Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS

I Dewa Wisnu Putra

NPM : 21710172

PEMBIMBING :

dr. ARIES SUBIANTO, Sp.p

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD BANGIL KABUPATEN


PASURUAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Telah dipresentasikan pada tanggal :

Hari :

Tanggal :

Oleh:
I DEWA WISNU PUTRA

Disetujui oleh :

Bagian Paru

Ilmu Penyakit Dalam Rsud Bangil Kabupaten Pasuruan

dr. Aries Subianto, Sp.p

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kemudahan kepada
penulis untuk menyelesaikan Tugas Referat dengan judul “Meningitis
Tuberkulosis”.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah wawasan
mengenai penyakit Meningitis Tuberkulosis. Tugas Referat Meningitis
Tuberkulosis ini dapat penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dokter Aries Subianto, Sp.p selaku selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dorongan dalam
menyelesaikan Tugas Referat ini.
Pada penulisan Tugas Referat, penulis sadar masih banyak terdapat kekurangan
serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik
dan saran dari pembaca demi menyempurnakan tugas referat ini.

Bangil, 29 April 2022

I Dewa Wisnu Putra


NPM. 21710172

iii
DAFTAR ISI

Cover.......................................................................................................................i

Lembar Pengesahan...............................................................................................ii

Kata Pengantar......................................................................................................iii

Daftar Isi...............................................................................................................iv

BAB I Pedahuluan.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

BAB II Tinjauan Pustaka.......................................................................................2

2.1 Meningitis Tuberkulosa............................................................................2

2.1.1 Definisi..............................................................................................2

2.1.2 Anatomi Dan Fisiologi......................................................................3

2.1.3 Epidemiologi.....................................................................................5

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi............................................................8

2.1.5 Gejala Klinis.....................................................................................9

2.1.6 Etiologi ...........................................................................................10

2.1.7 Faktor Resiko..................................................................................11

2.1.8 Diagnosis.........................................................................................11

2.1.9 Diagnosis Banding..........................................................................15

2.1.10 Tatalaksana....................................................................................16

2.1.11 Prognosis dan Komplikasi............................................................19

BAB III Penutup..................................................................................................20

3.1 Kesimpulan.......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................22

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh
dunia, sehingga sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan. (Rachmayati, 2017)
Meningitis Tuberkulosa adalah infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai mening atau parenkim otak. Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan sangat
besar, lebih besar daripada infeksi oleh bakteri yang lain maupun virus. Penegakkan
diagnosis yang cepat perlu dilakukan untuk menekan morbiditas maupun mortalitas yang
ditimbulkan. (Masfiyah, 2013)
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis di sistem saraf pusat yang
paling sering ditemukan. Diagnosis meningitis tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah
utama. Hal ini disebabkan karena perjalanan penyakit dan gejala klinis meningitis
tuberkulosis yang sangat bervariasi. Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan
diagnosis tuberkulosis seperti pemeriksaan dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan kultur
bakteri penyebab dari cairan serebrospinal seringkali memberikan hasil yang kurang
memuaskan.Tes diagnostik yang cepat, sensitif, dan murah sampai saat ini juga masih belum
tersedia. (Harahap, 2016)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meningitis Tuberkulosa

2.1.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis


primer. Kejadian meningitis tuberkulosis bervariasi tergantung pada tingkat sosio-
ekonomi, kesehatan masyarakat, umur dan status gizi. Imunisasi  bacillus calmette–guérin
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi myobakterium tuberkulosis yang virulen.
Imunitas yang terbentuk tidaklah mutlak menjamin tidak terjadinya infeksi tuberkulosis
pada seseorang, namun infeksi yang terjadi tidak progresif dan tidak menimbulkan
komplikasi yang berat seperti meningitis. (Nofareni, 2016)

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang


disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan
hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri mycobacterium tuberculosis dari
infeksi primer pada paru. Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan
cerebrospinal fluid atau disebut juga liquor cerebrospinalis, yaitu : meningitis purulenta
dengan penyebab bakteri selain bakteri mycobacterium tuberculosis dan meningitis serosa
dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. (Huldani, 2012)

2.1.2 Anatomi Dan Fisiologi

Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (Huldani, 2012) :


1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis di
bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-

2
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur
fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal).
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke
belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.

