan ke pupil,

bayangan crescentric di perbatasan pupil dengan iris akan terbentuk pada

15
lensa dengan opasitas keabu-abuan selama korteks yang jernih ada

diantara opasitas dan batas pupil. Ketika lensa telah opaque seluruhnya,

tidak ada bentukan iris shadow. Adanya iris shadow merupakan tanda

katarak immatur.

4. Distant direct ophthalmoscopic examination. Reflek fundus kuning

kemerahan ditemukan apabila tidak ada opasitas pada media. Lensa

katarak parsial menunjukkan bayangan hitam menutupi sinar merah pada

area katarak. Lensa katarak komplit bahkan tidak ada menunjukkan sinar

merah.

5. Pemeriksaan slit-lamp. Pemeriksaan seharusnya dilakukan dengan pupil

dilatasi maksimal. Pemeriksaan ini menunjukkan morfologi lengkap dari

opasitas lensa (tempat, ukuran, bentuk, pola warna dan kekerasan dari

nukleus) (Czepita, 2014).

g. Diagnosis Banding

Selain dikarenakan faktor usia dan trauma, katarak dapat terbentuk pada

orang dewasa karena uveitis kronik, penggunaan steroid jangka panjang atau

patologis daerah posterior (seperti tumor intraokular, long-standing retinal

detachment). Diagnosis banding dari katarak senilis adalah katarak diabetik,

katarak diinduksi infrared, katarak pasca bedah setelah vitrektomi,

transplantasi kornea atau prosedur glaukoma,katarak diinduksi radiasi,

katarak traumatik dan katarak uveitis (Chuck, 2017).

h. Tatalaksana

Penatalaksanaan definitif dari katarak senil adalah ekstraksi lensa.Selama

bertahun-tahun, berbagai teknik operasi telah berubah dari metode kuno

16
couchinghingga teknik modern fakoemulsifikasi.Berdasarkan integritas

kapsul lensa posterior, ada 2 tipe utama operasi lensa yaitu intracapsular

cataract extraction (ICCE) dan extracapsular cataract extraction (ECCE).

Tiga prosedur pembedahan yang umum digunakan untuk ekstraksi katarak

adalah ICCE, ECCE dan fakoemulsifikasi (Chuck, 2017).

1. Intra Capsuler Cataract Extraction (ICCE)

ICCE atau ekstraksi katarak intrakapsular adalah suatu tindakan mengangkat

seluruh lensa beserta kapsulnya, dan jarang digunakan saat ini. ICCE telah

digunakan secara luas selama sekitar 100 tahun di seluruh dunia (1880-1980).

Sekarang (selama 35 tahun terakhir) hampir seluruhnya digantikan oleh teknik

ekstrakapsular. Saat ini satu-satunya indikasi ICCE adalah subluksasi dan

dislokasi lensa (Czepita, 2014).

Sejumlah kelemahan dan komplikasi pasca operasi menyertai ICCE. Insisi

limbal yang lebih besar, seringkali 160°-180°, dikaitkan dengan risiko berikut:

penyembuhan tertunda, rehabilitasi visual tertunda, astigmatisme yang tidak

signifikan, inkarserasi iris, kebocoran luka pasca operasi, dan inkarserasivitreus.

Edema kornea adalah komplikasi umum intraoperatif dan komplikasi segera pasca

operasi. Sel endotel yang hilang lebih besar pada ICCE daripada ECCE. Insiden

cystoid macular edema (CME) dan retinal detachment pasca operasi juga lebih

tinggi. Akhirnya, karena kapsul posterior tidak intak, IOL ditanamkan pada bilik

mata depan, dijahit pada iris atau secara bedah difiksasi pada bilik mata belakang.

Teknik tersebut susah untuk dilakukan dan berkaitan dengan komplikasi pasca

operasi, seperti yang paling sering adalah pseudophakic bullous keratopathy

(PBK). Kontraindikasi absolut ICCE adalah katarak pada anak-anak atau dewasa

17
muda dan kasus traumatik dengan pecahya kapsul. Kontraindikasi relatif meliputi

miopia tinggi, sindroma marfan, katarak morgagnian dan vitreus yang sudah

berada di bilik mata depan (Chuck, 2017; Muslimah, 2013).

2. Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)

Berbeda dengan ICCE, ECCE melibatkan pengangkatan inti lensa melalui

lubang di kapsul anterior dengan mempertahankan integritas kapsul posterior

(Chuck, 2017).

Karena melakukan dengan sayatan yang lebih kecil, sehingga ECCE

menghasilkan:

- Trauma yang lebih sedikit pada endotel kornea

- Lebih sedikit menginduksi astigmatism

- Luka sayatan lebih stabil dan aman

Selain itu, kapsul posterior tetap utuh, akan:

- Mengurangi resiko kehilangan vitreus intraoperative

- Memungkinkan posisi anatomi yang lebih baik untuk fiksasi IOL

- Mengurangi kejadian CME, ablasio retina dan edema kornea, menyediakan

penghalang yang membatasi pertukaran antara beberapa molekul akuos humor

dan korpus vitreus

- Mengurangi akses bakteri ke rongga vitreus, menghilangkan komplikasi jangka

pendek dan panjang dikaitkan perlekatan vitreus dengan iris, kornea dan

sayatan (Muslimah, 2013).

