Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

STRABISMUS

Edo Fideatma Putro


112021279

Pembimbing:
dr. Juniati Pax Victoria Pattiasina, SpM

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Mata


RSPAD Gatot Soebroto
Jakarta Pusat
2022

I
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Tuhan atas berkat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “STRABISMUS”. Laporan
kasus ini adalah salah satu syarat dalam tugas Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Penyakit Mata.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Juniati Pax Victoria Pattiasina,
Sp.M, selaku narasumber laporan kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini
bermanfaat dalam menambah pengetahuan teman- teman sejawat. Penulis menyadari
dalam penulisan laporan kasus ini masih terdapat kekurangan, karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi lebih
baik kedepannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat
memenuhi tujuan penulisan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 6 Juni 2022

Penulis

II
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

“STRABISMUS”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan


tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit
Mata

Disusun oleh :
Edo Fideatma Putro

112021279

Jakarta, Juni 2022


Telah disahkan oleh,

Narasumber

(dr. Juniati Pax Victoria Pattiasina, Sp.M)

III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................iii

BAB I ...............................................................................................................5

BAB II............................................................................................................13

PENDAHULUAN..........................................................................................13

BAB III ISI.....................................................................................................14

BAB IV...........................................................................................................30

PENUTUP......................................................................................................30

Daftar Pustaka.................................................................................................31
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NDA
Umur : 16 tahun
Alamat : Cimpaeun RT 001 RW 003, Depok, Jawa Barat
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal periksa : 8 Juni 2022
No. Rekam Medik : 01104490

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis: 8 Juni 2022 pukul 10.55 WIB di ruang poli Mata RSPAD Gatot Soebroto

Keluhan Utama : Mata kanan juling ke arah dalam sejak 6 tahun terakhir.

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dibawa oleh kakaknya dengan keluhan mata kanan juling ke arah
dalam sejak kurang lebih 6 tahun yang lalu (usia 10 tahun) dan makin lama semakin juling.

2
Kakak pasien mengaku saat masih kecil kedua bola mata pasien simetris. Pasien pernah
mengalami kecelakaan (terpeleset dari tangga) dan kepala terbentur saat 6 tahun yang lalu,
pingsan (-), pusing (-), sakit kepala (-), dan tidak dirawat di rumah sakit. Satu bulan setelah
kecelakaan, pasien mengeluh pandangan ganda dan diperbaiki dengan menggunakan
kacamata. Mata kiri pasien buram saat melihat jauh, tidak ada keluhan mata merah, nyeri,
berair, mengganjal, mual, sakit kepala, pada mata kiri dan kanan. Pasien menyangkal ada
trauma lain. Tidak ada riwayat pemakaian obat tetes mata dan pengobatan sistemik.

Riwayat Persalinan: pasien lahir normal pervaginam


Riwayat Penyakit Terdahulu : rabun jauh sejak 6 tahun terkoreksi dengan kacamata minus,
alergi tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga : kedua orang tua rabun jauh dan menggunakan kacamata minus,
tidak ada riwayat strabismus pada keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Suhu : 36,5oC
RR : 20 kali/menit
Kepala : normocephali
Leher : KGB tidak terlihat membesar
Cor : Tidak dilakukan
Pulmo : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Tidak dilakukan

3
STATUS OFTALMOLOGIS
KETERANGAN OD OS
1. VISUS
Tajam Penglihatan 1/20 1/20
Koreksi S -6.0  20/20 S -5.75  20/20
Addisi Tidak ada Tidak ada
Distansia Pupil 60/62 60/62
Kaca mata lama S -5.75 S -5.75
2. KEDUDUKAN BOLA MATA
Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada
Deviasi Esotropia Tidak ada

Gerakan bola mata

Tes Hirschberg 15° Normal


Uji tutup mata Esotropia Normal
Uji buka mata Esotropia Normal
3. SUPRA SILIA
Warna Hitam Hitam
Letak Simetris Simetris
4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR
Edema Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada

4
Blefarospasme Tidak ada Tidak ada
Trikiasis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Horizontal 20mm Horizontal 20mm
Fisura palpebral
Vertikal 8,5mm Vertikal 8,5mm
Hordeolum Tidak ada Tidak ada
Kalazion Tidak ada Tidak ada
Pseudoptosis Tidak ada Tidak ada
5. KONJUNGTIVA TARSAL SUPERIOR DAN INFERIOR
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Folikel Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Anemis Tidak ada Tidak ada
Kemosis Tidak ada Tidak ada
6. KONJUNGTIVA BULBI
Injeksi konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Injeksi siliar Tidak ada Tidak ada
Perdarahan subkonjungtiva Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguekula Tidak ada Tidak ada
Nevus pigmentosus Tidak ada Tidak ada
7. SISTEM LAKRIMALIS
Punctum lakrimal Terbuka Terbuka
Tes Anel Tidak dilakukan Tidak dilakukan
8. SKLERA

5
Warna Putih Putih
Ikterik Tidak ada Tidak ada
9. KORNEA
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Ukuran 12 mm 12 mm
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Infiltrat Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada
Tes Plasido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10. BILIK MATA DEPAN
Kedalaman Dalam Dalam
Kejernihan Jernih Jernih
Hifema Tidak ada Tidak ada
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Efek Tyndall Tidak dilakukan Tidak dilakukan
11. IRIS
Warna Cokelat Cokelat
Kripte Jelas Jelas
Bentuk Bulat Bulat
Sinekia Tidak ada Tidak ada
Koloboma Tidak ada Tidak ada
12. PUPIL
Letak Ditengah Ditengah

6
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langung + +
Refleks cahaya tidak
+ +
langsung
13. LENSA
Kejernihan Jernih Jernih
Letak DI Tengah Di Tengah
Shadow Test Negatif Negatif
14. BADAN KACA
Kejernihan Jernih Jernih
15. FUNDUS OKULI
a. Refleks fundus Positif Positif
b. Papil
Batas Tegas Tegas
Bentuk Bulat Bulat
Warna Jingga Jingga
CD ratio 0,3 0,3
c. Arteri Vena 2:3 2:3
Edema(-),Pendarahan(-), Edema(-),Pendarahan(-),
d. Retina
eksudat(-), sikatrik(-) eksudat(-), sikatrik(-)
e. Makula lutea Reflex fovea(+), edema(-) Reflex fovea(+), edema(-)
16. PALPASI
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Massa tumor Tidak ada Tidak ada
Tekanan intraokular 19.7 mmHg 19.5 mmHg
17. KAMPUS VISI
Tes konfrontasi Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

7
IV. Resume
Pasien datang dibawa oleh kakaknya dengan keluhan mata kanan terlihat juling ke arah
dalam sejak kurang lebih 6 tahun yang lalu (usia 10 tahun) dan makin lama semakin memberat.
Kakak pasien mengaku saat masih kecil kedua bola mata pasien simetris. Pasien pernah
mengalami kecelakaan (terpeleset dari tangga) dan kepala terbentur saat 6 tahun yang lalu,
pingsan (-), pusing (-), sakit kepala (-), dan tidak dirawat di rumah sakit. Satu bulan setelah
kecelakaan, pasien mengeluh pandangan ganda dan diperbaiki dengan menggunakan kacamata.
Mata kiri pasien buram saat melihat jauh, tidak ada keluhan mata merah, nyeri, berair,
mengganjal, mual, sakit kepala pada mata kiri dan kanan.
Pemeriksaan mata didapatkan ketajaman visus mata kanan 1/20, mata kiri 1/20. Pada
pemeriksaan kedudukan bola mata terdapat esotropia mata kanan saat tes buka mata dan tutup
mata. Gerakan mata kiri tidak ada yang tertinggal saat uji gerakan bola mata, sedangkan gerakan
bola mata kanan tidak dapat mengarah ke lateral. Uji Hirschberg didapatkan penyimpangan mata
kanan sebesar 15o ke arah nasal. Tekanan intraokular kanan 19.7 mmHg dan kiri 19.5 mmHg.

