Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), diperkirakan sebanyak 18


juta orang menderita hepatitis B dan 3 juta orang menderita  hepatitis C di Indonesia.
Sekitar 50 persen dari orang tersebut memiliki penyakit hati yang berpotensi kronis
dan 10 persen nya menuju sirosis hati. Sementara itu, satu kasus sirosis hati
membutuhkan biaya pengobatan  sekitar Rp 1 miliar dan pengobatan kanker hati
sekitar Rp 5 miliar dengan angka kesembuhan yang minimal.1
Penyakit sirosis hepatis memiliki gejala yang sangat bervariasi , mulai dari
tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Sirosis hepatis merupakan salah
satu penyakit yang terbanyak didunia, termasuk di Indonesia dan lebih banyak di
jumpai pada pria di bandingkan wanita dengan perbandingan sekitar 2-4:1. Dan
dengan umur rata-rata terbanyak sekitar usia 30-59 tahun dimana puncaknya pada
usia 40-49 tahun. 2
Menurut badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 saja sekitar 170 juta
jiwa di dunia menderita penyakit sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3 % dari
seluruh populasi dunia. Angka prevalensi hepatitis di Indonesia sendiri secara pasti
belum di ketahui, tetapi menurut penelitian yang di lakukan pada tahun 2003,
prevalensi penyakit sirosis hepatis sekitar 1-2,4% dan dari rata-rata prevalensi
tersebut di perkirakan sekitar 7 juta penduduk Indonesia mengidap sirosis hepatis.
Pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 20 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
hati menahun yang sekitar 20-40% berlanjut menjadi sirosis dan kanker liver dalam
waktu lebih kurang 15 tahun apabila tidak ditangani dengan tepat.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepar
2.1.1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat mencapai
2-3% dari berat badan manusia, sekitar 1,4 kg. Bagian luar dari hepar
dilapisi oleh lapisan peritoneum viseral dan jaringan ikat dari peritoneum.
Hepar terletak di kuadran kanan atas kavum abdomen, tepatnya di inferior
dari diafragma sisi kanan, regio hipokondriak kanan dan regio epigastrik
kanan.7,8
Hepar terdiri dari 2 lobus yang dipisahkan oleh ligamen falsiformis
dengan lobus kanan yang lebih besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Lobus
kanan terdiri dari lobus kuadratus dan lobus kaudatus. Ligamen falsiformis
berfungsi sebagai penyokong hepar di rongga abdomen. Ligamentum teres
merupakan sisa dari vena umbilikalis yang mengalirkan darah dari
plasenta. Ligamentum teres ini membentang dari hepar ke umbilicus.
Selain itu, terdapat ligamentum coronary yang melekat di permukaan
superior hepar dan permukaan inferior diafragma. Ligamentum coronary
anterior dan posterior akan menyatu dan membentuk ligamentum
triangular. Hal ini membuat adanya area kecil di bagian posterior hepar
yang tidak dilapisi oleh peritoneum.7–9

2
Gambar 1.1. Ligamen-ligamen yang terdapat di hepar7

2.1.2. Vaskularisasi Hepar


Hepar adalah organ yang kaya akan vaskularisasi, menerima hampir
sekitar 25% dari volume curah jantung. Peredaran darah hepar terbagi atas
arteri hepar yang kaya akan oksigen (25% suplai darah) dan vena porta
hepar yang berisi karbon dioksida, nutrisi-nutrisi, hormon, zat sisa hasil
metabolism, toksin, dan patogen dari saluran cerna (75% suplai darah).
Kedua pembuluh darah ini akan bercampur di sinusoid hepar, di mana
hepatosit akan mengambil zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Sedangkan
nutrisi yang masih dibutuhkan akan masuk ke sirkulasi sistemik melalui
saluran vena hepatika menuju vena kava inferior (IVC).7,8,10

3
Gambar 1.2. Vaskularisasi Hepar10

2.1.3. Histologi Hepar


Secara histologis, hepar terdiri dari beberapa komponen yaitu
hepatosit, sinusoid hepatika, dan kanalikuli empedu. Hepatosit merupakan
sel fungsional hepar yang bertugas dalam menjalankan fungsi metabolik,
sekretorik dan endokrin. Hepatosit menyusun sekitar 80% volume hepar
dan membentuk kompleks 3 dimensi yang disebut dengan lamina hepatika.
Lamina hepatika yang berada di sebelah rongga vaskular disebut dengan

4
sinusoid hepatika. Sinusoid hepatika ini merupakan kapiler pembuluh
darah yang sangat permeabel yang terletak diantara hepatosit yang
menerima darah dari cabang arteri dan vena porta hepatika. Aliran darah
pada sinusoid hepatika akan bermuara di vena kava inferior (IVC) melalui
vena sentral dan vena hepatika. Terdapat stellate reticuloendothelial cells
yang berfungsi sebagai makrofag hepar. Diantara hepatosit, terdapat suatu
saluran untuk mengumpulkan cairan empedu yang disebut kanalikuli
empedu. Kanalikuli empedu ini akan masuk ke hepatic duct di permukaan
posterior hepar. Hepatic duct kanan dan kiri ini akan bersatu membentuk
ductus hepaticus communis dan akan menjadi ductus choledochus ketika
telah bergabung dengan cystic duct. Ductus choledochus ini yang akan
membuat empedu masuk ke duodenum.8,10

Gambar 1.3. Histologi Hepar8

2.1.4. Fisiologi Hepar


Hepar berfungsi untuk metabolisme karbohidrat, lipid, protein, obat-
obatan, dan hormon, ekskresi bilirubin, sintesis cairan empedu, penyimpanan
vitamin dan mineral, imunologi, detoksifikasi, dan fagositosis 8,10,11

5
2.2.2. Sirosis Hepatis
2.2.1. Definisi
Sirosis berasal dari kata Yunani yaitu kirrhos yang merupakan
kekuningan dan osis yang berarti kondisi, sehingga arti kata sirosis
menggambarkan kondisi dari sirosis hati. Sirosis merupakan kondisi dari hati
yang tidak bekerja secara normal akibat kerusakan yang berlangsung secara
lama. Kerusakan ini menyebabkan jaringan normal hati digantikan oleh
jaringan parut secara kronik bertahun-tahun. Proses kerusakan yang terjadi
secara difus ini merubah struktur liver menjadi nodul-nodul abnormal.
Perubahan ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti portal
hipertensi dan lain-lain.1,2
2.2.2. Etiologi Sirosis Hepatis
Berikut merupakan etiologi yang paling sering ditemukan di sirosis6,7,8
· Inflamasi
o Viral: hepatitis B, hepatitis C
Infeksi virus yang berisfat kronis menyebabkan
inflamasi dan kerusakan yang menyebabkan sirosis.
Hepatitis C sering disertai alkohol sedangkan hebatitis B
sering disertai hepatitis D
o Schistosomiasis
Infeksi cacing parasit dari keong air yang berkoloni
di hati sehingga menyebabkan inflamasi dan gejala dari
hipertensi vena porta.
o Autoimun
Autoimun disebabkan karena limfosit menyerang
hepatosit menyebabkan inflamasi dan menjadi sirosis.
Terlihat dari peningkatan globulin terutama gama globulin.

6
· Toksik
o Penyakit hati alkohol
Alkohol meyebabkan kerusakan hati karena
menutup jalur metabolisme protein, lemak, dan
karbohidrat. Hal ini disebabkan karena zat asetaldehida dari
alkohol. Biasanya timbul alkoholik hepatitis dengan gejala
demam subakut, leukositosis, gangguan fungsi hepar
( koagulopati) hepatomegali, kuning, anoreksia. Disertai
peningkatan AST/ALT dan dapat juga ditemukan
manifestasi dari hipertensi portal seperti asites, ensefalopati
hepatic dan atau perdarahan visceral.
o Steatosis non alkohol
Penumpukan lemak di hati yang sering disebabkan
pada pasien obesitas, diabetes, malnutrisi, penyakit arteri
koroner. Gejala mirip penyakit hati alkohol namun tanpa
disertai riwayat konsumsi alkohol
o Metotreksat, alfa metildopa, amiodaron
Merupakan obat obatan yang sering digunakan
terutama untuk kemoterapi namun juga dapat menyebabkan
reaksi pada sel hati sehingga menyebabkan kerusakan.
· Genetik
o Primary Biliary Cirrhosis/cholangitis
Proses autoimun yang menyebabkan kerusakan dari
saluran empedu sehinga menyebabkan kerusakan hati.
Biasa dapat muncul hiperpigmentasi, pruritus, kenaikan
AST/ALT, bilirubin, dan kolestrol 11
o Primary Sclerosing Cholangitis