Persyaratan utama untuk keberhasilan ECCE dan implantasi IOL endokapsular

adalah integritas zonular dan kapsul posterior utuh. Dengan demikian, bila

penyokong zonular tidak mencukupi atau tampak kecurigaan untuk melakukan

18
ekstraksi katarak yang aman melalui ECCE, ICCE atau pars plana lensectomy

perlu dipertimbangkan. Semua teknik termasuk implantasi IOL primer dan

sekunder, operasi filtrasi, transplantasi kornea dan perbaikan luka lebih mudah

dan aman dikerjakan pada kapsul posterior lensa yang tetap utuh (Chuck, 2017;

Muslimah, 2013).

3. Fakoemulsifikasi

Fakoemulsifikasi menggunakan ultrasound untuk menghancurkan nukleus

lensa dan mengemulsifikasikan pecahannya. Teknik ini juga menggunakan sistem

aspirasi yang dikendalikan secara otomatis untuk mengeluarkan bahan kortikal

melalui jarum kecil yang dimasukkan ke mata melalui sayatan kecil.

Fakoemulsifikasi mengakibatkan insiden komplikasi yang berhubungan dengan

luka sayatan yang lebih rendah, penyembuhan, dan rehabilitasi visual lebih cepat

daripada prosedur yang memerlukan sayatan yang lebih besar. Teknik ini juga

menciptakan sistem yang relatif tertutup selama fakoemulsifikasi dan aspirasi

sehingga mengendalikan kedalama bilik mata depan dan memberikan

perlindungan terhadap tekanan positif vitreus dan perdarahan koroidal (Budiono,

2013).

4. Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Teknik ECCE telah dikembangkan menjadi suatu teknik operasi dengan irisan

sangat kecil (7-8 mm) dan hampir tidak memerlukan jahitan, teknik ini dinamakan

SICS. Oleh karena irisan yang sangat kecil, penyembuhan relatif lebih cepat dan

resiko astigmatisme lebih kecil dibandingkan ECCE konvensional. SICS dapat

mengeluarkan nukleus lensa secara utuh atau dihancurkan. Teknik ini populer di

negara berkembang karena tidak membutuhkan perlatan fakoemulsifikasi yang

19
mahal, dilakukan dengan anestesi topikal, dan bisa dipakai pada kasus nukleus

yang padat. Beberapa indikasi SICS adalah: sklerosis nukleus derajat 2 dan 3,

katarak subkapsular posterior, dan awal katarak kortikal (Astari, 2018).

i. Komplikasi

- Uveitis fakoanafilatik (phacoanaphylactic uveitis).

Protein lensa dapat keluar dari bilik mata depan pada katarak hipermatur.

Protein ini dapat berperan sebagai antigen dan menginduksi reaksi

antigen-antibodi yang menyebabkan uveitis fakoanafilatik (Khurana,

2015).

- Lens-induced glaukoma.

Ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme:

 Glaukoma fakomorfik, disebabkan lensa intumesen (bengkak dan

katarktous). Ini merupakan glaukoma sekunder sudut tertutup.

 Glaukoma fakolitik. Protein lensa bocor ke bilik mata depan pada

katarak hipermatur tipe Morgagnian. Protein ini dimakan oleh

makrofag. Makrofag yang mengembung menyumbat trabekular

meshwork menyebabkan peningkatan TIO. Fakolitik glaukoma

merupakan tipe glaukoma sekunder sudut terbuka (Czepita, 2014).

j. Tindak Lanjut Pasca Bedah

- Pada ECCE, bila diperlukan pencabutan benang jahitan biasanya

dilakukan 4 sampai 6 minggu pasca operasi. Resep kacamata dapat

diberikan kapan saja setelahnya (APACRS, 2020).

- Dua sampai 4 minggu setelah fakoemulsifikasi, resep kacamata dapat

diberikan oleh optometris atau dokter spesialis mata. Ini karena

20
astigmatisme kornea dilaporkan stabil dalam waktu 2 minggu (APACRS,

2020).

- Tidak ada konsensus tentang penggunaan antibiotik topikal, steroid, obat

antiinflamasi nonsteroid atau bahkan analgesik oral pascaoperasi. Akan

tetapi, kebanyakan ahli bedah mata memilih untuk memulai pemberian

antibiotik topikal dan tetes mata steroid segera setelah operasi selesai, dan

melanjutkannya selama 2 sampai 4 minggu pasca operasi. tetes mata yang

dipilih biasanya berasal dari golongan fluorokuinolon generasi keempat

dan prednisolon atau deksametason. Namun tergantung pada status

ekonomi dan preferensi praktik (APACRS, 2020).

k. Komplikasi Bedah Ekstraksi Katarak

Komplikasi selama operasi

1. Pendangkalan kamera okuli anterior

Hal ini dapat terjadi karena cairan yang masuk ke BMD tidak cukup,

kebocoran melalui insisi yang terlalu besar, tekanan dari luar bola mata,

tekanan vitreus positif, efusi suprakoroid, atau perdarahan suprakoroid

(Astari, 2018).