V. Diagnosis Kerja
● Esotropia OD Susp. ec. Paralisis N. VI ec. Pasca Trauma Kapitis
● Miopia ODS

VI. Diagnosis Banding


● Tidak ada

VII. Pemeriksaan Anjuran


● Pemeriksaan ARC

VIII. Penatalaksanaan
● Koreksi gangguan refraksi dengan kacamata sferis negatif
● Latihan konvergensi dan divergensi
● Rujuk ke dokter spesialis mata dan spesialis saraf

IX. Prognosis

8
ad Vitam : ad bonam
ad Functionam : Dubia ad bonam
ad Sanantionam : Dubia ad bonam

9
BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Pada kondisi penglihatan binokuler normal, bayangan suatu benda jatuh secara
bersamaan di fovea masing-masing mata (fiksasi bifoveal), dan posisi kedua meridian vertikal
retina tegak lurus. Salah satu mata bisa tidak sejajar dengan mata lain sehingga pada satu waktu
hanya satu mata yang melihat objek yang dipandang. Setiap penyimpangan dari penjajaran
okular yang sempurna ini disebut “strabismus”. Ketidaksejajaran tersebut dapat terjadi di segala
arah – ke dalam, keluar, atas, bawah, atau torsional. Besar penyimpangan adalah besar sudut
mata yang menyimpang dari penjajaran.

Strabismus dijumpai pada sekitar 4 % anak. Terapi harus dimulai sesegera mungkin
setelah diagnosis ditegakkan agar dapat menjamin ketajaman penglihatan dan fungsi penglihatan
binokular sebaik mungkin. Strabismus kanak-kanak jangan dianggap akan menghilang dengan
bertumbuhnya anak. Strabismus juga bisa didapat, disebabkan oleh kelumpuhan nervus cranialis,
massa di orbita, fraktur orbita, penyakit mata tiroid, atau kelainan-kelainan didapat lainnya. 1

2.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami tentang
Strabismus dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik.

2.3. Manfaat Penulisan


Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya agar dapat lebih
mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Strabismus.

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Otot Ekstraokular


Pergerakan bola mata dilakukan oleh 6 pasang otot bola mata luar yaitu :5
1. Otot rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi dan intorsi dari
pada bola mata dan otot ini dipersarafi saraf ke III (saraf okulomotor).
2. Otot rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, adduksi dan intorsi, yang
dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
3. Otot rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya mata
kearah nasal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
4. Otot rektus lateral, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya bola mata
kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke VI (saraf abdusen).
5. Otot oblik superior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, intorsi, dan abduksi yang
dipersarafi oleh saraf ke IV (saraf troklear).
6. Otot oblik inferior, kontraksinya akan mengakibatkan elevasi, ekstorsi dan abduksi yang
dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
● Otot Rektus Superior
Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta
pembungkus dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila
terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang
superior N. III.5
● Otot Rektus Inferior
Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan
bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik
inferior, diikat oleh ligamen Lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n. III, dan membentuk
sudut 23 derajat dengan sumbu penglihatan.5
● Otot Rektus Medius
Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik
yang sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat neuritis retrobulbar,
11
dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal
dengan tendon terpendek yang berfungsi menggerakkan mata untuk aduksi (gerak primer).5
● Otot Rektus Lateral
Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik.
Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi.5
● Otot Oblik Superior
Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenodi di atas foramen
optik, berjalan menuju troklea dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior, yang kemudian
berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi N. IV
atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat. Berfungsi menggerakkan
bola mata untuk depresi (primer) terutama bila mata melihat kenasal, abduksi dan insiklotorsi.
Oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.5
● Otot Oblik Inferior
Oblik inferior mempunyai origo pada foss lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera
posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk
menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi.5

Gambar 1. Spiral of tilaux


Khurana A. Comprehensive Opthalmology. 7th Ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2019.

12
Otot oblikus superior berorigo pada tulang orbita superomedial dari foramina optikus.
Otot ini kemudian membentuk sistem katrol yang disanggah oleh trochlea dan berujung pada
superolateral sklera dibelakang garis ekuator. Otot oblikus inferior berorigo pada tulang maksila
lateral dari permukaan pembukaan ductus nasolakrimalis. Otot ini akan berjalan lateroinferior
danberinsersi pada lateroinferior skelera dibelakang garis ekuator.
Otot-otot ekstraokuler mendapatkan suplai darah dari arteri oftalmika, arteri lakrimal dan
arteri infraorbita. Otot rektus superior, rektis inferior, rektus medial, rektus inferior, dan oblik
inferior dipersarafi oleh N.III (Okulomotor). Untuk otot oblik superior dipersarafi oleh N.IV
(Troklear) dan untuk otot rektus lateral dipersarafi oleh N.VI (Abdusen). Otot levator palpebra,
sfingter dan siliaris dipersarafi oleh N. III (Okulomotor).
Rongga orbita lateromedial membentuk sudut 45 derajat dari satu sama lain, alhasil aksis
orbita akan membentuk sudut 23 derajat dari kedua dinding orbita. Ketika mata melihat lurus
kedepan, aksis visual akan membentuk sudut 23 derajat terhadap aksis visual.

3.2 Fisiologi Otot Ekstraokular


3.2.1 Aksis dan Bidang Fick

Diameter bola mata manusia dewasa adalah sekitar 24-25mm, dan dapat
berputar ke kanan kiri (horizontal), ke atas dan ke bawah (vertikal), dan
torsional ke luar dan ke dalam. Aksis dan bidang fick merupakan garis dan
bidang imajiner yang membagi bola mata menjadi beberapa bentuk rotasi.
Terdapat sumbu Z (sumbu vertikal), sumbu X (sumbu horizontal), sumbu Y
(sumbu anteroposterior) dan listing plane yang membagi bolamata
menjadianteroposterior:1,4

 Bola mata berputar ke kiri dan ke kanan pada aksis Z vertikal.


 Bola mata bergerak ke atas dan ke bawah pada aksis X horizontal.
 Gerakan torsional terjadi pada aksis Y (sagital) yang melintasi bola mata dari depan
ke belakang (mirip dengan sumbu anatomi mata). Intorsi terjadi ketika limbus
superior berotasi ke arah nasal, dan ekstorsi pada rotasi ke arah temporal.

13
Gambar 2 . Aksis dan Bidang Fick
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.2.2 Jenis Pergerakan Bola Mata


3.2.2.1 Monokular
Gerakan satu mata memutari sumbu vertikalnya ke lateral dan medial, atau memutari
sumbu horizontalnya ke superior serta inferior disebut sebagai gerakan duksi. Duksi ke arah
lateral disebut sebagai abduksi, ke medial, adduksi, ke superior, supraduksi / elevasi, dan ke
inferior adalah infraduksi / depresi. Eksiklo dan insiklo masing-masing secara berurutan adalah
gerakan torsional ke luar dan ke dalam.1
Penilaian duksi adalah dalam konteks monocular, dan hambatan / keterbatasan dalam
melakukan gerak duksi dapat menjadi petunjuk adanya paresis / paralisis atau restriksi.1

3.2.2.2 Binokular
Pergerakan kedua bolamata dapat dibedakan menjadi versi dan vergensi. Pergerakan
versi yang dikenal sebagai pergerakan konjugat merupakan pergerakan simetris kedua bola mata
kearah yang sama. Versi dapat dibagi menjadi:2
• Dekstroversi : Pergerakan kedua mata ke arah kanan akibat kontraksi simultan otot
rektus lateral kanan dan otot rektus medial kiri
• Levoversi : Pergerakan kedua mata ke arah kiri akibat kontraksi simultan otot rektus
lateral kiri dan rektus medial kanan

14
• Supraversi : Pergerakan kedua mata ke arah atas akibat kontraksi simultan otot rektus
superior dan otot oblik inferior kedua mata
• Infraversi : Pergerakan kedua mata ke arah bawah akibat kontraksi simultan otot
rektus inferior dan oblik superior kedua mata.
• Dekstroelevasi: Pergerakan kedua mata ke arah kanan atas akibat kontraksi simultan otot
rektus superior kanan dan oblik inferior kiri.
• Dekstrodepresi : Pergerakan kedua mata ke arah kanan bawah akibat kontraksi
simultan otot rektus inferior kanan dan oblik superior kiri.
• Levoelevasi : Pergerakan kedua mata kearah kiri atas akibat kontraksi simultan otot
rektus superior kiri dan oblik inferior kanan.
• Levodepresi : Pergerakan kedua mata kearah kiri bawah akibat kontraksi simultan otot
rektus inferior kiri dan oblik superior kanan.
• Dekstrosikloversi: Pergerakan bola mata memutar sepanjang aksis anteroposterior
dimana limbus superior kedua mata berputar ke kanan
• Levosikloversi: Pergerakan kebalikan dekstrosikloversi dimana limbus superior kedua
mata berputar ke kiri.