7
Kolestasis yang bersifat progresif menyebabkan
steatorhea, pruritus, gangguan metabolisme tulang.12
o Kekurangan α 1- antitripsin
Penyakit autosomal resesif menyerang protein
antitripsin yang menyebabkan kerusakan protein akibat
misfolding dari protein di paru-paru dan hati, pada paru
menyebabkan pan emphysema dan pada hepar
menyebabkan inflamasi,fibrosis , sirosis dan dapat
berlanjut menjadi karsinoma hepar.11
o Hemokromatosis
Merupakan kondisi dimana zat besi dalam tubuh
berlebih. Zat besi disimpan di hati, jantung, dan pankreas.
Kondisi yang berlebih dapat menyebabkan gangguan dari
organ tersebut. 9,11

o Kongesti gagal jantung kronik


Merupakan dampak dari kegagalan pompa jantung
terutama kanan sehingga darah menumpuk terutama pada
preload sehingga menimbulkan gejala kongesti dari vena
kava inferior sehingga kongesti di hati dan menyebabkan
vena porta hipertensi10
o Penyakit venaoklusi/ sindroma budd-chiari
Merupakan kondisi akibat oklusi vena hepatik.
Pasien memiliki triad nyeri abdomen, asites,
hepatomegali.11
o Idiopatik

8
Gambar 2.1. Penyebab Sirosis Hepatis5

2.2.3. Epidemiologi Sirosis Hepatis


Sirosis meruapakan faktor penting dalam pembentukan menjadi
hepatoselular karsinoma. Didunia sirosis memiliki prevalensi 2,8 juta orang
dan menyebabkan 1,3 juta orang tersebut meningggal. Penyebab terbanyak
sirosis hati di Indonesia adalah disebabkan oleh Hepatitis B (40-50%) dan
Hepatitis C (30-40%).1,3
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkandengan kaum wanita sekitar 2-4: 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30 ± 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 ±
49 tahun. 2,3,14

2.2.4. Patofisiologi Sirosis Hepatis


Terjadinya fibrosis hati menggambarkan ketidakseimbangan antara
produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Sel-sel stelata yang
berada dalam ruangan perisinusoidal merupakan sel penting untuk

9
memproduksi matriks ekstraseluler. Sel hepatosit,kupfer dan endotel sinusoid
melepaskan berbagai factor saat inflamasi, seperti TGF-beta1,IL-6, TNF alfa
di jumpai pada pasien dengan hepatitis C, sel-sel ini juga meningkatkan
jumlah sel imun di hati melalui chemokine CCL2 dan reseptor CCL2
sehingga sel limfosit terutama limfosit T juga ikut berpartisipasi dalam
inflamasi ini dengan akumulasi sel inflamasi lainnya. Sel stelata yang lebih
dulu aktif akan menghasilkan TGF yang akan mengaktifkan sel kupffer dan
menghasilkan sel-sel myofibrosis. Sel myofibrosis inilah yang sangat penting
dalam patofisiologi sirosis karena sel ini menghasilkan kolagen tipe I,
matriks-matriks dan jaringan fibrotic, serta bersifat konstriksi pada hepar.9,10
Sel myofibrosis juga memiliki positif feedback dengan memproduksi TGF
untuk pertumbuhannya dan aktivasi dari sel kupfer dan stelata. Matriks dan
kolagen ini kemudian akan dideposisi pada ruang disse (ruang antara hepatosit
dan sinusoid) . hepatoselular nekrosis dan apoptosis menghasilkan ROS,
DAMP, yang juga mengaktivasi sel stelata dan kupffer, dengan positif
feedback yang sama. 10
Mekanisme terjadinya sirosis hati tergantung dari penyebabnya. Berikut
merupakan mekanisme berdasarkan penyebab tersering dari terjadinya sirosis
Alkoholik sirosis.9,10,11
Konsumsi alkohol dapat menyebabkan beberapa jenis kerusakan hati
yaitu alcoholic fatty liver, alcoholic hepatitis, alcoholic cirrhosis. alkohol
dapat menyebabkan fibrosis berupa sentrilobular, periselular, periportal.
Fibrosis hepatosit akan menyebabkan regenerasi nodul. Nodul<3mm disebut
mikronodular sedangkan >3mm disebut sebagai makronodular. 9,10,11

Alkohol yang diminum dalam bentuk ethanol akan di proses oleh


alkohol dehidrogenase sehingga membentuk asetaldehide. Lalu diproses lagi
oleh aldehide dehidrogenase menjadi asetat. Hal ini menyebabkan
penumpukan asam lemak dan penurunan oksidasi sehingga menaikan

10
trigliserida. asetaldehide menyebabkan kerusakan hepatosit dan aktivasi sel
kupfer sehingga aktivasi sitkokin fibrogenik dan menyebabkan produksi
extraselular matriks dan kolagen yang berlebih sehingga membentuk nodul
fibrosis. Penurunan hepatosit dan digantikan oleh kolagen menebabkan
destruksi hati dan hati akan mengecil. Fatty liver disease dapat disebabkan
oleh 2 hal yaitu alcoholic Fatty liver disease (AFLD) dan Non Alcoholic Fatty
Liver Disease(NAFLD) yang sering disebebkan karena gaya hidup, pola
makan tidak sehat serta sindrom metabolik 9,10,11
Sirosis akibat hepatitis B/C
Infeksi virus dari HCV/HBV akan menyebabkan inflamasi pada hati
sehingga hepatitis yang bersifat kronik. Inflamasi ini semakin lama akan
menyebabkan fibrosis yang berdasar dari bagian porta dan juga membentuk
nodul nodul baik makro maupun mikro. Jaringan fibrosis ini juga
menyebabkan ukuran hati yang mengecil.11
Primary Biliary Cirrhosis
PBC dapat dianalisis melalui histopatologi, dimulai dari kronik
nonsupurative dengan inflamatori nekrosis di bagian portal. Infiltrat limfosit
dan menjadi destruksi saluran sehingga menyebabkan stasis dari empedu
terutama pada saluran empedu ukuran kecil dan sedang. Selain itu stasis ini
menyebabkan sitokin meningkat untuk menimbulkan fibrosis dan menjadi
nodul. Yang khas pada PBC dapat dijumpai adanya hiperpigmentaasi,
xanthelesma, dan xanthomata akibat gangguan metabolisme dari kolestrol.
3,11,12,15,16

Primary Sclerosing Cholangitis


PSC mirip dengan PBC namun memiliki karakteristik inflamasi secara
difus dan fibrosis seluruh saluran empedu baik intra maupun extra hepatik.
Hal ini menyebabkan sklerosis dari saluran sehingga timbul sirosis, hipertensi
porta dan gagal hati. Pada kasus ini sering ditemukan fibrosis periduktal.
Sirosis akibat gagal jantung8,10

11
Pasien dengan gagal jantung kanan akan menyebabkan gejala kongesti
saluran vena kava inferior sehingga menyebabkan tekanan vena naik sehingga
baik vena hepatik dan sinusoid akan terdilatasi. Hati akan membesar dan
mengalami iskemik karena sirkulasi darah yang buruk. Hal ini akan
menyebabkan fibrosis perisentral.

2.2.5. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis


2.2.5.1. Anamnesis
Sirosis umumnya tidak terdeteksi hingga terjadi dekompensasi.
Penting untuk ditanyakan faktor predisposisi pasien terhadap sirosis seperti
penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang, riwayat seksual, riwayat
transfusi, dan riwayat keluarga untuk menyingkirkan penyebab dari
sirosis.17

12
Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas,
selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada
membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut,
(berkembang menjadi sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi
lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, gangguan tidur, dan
demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu, dapat pula disertai dengan
gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus
haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, hematemesis,
melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai koma. 15

2.2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pada pasien sirosis dapat ditemukan hasil pemeriksaan fisik yang
beragam sesuai dengan penyebabnya.
Jaundice / icterus adalah diskolorasi kulit menjadi warna kekuningan
sebagai hasil dari penumpukan bilirubin di jaringan seperti kulit, mata, dan
membran mukosa. Umumnya pasien tampak kuning jika kadar serum
bilirubin > 2.5 mg/dL. Diskolorasi pada pasien sirosis tidak disertai dengan
perubahan warna urin karena terjadi peningkatan bilirubin yang tidak
terkonjugasi.18
Spider naevus merupakan akibat dari kegagalan otot sfingter yang
mengelilingi arteriol di dekat permukaan kulit sehingga menyebabkan lesi
vaskular yang ditandai dengan dilatasi ujung vaskular. Lesi dapat muncul
sebagai lesi soliter atau multiple dan berbentuk pusat kemerahan dengan
perluasan seperti gambaran jarring laba-laba dengan diameter 1-10 mm.
Gambaran spider naevus ini dapat ditemukan mengikuti peredaran
pembuluh darah vena kava superior (muka, leher, dada, dan tangan).19–22