2. Posterior capsule rupture (PCR)

PCR dengan atau tanpa vitreous loss adalah komplikasi intraoperatif yang

sering terjadi. Studi di Hawaii menyatakan bahwa 0,68% pasien

mengalami PCR dan vitreius loss selama prosedur fakoemulsifikasi.

Apabila terjadi PCR sebaiknya lakukan vitrekromi anterior untuk

mencegah komplikasi yang lebih bera (Astari, 2018).

21
3. Nucleus drop

Salah satu komplikasi fakoemulsifikasi yang paling ditakutkan adalah

nucleus drop, yaitu jatuhnya seluruh atau bagian nukleus lensa ke dalam

rongga vitreus. Jika tidak ditangani dengan baik, lensa yang tertinggal

dapat menyebabkan peradangan intraokular berat, dekompensasi endotel,

glaukoma sekunder, ablasio retina, nyeri bahkan kebutaan (Astari, 2018).

Komplikasi setelah operasi

1. Edema kornea

Edema stromal atau epitelial dapat terjadi segera setelah operasi katarak.

Kombinasi dari trauma mekanik, waktu operasi yang lama, trauma kimia,

radang atau peningkatan tekanan intraokular (TIO) dapat menyebabkan

edema kornea. Pada umumya edema akan hilang dalam 4 sampai 6

minggu (Astari, 2018).

2. Perdarahan

Komplikasi perdarahan antara lain perdarahan retrobulbar, perdarahan atau

efusi suprakoroid, dan hifema (Astari, 2018).

3. Glaukoma sekunder

Bahan viskoelastik hialuronat yang tertinggal dalam BMD pasca operasi

katarak dapat meningkatkan TIO, peningkatan TIO ringan bisa terjadi 4

sampai 6 jam setelah operasi, umumya dapat hilang sendiri dan tidak

memerlukan terapi anti glaukoma, sebaliknya jika peningkatan TIO

menetap, diperlukan terapi glalukoma. Glaukoma sekunder dapat berupa

glaukoma sudut terbuka dan tertutup. Beberapa penyebab glaukoma

sekunder sudut terbuka dalah hifema, TASS, endoftalmitis, serta sisa masa

22
lensa. Penyebab glaukoma sekunder sudut tertutup adalah blok pupil, blok

siliar, glaukoma neovaskuler dan sinekia anterior perifer. (Astari, 2018).

4. Uveitis

Inflamasi normal akan menghilang setelah 3 sampai 4 minggu operasi

katarak dengan pemakaian steroid topikal (Astari, 2018).

5. Cystoid Maculare Edema (CME)/ Edema Makula Kistoid (EMK)

EMK ditandai dengan penurunan visus setelah operasi katarak, gambaran

karakteristik makula pada pemeriksaan oftalmoskopi atau FFA, atau

gambaran penebalan retina pada pemeriksaan OCT. EMK terjadi pada 2-

10% pasca ICCE, 1-2% pasca ECCE dan <1% pasca fakoemulsifikasi

(Astari, 2018).

6. Ablasio retina

Ablasio retina terjadi pada 203% pasca ICCE, 0,5-2% pasca ECCE, dan

<1% pasca fakoemulsifikasi. Biasanya terjadi dalam 6 bulan sampai 1 tahu

pasca bedah katarak. Adanya kapsul posteior yang utuh menurunkan

insidens ablasio retina pasca bedah (Astari, 2018).

7. Endoftalmitis

Endfotalmitis termasuk komplikasi pasca operasi katarak yang jarang

namun sangat berat. Gejala terjdiri dari nyeri ringan hingga berat,

hilangnya penglihatan, floaters, fotofobia, inflamasi vitreus, edem

palpebra atau periorbita, injeksi siliar, kemosis, rekais bilik mata depan,

hipopion, penurunan tajam penglihatan, edema kornea, serta perdarahan

retina. Gejala muncul setelah 3 sampai 10 hari operasi katarak (Astari,

2018).

23
8. Toxic Anterior Segment Syndrome

TASS merupakan inflamasi pasca operasi yang akut dan non infeksius.

Tanda dan gejala TASS dapat menyerupai endoftalmitis, seperti fotofobia,

edema kornea, penurunan pengkihatan, akumulasi leukosit di BMD, dan

kadang disertai hipopion. TASS onset lebih akut yaitu dalam 24 jam pasca

operasi. TASS juga menimbulkan keluhan nyeri minimal atau tanpa nyeri

(Astari, 2018).

9. Posterior Capsule Opafication (PCO)/ kekeruhan kapsul posterior

PCO merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang paling sering.