Gambar 3. Sembilan Gerakan Bola Mata


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

15
Vergensi, juga disebut gerakan diskonjugasi, adalah gerakan sinkron dan simetris dari
kedua mata dalam arah yang berlawanan misalnya:2
1. Konvergensi : Gerakan simultan ke arah dalam dari kedua mata yang dihasilkan dari
kontraksi rektus medial.
2. Divergensi : Gerakan simultan ke arah luar dari kedua mata yang dihasilkan oleh
kontraksi otot rektus lateral.

Otot Kerja Primer Kerja Sekunder Kerja Tersier


Rektus Medial Adduksi
Rektus Lateral Abduksi
Rektus Inferior Depresi Eksikloduksi Adduksi
Rektus Superior Elevasi Insikloduksi Adduksi
Oblik Inferior Eksikloduksi Elevasi Abduksi
Oblik Superior Insikloduksi Depresi Abduksi

Gambar 4. Kerja Otot-Otot Ekstraokular


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.2.3 Sinergis, Antagonis, dan Otot Yoke


• Sinergis
Otot yang memiliki kesamaan kerja primer di mata yang sama; misalnya, rektus superior dan
oblik inferior dari mata yang sama bekerja secara sinergis untuk elevasi.4

• Antagonis
Otot yang memiliki kerja primer yang berbeda di mata yang sama. Misalnya rektus medial dan
lateral, rektus superior dan inferior, dan oblik superior dan inferior adalah antagonis satu sama
lain di mata yang sama.4

• Otot yoke (sinergis kontralateral)


Sepasang otot (satu dari setiap mata) yang berkontraksi secara bersamaan selama pergerakan
versi. Misalnya, rektus lateral kanan dan rektus medial kiri bertindak sebagai otot yoke untuk
16
gerakan dekstroversi. Pasangan otot yoke lainnya adalah: MR kanan dan LR kiri, LR kanan dan
MR kiri, SR kanan dan IO kiri, IR kanan dan kiri SO, kanan SO dan IR kiri dan IO kanan dan SR
kiri.4

• Antagonis kontralateral : Sepasang otot (satu dari setiap mata) memiliki tindakan yang
berlawanan; untuk contoh, LR kanan dan LR kiri, MR kanan dan MR kiri.4

Gambar 5. Pasangan Otot Yoke


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.2.4 Hukum-Hukum Gerakan Bola Mata


3.2.4.1 Hukum Hering
Menurut hukum hering, inervasi yang setara dan simultan akan mengalir dari otak ke
sepasang otot yoke saat gerakan binocular (versi dan vergensi). Misalnya:2
• Selama dekstroversi : Rektus lateral kanan dan otot rektus medial kiri menerima
inervasi dalam jumlah yang sama secara simultan
• Selama konvergensi : Kedua rektus medial mendapat inervasi yang setara
• Selama dekstroelevasi: Rektus superior kanan dan oblik inferior kiri menerima inervasi
dalam jumlah yang sama secara simultan.

17
Gambar 6. Hukum Hering4
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.2.4.2 Hukum Sherrington


Hukum Sherington menyatakan bahwa peningkatan inervasi pada otot akan disertai
dengan penurunan inervasi pada otot antagonis, contoh saat dekstroversi, peningkatan inervasi
pada rektus lateral kanan dan rektus medial kiri akan diikuti penurunan inervasi rektus medial
kanan dan rektus medial kiri. Hukum Sherrington berlaku untuk kedua versi dan vergensi.2

Gambar 7. Hukum Sherrington


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.2 Perkembangan dari BSV


Binocular Single Vision (BSV) merupakan koordinasi kedua mata untuk menghasilkan
sebuah persepsi benda yang utuh. Refleks ini belum ada saat lahir namun terbentuk mulai usia

18
6 bulan dan sempurna pada beberapa tahun awal kehidupan. Ketika individu normal memfiksasi
perhatian visualnya pada suatu benda yang diperhatikan, bayangan terbentuk pada fovea di
kedua mata secara terpisah, tapi individu menerima satu gambar. Keadaan ini disebut Binocular
Single Vision (BSV). Dengan kata lain, BSV adalah penggunaan kedua mata yang terkoordinasi
sehingga menghasilkan satu kesan utuh.2,4
Hal penting dalam perkembangan visual adalah:2

• Saat lahir tidak ada fiksasi sentral dan mata bergerak secara acak.
• Pada bulan pertama kehidupan, refleks fiksasi mulai berkembang dan menjadi matang
dalam 6 bulan.
• Pada usia 6 bulan, stereopsis makula dan refleks akomodasi berkembang sempurna.
• Pada usia 6 tahun ketajaman visual penuh (6/6) tercapai dan BSV berkembang dengan
baik.

Secara proses, BSV adalah refleks peleburan (fusi) atau integrasi di tingkat korteks,
terhadap dua imej yang berasal dari dua retina (kanan dan kiri) sehingga pada akhirnya dilihat
/ dipersepsikan sebagai satu gambar tunggal. Tanpa BSV, dua imej dari dua mata akan selalu
terlihat sebagai dua imej. Agar pusat penglihatan di otak bisa belajar melebur dua imej menjadi
satu, syarat-syarat di bawah ini harus terpenuhi, yaitu:1

1. Tidak terdapat gangguan anatomi maupun fisiologi sepanjang jalur penglihatan sehingga tajam
penglihatan kedua mata baik dan setara. Dengan demikian terdapat input imej yang berkualitas
baik dan sama jelas / terang serta serupa bentuk / ukuran.
2. Aksis penglihatan kedua mata selalu mengarah dan berfiksasi pada objek, sehingga terdapat
lapang pandangan mata yang beririsan, melalui koordinasi otot-otot ekstraokular dengan tingkat
ketepatan tinggi (fusi motorik baik)
3. Elemen-elemen retinokortikal mampu saling bekerja sama untuk membantu fusi (fungsi
sensorik baik)
Imej yang berkualitas baik adalah yang jatuh tepat di fovea, karena fovea memiliki
potensi tajam penglihatan paling tinggi. Untuk keperluan itu harus ada otot-otot ekstraokular

19
yang berfungsi baik, disertai koordinasi yang juga baik dengan otak agar imej bisa dijatuhkan di
kedua fovea secara serentak. Jika imej tidak dapat dilebur dengan baik karena belum jatuh tepat
di fovea, otak akan mengarahkan otot agar lebih segaris dengan objek. Gerakan kedua bola mata
(yang dikendalikan oleh otak) untuk menyegariskan diri ke arah objek yang dituju adalah fusi
motorik. Fusi motoric ini merupakan syarat untuk terjadinya fusi sensorik, yaitu proses
neurofisiologi di area sensorik visual otak untuk mengintegrasikan data visual dari dua mata
menjadi satu.1
Ketidakmampuan mengatur posisi bola mata karena misalnya kelumpuhan otot, trauma,
atau gangguan fusi sensorik pasca-stroke, dan lain-lain bisa mengganggu BSV karena imej tidak
jatuh di fovea sebagaimana harusnya, dan pasien akan mengalami keluhan penglihatan dobel
(diplopia).1
3.2.1 Anomali pada BSV
Anomali dari BSV meliputi supresi, ambliopia, abnormal retinal correspondence
(ARC), konfusi, dan diplopia.2
3.2.1.1 Supresi
Ini adalah penghambatan kortikal aktif sementara dari bayangan suatu benda yang
terbentuk di retina mata yang juling. Fenomena ini hanya terjadi selama penglihatan binokular
(dengan kedua mata terbuka). Namun, ketika mata fiksasi tertutup, mata yang juling akan fiksasi
(supresi menghilang).2