13
Splenomegali merupakan suatu manifestasi klinis pada sirosis hepatis
yang diakibatkan oleh hipertensi porta dan diperparah dengan vasodilatasi
sistemik sehingga terjadi kongesti di spleen. Selain itu, juga terjadi
hiperaktivasi makrofag yang berada di lien.23,24
Asites adalah penumpukan cairan di rongga peritoneum. Hal ini
merupakan suatu akibat dari fibrosis hepar yang menyebabkan keadaan
hipoalbuminemia. Hal ini dibarengi dengan gangguan pada hukum Starling
di mana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dan permeabilitas dinding
pembuluh darah serta penurunan tekanan onkotik. Derajat keparahan asites
terbagi ke dalam 4 kategori. Derajat 1 diperkirakan terdapat 100 mL cairan
di peritoneum. Derajat 2 diperkirakan terdapat 1000 mL cairan di
peritoneum. Pada derajat 2 ini, dapat ditemukan pemeriksaan shifting
dullness positif. Derajat 3 diperkirakan terdapat beberapa liter cairan di
rongga periotenum sehingga memberikan gambaran grossly distended.
Derajat 4 menunjukkan gejala yang tidak nyaman (tense).22,25
Caput medusa terjadi akibat adanya hipertensi porta. Darah dari vena
porta berpindah melewati vena umbilkal ke vena di dinding abdomen.
Penampakan caput medusa ini disebabkan oleh adanya pembentukan
pembuluh darah kolateral yang menjalar dari umbilikus melintasi lapang
abdomen sebelum masuk ke pembuluh darah vena sistemik.26
Eritema palmaris (PE) merupakan temuan klinis berupa kemerahan
simetris yang teraba hangat dan tidak disertai dengan rasa nyeri dan gatal.
Eritema palmaris merupakan suatu tanda klinis dengan diagnosis banding
yang luas sehingga membutuhkan temuan klinis lainnya untuk menegakkan
suatu diagnosa. Namun harus dibedakan dengan palmar mottling, di mana
terdapat area kemerahan dengan bitnik-bintik pucat berdiameter 1 mm.28,29

14
Gambar 2.2. Eritema palmaris29

White nails / Terry’s nail adalah pola kuku yang dihubungkan dengan sirosis
hepatis, khususnya yang disebabkan oleh alkohol. Pola kuku ini memberikan
gambaran ground glass like opacity pada hampir seluruh nail bed.30

Gambar 2.4. Terry’s Nail30

15
Finger clubbing dikarakteristikkan dengan pembesaran bulbus fokal
dari segmen terminal jari tangan / kaki yang disebabkan oleh adanya
proliferasi dari jaringan ikat antara matriks kuku dan falang. Hal ini
menyebabkan peningkatan diameter anteroposterior dan lateral kuku.31
Hypogonadism pada sirosis hepatis secara patogenesis terbagi menjadi
3 faktor yaitu hiperestrogen, malnutrisi, dan terjadi kerusakan yang
mempengaruhi gonad, hipotalamus, dan kalenjar pituitari. Penurunan
produksi testosterone dan peningkatan produksi androstenedione dan
konversinya ke estrone membuat terjadi keadaan hiperestrogen. Secara
klinis, hypogonadism bermanifestasi dengan atrofi testis, impotensi, rambut
rontok, mengecilnya ukuran prostat, gynecomastia, disfungsi ereksi.34–36
Asterixis adalah gangguan kontrol motorik yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk mempertahankan posisi secara aktif sehingga
timbul perubahan postur mioklonik yang menpengaruhi berbagai bagian
tubuh (tremor). Hal ini merupakan salah satu tipe mioklonus negatif di
mana terjadi gangguan sementara dan tidak beritme dari kontraksi otot
volunter. Secara patofisiologi dipercayai bahwa terjadi abnormalitas fungsi
dari pusat motorik diensefal yang mengatur kontraksi otot agonis dan
antagonis. Asterixis dapat dipicu dengan cara mengekstensi lengan,
dorsifleksi pergelangan tangan, dan melebarkan jari-jari tangan. Kemudian
lihat “flap” di pergelangan tangan. Asterixis ini dapat ditemukan di banyak
penyakit, namun sering ditemukan pada penyakit-penyakit di hepar.37,38
Foetor hepaticus merupakan bau nafas yang beraroma seperti feces.
Bau ini diasosiasikan dengan hipertensi porta dengan portosystemic shunt
dan penurunan aliran darah ke hepar akan mengakibatkan terganggunya
metabolisme klirens dari trimethylamine. Sehingga memungkinkan produk
yang belum dimetabolisme untuk masuk ke dalam sirkulasi sistemik.39
2.2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

16
Pada pasien sirosis hepatis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan biopsi hepar
merupakan pemeriksaan baku emas namun jarang dilakukan karena invasif.
Pada pemeriksaan laboratorium, tidak ada tes serologi yang dapat
mendiagnosa sirosis secara akurat. Berikut ini adalah contoh pemeriksaan
yang dapat dilakukan.17,40–42

Pemeriksaan Keterangan
AST & ALT Rasio AST / ALT > 1
ALP Sedikit meningkat (< 2-3 kali dari batas atas nilai
normal)
Meningkat > 3 kali pada PBC dan PSC
GGT Sedikit meningkat
Hemoglobin Anemia terjadi karena defisiensi besi,
perdarahan, dan inflamasi kronik
Trombosit Trombositopenia terjadi karena pengurangan
produksi trombopoietin, destruksi trombosit yang
berlebihan
Natrium Hiponatremia karena peningkatan aktivasi ADH
(antidiuretic hormone)
Albumin Hipoalbunimenia karena penurunan produksi
akibat kerusakan hepar yang berat
Prothrombin Time Memanjang karena terjadi gangguan
(PT) pembentukan faktor-faktor koagulasi di hepar
INR INR meningkat akibat kerusakan di hepar
Bilirubin Meningkat setelah ALP dan GGT meningkat,
akibat penurunan fungsi produksi hepar dan
ekskresi ginjal

17
Amonia darah Meningkat karena disfungsi hepar dan hipertensi
porta sehingga terjadi shunting dan pengurangan
pengeluaran secara ekstrahepatik
Immunoglobulin IgM meningkat pada PBC
IgA meningkat pada sirosis yang disebabkan
oleh alkohol
IgG meningkat pada AIH

Pemeriksaan radiologis (USG, CT, MRI) dapat memberikan gambaran


adanya sirosis namun tidak dapat digunakan sebagai baku emas untuk
mendiagnosa sirosis. Hal ini dikarenakan pemeriksaan radiologis hanya
dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan morfologi hepar seperti
adanya nodul di permukaan hepar dan perubahan volume termasuk
pembesaran lobus kaudatus dan segmen lateral lobus kiri, atrofi dari
segmen medial lobus kanan dan kiri. Selain itu, dapat juga ditemukan
tanda-tanda hipertensi porta seperti varises, asites, splenomegaly, infiltrasi
lemak di omentum dan mesenterika, serta shunting arterioportal
arteriovenous intrahepatic. Tanda-tanda lainnya dapat dilihat di table
berikut.43,44

Tabel 2.1. Tanda-tanda sirosis hepatis yang sering ditemukan pada


pencitraan44

18
USG merupakan alat pencitraan pilihan utama yang digunakan karena
pemeriksaan ini tersedia di banyak tempat, mudah digunakan, relatif aman
dan murah. US elastografi dapat digunakan untuk menilai derajat fibrosis
hepar. Ada beberapa tipe US elastografi seperti transient elastografi (TE),
acoustic radiation force impulse imaging (ARFI), supersonic shear wave
imaging (SSI), and real-time tissue elastography. Sementara CT
merupakan alat diagnostik yang paling sensitif untuk menilai perubahan
morfologi hepar karena dapat menvisualisasi hepar, limpa, dan sistem
porta. Namun adanya risiko terpapar radiasi, penggunaan zat kontras, dan
biaya pemeriksaan yang cukup tinggi. MRI memiliki keuntungan yaitu
lebih baik untuk menilai soft tissue. MRE (Magnetic Resonance
Elastography) dapat mengevaluasi derajat liver dan spleen stiffness.
Namun pemeriksaan ini mahal dan terbatas.43,44

19
Gambar 2.7. Gambaran CT Sirosis Hepatis et causa Hepatitis B kronik
dengan kontras Terlihat ada fibrosis dan asites Pada panah terlihat
pengecilan diameter vena porta karena ada pembuluh darah kolateral
(arrowhead)43

Biopsi jaringan hati merupakan pemeriksaan yang dapat


dipertimbangkan setelah pemeriksaan non invasif telah gagal mengkonfirmasi
diagnosis dari sirosis. Sensitivitas dan spesifisitas dari biopsi adalah 80-100%
tergantung metode cara pengambilan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
melalui transjugular, perkutaneus, laparoskopik, operasi, fine needle. Setelah
biopsi dilakukan hasil tersebut dapat diklasifikasikan melalui sistem Laenec.
Pemerikaan ini dengan cara pewarnaan hematoxylin dan eosin seingga
memperjelas batasan fibrosis septa hepatosit. Berikut salah satu contoh laenec
system45,47

20
2.2.6. Komplikasi Sirosis Hepatis
a. Asites
Definisi
Asites merupakan suatu kondisi dimana ruang
peritoneum terisi carian melebihi batas normal. Secara klinis
asites didiagnosis apabila ruang peritoneum melebihi 25ml
cairan. Hal ini menyebabkan peningkatan berat di abdomen,
nyeri, dan bahkan dapat sesak nafas. Komplikasi asites ini
berhubungan erat dengan infeksi sekunder peritonitis. Asites
refrakter adalah asites yang tidak dimobilisasi atau rekuren
dini ( dalam 4 minggu)yang mana tidak dapat dicegah secara
maksimal (penurunan berat badan < 0.8 kilo dalam 4 hari)
dengan terapi medis, terdapat 2 subtipe asites refrakter yaitu,
diuretic resistance ascites dan diuretic intractable