Sebuha penelitian melaporkan PCO rata-rata terjadi pada 28% pasien

setelah lima tahun pasca operasi katarak. Mekanisme PCO adalah karena

tertinggalnya sel-sel epitel lensa di kantong kapsul anterior lensa, yang

selanjutnya berproliferasi lalu bermigrasi ke kapsul posterior lensa (Astari,

2018).

10. Dislokasi IOL

Angka kejadian dislokasi IOL dilaporkan sebesar 0,19-3%. Dislokasi IOL

dapat terjadi di dalam kapsul atau di luar kapsul. Penyebab dislokasi IOL

intrakapsul adalah satu atau kedua haptik terletak di sulkus, sedangkan

beberapa penyebab dislokasi IOL ekstrakapsul mencakup

pseudoeksfoliasi, gangguan jaringan ikat, uveitis, retinitis pigmentosa,

miopia tinggi, dan pasien dengan riwayat operasi vitreoretina. Tatalaksana

adalah dengan reposisi atau eksplantasi IOL (Astari, 2018).

24
2.3 Uveitis Anterior

a. Definisi Uveitis

Uveitis adalah inflamasi atau keradangan pada traktus uvea. Uveitis adalah

penyakit yang kompleks oleh karena banyak penyebab reaksi radang di dalam

mata baik itu infeksius dan non infeksius. Selain itu, keradangan tersebut

dapat juga merupakan keradangan sekunder akibat keradangan primer di

tempat lain (Budiono, 2013).

b. Epidemiologi Uveitis

Insidensi uveitis di Indonesia belum ada data yang akurat. Data di

Amerika Serikat, uveitis merupakan 10% penyebab kebutaan, dengan angka

kejadian 15 kasus baru setiap 100.000 orang setiap tahunnya. Insiden paling

rendah pada kelompok pediatrik dan tertinggi pada umur lebih dari 65 tahun.

Penderita perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki. Kasus yang

paling banyak adalah uveitis segmen anterior kemudian diikuti oleh

panuveitis, uveitis intermediet dan terakhir uveitis posterior (Budiono, 2013).

c. Klasifikasi Uveitis

Berdasarkan anatomi atau bagian traktus uvea yang terkena, maka dibagi:

anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis (Budiono, 2013).

Tabel 2.1 Klasifikasi Anatomi Uveitis berdasarkan SUN Working Group

(Budiono, 2013).

Tipe uveitis Tempat Utama Penyakit


Inflamasi
Uveitis anterior Bilik mata depan Iritis
(BMD) Iridocyclitis
Anterior cyclitis
Uveitis intermediet Vitreus Pars palnitis
Posterior cyclitis

25
Uveitis posterior Retina dan koroid Koroiditis fokal,
multifokal dan difus
Chorioretinitis
Retinochoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
Panuveitis Bilik mata depan,
vitreus dan retina atau
koroid

Selain berdasarkan anatomi, SUN Working Group juga mendefinisikan

berdasarkan onset klinis, durasi dan perjalanan klinis (Budiono, 2013;

Salmon, 2020).

a) Onset

- Sudden/mendadak

- Insidious

b) Durasi/lama waktu

- Terbatas/limited: kurang dari atau sama dengan 3 bulan

- Menetap/persisten: lebih dari 3 bulan

c) Perjalanan penyakit

- Uveitis akut, menggambarkan perjalanan penyakit sindrom

uveitis spesifik yang ditandai dengan onset mendadak dan lama

waktu terbatas

- Uveitis rekuren adalah uveitis yang ditandai dengan episode

berulang dari uveitis yang dipisahkan oleh periode inaktif tanpa

pengobatan lebih dari 3 bulan

26
- Uveitis kronis adalah uveitis menetap yang ditandai dengan

uveitis yang mengalami kekambuhan dalam waktu kurang dari 3

bulan sesudah pengobatan dihentikan

Klasifikasi berdasarkan etiologi oleh International Uveitis Study Group

(IUSG) juga mengkategorikan (Salmon, 2020):

a) Infeksius: bakteri, virus, fungi, parasit, dan lainya

b) Non-infeksius: dengan atau tanpa gangguan sistemik yang diketahui

c) Masquerade: neoplasma atau non neoplasma

d. Patofisiologi Uveitis

Segmen anterior mata memiliki ciri-ciri anatomi khusus yang

memengaruhi respon imun. Bilik mata depan (BMD) merupakan suatu

ruangan yang berisi cairan humor akuos. Humor akuos yang bersirkulasi di

BMD merupakan media untuk komunikasi interseluler dari sitokin, sel-sel

imun serta merupakan tempat sel-sel jaringan iris, badan silier dan endotel

kornea. Iris dan badan silier mengandung banyak sekali makrofag dan sel-sel

dendritik yang bertindak sebagai Antigen Presenting Cells (APC). Proses

imun tidak terjadi lokal di dalam mata, tetapi APC meninggalkan mata

melalui trabecular meshwork dan bermigrasi menuju lien (proses ini disebut

homing) terpat terjadi proses imun (Budiono, 2013).