3.2.1.2 Ambliopia
Penurunan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik (BCVA, Best Corrected Visual
Acuity) pada satu atau (lebih jarang) dua mata yang disebabkan oleh bentuk deprivasi
penglihatan dan atau interaksi binokular abnormal, di mana tidak ada patologi dari mata atau
jalur visual yang dapat diidentifikasi. Ambliopia dapat disebabkan oleh:1,4
• Strabismus
• Perbedaan besar di antara status refraksi kedua mata (anisometropia)
• Deprivasi / hilangnya asupan rangsang penglihatan (missal katarak kongenital, massa di
posterior, dll)

20
3.2.2 Abnormal Retinal Correspondence (ARC)
ARC adalah kondisi di mana elemen retina yang tidak sesuai memperoleh arah visual
subjektif umum dikarenakan fusi terjadi dengan adanya esotropia dengan sudut kecil. Fovea
mata fiksasi dipasangkan dengan elemen non-foveal dari mata yang juling. Respons binokular di
ARC tidak pernah sebaik BSV bifoveal normal. Paling sering dijumpai pada esotropia sudut
kecil (mikrotropia), tetapi kurang umum di esotropia akomodatif karena variabilitas sudut deviasi
dan dalam deviasi sudut besar karena pemisahan gambar terlalu besar.4

3.2.3 Konfusi dan Diplopia


Konfusi adalah persepsi simultan dari dua gambar yang tumpang tindih tetapi berbeda
yang disebabkan oleh stimulasi fovea dengan gambar objek yang berbeda. Kelainan ini jarang
terjadi. Diplopia disebabkan oleh bayangan benda yang sama jatuh pada fovea di satu mata dan
non fovea dimata lainnya. Diplopia dapat terjadi secara binokular atau uniokular.4

Gambar 8. Konfusi
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

21
Gambar 9. Diplopia
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.3 Adaptasi Motorik pada Strabismus


Adaptasi motorik strabismus dapat terjadi dalam bentuk vergensi seperti yang sudah
dijelaskan di atas atau perubahan postur kepala (compensatory head posture). Ada tiga bentuk
perubahan postur yaitu face turn, head tilt, elevasi atau depresi dagu. Perubahan posisi ini lebih
sering terlihat pada strabismus inkomitan.4

Gambar 10. Adaptasi Face Turn, Head Tilt, dan Chin Elevation
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

22
3.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
3.4.1 Stereopsis
Stereopsis diukur dalam seconds of arc (1° = 60 minutes of arc; 1 menit = 60 detik);
semakin rendah nilainya semakin baik ketajaman stereo. Penting untuk diingat bahwa resolusi
spasial normal (ketajaman visual) adalah 1 menit dan stereoacuity normal adalah 60 detik (juga 1
menit, tetapi secara konvensional dinyatakan dalam detik). Berbagai tes, menggunakan prinsip
yang berbeda, digunakan untuk menilai ketajaman stereo. Beberapa tes yang dapat digunakan
untuk menilai tes stereopsis adalah Titmus, TNO, Frisby, dan Lang.4

Gambar 11. Stereopsis


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.4.2 Tes Titmus


Tes Titmus terdiri dari grafik vektor terpolarisasi tiga dimensi yang terdiri dari dua pelat
dalam bentuk buklet yang dilihat melalui kacamata terpolarisasi. Di sebelah kanan adalah lalat
besar, dan di kiri adalah serangkaian lingkaran dan binatang (Gambar 12). Tes harus dilakukan
pada jarak 40 cm.
• Lalat adalah tes stereopsis kasar (3000 detik), dan adalah sangat berguna untuk anak
kecil. Seharusnya terlihat menonjol dari halaman dan anak didorong untuk ambil ujung salah
satu sayapnya.

23
• Komponen hewan terdiri dari tiga baris berbagai gaya hewan (400–100 detik), salah
satunya akan muncul depan bidang referensi.
• Lingkaran terdiri dari seri bertingkat berukuran 800–40 detik; salah satu dari empat
lingkaran akan tampak berdiri keluar dari permukaan pelat.

Gambar 12. Tes Titmus


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.4.3 Tes TNO


Tes TNO terdiri dari tujuh pelat yang secara acak mendistribusikan titik-titik merah dan
hijau berpasangan yang dilihat dengan kacamata merah-hijau, dan mengukur dari 480 hingga 15
seconds of arc pada 40 cm. Di dalam setiap pelat, titik-titik satu warna membentuk bentuk target
(persegi, salib, dll. Gambar 13) dipindahkan secara horizontal ke dalam hubungan titik-titik

24
berpasangan warna lain sehingga memiliki disparitas retina yang berbeda dengan titik-titik di
luar target. Kontrol bentuk terlihat tanpa kacamata.4

Gambar 13. Tes TNO


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.4.4 Tes Frisby


Stereotes Frisby terdiri dari tiga pelat plastik transparan dengan ketebalan yang
bervariasi. Di permukaan setiap piring dicetak empat bujur sangkar bentuk kecil yang
terdistribusi secara acak (Gambar 14). Satu kotak berisi lingkaran 'tersembunyi', di mana bentuk
acak dicetak di bagian belakang piring. Tes tidak membutuhkan kacamata khusus karena
disparitas (600–15 detik) dibuat oleh ketebalan pelat.4

Gambar 14. Tes Frisby


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.4.5 Tes Lang


25
Stereotes Lang tidak memerlukan kacamata khusus; target dilihat secara bergantian oleh
masing-masing mata. Perpindahan titik-titik menciptakan disparitas (1200– 200 detik) dan pasien
diminta untuk menyebutkan atau menunjuk ke simple bentuk, seperti bintang, pada kartu
(Gambar 15).4

Gambar 15. Tes Lang


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.5 Pemeriksaan Anomali Sensoris


3.5.1 Worth Four Dot Test
Ini adalah tes disosiasi yang dapat digunakan dengan kedua jarak dan fiksasi dekat dan
membedakan antara BSV, ARC dan supresi. Hasil hanya bisa diartikan jika ada atau tidak
adanya juling yang nyata (tropia). Tes ini tetap menjadi salah satu alat klinis yang paling sering
digunakan di dunia untuk mengevaluasi supresi unilateral dalam kondisi penglihatan binokular.4,9
Prosedur:4
1. Pasien memakai lensa hijau di depan mata kanan, yang menyaring semua warna kecuali
hijau, dan lensa merah di depan mata kiri yang akan menyaring semua warna kecuali merah
(Gambar 16A).
2. Pasien kemudian melihat sebuah kotak dengan empat lampu: satu merah, dua hijau dan
satu putih.
Hasil: (Gambar 16B)4

26
• 4 cahaya terlihat menandakan terdapat BSV
• 4 cahaya terlihat saat mata pasien heterotropia menandakan terdapat ARC

• 2 cahaya merah terlihat menandakan supresi kanan


• 3 cahaya hijau terlihat menandakan supresi kiri
• 2 cahaya merah dan 3 cahaya hijau terlihat menandakan diplopia

• Cahaya hijau dan merah terlihat bergantian menandakan adanya supresi bergantian
(alternating)

Gambar 16. Worth Four Dot Test. Kacamata Merah-Hijau (A); Hasil (B)
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