21
ascites(AKI,creatinine >2mg/dl, dan hiponatremia
<125mmol/L)150,51,53
Saat ini penyebab dari asites dapat dibedakan antara
penyebab peritoneal dan nonperitoneal dengan Serum Ascites
Albumin Gradient (SAAG). SAAG >1,1 g/dl merupakan
penyebab nonperitoenal, apabila SAAG <1,1 g/dl berasal dari
peritoneal11,12,13,60,65

Penyebab nonperitoneal
Hipertensi porta Sirosis
intrahepatik Gagal hati fulminant
Penyakit veno-oklusif
Hipertensi porta Sindroma Budd Chiari
ekstrahepatik Gagal jantung kongesti
Hipoalbumin Sindroma nefrotik
Malnutrisi
Lain-lain Myxedema
Tumor ovarian
Pankreatitis
Penyebab peritoneal
Keganasan Mesotelioma peritoneum
Karsinoma peritoneal
Granuloma Tuberkulosis
peritonitis Jamur dan parasit (candida, histoplasma,
schistosoma mansoni, strongyloides, entamoeba
histolytica)
Vaskulitis Sistemik Lupus Eritematus
Henoch Schonlein Purpura

22
Mekanisme
Mekanisme terjadinya asites dalam penyakti sirosis
merupakn hal multifaktorial. Namun teradapat dua mekanisme
utama yang menyebabkan terjadinya sites yaitu akibat portal
hipertensi dan disfungsi ginjal. Berikut merupakan proses
sederhana dari kedua mekanisme tersebut beserta
pencegahanya. 11,12,13,56,60

23
Mekanisme hipertensi portal menyebabkan sirosis
akibat gangguan hukum Starling pada sinusoid di lobulus
hepar. Pasien dengan sirosis memiliki flow limfatik hepar lebih
tinggi. Pada kondisi normal cairan dan plasma protein bebas
menyebrangi plasma membran dari endotelial sinusoid ke
space of Disse. Nanitnya cairan di space of Disse akan menuju
ke pembuluh limpa dan berakir di portal dan vena sentral di
hati. 65,67
Akibat perbedaan gradien dari trans-sinusoidal onkotik,
penigkatan tekanan intra sinusoidal menyebabkan hipertensi
portal, sehingga semakin banyak carian masuk ke space of
Disse. Karena cairan menumpuk dan melebihi kapasitas
sisteran chyli, dan duktus torakikus untuk membuang cairan.
Sehingga akibat penumpukan ini cairan keluar ke intestisial
dan berakhir ekstravasasi keluar ke kavum peritoneum
sehingga menimbulkan asites.64,65
Mekanisme gangguan fungsi ginjal menyebabkan
sirosis asites karena disfungsi dari ginjal sehingga retensi
natrium, gangguan ekskresi cairan, dan menyebabkan volume
intravaskular meningkat. Hal ini disbebakan akibat
peningkatan renin dan aldosteron sehingga eGFR menurun.

24
Selain itu akibat penumpukan Nitric oxide, menyebabkan
vasodilasi asteri perifer sehinga menyebabkan vasodilasi arteri
splanchnic sehingga meningkatkan volume intravaskular.
Keseluruhan mekanisme ini menyebabkan peningkatan plasma
volume yang nantinya akan ekstravasasi menuju kavum
peritoneum. 11,12,13
Sebagai kompensasi dari asites, ginjal akan mengalami
vasokonstriksi sehingga menyebabkan sindroma hepatorenal.
Tipe 1 hepatorenal memiliki karakteristik peningkatan 2 kali
lipat serum kreatinin dalam 2 minggu sedangkan tipe 2 lebih
stabil dan progresinya lebih lambat. Dengan adanya kondisi
gagal ginjal menyebabkan peningkatan mortalitas pada pasien
sirosis. 11,12,13
Manifestasi klinis
Pasien akan merasakan nyeri perut disertai rasa
kembung. Kondisi ini juga sering disertai edema perifer seperti
dikaki. Pasien setidaknya memiliki 1-2L cairan di peritoneum
baru menimbulkan gejal simptomatis. Pada kondisi berat,
asites akan mempengaruhi nafas dan bahkan bisa menjadi
hidrothoraks hepatik terutama di bagian kanan. Tanda khas dari
asites yaitu adanya distensi abdomen, perut kembung, shifting
dullness, puddle sign. 11,12,13
Diagnosis
Pemeriksaan dimulai dari pemeriksaan fisik dan
pencitraan. Pencitraan dapat melalui USG atau CT-scan.
Pemeriksaan parasentesis dianggap sebagai pemeriksaan baku
emas dalam mendiagnosis kondisi asites. Pengambilan cairan
peritoneum ini sebaiknya dengan pemeriksaan protein dan
albumin juga untuk mendeteksi penyebab dari asites tersebut.

25
Pada pemeriksaan apabila ditemukan PMN>250/ul perlu
dicurigai adanya indeksi sekunder terutama SBP. Timbulnya
ascites pada pasien sirosis memberi prognosis buruk, dengan
tingkat mortalitas 40% pada tahun pertama sejak munculnya
asites.14,21
Grading dari ascites berdasarkan EASL 2018

Tatalaksana11,12,13
Restriksi garam
Restriksi garam merupakan terapi inisial pada pasien
asites. Secara general diet garam dibawah 2gram per hari.
Sedangkan untuk pasien dengan refraktori asites diet dibawah
0,5 gram per hari. Selain restriksi gaaram perlu juga
penatalaksanaan untuk perhitungan kalori dan protein
malnutrisis.
Diuretik
Diuretik digunakan terutama untuk pasien dengan asites
sedang berat. Diuretik yang digunakan pertama adalah
antimineralocorticoid seperti spironolakton 100-200mg/hari
yang dapat ditingkatkan 100 mg setiat 72 jam sampai dosis
maksimum 400mg/hari dan dapat ditambah furosemide 40-
80mg/hari terutama untuk pasien yang memiliki edema perifer
dan tidak meminum diuretik sebelumnya. Apabila tidak dapat
perbaikan, dosis dapat ditambah hingga spironolakton 400-
600mg/hari dan furosemide 120-160mg/hari. Pada pasien yang

26
tidak member respon atau yang menjadi hyperkalemia, dapat
ditambhakan furosemide 40mg/hari dan dapat ditingkatkan ke
dosis maksimum 160mg/hari. Efek samping obat seperti
hiponatremia <3mmol/L ataupun hipernatremia >6mmol/L
harus menghentikan obat penyebabnya, serta pasien yang
mengalami keram otot harus di beri baclofen atau albumin.
4,12,21

Parasentesis
Parasentesis diberikan terutama untuk pasien dengan
kondisi refrakter atau tidak membaik dengan diuretik.
Parasentesis biasa diberikan bersamaan dengan albumin IV
8g/L cairan per hari untuk menjaga gradien plasma membran.
Apabila tidak bisa dengan parasentesis dapat dipertibakan
TIPS atau transjugular intrahepatic portosystemic shunt
Transplant hati
Pasien dengan asites masif lebih dari 1 tahun tidak
membaik dengan tatalaksana dapat dipertimbangkan
transplantasi sebelum terjadinya kerusakan yang lebih parah
dan sindroma hepatorenal12
b. Hipertensi porta
Definisi
Porta hipertensi merupakan peningkatan gradien
tekanan dari vena hepatik atau disebut HVPG. HVPG yang
dianggap sebagai hipertensi porta adalah >5mmhg. Akan tetapi
hipertensi porta akan menimbulkan manifestasi klinis yang
signifikan apabila diatas 10mmhg, apabila dibawah itu
biasanya akan asimptomatis. HVPG diatas 10mmhg akan
meningkatkan resika dekompensasi dan karsinoma
hepatoselular, hal ini ditandai oleh timbulnya varises esofageal.