Ada beberapa mekanisme imunoregulator yang muncul untuk memodulasi

respons imun intraokuler. Mekanisme ini disebut immune previlige. Pada saat

antigen masuk ke dalam BMD, maka dimulai fase aferen, yaitu ketika

makrofag spesifik beradai di iris, mengenali antigen tersebut lalu

mengambilnya. Fungsi APC makrofag yang ada di uvea tersebut dapat diubah

27
fungsinya oleh sitokin modulator, yaitu transforming growth factor B2 (TGF-

B2) yang dalam keadaan normal berada di humor akuos dan uvea. TGF-B2

menstimulasi makrofag okuler, keluar melalui trabekular meshwork dan kanal

Schlemm lalu memasuki vena di sirkulasi tubuh untuk kemudian migrasi ke

lien. Di dalam lien, sinyal antigen diproses, yang diaktivasi oleh limfosit T-

helper, limfosit B dan limfosit T-regulator. Sel-sel CDd8 regulator bertugas

mengubah CD4 limfosit T-helper agar merespon di dalam lien dan mengatur

CD4 limfosit T delayed hypersensitivity (DH) untuk merespon terhadap

imunisasi antigen spesifik di seluruh tubuh (Budiono, 2013).

e. Definisi Uveitis Anterior

Uveitis anterior adalah inflamasi pada traktus uvea, bilik mata depan

merupakan tempat utama terjadinya inflamasi. Di samping itu juga disertai

dengan inflamasi pada iris dan badan silier serta struktur di sekitarnya yang

meliputi kornea dan sklera (Budiono, 2013).

Uveitis anterior dapat terjadi secara akut dan kronis, masing—masing

mempunyai gejala klinis yang berbeda, walaupun ada juga beberapa yang

sama (Budiono, 2013).

f. Gejala Klinis Uveitis Anterior Akut

Keluhan: (Budiono, 2013)

- Mata merah, sebagai akibat adanya hiperemi perikornea (injeksi silier)

oleh karena adanya inflamasi di daerah iris dan atau badan silier

- Nyeri, sebagai akibat inflamasi akut pada daerah iris atau iritis akut atau

dari glaukoma sekunder. Di samping itu, nyeri yang berkaitan dengan

28
spasme siliar dapa iritis biasanya referred pain akibat dari inervasi saraf

Trigeminus.

- Fotofobia, atau takut melihat cahaya. Adanya cahaya merangsang spasme

dari iris dan badan silier yang sedang dalam keadaan inflamasi. Hal ini

menyebabkan bertambah nyeri, sehingga penderita berusaha

mengindarinya.

- Epifora atau mengeluarkan air berlebihan, sebagai akibat inflamasi yang

mengenai perifer kornea, iris, dan badan silier

- Penglihatan menurun, sebagai akibat kekeruhan pada aksis visual akibat

penumpukan sel-sel inflamasi, fibrin dan protein di bilik mata depan serta

adanya keratic precipitates (KPs) di endotel kornea.

Tanda klinis: (Budiono, 2013)

- Tajam pengihatan menurun, sebagai akibat adanya kekeruhan di media

refraksi baik di kornea, BMD dan pupil

- Hiperemi perikornea/injeksi silier, akibat adanya reaksi inflamasi di iris

dan badan silier menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah

yang mensuplai struktur tersebut

- Pupil miosis, sebagai akibat spasme iris dan badan silier

- Keratic Precipitates (KPs), adanya tumpukan sel radang di BMD yang

melekat di endotel kornea. Apabila KPs berukuran besar dan berwarna

kekuningan disebut mutton-fat KPs.

- Aqueous cells (Sel di BMD), adalah kumpulan sel radang berada di BMD.

Apabila sel radang ini sangat banyak akan mengendap di bawah BMD

membentuk hipopion.

29
Gambar 2.10 Tanda uveitis anterior (a) Injeksi silier/perikornea, (b) Pupil miosis, (c)

Sel radang menempel pada endotel kornea. (d) Hipopion pada uveitis akibat inflamasi

yang hebat (Budiono, 2013)

- Aqueous flare (Flare di BMD), adalah protein plasma yang berada di

BMD sebagai akibat terjadi kerusakan di blood-aqueous barrier, sehingga

protein plasma keluar dari pembuluh darah.

- Eksudat fibrin di BMD. Reaksi inflamasi menyebabkan terbentuknya

fibrin di BMD, yang apabila menumpuk dapat menyebabkan timbulnya

sinekia maupun seklusio dan oklusio pupil.

- Sinekia anterior dan posterior. Sinekia adalah perlekatan antara iris dengan

kapsul lensa (sinekia posterior) atau perlekatan iris dengan kornea di dekat

sudut BMD (peripheral anterior synechiae/PAS). Sinekia terjadi akibat

adanya reaksi inflamasi yang kemudian terjadi pelepasan mediator yang

mencetuskan pembentukan fibrin, pembekuan dan proliferasi fibroblas

(Budiono, 2013).