27
3.5.2 Tes Bagolini
Tes Bagolini dapat digunakan untuk mendeteksi BSV, ARC, atau supresi. Pasien
menggunakan kacamata yang memiliki garis halus yang mengkonversi sumber cahaya menjadi
garis seperti pada pemeriksaan Maddox rod.4
Prosedur:4
1. Kedua lensa ditempatkan pada 45° dan 135° di depan dari setiap mata dan pasien diminta
memfiksasi sumber cahaya (Gambar 17A).
2. Setiap mata mempersepsi sinar oblik, tegak lurus dengan yang dirasakan oleh mata lainnya
(Gambar 19B).
Hasil: (Gambar 17C)4
• Dua garis berpotongan di pusatnya dalam bentuk salib miring ('X'), pasien memiliki BSV bila
mata pasien lurus (normal), atau ARC bila mata pasien heterotropia
• Dua garis terlihat tetapi tidak membentuk persilangan, terdapat diplopia
• Hanya satu garis yang terlihat, terdapat supresi

Gambar 17. Tes Bagolini

28
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.5.3 Sinaptofor
Sinaptofor adalah instrumen yang melakukan penilaian komprehensif penglihatan
binokular dengan mengkompensasi sudut juling dan memungkinkan rangsangan untuk disajikan
ke kedua mata secara bersamaan (Gambar 18A). Sinaptofor juga dapat mendeteksi supresi dan
ARC.4,10
Sinaptofor terdiri dari dua tabung silinder yang membengkok kanan dan kiri dengan lensa
+6,50 D di masing-masing lensa mata (Gambar 18B). Jarak pengujian di atur ekuivalen dengan
jarak 6 meter. Sinoptofor dapat mengukur derajat horizontal, vertikal, dan torsional sehingga
membantu perencanaan terapi terutama pembedahan. Sinaptofor juga dapat mengecek derajat
BSV.4,10

Gambar 18. Sinaptofor


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

Derajat BSV
1. Derajat Satu (Persepsi Simultan)
29
Persepsi simultan adalah kekuatan untuk melihat dua objek yang berbeda secara
bersamaan. Itu diuji dengan memproyeksikan dua objek yang berbeda (yang dapat bergabung
atau ditumpangkan untuk membentuk gambaran yang lengkap) di depan kedua matanya.
Misalnya, ketika gambar seekor burung diproyeksikan ke mata kanan dan sangkar ke mata kiri,
seorang individu dengan kehadiran persepsi simultan akan melihat burung di kandang (Gambar
19A).2
2. Derajat Dua (Fusi)
Ini terdiri dari kekuatan untuk melapiskan dua gambar yang tidak lengkap tetapi mirip
dengan membentuk satu gambar lengkap (Gambar 19B). Kemampuan subjek untuk terus
melihatnya gambaran lengkap ketika matanya dibuat menyatu atau menyimpang beberapa
derajat, memberikan positif dan kisaran fusi negatif, masing-masing.2
3. Derajat Tiga (Stereopsis)
Ini terdiri dari kemampuan untuk mempersepsikan tiga dimensi (persepsi kedalaman). Ini
dapat diuji dengan slide stereopsis di sinaptofor (Gambar 19C).2

Gambar 19. Derajat BSV


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.5.4 After Image Test


Pemeriksaan after image test dilakukan dengan menstimulasi fovea kanan dengan sinar
vertikal dan fovea kiri dengan sinar horizontal terang. Pasien kemudian diminta menggambar
posisi bayangan setelah penyinaran.2
Hasil
• Seorang pasien dengan korespondensi retina normal akan menggambar salib (Gambar 20A).

30
• Seorang pasien esotropik dengan ARC akan menggambar gambar vertikal di sebelah kiri
horizontal (Gambar 20B).
• Seorang pasien eksotropik dengan ARC akan menggambar gambar vertikal di sebelah kanan
horizontal (Gambar 20C).

Gambar 20. After Image Test


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.6 Pengukuran Deviasi


3.6.1 Tes Hirschberg
Ini kasar tapi metode praktis untuk memperkirakan sudut manifes juling. Di dalamnya
pasien diminta untuk memfiksasi pada titik cahaya yang dipegang pada jarak 33 cm dan deviasi
refleks cahaya kornea dari pusat pupil dinilai sebagai mata juling. Pemeriksaan Hirschberg
dilaporkan dengan satuan “derajat”. Secara kasar, sudut juling adalah 15 ° dan 45 ° Ketika
refleks cahaya kornea jatuh di perbatasan pupil dan limbus, masing-masing (Gambar 21). Setiap
milimeter deviasi kira-kira sama dengan 7° (1° = 2 prisma dioptri).1,2-4

Gambar 21. Tes Hirschberg

31
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.6.2 Tes Krimsky dan Refleksi Prisma


Tes Krimsky dan refleksi prisma dapat dilakukan sebagai kelanjutan dari tes refleks
cahaya kornea dimana pasien diminta untuk memfiksasi cahaya pada jarak sekitar 33cm. Sebuah
prisma diletakkan di depan mata yang berdeviasi dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk
memusatkan refleks kornea digunakan untuk mengukur sudut deviasi.2,4,6

Gambar 22. Tes Krimsky


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.6.3 Tes Cover-Uncover, dan Alternate Cover Tes Cover


Tes cover digunakan untuk mendeteksi heterotropia. Dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:2,4,6
1. Pasien memfiksasi pada target lurus ke depan.
2. Jika diduga ada deviasi mata kiri, pemeriksa menutup fiksasi dari mata kanan dan mencatat
setiap gerakan mata kiri untuk mengambil fiksasi.
3. Tidak ada gerakan menunjukkan ortotropia dan bila ada pergerakan menunjukkan heterotropia
4. Adduksi mata kiri untuk melakukan fiksasi menunjukkan eksotropia kiri dan abduksi,
esotropia kiri.
5. Gerakan ke bawah menunjukkan hipertropia kiri dan gerakan ke atas hipotropia kiri.
6. Tes diulang pada mata yang berlawanan.

32
Gambar 23. Eksotropia Kiri
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

Gambar 24. Tes Cover


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

Tes Uncover
Tes uncover digunakan untuk mendeteksi heteroforia. Dapat dilakukan dengan
bersamaan dengan tes cover sebagai berikut:2,4,6
1. Setelah penutup mata dari tes cover dilepas dari mata, mata yang muncul setelah ditutup
diamati oleh pemeriksa selama 2-3 detik.
2. Jika posisi mata berubah, maka terdapat foria sesuai dengan arahnya.

33
Gambar 25. Tes Uncover
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

Tes Alternate Cover


Tes alternate cover menginduksi disosiasi untuk mengungkapkan total deviasi ketika fusi
terganggu. Itu harus dilakukan hanya setelah tes cover-uncover dengan cara sebagai berikut:2,4,6
1. Mata kanan ditutup selama beberapa detik.
2. Okluder dengan cepat digeser ke mata yang berlawanan selama 2 detik, lalu bolak- balik
beberapa kali. Setelah penutup disingkirkan, pemeriksa mencatat kecepatan dan kelancaran
pemulihan saat mata kembali ke kondisi semula
3.6.4 Tes Prism Cover
Prism cover test dilakukan dengan meletakkan prisma dengan kekuatan yang naik
bertahap dan basis berlawanan arah deviasi (puncak prisma diarahkan kearah deviasi). pasien
diminta untuk memfiksasi suatu objek dengan mata lainnya. Tes tutup- buka dilakukan sampai
tidak ada gerakan pemulihan mata di bawah penutup. Tes ini akan memberi tahu derajat deviasi
dalam dioptri prisma. Baik heteroforia maupun heterotropia dapat diukur dengan tes ini.2,4,6
3.6.5 Maddox Rod dan Maddox Wing
Maddox Rod terdiri dari serangkaian batang kaca silinder merah yang menyatu yang
mengubah tampilan titik cahaya putih menjadi garis merah. Sifat optik batang menyebabkan
garis cahaya berada pada sudut 90° dengan sumbu panjang batang; Ketika batang kaca dipegang
secara horizontal, garisnya akan vertikal dan sebaliknya.2,4,6
Karena terdapat gambar yang berbeda dari dua mata, fusi rusak dan heteroforia menjadi
manifes. Nomor pada Maddox Tangent Scale di mana garis merah jatuh akan menjadi jumlah
derajat heteroforia. Ketika tidak ada Maddox Tangent Scale disosiasi antara titik lampu dan garis
merah diukur dengan superimposisi dua bayangan dengan cara prisma ditempatkan di depan satu
mata dengan puncak ke arah phoria.2,4,6