27
Apabila tekanan lebih dari 12mmhg meningkatkan resiko
perdarahan varises dan meningkatkan mortalitas.11,14,15
Mekanisme
Hipertensi portal disebabkan kombinasi 2 proses
hemodinamik yaitu (1) peningkatan resistensi aliran darah
intrahepatik akibat sirosis atau regenerasi nodul. (2)
peningkatan tekanan darah splanchnic akibat vasodilatasi
sistem vaskular splanchnic. Komplikasi utama dari hipertensi
portal adalah perdarahan varises yang mengancam jiwa.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi portal dibagi menjadi
tiga golongan yaitu prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik
sebagai berikut: 11,14,15

Manifestasi klinis
Trias dari hipertensi portal adalah varises esofagus
disertai dengan pendarahan, asites, dan hipersplenisme. Varises
esofagus biasanya pasien datang dengan keluhan perdarahan
saluran cerna atas. Sedangakan asites datang dengan keluhan

28
nyeri perut dan disertai bengkak pada tungkai. Pada
splenomegali, pasien datang dengan hasil lab penurunan
platelet dan sel darah putih. 11,14
Diagnosis
Baku emas dalam mendiagnosis hipertensi portal
melalui pemeriksaan HVPG. Pemeriksaan ini menggunakan
kateter yang dimasukan melalui rute transjugular maupun trans
femoral hinggaa menuju vena hepatik untuk memeriksa
tekanan intraportal. Teknik lain yaitu menggunakan Wedged
Hepati Venous Pressure (WHVP) dengan cara meniup balon
melalui ujung kateter hingga menutupi cabang vena haptik.
Pemeriksaan WHVP dinilai lebih baik karena memiliki hasil
yang lebih akurat sesuai dengan tekanan porta.Untuk varises
sendiri dapat dilakukan melalui pencitraan endoskopi sebagai
baku emas. Namun pemeriksaan non invasif lainya seperti CT-
scan dan MRI dapat dilakukan. 11,14
Tatalaksana
Tatalaksana dari perdarahan varises dibagi menjadi 2
golongan utama yaitu profilaksis primer, dan preventif untuk
perdarahan berulang. Profilaksis primer dilakukan melalui
skrining endoskopi pasien sirosis, varises kecil dengan child
pugh skor C harus di berikan nonsteroidal beta blocker.
Pemberian non selektif beta bloker atau ligasi dari pembuluh
darah varises. Dapat diberikan propanolol atau nadolol. Non
selektif beta bloker menurunkan cardiac output dan
menyebabkan vasodilatasi splanchnic sehingga mengurangi
tekanan dari portal. Carvedilol memiliki efek lebih baik
dibangind non dlektif beta bloker konvensional. Endoskopik

29
ligasi dengan memberikan karet plastik pada varises ukuran
sedang dan besar. 11,14
Manajemen saat sedang perdarahan akut dapat
diberikan agen vasokonstriksi seperti somatostatin atau
octreotide 50-100ug/h. Selain itu ligasi juga dapat diberikan
ketika sedang akut. Ketika perdarahan masih berlangsung
meskipun setelah terapi dapat dipertimbangkan TIPS. 11,14

c. Hepatik ensefalopati
Definisi
Hepatik ensefalopati merupakan sindroma yang sering
ditemui pada pasien sirosis, sengan ditandai adanya perubahan
personlitas, gangguan intelektual, dan penurunan kesadaran.
Hal ini disebabkan karena gangguan darah di sistem portal
sehingga perdarahan sistemik juga akan terganggu.
Ensefalopati lebih sering terjadi pada gagal hati fulminan
sehingga menyebabkan penurunan kesadaran dan gangguan
kognisi. Yang khas ditemukan adalah peningkatan amonia
yang nantnya akan mempengaruhi nuerotransmiter di otak.
11,12,16

Mekanisme
Beberapa teori mekanisme patogenesis dalam
menjelaskan terjadinya ensefalopat. Berikut dua mekanisme
yang paling sering digunakan yaitu hipotesis amonia dan
GABA. Amonia di produksi di saluran gastrointestinal oleh
degradasi bakteral menjadi asam amino, purin, dan urea.
Secara normal amonia didetoksifikasi di hati menjadi urea dan

30
glutamin, namun pada kerusakan fungsi hati dan gangguan
portosistemik amonia tidak dapat dikonversi ke urea secara
sempurna sehingga peningkatan kadar amonia di sirkulasi
sistemik meningkat. Amonia sendiri memiliki beberapa efek
neurotoksik yaitu gangguan transpor asam amino, cairan, dan
elektrolit melewati membran neuronal. Amonia jua
menginhibisi eksitatorik dan inhibitorik aksi potensial pada
postsinaptik sehingga mengganggu kerja neurotransmiter di
otak. 11,12,16
GABA atau Gamma aminobutyric acid,merupakan
neuroinhibisi yang diproduksi di gastrointestinal. Pada pasien
sirosis, GABA dapat melewati ekstrapermeabilitas BBB dan
menginhibisi postsinaptik GABA reseptor. Inhibisi
neurotransmiter ini merupakan kunci penyebab ensefalopati
ini. 11,12,16
Manifestasi klinis
Manifestas klinis dari ensefalopati hepatik dibedakan
berdasarkan skala West Haven

31
Stage 0: hepatik ensefalopati minimal atau subklinis.
Perubahan personalitas dan kebiasaan sangat jarang
ditemui, gangguan memori, konsentrasi, dan
koordinasi. Tidak ada asteriksis
Stage 1: kesadaran mulai penurunan kesadaran,
gangguan atensi ringan, Hypersomnia, insomnia, atau
inversi pola tidur. Euforia, depresi, atau lekas marah.
Kebingungan ringan. Memperlambat kemampuan
untuk melakukan tugas-tugas mental. Asterixis dapat
dideteksi.
Stage 2: letargi atau apatis, disorientasi minimal,
perubahan prilaku, bicara pelo, jelas tampak asteriksis.
Mengantuk, lesu, defsisit mental, perubahan
kepribadian dan prilaku.
Stage 3: somnolen namun dapat dibangunkan,
kesusahan dalam menjaga prilaku, disorientasi waktu
dan tempat, konfusi, amnesia, mudah marah, tampak
jelas perubahan bicara
Stage 4: koma meskipun dirangsang dengan nyeri.11,16
Diagnosis
Diagnosis dapat ditentukan dari peningkatan kadar
amonia di arteri maupun vena sering ditemukan pada pasien
hepatik ensefalopati. Elektroensefalografi merupakan
tatalaksana awal pada sirosis hepatik dengan gangguan
kesadaran. Penting dibedakan dengan gejala kejang. CT-scan
dan MRI penting untuk mencari apakah ada lesi pada
intrakranial. 11,12,16

32
Tidak ada kriteria diagnostik yang dapat digunakan
namun dilihat dari riwayat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
status kesadaran, fungsi kognisi, neurofisiologikal, serta
eksklusi penyakit neurologi lainya sebagai berikut11,12,16
· Penyakit penyerta penyebab metabolik hepatik
ensefalopati seperti sirosis, TIPS
· Gangguan pola tidur
· Gangguan memori
· Gangguan uji psikometrik
· Disfungsi serebral yang mempengaruhi aktivitas sehari-
hari
· Eksklusi penyakit neurologis lainya
Tatalaksana
Cathartics
Laktulosa merupakan disakarida yang sulit dicerna
yang berfungsi menginhibisi produksi amonia. Ketikda dalam
tubuh laktulosa akan berubah menjadi asam laktat sehingga
menibulkan asidifikasi. Kondisi asam inin yang menyebabkan
perubahan amonium(NH4) menjadi amonia(NH3), sehingga
amonia dapat dicerna oleh lumen sehingga dapat di
ekskresikan. Selain itu laktulosa juga berguna untuk
mengurangi kolonisasi bakterial. Dosis awal laktulosa adalah
30-40ml perhari. Pemberiannya harus hati hati karena dapat
menyebabkan ileus, diare, gangguan elektrolit, dan hipovolemi
Antibiotik
Pemberian antibiotik rifaximin, metronidazole dan
neomysin memiliki hasil penelitian dan efikasi yang mirip
dengan pemberian laktulosa pada pasien sirosis. Dosis awal

33
rifaximin 3x300 atau 2x550mg dengan efek samping edema
perifer dan mual. Dosis awal neomysin 2-4x250mg per hari
dengan efek samping ototoksik dan nefrotoksik. Metronidazol
dengan dosis awal 3x250-500mg perhari dengan efek samping
rasa metalik dilidah dan neuropati perifer. 11,12,16,21
Zinc sulfat
Pemberan zinc diharapkan dapat meningkatkan
pembuangan amonia dari intestinal. Pada pasien dengan sirosis
sering kali ditemukan kadar zinc yang rendah. Kadar zinc yang
rendah ini dapat enyebabkan gangguan neurotransmiter GABA
dan norepinefrin sehingga dapat timbul gejal ensefalopati.
Dosis awal yang diberikan 3x200mg. 11,12,16,21

d. Sindroma hepatorenal
Definisi
Merupakan kondisi mengancam jiwa dimana gangguan
fungsi ginjal secara cepat pada penderita sirosis hepatis. HRS
biasanya fatal kecuali pasien mendapat transplan hati yang
tepat. Beberapa tatalaksana seperti dialisis dapat membantu
mencegah kondisi tersebut. Gangguan fungsi ginjal
disebabkan vasokontriksi arteri renalis sehingga menyebabkan
hipoperfusi. Hal ini disbebakan pada pasien sirosis terdapat
peningkatan kadar angiotensin, ADH, dan norepinefrine
sehingga menyebabkan vasokonstriksi tersebut.17,18
Mekanisme
HRS dbagi menjadi 2 tipe. Tipe 1 memiliki
karakteristik gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara cepat.
Selain itu ditandai dengan peningkatan cretinine lebih dari
2,5mg/dl atau creatinine clerance kurang dari 20ml/min

