MENINGITIS TUBERKULOSIS
NPM : 21710172
PEMBIMBING :
MENINGITIS TUBERKULOSIS
Hari :
Tanggal :
Oleh:
I DEWA WISNU PUTRA
Disetujui oleh :
Bagian Paru
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kemudahan kepada
penulis untuk menyelesaikan Tugas Referat dengan judul “Meningitis
Tuberkulosis”.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah wawasan
mengenai penyakit Meningitis Tuberkulosis. Tugas Referat Meningitis
Tuberkulosis ini dapat penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dokter Aries Subianto, Sp.p selaku selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dorongan dalam
menyelesaikan Tugas Referat ini.
Pada penulisan Tugas Referat, penulis sadar masih banyak terdapat kekurangan
serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik
dan saran dari pembaca demi menyempurnakan tugas referat ini.
iii
DAFTAR ISI
Cover.......................................................................................................................i
Lembar Pengesahan...............................................................................................ii
Kata Pengantar......................................................................................................iii
Daftar Isi...............................................................................................................iv
BAB I Pedahuluan.................................................................................................1
2.1.1 Definisi..............................................................................................2
2.1.3 Epidemiologi.....................................................................................5
2.1.8 Diagnosis.........................................................................................11
2.1.10 Tatalaksana....................................................................................16
3.1 Kesimpulan.......................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur
fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal).
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke
belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.
3
Gambar 2.2 Struktur Meningen dari luar. (Huldani, 2012)
4
Gambar 2.3 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis (Huldani, 2012)
2.1.3 Epidemiologi
Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita
tuberculosis paru di dunia. Jumlah penderita tuberkulosis paru dari tahun ke tahun di
Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru tuberkulosis
paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru tuberkulosis paru yang menular.
Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat tuberkulosis di Indonesia
(Darliana, 2011). Jumlah kasus baru tuberkulosis di Indonesia sebanyak 420.994 kasus
pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
tuberkulosis tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal
ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko tuberkulosis
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan
5
bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok (Indah, 2018).
Insidensi infeksi oleh kuman mikobakterium tuberkulosis pada tahun terakhir ini
mengalami peningkatan secara drastis baik didaerah endemik ataupun di dearah dimana
insidensi tuberkulosis telah menurun. Dengan adanya epidemi dari Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) tampaknya kasus tuberkulosis meningkat kembali dengan
disertai adanya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap obat maka
penyakit ini dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Selain itu juga
tingginya pertumbuhan penduduk dan rendahnya kualitas program pengobatan juga
mempengaruhi insidensi kasus tuberkulosis. World Health Organization (WHO)
memperingatkan bahwa bila tidak ada upaya dalam mengatasi hal ini maka pada tahun
2020 akan mencapai 10 juta kasus baru. Orang yang terinfeksi HIV mempunyai resiko
tinggi terkena tuberkulosis. WHO memperkirakan saat ini terdapat 20 juta orang terinfeksi
HIV dan enam juta diantaranya disertai infeksi mikobakterium tuberkulosis. (Ritarwan,
2011)
Tuberkulosis susunan saraf pusat (SSP) merupakan 1-10% bagian dari seluruh
bentuk infeksi TB, dan karakteristik berupa meningitis tuberkulosis dan tuberkuloma.
(Ritarwan, 2011). Menurut Centre for disease control and preventive (CDC) di Amerika
Serikat angka kejadian tuberculosis 10 kali lebih tinggi pada orang Asia, enam kali pada
orang Afrika Amerika dan lima kali pada Hispanics dan Native Americans dibanding
orang kulit putih. Para peneliti mengira bahwa perbedaan ras/ kelompok etnis disebabkan
karena adanya perbedaan genetik terhadap tuberkulosis tetapi perbedaan ini dipengaruhi
juga oleh faktor sosio-ekonomi. Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
pada usia tua. Diantara usia pertengahan secara statistik menunjukkan bahwa wanita lebih
6
sering mengalami tuberkulosis aktif dibandingkan pria, kemungkinan ini disebabkan
pengaruh hormonal, karena tuberkulosis aktif juga sering ditemukan pada wanita hamil. Di
Indonesia 75% dari kasus tuberkulosis ini berusia 15 – 49 tahun. (Ritarwan, 2011)
Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput otak (meningen,
terdiri dari duramater, arakhnoid dan piamater) dan secara kimiawi oleh sawar darah otak.
Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke infeksi yang menyerang meningen ini.
Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan membengkak, dan proses
inflamasi yang ada merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk. (Samatra, 2018)
Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial melalui beberapa cara. Secara alami bisa
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi
dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi bakterial
pada SSP juga dapat terjadi karena trauma kepala yang merobek duramater, atau akibat
bedah saraf. (Samatra, 2018)
7
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring. Bakteri
menghasilkan immune globulin A protease yang bisa merusak barrier mukosa dan
memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel
pada sel epitel, bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.
(Samatra, 2018)
Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi, fotofobia dan
perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung dari derajat
penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pemeriksaan
neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski.
Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil. Gejala meningitis
tuberkulosis terdiri dari 3 stadium, yaitu : (Amir, 2019)
1. Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
Nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah
2. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang
8
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seleuruh tubuh menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
3. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan yang sebagaimana mestinya.
2.1.6 Etiologi
2.1.8 Diagnosis
9
Diagnosis MTB dapat sulit ditegakkan dan mungkin hanya ditegakkan berdasarkan
presentasi klinis dan pemeriksaan analisis cairan serebrospinal (CSS). Beberapa temuan
klinis yang khas yang dapat meningkatkan kemungkinan MTB adalah gejala yang sudah
berlangsung lama lebih dari 6 hari, adanya defisit neurologis fokal. Meningitis TB
merupakan bentuk serius TB pada anak-anak dan ditandai dengan gejala yang muncul
bertahap. (Mahalini, 2017)
- Nyeri pada leher dan tahanan saat fleksi leher karena iritasi meningen (Kernig’s sign)
- Paresis nervus kranial
- Perubahan tingkat kesadaran Selalu pertimbangkan meningitis TB pada anak yang
terdiagnosis meningitis dan tidak memberikan respon pengobatan (Mahalini, 2017)
2.1.8.1 Laboratorium
10
Cairan serebrospinal dalam jumlah besar (10 mL, jika mungkin) harus
dikumpulkan untuk pemeriksaan Acid Fast Bacilli (AFB). Kultur dan deteksi
genom Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebabkan tertundanya diagnosis,
namun pada umumnya, semua tes memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ulang
CSS dapat membantu penegakan diagnosa. (Elvina, 2016)
2.1.8.3 Pencitraan
Hasil CT scan kepala dan MRI khususnya pada daerah basal otak, dengan
gambaran lesi parenkim, infark, dan tuberkuloma. Hidrosefalus dijumpai pada
sebagian besar pasien. Tuberkuloma intrakranial, yang selanjutnya sering
ditemukan pada negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi ditandai
11
dengan gambaran space occupying lesion, sakit kepala, kejang, dan gejala
neurologis fokal lainnya. Sebagian besar tuberkuloma akan hilang seiring dengan
pemberian obat anti tuberkulosis dan kortikosteroid. Kontras dengan pseudoabses
tuberkulosis yang tidak respon dengan terapi standar. Tindakan drainase dan
eksisi harus dilakukan, namun lokasi lesi pada sisterna basal dan fasilitas bedah
saraf yang tidak memadai menyebabkan tindakan pembedahan tidak dapat
dilakukan. Sebuah penelitian di Afrika Selatan tahun 2015 melaporkan bahwa
pseudoabses TB respon dengan pemberian thalidomide, inhibitor tumor necrosis
factor (TNF)- α yang poten. (Elvina, 2016)
12
Viral meningoencephalitis merupakan suatu kegawat daruratan, encephalitis berarti
adanya proses inflamasi pada parenkim otak yang disertai dengan disfungsi otak seperti
pusing, kebingungan, disfungsi kognitif (memori akut, berbicara, dan gangguan orientasi),
perubahan perilaku, agitasi, perubahan kepribadian, gangguan neurologis focal (anomia,
disphasia, hemiparesis) dan kejang. (Amir, 2019)
Tanda dan gejala Leptomeningeal metastasis yang paling sering muncul harus
disingkirkan dari manifestasi penyakit parenkim, efek samping kemoterapi atau radiasi
untuk pengobatan. Leptomeningeal metastasis juga harus dibedakan dari kronik meningitis
tuberkulosis, infeksi fungal, atau sarcoidosis dan toxic ensefalopati. Leptomeningeal
metastasis menunjukkan gejala yang pleomorfik dengan tanda dan gejala di 3 wilayah :
(Amir, 2019)
a) Hemisfer cerebral
b) Saraf kranial
c) Sumsum tulang belakang
2.1.10 Tatalaksana
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau
kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga
mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien meningitis tuberkulosis,
infeksi HIV, dan anak kecil. Maka, pada kondisi ini atau pada pasien dimana dicurigai
tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai terapi empiris
sembari menunggu hasil pmeriksaan (Amir, 2019).