34
Gambar 26. Tes Maddox Rod Horizontal (A) Vertikal (B)
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

Maddox Wing adalah instrument untuk melihat adanya heteroforia (pada jarak 33 cm).
Tes ini berdasarkan prinsip dasar disosiasi fusi oleh objek yang berbeda. Alat ini didesain
sedemikian rupa sehingga melalui dua celahnya, mata kanan melihat panah putih vertikal dan
panah merah horizontal. Mata kiri melihat garis vertikal dan horizontal angka. Pasien diminta
untuk menyebutkan nomor pada garis horizontal yang ditunjuk oleh panah putih vertikal
(mengukur foria horizontal) dan nomor pada garis vertikal yang ditunjuk oleh panah merah
(mengukur foria vertikal). Sikloforia dapat diukur dengan meminta pasien untuk menyelaraskan
panah merah dengan garis horizontal angka (Gambar 27).2

35
Gambar 27. Tes Maddox Wing
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.6.6 Bagan Hess dan Lees


Bagan Hess berguna dalam diagnosis dan monitoring pasien dengan strabismus
inkomitan. Bagan Hess terdiri dari pola khusus dengan latar belakang berwarna abu- abu gelap.
Pasien kemudian diminta untuk mengarahkan pointer dengan cahaya hijau ke titik merah yang
ada. Titik merah diletakkan ke sembilan arah gerakan bola mata. Pada layar Lees, disosiasi
dengan warna merah dan kurva yang lebih kecil menandakan adanya paresis otot sedangkan
kurva yang besar menandakan overaksi otot. Bagian yang condong masuk atau keluar
menandakan otot tertentu yang paresis. Sekuele paresis otot dapaf terlihat dengan melihat semua
pola otot.2,4,6

Gambar 30. Bagan Hess

36
Gambar 28. Layar Lees
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.7 Strabismus
3.7.1 Definisi dan Klasifikasi Strabismus
Strabismus, sering disebut "mata juling," atau "tampak miring" adalah suatu kondisi mata
di mana mata tidak selaras satu sama lain. Strabismus dapat bersifat manifes (tropia), atau laten
(foria). Strabismus manifes adalah deviasi nyata yang tidak terkontrol oleh fusi. Pemahaman
“laten” adalah bahwa kecenderungan mata untuk berdeviasi masih dapat dikontrol oleh
mekanisme fusi sehingga mata tetap terlihat lurus dan juling tersembunyikan. Juling atau deviasi
akan muncul jika fusi diganggu atau tidak senggup dipertahankan.2,4,6
Secara garis besar strabismus dapat diklasifikasikan menjadi pseudostrabismus, heteroforia,
heterotropia. Heterotropia dapat dibagi menjadi konkomitan dan inkomitan.2

3.7.2 Pseudostrabismus
Pseudostrabismus berasal dari kata pseudo yang berarti “menyerupai” dan strabismus.
Pseudostrabismus merupakan kondisi dimana mata terlihat seolah-olah juling, tetapi sebetulnya
tidak ada deviasi. Pseudostrabismus khusunya pseudoesotropia adalah kondisi yang paling sering
dijumpai.1-2,4
Pseudoesotropia adalah bentuk strabismus yang paling sering dijumpai dan bisa terjadi
karena morfologi wajah seperti bayi dengan jembatan hidung dan lipatan epikantus yang lebar
(Gambar 29A). Pseudoeksotropia dapat terlihat pada hipertelorisme di mana kedua mata terletak
berjauhan sehingga terkesan eksodeviasi (Gambar 29B).1-2,4

37
Gambar 29. Pseudostrabismus
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.7.3 Heteroforia
Heteroforia juga dikenal sebagai “strabismus laten”, adalah kondisi di mana
kecenderungan mata untuk berdeviasi dipertahankan oleh fusi. Oleh karena itu, ketika pengaruh
fusi dihilangkan deviasi akan muncul. Heteroforia dapat dibedakan menjadi esoforia, eksoforia,
hiperforia, hipoforia, dan sikloforia.2,4,6
Esoforia merupakan kondisi deviasi bola mata ke sisi nasal sedangkan exoforia
merupakan deviasi bola mata ke sisi temporal. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan apakah
deviasi terlihat semakin besar pada saat melihat dekat (convergence excess), jauh (divergence
excess) atau tidak ada pola (non-specific). Hiperforia dan hipoforia merupakan kecenderungan
bola mata bergerak keatas atau kebawah. Sikloforia adalah kecenderungan bola mata untuk rotasi

38
sepanjang sumbu anteriorposterior, bila berputar ke nasal disebut insikloforia dan bila temporal
disebut eksikloforia.2,4,6
Manifestasi klinis bergantung pada apakah heteroforia terkompensasi atau tidak.
Heteroforia terkompensasi bergantung pada kemampuan fusional dan biasanya tidak
menimbulkan gejala. Heteroforia tidak terkompensasi dapat muncul gejala sebagai astenopia
(sakit kepala, sakit mata, fotofobia) dan kegagalan BSV (diplopia, kabur). 2,4,6 Terdapat juga
beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan visus (disarankan dengan
sikloplegia), tes cover-uncover, tes prism cover, maddox rod dan maddox wing.2,4,6
Tatalaksana biasanya ditujukan terutama pada heteroforia tidak terkompensasi.
Tatalaksana paling utama adalah koreksi kelainan refraksi yang biasanya bisa membetulkan foria
dan mengurangi beban kerja mata. Latihan ortoptik diindikasikan pada heteroforia yang tidak
terkoreksi dengan kacamata. Laithan ini bisa dilakukan dengan sinaptofor. Kacamata prisma
dilakukan pada kasus yang sangat menganggu. Tatalaksana operasi dilakukan pada pasien
dengan gejala yang tidak berkurang dengan tindakan lainnya. Tujuan dari manajemen bedah
adalah untuk memperkuat otot yang lemah atau melemahkan otot yang kuat.2,4,6
3.7.4 Strabismus Konkomitan
Ini adalah jenis strabismus manifes di mana derajat deviasinya pada mata yang juling
tetap konstan (tidak berubah) ke segala arah pandangan dan tidak ada batasan terkait gerakan
okular. Strabismus konkomitan dapat terjadi bila terjadi gangguan selama perkembangan BSV
(proses ini dimulai sejak usia tiga sampai 6 bulan dan sempurna pada usia lima sampai enam).
Gangguan dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan sentral. Gangguan sensoris
mengganggu formasi bayangan yang jelas pada retina yang penting dalam pembentukan BSV.
Gangguan dapat berupa kelainan refraksi, penggunaan kacamata yang tidak tepat, anisometropia,
opasitias pada media refraksi, masalah retina, dan obstruksi daerah pupil akibat ptosis. Gangguan
motorik mengganggu pembentukan BSV karena membuat mata tidak fokus dengan baik ke titik
yang dituju dan gangguan sentral meliputi kegagalan pembentukan sistem fusi kedua mata atau
kontrol kortikal akibat trauma mental, masalah SSP.2,4,6
Strabismus konkomitan dapat secara umum dibedakan menjadi esotropia, eksotropia,
hipertropia, dan hipotropia. Pemeriksaan tes cover akan mengkonfirmasi adanya strabismus
konkomitan. Pemeriksaan gerak bola mata seluruh arah tidak akan menunjukkan perubahan