34
selama lebih dari 2 minggu. HRS tipe 1 memiliki mortalitas
yang tinggi pada satu bulan pertama. Pasien HRS tipe 1
memiliki tekanan darah yang rendah sehingga membutuhkan
inotropik dan vasopresor. HRS tipe 2 memiliki karakteristik
onset yang lebih lambat. Selain itu juga ditandai dengan
peningkatan kadar creatinine >1,5mg/dl atau creatnine
clearance kurang dari 40ml/min, dan kadar natrium di urin <
10 μmol/L. Pasien HRS tipe 2 memliki karakteristik diuretic
resistant ascites, dimana kondisi asites pada pasien sirosis
tidak membaik dengan diuretik akibat ginjal tidak bisa ekskresi
natrium dengan baik sehingga timbul asites resisten. 17,18
Manifestasi klinis
HRS memiliki 3 kondisi utama yaitu gangguan fungsi
hati, abnormalitas hemodinamik, gangguan fungsi ginjal.
Seringkali pasien HRS asimptomatis sehingga mereka
terdiagnosis melalui hasil laboratorium. Gejala yang paling
sering muncul adalah jaundice, gangguan kesadaran,
malnutrisis, asites, oligouria.17,1
Diagnosis
Berikut kriteria diagnosis HRS bedasarkan EASL 2018
· Sirosis dengan asites
· Serum creatinine>1,5mg/dl
· Tidak ada syok
· Tidak ada hipovolemia(tidak ada perbaikan fungsi
ginjal paling tidak setelah 2 hari setelah diuretik distop
dan ekspansi volume dengan albumin 1g/kg/hari
maximu 100g/hari)
· Tidak sedang konsumsi obat nefrotoksik

35
· Tidak ada penyakit parenkim ginjal
(proteinuria<0,5g/day) atau normal USG ginjal
Tatalaksana
Transplan hati merupakan terapi definit bagi HRS.
Meski begitu resiko gangguan fungsi ginjal setelah
transplantasi hati masih tetap ada terutama dengan adanya
penggunaan obat-obatan nefrotoksik dan imunosupresan
seperti takrolimus, siklosporin. Beberapa tatalaksana dalam
menunggu proses transplantasi, pasien dapat diberikan albumin
intravena, vasopresin sebagai splachnic vasokonstriktor, dan
TIPS untuk mengurangi tekanan intra porta. Sealin itu juga
dapat dilakukan dialisis.21
Pemberian albimun dengan efek ekspansi volume
plasma juga memiliki hasil yang bagus. Hal ini memberikan
hasil perbaikan fungsi ginjal. Dosis awal pemberian yaitu
1g/kgbb diikuti 40-60g/hari. Obat lain yaitu kombinasi
midodrine yang merupakan agonis alfa dan octreotide yang
merupakan analog somatostatin berfunsi sebafai sistemik
vasokonstriktor dan inhibitor vasodilasi splachnic. Sehingga
memiliki efek perbaikan dari fungsi ginjal sendiri. 17,18,60

e. Peritonitis bakterial spontan


Definisi
SBP merupakan infeksi yang sering timbul akibat
komplikasi dari asiters. SBP sering ditemukan sekitar 15-26%
dari pasien asites di rumah sakit. Beberapa penyebab patogen
yang sering muncul adalah Escherichia coli, Klebsiella species

36
dan gram negatif enterik lainya. Pada pasien asites sirosis
dengan infeksi dapat meningkatkan mortalitas 20-30%.15,16,60
Mekanisme
Carian asites merupakan sumber inokulasi bakteri
enterik. Kobinasi carian asites dan darah memberikan
kesempatan bakteri untuk terjadinya migrasi transmural dari
saluran cerna ke lumen akibat kerusakan intestinal barrier. Hal
ini disebut translokasi bakteri. Nantinya bakteri akan berkoloni
di kelenjar getah bening di mesenterika dan menyebar ke
tempat lain. pasien dengan kondisi protein dibawah 1g/dl
memiliki resiko 10x lebih tinggi dibanding pasien dengan
protein diatas 1g/dl. 15,16,69
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah
demam, nyeri abdominal, ileus, penurunan urin output, gejala
ensealopati. Selain itu pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
gejala peritonitis sepert demam, nyeri perut, gangguan urin,
mual dan muntah15,16,67
Diagnosis
Penyakit ini dapat didiagnosis dengan diagnostik dari
cairan asites apabila terdapat sel PMN lebih dari 250 sel PMN
per mm3 atau ditemukan hasil positive pada kultur dan
pewarnaan gram apabila 2-3 hari kemudia dicek kembal hasil
sel PMN >250/mm3 maka langsung ditatalkasnana, apabila sel
PMN <250/mm3 maka perlu hasil kultur kedua dan apabila
hasil kultur negatif maka tidak perlu ditatalaksana.49,50
Tatalaksana
Karena penyebab paling sering adalah E.coli dan
Klebsiella sehingga antibiotik yang paling sering digunakan

37
yaitu sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime 500mg
selain itu juga dapat diberikan ciprofloxacin 500mg. Selain itu
juga diberikan albumin. Albumin berfungsi sebagai menempel
patogen dan membantu pembuangan patogen tersebut.
Albumin pada pasien asites biasanya memiliki kadar yang
lebih rendah. Pemberianya dengan dosis 1,5mg/kg pada hari
pertaa dan diulang 1mg/kg pada ari ketiga. Selainn itu
antibiotik dapat diberikan pada pasien sirosis sebagai
profilaksis dengan Norfloxacin 400mg/12jam sebagai
pencegahan. Menurut EASL, dapat juga diberikan rifaximin
550 mg /12 jam peroral. Pemberian albumin penting pada
pasien dengan peritonitis bacterial spontan dengan dosis
1,5g/KgBB saat diagnosis dan 1g/KgBB saat hari ke 3. Selain
itu pemberian norfloxacin 400mg/ hari sebagai profilaksis
primer berperan baik pada pasien dengan sirosis. Pasien
dengan sepsis dapat dinilai dengan qSofa dan sepsis-3 criteria
harus masuk ICU 50,54
f. Hepatopulmonary syndrome
Diagnosis
Hipoksia dengan SpO2 <80 mmHg atau alveolar-arterial
gradient dari oksigen ≥20mmHg pada pasien diatas 65 tahun
dan ≥15% pada pasien dengan usia lebih muda. Defek vascular
yang ditemukan pada echokardiografi dengan pencitraan
kontras. Pemberian terapi oksigen jangka panjang adalah satu-
satunya tatalaksana yang dapat dilakukan sambil menunggu
donor liver.60
g. AKI, CKD
Pada pasien sirosis hepatis, harus dihindari penggunaan
NSAIDS,aminoglikosida, contrast, obat hipertensi seperti

38
ACEi, ARB, dan alfa1-adrenergic, sehingga obat hipertensi
yang digunakan terutama pada pasien yang memiliki portal
hypertension adalah Betablocker(nadolol, propanolol).13
Tatalaksana
Pemberian Terlipressin IV bolus (1 mg setiap 4-6 jam )
atau secara kontinu dengan dosis 2 mg/ hari apabila tidak
member respon yang diharapkan (Scr<25% dari puncak awal)
maka dapat di naikkan ke dosis maksimum 12mg/hari, serta
diberikan albumin 20-40 g / hari.60

2.2.7. Tatalaksana Sirosis Hepatis


Sirosis kompensata
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang: misalnya :
cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi:
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog
nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi
lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama
satu bulan. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, tiga
kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak
yang kambuh. Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon
dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan
secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU, tiga kali

39
seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari
selama 6bulan.60
Sirosis nonkompensata
1. Asites
Tirah baring dan Diet rendah garam dan air. Jumlah diet garam
yang dianjurkan biasanya sekitar 2 gram per hari dan cairan sekitar 1
liter sehari.Pemberian diuretik Spironolakton dengan dosis 100-200
mg sekali sehari.Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan
berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema kaki, 1 kg/hari dengan
adanya edema kaki. Bilamana pemberian Spironolakton tidak adekuat
bisa dikombinasi dengan furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemberian furosemide bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/hari. Kombinasi diuretik spironolaktondan
furosemide dapat menurunkan dan menghilangkan edema dan asites
padas sebagian besar pasien.
Parasentesis abdomen dilakukan bila pemakaian diuretik tidak
berhasil (asitesrefrakter). Asites yang sedemikian besar sehingga
menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi abdomen dan atau
kesulitan bernafas karena keterbatasan diafragma, parasentesis dapat
dilakukan dalam jumlah lebih dari 5 liter (LargeVolume Paracentesis=
LVP). Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah TIPS
(Transjugular Intravenous Portosystemic Shunting) atau transplantasi
hati.63
2. Ensefalopati Hepatik
Pada pasien Ensefalopati Hepatik dimulai dengan diet rendah
protein dan laktulosaoral. Laktulosa membantu pasien untuk
mengeluarkan amonia, sehingga pasien buang air besar dua sampai
tiga kali sehari. Neomisin atau metronidazol bisadigunakan untuk
mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.64