30
- Penurunan tekanan intra okuli. Umumnya terjadi akibat penurunan

produksi humor akuos di badan silier akibat adanya reaksi inflamasi yang

mengganggu sekresi humor akuos di prosesus siliaris (Budiono, 2013).

Gambar 2.11 Tanda uveitis anterior (a) Sinekia posterior dan pigmen iris
menempel pada lensa, (b) Sinekia anterior, (c) Iris nodul Busaca nodul, (d) Iris
nodul Koppe nodul (Budiono, 2013)

g. Gejala Klinis Uveitis Anterior Kronis

Keluhan

Pada umumnya tampak lebih tenang dibandingkan uveitis akut. Banyak

penderita tidak mempunyai keluhan sampai dengan penyakitnya terus

berkembang dan mulai mengeluh penglihatannya menurun (Budiono, 2013).

Tanda klinis: (Budiono, 2013)

- Mata kemerahan

- Flare dan sel di BMD. Pada uveitis kronis, flare tampak lebih jelas

dibandingkan sel pada mata dengan proses inflamasi yang lama.

- Keratic Precipitates (KPs)

31
- Iris nodule, khas terjadi pada penyakit granulomatous. Biasanya ada 2

jenis iris nodul yaitu Koeppe nodules (berada di tepi iris) dan Busaca

nodules (di stroma iris).

- Iris bombans, yaitu iris menggelembung. Hal ini terjadi akibat adanya

sinekia posterior yang mengenai seluruh kuadaran pupil dan akhirnya

terjadi blok pupil. Akibatnya iris akan terdorong oleh aliran humor akuos

sehingga menggelembung (Budiono, 2013).

h. Tatalaksana Uveitis Anterior

Terapi pada uveitis bertujuan untuk mencegah komplikasi lanjut yang

membahayakan penglihatan pasien. Selain itu tujuannya adalah mengurangi

rasa tidak nyaman yang dialami pasien, dan jika memungkinkan untuk

mengobati kasus yang melatarbelakanginya (Suhardjo, 2007).

1. Midriatikum

Pada hampir semua kasus uveitis anterior akut, hanya memerlukan short

acting midriatikum. Hal ini bertujuan menjaga agar pupil masih dapat

bergerak (normal-midriasis-normal) dan lebih cepat kembali normal pada

saat pemberiannya dihentikan. Pada kasus kronis dan berat harus

menggunakan long acting midriatikum utu mempertahankan pupil

midriasis sehingga dapat melepaskan sinekia posterior dan mencegah

timbulnya sinekia posterior sampai inflamasi terkontrol (Budiono, 2013).

Obat-obatan midriatikum yang tersedia saat ini adalah: (Budiono, 2013).

a) Short acting

- Tropicamide 0,5% dan 1% durasi 6 jam

- Cyclopentolate 0,5% dan 1 % durasi 24 jam

32
- Phenylephrine 2,5% dan 10% durasi 3 jam

b) Long acting

- Homatropine 2% durasi lebih dari 2 hari

- Atropine 1% merupakan cycloplegic dan midriatikum yang paling

kuat, dengan durasi lebih dari 2 minggu.

Pemberian midriatikum harus mempertimbangkan beberapa faktor,

oleh karena efek midriatikum ini kadang-kadang justru membuat

tidak nyaman akibat silau terutama pada kasus uveitis ringan

(Budiono, 2013).

2. Kortikosteroid

Kortikosteroid masih merupakan terapi utama uveitis anterior. Mengingat

efek samping yang dapat ditimbulkan, maka pemberian kortikosteroid

harus berdasarkan indikasi yaitu: (Budiono, 2013).

- Pengobatan inflamasi yang masih aktif

- Mencegah dan mengobati komplikasi seperti cystoid macular edema

(CME)

- Menurunkan atau mencegah infiltrasi ke koroid, retina dan saraf optik

a) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal efektif terutama untuk uveitis anterior karena

efek terapinya tidak dapat mencapai bagian belakang lensa. Namun

demikian masih memiliki efek terapi pada vitritis dan macular edema

pada kasus pseudofaki maupun afakia. Adapun jenis kortikosteroid

topikal yang sering digunakan antara lain:

- Prednisolone acetate 1%

33
- Fluorometholone 0,1%

- Dexamethasone phosphate 0,1%

- Difluprednate 0,05%

Jumlah tetesan pemberian obat-obatan tersebut tergantung berat-

ringan inflamasi. Pada ueitis anterior akur dengan gejala hebat, dapat

diberikan 1 tetes tiap satu menit selama 5 menit pertama pada tiap

jam. Pemberian diturunkan bertahap mulai dari 1 tetes tiap jam, setiap

2 jam, dilanjutkan sehari 4 kali samapi 1 tetes sehari dalam waktu

beberapa minggu. Pemberian obat dihentikan biasanya setelah 5-6

minggu (Budiono, 2013).

b) Kortikosteroid periokuler

Pemberian kortikosteroid merlalui injeksi periokuler dapat dilakukan

melalui injeksi sub tenon posterior atau injeksi transeptal inferior.