39
deviasi. Tes alternate cover akan mengecek apakah strabismus bersifat unilateral atau alternating
serta membedakan strabismus konkomitan dari paralitik (deviasi sekunder lebih besar dari
primer pada strabismus paralitik). Estimasi besar deviasi dapat diukur menggunakan tes
hischberg, tes prism cover, krimsky, atau sinaptofor. Pemeriksaan gangguan sensoris pada BSV
dapat menggunakan worth four dot test, after image test, sinaptofor dan tes lainnya yang sudah
dibahas sebelumnya.2,4,6
3.7.4.1 Esotropia
Strabismus konvergen atau esotropia menunjukkan deviasi ke dalam dari satu mata dan
merupakan jenis juling yang paling umum pada anak-anak. Bisa jadi unilateral (mata yang sama
selalu menyimpang ke dalam dan mata normal kedua membutuhkan fiksasi) atau alternate
(Gambar 30, salah satu mata menyimpang ke dalam dan mata lainnya mengambil fiksasi, secara
bergantian).2,4,6
Esotropia infantil dicirikan dengan onset gejala saat 1-2 bulan namun bisa muncul hingga
6 bulan. Sudut deviasi biasanya konstan dan besar (> 30 derajat). Ambliopia terbentuk 25-40%
kasus. Pada kasus ini, operasi merupakan pilihan utama namun tatalaksana untuk ambliopia
harus dilakukan terlebih dahulu dengan menutup mata yang dominan. Operasi sebaiknya
dilakukan antara usia 6 bulan dan 2 tahun, namun yang paling baik sebelum usia 1 tahun.2,4,6
Esotropia akomodatif dikarenakan konvergensi yang berlebihan. Esotropia ini merupakan
jenis esotropia yang paling umum dan sering terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Terdapat 3 jenis,
refraktif akomodatif esotropia dikaitkan dengan hipermetropia yang tinggi dan dapat sembuh
dengan penggunaan kacamata. Nonrefraktif akomodatif esotropia terjadi akibat rasio AC/A
(akomodatif konvergensi/akomodasi) yang berlebihan. Hal ini terjadi independen dari status
kelainan refraksi sehingga dapat terjadi pada anak tanpa kelainan refraksi. Esotropia lebih besar
pada jarak dekat dan bahkan jauh pada jarak jauh. Tatalaksana dengan kacamata bifocal dan
tambahan kacamata adisi biasanya memperbaiki. Midriatikum kadang menjadi alternatif karena
membantu akomodasi. Adanya hipermetropia dan tingginya rasio AC/A merupakan jenis
esotropia akomodatif campuran. Penggunaan kaca mata hipermetrop dan addisi +3 digunakan
untuk jenis ini.2,4,6
Esotropia non-akomodatif adalah esodeviasi yang terjadi tanpa disebabkan oleh
akomodasi. Esotropia sensoris terjadi akibat lesi monookular yang menggganggu pandangan

40
seperti katarak, retinoblastoma, dan afakia. Esotropia konsekutif merupakan koreksi berlebihan
saat operasi juling.2,4,6

Gambar 30. Alternate Esotropia


Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.7.4.2 Eksotropia
Eksotropia pada usia dini (eksotropia kongenital) jarang terjadi dan biasanya sudah ada
sejak lahir dengan sudut deviasi yang besar. Eksotropia primer dapat bersifat intermiten ataupun
konstan, dan dapat bersifat unilateral atau alternating. Bertampak besar saat melihat dekat
(convergence excess), jauh (divergence excess), atau tidak spesifik (nonspecific type). Pada
eksotropia intermiten (gambar 31), deviasi dapat menjadi manifes akibat cahaya terang,
kelelahan, sakit, atau melamun dan onset biasanya terjadi saat usia 2 sampai 5 tahun. Eksotropia
akibat lesi monookular dapat disebut eksotropia sensorik (sensory deprivation). Eksotropia
akibat overkoreksi operasi esotropia disebut eksotropia konsekutif.2,4,6

41
Gambar 31. Eksotropia Intermiten
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.7.5 Strabismus Inkomitan


Strabismus inkomitan adalah jenis heterotropia (juling manifes) di mana: sudut deviasi
bervariasi dalam arah yang berbeda dari tatapan. Terdapat beberapa kondisi seperti:2,4,6
1. Strabismus paralitik
2. Heterotropia pola 'A' dan 'V'
3. Strabismus restriktif
3.7.5.1 Strabismus Paralitik
Strabismus paralitik mengacu pada deviasi okular yang dihasilkan dari kelumpuhan
komplit atau tidak komplit dari satu atau lebih otot ekstraokular. Lesi ini dapat berupa
neurogenik, miogenik, atau pada neuromuscular junction.2,4,6

42
Lesi neurogenik dapat berupa palsi nervus tiga dan enam, inflamatoris seperti meningitis,
lesi neoplastik seperti tumor otak, lesi vaskular seperti stroke dan trombosis, lesi trauma seperti
cedera kepala.2,4,6
Lesi miogenik dapat berupa kongenital (malinsersi, hipoplasia, kelemahan), lesi
traumatik seperti blowout fracture, lesi inflamatoris seperti miositis.2,4,6
Lesi pada neuromuscular junction meliput miastenia gravis yang menimbulkan
kelemahan otot dimulai dari otot kecil. Gejala yang timbul dapat berupa diplopia, konfusi yang
dapat berujung ke gejala astenopia, pusing ,mual dan lainnya. Kompensasi bentuk kepala dapat
terjadi untuk mengantisipasi diplopia dan konfusi. Lesi paralitik ditandai dengan deviasi
sekunder yang lebih besar dari deviasi primer. Terdapat pula restriksi dari pergerakan okular
terutama kearah otot yang paralisis. Pada saat pasien memfiksasi dengan mata juling maka
biasanya benda yang terfiksasi akan terkesan lebih jauh dari yang seharusnya (false
projection).2,4,6
Dalam kasus strabismus paralitik, jumlah persarafan untuk kedua mata simetris, dan
selalu ditentukan oleh fiksasi mata, sehingga sudut deviasi akan bervariasi menurut mata mana
yang digunakan untuk fiksasi. Misalnya jika, dalam kasus kelumpuhan rektus lateral kiri, mata
normal kanan digunakan untuk fiksasi, akan ada deviasi ke dalam mata kiri karena tidak dilawan
aksi antagonis rektus lateral kiri (rektus medial kiri). Jumlah ketidaksejajaran kedua mata dalam
situasi ini disebut deviasi primer.2,4,6
Jika mata kiri yang paresis sekarang digunakan untuk fiksasi, tambahan persarafan akan
mengalir ke rektus lateral kiri. Namun, menurut hukum Hering,jumlah persarafan yang sama
juga akan mengalir ke kanan rektus medial (otot yoke). Ini akan menghasilkan overaction dari
rektus medial kanan dan jumlah adduksi mata kanan yang berlebihan. Jumlah ketidaksejajaran
antara kedua mata dalam situasi ini disebut deviasi sekunder (gambar 35 kanan). Dalam juling
paretik, deviasi sekunder melebihi deviasi primer.2,4,6
Kesimpulan perbedaan strabismus paralitik dan non-paralitik dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