40
3. Varises Esofagus
Ketika varises mengalami perdarahan, maka dapat terjadi
perdarahan ulang dan setiap kali berdarah pasien berisiko meninggal.
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat
beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat
somatostasin. Endoskopi terapetik, baik skleropterapi maupunligasi
endoskopi, keduanya efektif untuk menghentikan perdarahan varises
aktif maupun untuk mencegah perdarahan berulang. Untuk pasien
yang gagal dalam pengobatan dengan beta bloker, skleroterapi,
maupun ligasi endoskopi dapat dilakukan TIPS. Namun, efek samping
yang paling sering adalah ensefalopatihepatik.59,60,66
4. Peritonitis Bakterial Spontan
Pasien dengan dugaan peritonitis baktrerial spontan dianjurkan
untuk diparasentesis. Kelainan ini sering timbul pada pasien sirosis
lanjut dengan sistemimun atau kekebalan yang rendah. Dengan
pemberian antibiotika yang baik (sefotaksim 3 x 2 gram iv selama 5
hari), dan deteksi serta pengobatan dini, prognosis biasanya baik.67
Pengobatan Tambahan69
Defisiensi zink sering ditemukan pada pasien sirosis,
pengobatan dengan zink sulfat dalam dosis 220 mg 2 x per hari per
oral, dapat memperbaiki keluhan dispepsia dan merangsang nafsu
makan pasien. Pruritus merupakan keluhan yangsering ditemukan, rasa
gatal yang ringan dapat diperbaiki dengan pemberian antihistamin.
Kolestiramin merupakan obat utama pruritus pada penyakit hati. Pada
pasien sirosis dapat mengalami osteoporosis, karena itu penting
pemberian suplemen kalsium dan vitamin D. Penambahan nutrisi
dalam bentuk suplemen cairan atau bubuk, sangat membantu
perbaikan gizi pasien. Latihan teratur,termasuk jalan dan berenang
dianjurkan pada pasien sirosis.69

41
Hepatotoksik
Obat obatan statin, berdasarkan penelitian HMG-CoA
reduktase inhibitor memiliki asosiasi terhadap peningkatan kadar ALT
sehingga dapat memperparah kondisi dari sirosis sendiri. Selain itu
obat obatan analgesik seperti penggunaan Asetominofen terbatas dosis
2000mg per hari apabila lebih dari itu meningkatkan resiko perdarahan
intestinal. Selain itu pasien dengan sirosis dekompensata
meningkatkkan resiko kerusakan gagal ginjal. Obat lain yang juga
sering menimbulkan kerusakan hati yaitu Aminoglikosida yang
merupakan antibiotik sebagai nefrotoksik dan harus dihindari karena
memiliki efek menjadi sindroma hepatorenal. 66,67,68
Transplan hati
Dalam melakukan proses ini harus ada beberapa hal yang
dipertimbangkan terutama tentang pembedahan operasi dan anastesi.
Anastesi sendiri menurunkan cardiac output sehingga menstimulasi
vasodilatasi dari splanik sehingga menurunkan 30-50% aliran darah ke
hati. Sehingga meningkatkan resiko dekompensata. Pembedahan
sendiri aman untuk sirosis yang ringn namun untuk tahap lanjut dapat
terjadi infeksi, akumulasi cairan, dan obat-obatan hepatotoksik dan
nefrotoksik yang memperburuk kondisi tersebut.65,66
Pasien dengan kondisi dekompensata memiliki terapi terbaik
dengan cara transplan hati. Pasien dengan 1 gejala kompensata
merupakan indikasi transplan hati. Kontraindikasi dari transplan hat
ini adalah gangguan kardiovaskular dan pulmonal, penggunaan
narkoba dan alkohol, keganasan diluar hepar, sepsis, HIV. Efek
samping yang paling sering terjadi adalah Graft Versus Host Disease,
abses hepar, stenosis arteri hepatik66,67

2.2.7. Prognosis

42
Prognosis pada pasien sirosis hepatis dinilai dengan klasifikasi Child
Pugh Turcotte. Klasifikasi ini menilai adanya enselopati, asites, kadar
bilirubin, albumin, dan INR. Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan
modifikasi dari kriteria Child- Pugh, banyak digunakan oleh para ahli
hepatologi saat ini. Kriteria ini digunakan untuk mengukur derajat kerusakan
hati dalam menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan hati kronik..40,71,72
Nilai 1 2 3
Enselopati Tidak ada Dikontrol secara medis Tidak terkontrol
Asites Tidak ada Dikontrol secara medis Tidak terkontrol
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/dL) < 3.5 2.8-3.5 < 2.8
INR < 1.7 1.7-2.2 > 2.2

Tabel 2.3. Tabel Child Pugh Turcotte40,71


Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)
Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)
Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)

43
BAB III

KESIMPULAN

Sirosis hepatis merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan


fibrosis dan penurunan fungsi hepar. Aktivasi stellate cell merupakan hal
penting dalam perkembangan sirosis. Sirosis disebabkan oleh beberapa
penyebab seperti konsumsi alkohol, hepatitis kronik, dan penyakit autoimun.
Sirosis terbagi atas 2 kategori yaitu sirosis terkompensasi dan sirosis
dekompensasi. Pada kategori terkompensasi, sirosis hepatis umumnya tanpa
gejala dan sering ditemukan secara tidak sengaja. Pada kategori
dekompensasi, muncul gejala yang mencakup disfungsi ginjal dan/atau
hipertensi porta. Diagnosis sirosis hepatis dapat dibuat dengan menilai klinis,
hasil laboratorium, dan pemeriksaan penunjang seperti pencitraan.
Pemeriksaan biopsi hepar merupakan baku emas untuk mendiagnosa sirosis
hepatis.5,12,41,43,48
Sirosis dapat dikatakan masuk ke kategori dekompensasi saat muncul
komplikasi seperti asites, infeksi bakteri (SBP), dan hepatorenal syndrome.
Pengobatan utama pada pasien sirosis hepatis adalah mengobati komplikasi
yang terjadi untuk mengurangi mortalitas. Transplantasi hati merupakan satu-
satunya tatalaksana definitif untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Prognosis pada pasien sirosis diukur dengan klasifikasi Child-Pugh Turcotte.
Pada pasien dengan sirosis yang tidak terkompensasi, angka harapan hidup
menurun.40,51,55,71,72

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Sepanlou SG, et al. 2020.The global, regional, and national burden of


cirrhosis by cause in 195 countries and territories, 1990–2017: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet Gastroenterol
Hepatol. 5(3):245–66.
2. Asrani SK, Devarbhavi H, Eaton J, Kamath PS. 2019. Burden of liver
diseases in the world. J Hepatol. 70(1):151–71.
3. Ge PS, Runyon BA. 2016.Treatment of patients with cirrhosis. N Engl
J Med. 375(8):767–77.
4. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. 2017. Pathogenesis of liver cirrhosis.
World J Gastroenterol. 20(23):7312–24.
5. Wiegand J, Berg T. 2018. The Etiology, Diagnosis and Prevention of
Liver Cirrhosis. Dtsch Aerzteblatt Online. 110(5).
6. Rahimi RS, Rockey DC. 2016. Complications of cirrhosis. Curr Opin
Gastroenterol. 28(3):223–9.
7. Abdel-Misih SRZ, Bloomston M. 2019. Liver Anatomy. Surg Clin
North Am. 90(4):1–17.
8. Angeli P, et al . 2015. Diagnosis and management of acute kidney injury in
patients with cirrhosis: revised consensus recommendations of the
International Club of Ascites. Journal of hepatology. Page 68-74.
9. Runyon BA. 2017. Management of adult patients with ascites due to
cirrhosis. Hepatology. Page 841-848.
10. De Franchis R. 2015, Expanding consensus in portal hypertension: Report
of the Baveno VI Consensus Workshop: Stratifying risk and individualizing
care for portal hypertension. Journal of hepatology. Page743-752.
11. Ozougwu JC. 2017. Physiology of the liver. Int J Res Pharm Biosci.
4(8).
12. Sharma B, John S. 2020. Hepatic cirrhosis. NCBI. 13(6):297–307.