Indikasi pemberiannya: (Budiono, 2013).

1. Uveitis anterior yang tidak merespon terhadap kortikosteroid

topikal

2. Uveitis anterior disertai komplikasi berupa CME atau uveitis

posterior

3. Uveitis anterior yang harus diberikan melalui sistemik naum tidak

memungkinkan pemberian sistemik

4. Mata dengan uveitis saat dilakukan tindakan pembedahan

Jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah:

- Triamcinolon acetonide 40 mg

- Methylprednisolone acetat 40-80 mg.

34
Injeksi silakukan setiap 1-2 minggu sebanyak 2 sampai 4 kali injeksi

(Budiono, 2013).

c) Kortikosteroid sistemik

Indikasi pemberian kortikosteroid sistemil adalah: (Budiono, 2013).

1. Uveitis yang mengancam penglihatan, yang dengan pemberian

topikal maupun periokuler tidak memberikan respon

2. Uveitis yang disertai dengan penyakit sistemik, yang memerlukan

pengobatan kortikosteroid sistemik.

Jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah:

- Prednison. Dosis 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis dipertahankan sampai

terlihat efek klinis, kemudian diturunkan bertahap setiap 1 sampai

2 minggu sampai inflamasi mereda.

- Methylprednisolone. Dosis 2-60 mg/hari terbagi dalam 3 atau 4

kali sehari. Terapi dilakukan selama 3 hari kemudian diikuti

dengan pemberian prednisone oral dengan dosis awal 1-2

mg/kg/hari (Budiono, 2013).

3. Immune Modulator Therapy (IMT)

Obat-obatan immune modulator atau disebut imunosupresif adalah jenis

obat yang bekerja dengan cara membunuh dengan cepat pembelahan

limfosit yang bertanggung jawab dalam reaksi inflamasi. Ada beberapa

golongan untuk pengobatan uveitis yaitu: (Budiono, 2013)

a. Antimetabolit

- Azathioprine

35
Dosis awal 1 mg/kg/hari (50 tablet) diberikan sekali sehari atau

dalam dosis terbagi. Setelah 1-2 minggu dosis ditingkatkan dua

kali. Pemberian dihentikan apabila penyakit inaktif dalam waktu

1 tahun

- Methotrexate

Diberikan setiao minggu sekali. Dosis dewasa: 7,5-10 mg/minggu

dan dosis dapat ditingkatkan sampai dosis maintenance 15-25

mg/minggu. Untuk menurangi efek samping diberikan asam folat

1 mg/hari.

- Mycophenolate

Dosis 1 g, diberikan 2 kali sehari, dapat ditingkatkan sampai 4 g

sehari (Budiono, 2013).

b. Inhibitor T-cell signaling

- Cyclosporin

Dosis awal 5 mg/kg/hari, diiberikan sekali sehari atau dalam dosis

terbagi 2 kali sehari. Apabla inflamasi terkontrol, dosis

diturunkan menjadi 2-3 mg/kg/hari. Tidak boleh berhenti

mendadak, karena dapat menyebabkan inflamasi berulang.

- Tacrolimus

Diberikan peroral dosis 0,1-0,15/kg/hari. Dapat diberikan

bersama kortikosteroid (Budiono, 2013).

c. Alkylating agents

- Cyclophosphamide

36
Diberikan peroral dosis 2 mg/kg/hari, biasanya diberikan selama

1 tahun.

- Chlorambucil

Diberikan peroral dosis 0,1-0,2 mg/kg/hari, sekali sehari. Dapat

juga diberikan dosis tinggi jangka pendek: 2 mg/hari selama 1

minggu, kemudian dinaikkan menjadi 2 mg/hari minggu

berikutnya sampai inflamasi terkontrol (Budiono, 2013).

d. Biologic response modifier

- Antitumor necrotic factor a

 Inflizimab: diberikan intravena melalui infus setiap 8

minggu pada fase maintenace

 Adalimumab: mirip inflizimab hanya pemberiannya secara

subkutan setiap minggu

- Antagonis reseptor IL-2: Declizumab (Budiono, 2013).

i. Komplikasi Uveitis

Komplikasi uveitis dapat berupa sinekia posterior (30%), katarak (20%),

glaukoma karena sinekia perifer anterior (15%) dan keratopati pita atau band

keratopathy (10%) (Suhardjo, 2007).

37
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Anamnesis

- Pasien berusia 56 tahun

Katarak senilis adalah tipe katarak yang paling umum terjadi,

mempengaruhi secara rata baik laki-laki dan perempuan berusia 50 tahun

atau lebih.

- Mata kanan pasca operasi fakoemulsifikasi dan pemasangan IOL

Beberapa komplikasi pasca bedah katarak antara lain edema kornea,

perdarahan, glaukoma sekunder, uveitis, edema makula kistoid, ablasio

retina, endoftalmitis, TASS, dan kekeruhan kapsul posterior.