43
Gambar 32. Perbedaan Strabismus Paralitik dan Non-Paralitik
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.

3.7.5.2 Strabismus Pola AV


Strabismus pola AV dicirikan dengan deviasi yang berubah saat pandangan keatas dan
kebawah (strabismus horizontal yang inkomitan saat pandangan vertikal). Pada esotropia A dan
eksotropia V, deviasi meningkat saat pandangan keatas dan berkurang saat pandangan kebawah.
Pada eksotropia A dan esotropia V, deviasi berkurang saat pandangan ke atas dan bertambah saat
pandangan kebawah. Disfungsi otot oblik merupakan penyebab paling sering manifestasi klinis
ini. Penyebab lainnya meliputi disfungsi otot rektus, vertikal, ditambah beberapa faktor orbital.
Penanganan dilakukan dengan pembedahan dimana otot oblik dilemahkan. Bila tidak ada
overaktivasi dari otot oblik, transposisi otot rektus horizontal dapat dipertimbangkan.2,4,6
3.7.5.3 Strabismus Restriktif
Strabismus restriktif ditandai dengan tidak adanya paralisis otot ekstraokular melainkan
pergerakannya dibatasi. Beberapa fitur khas untuk restriktif adalah deviasi okular yang biasanya
kecil sesuai dengan keterbatasan gerak serta tes forced duction yang positif. Beberapa penyebab
umum kelainan ini adalah sindrom retraksi duane (kelainan kongenital akibat inervsi otot rektus
yang paradoksikal), sindrom brown tendon superior oblik (kelainan kongenital penebalan
jaringan fibrosa tendon otot oblik superior), fixus strabismus (kelainan fiksasi bilateral akibat
penebalan fibrosa kedua otot rektus medial), optalmopati distiroid, dan kerusakan otot
ekstraokuler pada blowout fracture.2,4,6
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Terapi medis

44
a. Terapi strabismus
Hasil tindakan bedah dapat diperkirakan dan stabil apabila ketajaman penglihatan kedua
mata sebelum operasi baik.1
b. Alat optik :
1. Kaca mata
Alat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang
diresepkan secara akurat. Klarifikasi citra retina yang dihasilkan oleh kacamata
memungkinkan mata menggunakan mekanisme fusi alamiah sebesar-besarnya.
Kesalahan refraksi yang ringan tidak perlu diperbaiki. Apabila terdapat hiperopia dan
esotropia yang bermakna, esotropia tersebut mungkin disebabkan oleh hiperopia
(esotropia akomodatif). Resep kacamata mengkompensasikan temuan-temuan
sikloplegik penuh. Apabila mungkin, gunakan kacamata bifokus yang memungkinkan
relaksasi untuk akomodasi penglihatan dekat.7
2. Prisma
Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis. Unsur-
unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Penjajaran sensorik mata
yang tepat juga merupakan suatu bentuk terapi antisupresi. Apabila digunakan
sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan timbul setelah
tindakan bedah. Pada pasien dengan deviasi horizontal, prisma akan memperlihatkan
kemampuan pasien untuk memfusikan deviasi vertikal kecil yang simultan, sehingga
dapat merupakan indikasi apakah juga harus dilakukan tindakan bedah untuk
komponen vertikal. Pada anak dengan esotropia, dapat digunakan prisma sebelum
operasi untuk memperkirakan pergeseran posisi pascaoperasi yang dapat
mementahkan hasil pembedahan, dan rencana pembedahan dapat dimodifikasi sesuai
hal tersebut (uji adaptasi prisma).7
c. Obat farmakologik :
1. Miotik
Ekotiopat iodida dan isoflurorat menyebabkan asetilkolinesterase inaktif ditaut
neuromuskular sehingga efek setiap impuls saraf menguat. Akomodasi menjadi lebih
efektif relatif terhadap konvergensi daripada sebelum pengobatan. Karena akomodasi

45
mengontrol refleks dekat (trias akomodasi, konvergensi, dan miosis), penurunan
akomodasi akan menurunkan konvergensi dan sudut deviasi akan secara bermakna
berkurang, sering sampai nol.1

2. Ortoptik
Seorang ortoptis dilatih untuk menguasai metode-metode pemeriksaan melatih otot-
otot mata dan terapi penglihatan berfokus pada factor saraf dari pasien strabismus.
Seorang ortoptis dapat membantu dalam terapi praoperasi. 1

46
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien anak perempuan berusia 16 tahun datang dengan keluhan mata terlihat juling ke
arah hidung sejak 6 tahun lalu. Pada anamnesis, pasien mengeluhkan penglihatan ganda dan
sakit kepala karena terpeleset jatuh dari tangga dan kepala terbentur. Satu bulan setelah jatuh,
pasien mengeluh pandangan ganda dan diperbaiki dengan menggunakan kacamata. Mata kiri
pasien buram saat melihat jauh, tidak ada keluhan mata merah, nyeri, berair, mengganjal, mual,
sakit kepala pada mata kiri dan kanan.
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan fisik, mata tenang. Saat inspeksi mata terlihat
esotropia pada mata kanan. Pemeriksaan mata didapatkan ketajaman visus mata kanan 1/20,
mata kiri 1/20. Pada pemeriksaan kedudukan bola mata terdapat esotropia mata kanan saat tes
buka mata dan tutup mata. Gerakan mata kiri tidak ada yang tertinggal saat uji gerakan bola
mata, sedangkan gerakan bola mata kanan tidak dapat mengarah ke lateral. Uji Hirschberg
didapatkan penyimpangan mata kanan sebesar 15 derajat ke arah nasal. Tekanan intraokular
kanan 19.7 mmHg dan kiri 19.5 mmHg.
Pada pemeriksaan segmen anterior dan posterior, tidak terdapat kelainan. Hasil
pemeriksaan visus didapatkan Miopia ODS dan ketika diberi kacamata terkoreksi. Berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan maka dapat ditegakkan diagnosis
Esotropia OD Susp ec Paralisis N. VI ec Paska Trauma Kapitis ODS disertai Miopia ODS.
Oleh karena itu, terapi yang dapat diberikan adalah memberikan kacamata sferis negatif
sesuai dengan koreksi terbaik yang dapat diberikan, terapi konvergensi dan divergensi, serta
rujuk ke dokter spesialis mata dan spesialis saraf.

47
BAB V
KESIMPULAN

Strabismus atau mata juling adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penyimpangan
abnormal dari letak satu mata terhadap mata yang lainnya, sehingga garis penglihatan tidak
paralel dan pada waktu yang sama, kedua mata tidak tertuju pada benda yang sama.
Ketidaksesuaian penjajaran tersebut dapat terjadi dalam segala arah, yaitu ke dalam, ke luar, ke
atas, dan ke bawah. Besar penyimpangan adalah besar sudut mata yang menyimpang dari
penjajaran. Suatu deviasi yang hanya muncul setelah penglihatan binokular terganggu (misalnya
dengan penutupan salah satu mata) disebut strabismus laten, heterotrofia, atau foria.
Dalam mendiagnosis strabismus diperlukan anamnesa yang cermat mulai dari riwayat
keluarga, usia, jenis onset, jenis deviasi, lalu pemeriksaan meliputi ketajaman penglihatan,
penetuan kesalahan refraksi, inspeksi, penentuan sudut strabismus sampai pada pemeriksaan
sensorik meliputi pemeriksaan stereopsis, supresi dan potensial fusi.
Terapi pada strabismus untuk memulihkan efek sensorik dapat dicapai dengan terapi medis
atau bedah. Terapi medis meliputi terapi oklusi dan terapi atropin serta pemakaian kacamata dan
obat farmakologik, sedangkan terapi bedah meliputi tindakan reseksi dan resesi, dan penggeseran
titik perlekatan otot.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, et al. Oftalmologi umum. Edisi ke-18. Jakarta:
2011.
2. Khurana A. Comprehensive Opthalmology. 7th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2019.

3. Ilyas HS, Yulianti SR. Imu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014.
4. Friedman DS, Repka MX, Katz J, et al. Prevalence of decreased visual acuity among
preschool-aged children in an American urban population. United State: Baltimore
Pediatric Eye Disease Study; 2008. h:1786.
5. Donnelly UM, Stewart NM, Hollinger M. Prevalence and outcomes of childhood visual
disorders.United State: Ophthalmic Epidemiol; 2005.
6. James B, Chew C, Bron A. Lecture notes: ophthalmology. Edisi ke-9. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2003.
7. American Optometric Association. Care of the patient with strabismus: esotropia and
exotropia. St. Louis: AOA Board of Trustees; 2010. h: 5-11.
8. Kellogg Eye center. Diterbitkan Januari 2014. Diunduh dari
http://kellogg.umich.edu/patientcare/conditions/exotropia.html, tanggal 12 Juni 2022.

49

Anda mungkin juga menyukai