45
13. Geong GY, Kang SH, Lee CM. 2019.An updated review on the
epidemiology, pathophysiology, etiology, and diagnosis of liver cirrhosis.
Preprints.
14. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. 2018. Liver cirrhosis.
Lancet. 383(9930):1749–61.
15. Kolios G, Valatas V, Kouroumalis E. 2016. Role of Kupffer cells in
the pathogenesis of liver disease. World J Gastroenterol. 12(46):7413–20.
16. Kim MY, Baik SK, Lee SS. 2018. Hemodynamic alterations in
cirrhosis and portal hypertension. Korean J Hepatol.16(4):347–52.
17. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. 2016. Cirrhosis and chronic liver failure:
Part I. Diagnosis and evaluation. Am Fam Physician. 74(5).
18. Karnath B. 2018. Stigmata of Chronic Liver Disease.14–7.
19. Sacchidanand S, Savitha A, Shilpa K. 2019. Spider angioma.
Snapshots in Dermatology. 715–715.
20. Yalcin K, Ekin N, Atay A. 2017. Unusual presentations of spider
angiomas. Liver Int. 33(3):487.
21. Singh S, Sahoo AK, Ramam M, Bhari N. 2018. Mucocutaneous
spider angiomas in an adolescent with chronic liver disease. Arch Dis Child.
103(12):1145.
22. Udell JA, Wang CS, Tinmouth J, FitzGerald JM, Ayas NT, Simel DL,
et al. 2019. Does this patient with liver disease have cirrhosis? JAMA - J Am
Med Assoc. 307(8):832–42.
23. Li L, Duan M, Chen W, Jiang A, Li X, Yang J, et al. 2017. The spleen
in liver cirrhosis: Revisiting an old enemy with novel targets. J Transl Med.
15(1):1–10.
24. Bolognesi M, Merkel C, Sacerdoti D, Nava V, Gatta A. 2017. Role of
spleen enlargement in cirrhosis with portal hypertension. Dig Liver Dis.
34(2):144–50.
25. Moore CM, Van Thiel DH. 2018. Cirrhotic ascites review:

46
Pathophysiology, diagnosis and management. World J Hepatol. 5(5):251–63.
26. Sharma B, Raina S. 2015.Caput medusae. Indian J Med. 141.
27. Masoodi I, Farooq O, Singh R, Ahmad N, Bhat M, Wani A. 2019.
Courveilhier baumgarten syndrome: a rare syndrome revisited. Int J Health
Sci (Qassim). 3(1):97–9.
28. Serrao R, Zirwas M, English JC. 2017. Palmar erythema. Am J Clin
Dermatol. 8(6):347–56.
29. Nautiyal A, Chopra KB. 2019. Liver Palms (Palmar Erythema). Am J
Med. 123(7):596–7.
30. Nia AM, Ederer S, Dahlem KM, Gassanov N, Er F. Terry’s nails.
2018. A window to systemic diseases. Am J Med. 124(7):602–4.
31. Sarkar M, Mahesh DM, Madabhavi I. 2017. Digital clubbing. Lung
India. 29(4):354–62.
32. Gautam P, Vijayavarman V, Verma VK. 2018.Bilateral Dupuytren’s
Contracture in Chronic Liver Disease. Int J Contemp Med Res [IJCMR].
5(8):5–7.
33. Hart MG, Hooper G. 2015. Clinical associations of Dupuytren’s
disease. Postgrad Med J. 81(957):425–8.
34. Cavanaugh J, Niewoehner CB, Nuttall FQ. 2019.Gynecomastia and
cirrhosis of the liver. Arch Intern Med.150(3):563–5.
35. Green JRB. 2020. Progress report Mechanism of hypogonadism in
cirrhotic males. 18:843–53.
36. Foresta C, Schipilliti M, Ciarleglio FA, Lenzi A, D’Amico D. 2018.
Male hypogonadism in cirrhosis and after liver transplantation. J Endocrinol
Invest. 31(5):470–8.
37. Gokula RM, Khasnis A. 2016. Asterixis. J Postgrad Med. 49(3):272–
5.
38. Agarwal R, Baid R. 2016. Asterixis. J Postgrad Med. 62(2):115–7.
39. Mitchell S, Ayesh R, Barrett T, Smith R. 2019. Trimethylamine and

47
foetor hepaticus. Scand J Gastroenterol. 34(5):524–8.
40. Schuppan D, Afdhal NH. 2018. Liver cirrhosis. Lancet. 371:838–51.
41. Yang YY, Lin HC. 2015. Diagnostic laboratory tests. In: Lee SS,
Moreau R, editors. Cirrhosis: A Practical Guide to Management. Joh Wiley &
Sons Ltd. p. 12–20.
42. Lin S, Sun QQ, Mao WL, Chen Y. 2016. Serum Immunoglobulin A
(IgA) Level Is a Potential Biomarker Indicating Cirrhosis during Chronic
Hepatitis B Infection. Hindawi Publ Corp Gastroenterol Res Pract. 1–6.
43. Yeom SK, Lee CH, Cha SH, Park CM. 2015. Prediction of liver
cirrhosis, using diagnostic imaging tools. World J Hepatol. 7(17):2069–79.
44. Procopet B, Berzigotti A. 2017. Diagnosis of cirrhosis & portal
hypertension: Imaging, non-invasive markers of fibrosis & liver biopsy.
Gastroenterol Rep. 5(2):79–89.
45. Rockey DC, Caldwell SH, Goodman ZD, Nelson RC, Smith AD.
2019. Liver biopsy. Hepatology. 49(3):1017–44.
46. Shiha G, Zalat K. Ishak versus METAVIR. 2019. Terminology,
Convertibility and Correlation with Laboratory Changes in Chronic Hepatitis
C. In: Takahashi H, editor. Liver Biopsy. InTech. p. 155–70.
47. Krishna M. 2019. Microscopic anatomy of the liver. Clin Liver Dis.
2(SUPPL. 1):4–7.
48. Muir AJ. 2015. Understanding the Complexities of Cirrhosis. Clin
Ther. 37(8):1822–36.
49. Runyon BA. 2019. Management of adult patients with ascites due to
cirrhosis: An update. Hepatology. 49(6):2087–107.
50. Biecker E. 2017. Diagnosis and therapy of ascites in liver cirrhosis.
World J Gastroenterol. 17(10):1237–48.
51. Angeli P, Bernardi M, Villanueva C, Francoz C, Mookerjee RP,
Trebicka J, et al. 2018. EASL Clinical Practice Guidelines for the
management of patients with decompensated cirrhosis. J Hepatol. 406–60.

48
52. Thomsen TW, Shaffer RW, White B, Setnik GS. 2016. Paracentesis.
N Engl J Med. 255(21).
53. McGibbon A, Chen GI, Peltekian KM, Van Zanten SV. 2017. An
Evidence-Based Manual for Abdominal Paracentesis. Dig Dis Sci.
52(12):3307–15.
54. Nusrat S, Khan MS, Fazili J, Madhoun MF. 2014. Cirrhosis and its
complications: Evidence based treatment. World J Gastroenterol.
20(18):5442–60.
55. Poordad FF. 2015. Presentation and complications associated with
cirrhosis of the liver. Curr Med Res Opin. 31(5):925–37.
56. Gines P, Schrier RW. 2019. Renal Failure in Cirrhosis. N Engl J Med.
361(13):1279–90.
57. Gines P, Guevara M, Arroyo V, Rodes J. 2013.Hepatorenal syndrome:
A review. Lancet. 362.
58. Rodríguez-Roisin R, Krowka MJ, Hervé P, Fallon MB, Barberá JA,
Cáneva JO, et al. 2014. Pulmonary-hepatic vascular disorders (PHD). Eur
Respir J. 24(5):861–80.
59. Augustin S, González A, Genescà J. 2018. Acute esophageal variceal
bleeding: Current strategies and new perspectives. World J Hepatol. 2(7):261–
74.
60. Cremers I, Ribeiro S. 2017. Management of variceal and nonvariceal
upper gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. Therap Adv
Gastroenterol. 7(5):206–16.
61. Flores B, D Trivedi H, C Robson S, Bonder A. 2017. Hemostasis,
bleeding and thrombosis in liver disease. J Transl Sci. 3(3):1–7.
62. Muciño-Bermejo J, Carrillo-Esper R, Uribe M, Méndez-Sánchez N.
2017.Coagulation abnormalities in the cirrhotic patient. Ann Hepatol.
12(5):713–24.
63. Kujovich JL. 2015. Coagulopathy in liver disease: A balancing act.

49
Hematology. (1):243–9.
64. Drolz A, Ferlitsch A, Fuhrmann V. 2018. Management of
Coagulopathy during Bleeding and Invasive Procedures in Patients with Liver
Failure. Visc Med. 34(4):254–8.
65. Lisman T, Leebeek FWG, De Groot PG. 2019. Haemostatic
abnormalities in patients with liver disease. J Hepatol. 37(2):280–7.
66. Calmet F, Martin P, Pearlman M. 2019. Nutrition in patients with
cirrhosis. Gastroenterol Hepatol. 15(5):248–54.
67. Cheung K, Lee SS, Raman M. 2017. Prevalence and Mechanisms of
Malnutrition in Patients With Advanced Liver Disease, and Nutrition
Management Strategies. Clin Gastroenterol Hepatol. 10(2):117–25.
68. Saunders J, Brian A, Wright M, Stroud M. 2020. Malnutrition and
nutrition support in patients with liver disease. Frontline Gastroenterol.
1(2):105–11.
69. Paul Starr S, Raines D. 2017.Cirrhosis: Diagnosis, Management, and
Prevention. Am Fam Physician. 84(12):1353–9.
70. Vilstrup H, Amodio P, Bajaj J, Cordoba J, Ferenci P, Mullen KD, et
al. 2018. Hepatic Encephalopathy in Chronic Liver Disease. Practice
Guideline by the European Association for the Study of the Liver and the
American Association for the Study of Liver Diseases. J Hepatol. 61(3):642–
59.
71. Tsoris A, Marlar CA. 2019. Use Of The Child Pugh Score In Liver
Disease. StatPearls. 7(4):31194448.
72. D’Amico G, Garcia-Tsao G, Pagliaro L. 2016. Natural history and
prognostic indicators of survival in cirrhosis: A systematic review of 118
studies. J Hepatol. 44(1):217–31.

50

Anda mungkin juga menyukai