- Mata kanan merah dan silau pasca operasi

Keluhan mata merah pasca operasi dapat menunjukkan adanya komplikasi

seperti perdarahan, uveitis, endoftalmitis, glaukoma, atau TASS. Pada

uveitis didapatkan mata kemerahan dengan tipe injeksi perikornea,

fotofobia, nyeri, dan penglihatan kabur.

- Mata kiri kabur

Pasien mengeluh mata kiri kabur, tidak ada mata merah. Keluhan mata

kabur merupakan salah satu gejala katarak, yaitu penurunan tajam

penglihatan yang tergantung dari stadium dan jenis kekeruhan lensa.

3.2 Pemeriksaan

Pada pemeriksaan visus mata kanan didapatkan VOD 0,2 PH 0,4 f. Tajam

penglihatan ini telah membaik dibandingkan sebelum dilakukan operasi

katarak. Sedangkan pada visus mata kiri didapatkan VOS 0,15 PH tetap yang

38
menunjukkan kelainan organik, hal ini ditegaskan pada pemeriksaan segmen

anterior didapatkan kekeruhan lensa kiri.

Pada pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan palpebra

hiperemi, ptosis, injeksi perikornea. Hal ini menunjukkan terjadinya

peradangan. Hiperemi tipe injeksi perikornea terdapat pada keratitis, uveitis,

dan glaukoma. Uveitis dan glaukoma merupakan komplikasi yang dapat

terjadi pasca operasi katarak. Namun pada pasien tidak ditemukan keluhan

nyeri, pusing, atau mual. Sehingga diperlukan monitoring segmen anterior,

posterior dan tekanan intraocular pada pasien.

Pada pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan iris shadow (+)

dan kekeruhan lensa. Temuan tersebut disertai keluhan kabur dan

pemeriksaan visus mata kiri 0,15 ph tetap merupakan gejala dari katarak

senilis stadium imatur.

3.3 Diagnosis

Diagnosis untuk pasien ini adalah:

OD Pseudofakia

OD Uveitis anterior

OS Katarak senilis stadium imatur

3.4 Terapi

Terapi yang diberikan adalah antibiotik topikal dan tetes mata steroid yaitu

dengan pemberian Cendo xytrol 6x1 tetes per hari setelah operasi selesai,

dilanjutkan selama 2 sampai 4 minggu pasca operasi.

39
LAMPIRAN RESEP OBAT

Dokter : DM Nurmalia
Unit pelayanan : Poli Mata
-------------------------------------------------------------------
Bismillahirrohmaanirrahiim
Surabaya, 3 Maret 2021

R/ Cendo xytrol eye drops fl No. I


S 6 dd gtt 1 OD
------------------------------------------------------- &

Nama Pasien : Ny. SS


Umur : 56 th
Alamat : Surabaya

40
DAFTAR PUSTAKA

APACRS, 2020, Asia-Pacific Association of Cataract & Refractive Surgeons,


Prinsip-prinsis Petunjuk Teknis Operasi Katarak, diakses dari apacrs.org 03
Maret 2021.

Astari P, 2018, Katarak: Klasifikasi, Tatalaksana, dan Kompikasi Operasi, CDK-


269: 45 (1)

Budiono S, Saleh TT, Moestidjab, dan Eddyanto, 2013, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata, Surabaya: Airlangga University Press

Chuck, RS, Deborah SJ, Jimmy KL, Natalie AA, et al, 2017, AAO: Refractive
Errors & Refractive Surgery Preferred Practice Pattern. America: Elsevier.

Czepita, Damian, 2014, Myopia: incidence, pathogenesis, management and new


possibilities of treatment, Poland: Russian Ophthalmological Journal.

Diah M, 2011, Katarak Juvenil, Journal Inspirasi

Eva PR, Whitcher JP, 2010, Vaughan & Asbury: Oftamologi Umum Edisi 17,
Jakarta: EGC

Harper, A, 2010, Oftalmologi Umum, Jakarta: EGC

Ilyas S, Yulianti SR, 2010, Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat, Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

James B, Bron A, Parulekar M, 2017, Ophthalmology Lecture Notes 12th Edition,


Chicester: Wiley Blackwell

Kemenkes RI, 2018, Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan

Khurana AK, Khurana AK, Khurana B, 2015, Comprehensive Ophthalmology 6th


Edition, New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd

Muslimah, Ratna, 2013, Kelainan Refraksi dan Akomodasi, dalam Buku Ajar
Kepanitraan Klinik SMF MATA RSU Haji Surabaya, Surabaya

41
Ocampo VVD, 2017, Senile Cataract, eMedicine Journal Update:
https://emedicine.medscape.com/article/1210914.

Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Mata, 2006,


Universitas Airlangga

Salmon JF, 2020, Kanski’s Clinical Ophthalmology, 9th Ed, Elsevier, pp. 424

Suhardjo SU, Sasongko MB, 2007, Uveitis, Dalam: Ilmu Kesehatan Mata,
Universitas Gadjah Mada

42

Anda mungkin juga menyukai