13
a) Farmakologi
TB paru dan ekstra pari ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang sama, yaitu
rifampisisn, isoniazid, piraazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan
rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberculosis pada meningitis tuberculosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasian meningitis
tuberkulosis ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid
pada fase lanjutan dalam kasus TB Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10
bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan
streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi berat atau
mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Amir, 2019).
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300
mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari;pirazinamid 25 (20–
30)mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum
1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain
deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Amir, 2019).
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum 300
mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–
40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum
1.000 mg/hari. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau
prednison 2-4mg/kgBB (Amir, 2019).
b) Bedah
Angka kematian pada meningitis tuberkulosa adalah 10-20 persen. Gejala sisa
terutama muncul dan paling sering terjadi pada stadium tiga. Gangguan visual dan
pendengaran sering terjadi, demikian juga hemiparesis, retardasi mental dan kejang.
Keterlibatan hipotalamus dan sisterna basal menyebabkan endokrinopati, seperti diabetes
insipidus, gangguan pertumbuhan, seksual prekoks dan obesitas. (Elvina, 2016)
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Ringkasan
Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke infeksi yang menyerang meningen ini.
Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan membengkak, dan proses inflamasi
yang ada merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.
Beberapa temuan klinis yang khas yang dapat meningkatkan kemungkinan MTB
adalah gejala yang sudah berlangsung lama lebih dari 6 hari, adanya defisit neurologis fokal.
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau kultur,
baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga mungkin
tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien Meningitis Tuberkulosis, infeksi
HIV, dan anak kecil. Angka kematian pada meningitis tuberkulosa adalah 10-20 persen.
Gejala sisa terutama muncul dan paling sering terjadi pada stadium tiga.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Amir,F. 2019. Karakteristik Status Gizi Penderita Tuberkulosis Meningitis di RSUP Haji Adam
Malik Medan Periode 2015-2018. Hal 7-8, 16-18. Universitas Sumatera Utara
Elvina,F. 2016. Faktor Resiko Mortalitas Pada Pasien Meningitis Tuberkulosis Anak. Hal 6, 8-
12, 15. Universitas Sumatera Utara.
Harahap, H. S., dkk. 2016. Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium Penyakit Pasien Meningitis
Tuberkulosis yang Dirawat di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang. 15-16. Universitas
Brawijaya.
Huldani. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis. Hal VIII, X, XI.
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Mahalini, D., S. 2017. Update Diagnosis Meningitis Tuberkulosis pada Anak. Hal 4-6.
Universitas Udayana.
Masfiyah, dkk. 2013. Gambaran Definitif Meningitis Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi
Semarang. Hal 62-63. UNISSULA Semarang.
Nofareni. 2016. Status Imunisasi BCG dan Faktor lain yang Mempengaruhi Terjadinya
Meningitis Tuberkulosa. Hal 2-3. Universitas Sumatera Utara.
Rachmayati,S., dkk. 2017. Clinical Patology and Medical Laboratory. Hal 159. Surabaya.
Ritarwan, K. 2011. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa. Hal 1-10.
Universitas Sumatra Utara.
Samatra, P. 2018. Proceeding Book : the 6th Bali Neurology Update. Hal 6-13. Universitas
Udayana.
18