Gambar 2.1 Struktur Meningen dari Luar. (Huldani, 2012)

3
Gambar 2.2 Struktur Meningen dari luar. (Huldani, 2012)

4
Gambar 2.3 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis (Huldani, 2012)

2.1.3 Epidemiologi

Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita
tuberculosis paru di dunia. Jumlah penderita tuberkulosis paru dari tahun ke tahun di
Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru tuberkulosis
paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru tuberkulosis paru yang menular.
Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat tuberkulosis di Indonesia
(Darliana, 2011). Jumlah kasus baru tuberkulosis di Indonesia sebanyak 420.994 kasus
pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
tuberkulosis tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal
ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko tuberkulosis
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan

5
bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok (Indah, 2018).

Tuberkulosis masih menepati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia


pada tahun 2016 berdasarkan laporan WHO, oleh sebab itu hingga saat ini Tuberkulosis
(TB) masih menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs
(Sustainability Development Goals). Angka prevalensi tuberkulosis Indonesia pada tahun
2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk (Indah, 2018)

Insidensi infeksi oleh kuman mikobakterium tuberkulosis pada tahun terakhir ini
mengalami peningkatan secara drastis baik didaerah endemik ataupun di dearah dimana
insidensi tuberkulosis telah menurun. Dengan adanya epidemi dari Acquired Immuno
Deficiency Syndrome (AIDS) tampaknya kasus tuberkulosis meningkat kembali dengan
disertai adanya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap obat maka
penyakit ini dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Selain itu juga
tingginya pertumbuhan penduduk dan rendahnya kualitas program pengobatan juga
mempengaruhi insidensi kasus tuberkulosis. World Health Organization (WHO)
memperingatkan bahwa bila tidak ada upaya dalam mengatasi hal ini maka pada tahun
2020 akan mencapai 10 juta kasus baru. Orang yang terinfeksi HIV mempunyai resiko
tinggi terkena tuberkulosis. WHO memperkirakan saat ini terdapat 20 juta orang terinfeksi
HIV dan enam juta diantaranya disertai infeksi mikobakterium tuberkulosis. (Ritarwan,
2011)

Tuberkulosis susunan saraf pusat (SSP) merupakan 1-10% bagian dari seluruh
bentuk infeksi TB, dan karakteristik berupa meningitis tuberkulosis dan tuberkuloma.
(Ritarwan, 2011). Menurut Centre for disease control and preventive (CDC) di Amerika
Serikat angka kejadian tuberculosis 10 kali lebih tinggi pada orang Asia, enam kali pada
orang Afrika Amerika dan lima kali pada Hispanics dan Native Americans dibanding
orang kulit putih. Para peneliti mengira bahwa perbedaan ras/ kelompok etnis disebabkan
karena adanya perbedaan genetik terhadap tuberkulosis tetapi perbedaan ini dipengaruhi
juga oleh faktor sosio-ekonomi. Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada anak-anak dan
pada usia tua. Diantara usia pertengahan secara statistik menunjukkan bahwa wanita lebih
6
sering mengalami tuberkulosis aktif dibandingkan pria, kemungkinan ini disebabkan
pengaruh hormonal, karena tuberkulosis aktif juga sering ditemukan pada wanita hamil. Di
Indonesia 75% dari kasus tuberkulosis ini berusia 15 – 49 tahun. (Ritarwan, 2011)

Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi dengan prevalensi tertinggi diseluruh


dunia. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui pernafasan dan infeksi paling sering
terjadi pada bayi dan anak-anak di negara berkembang. Keterlibatan susunan saraf pusat
merupakan manifestasi tuberkulosis ekstrapulmonal yang paling mengancam jiwa, dan 1%
sampai 2% anak dengan tuberkulosis yang tidak diterapi akan berkembang menjadi
meningitis. Meningitis TB jarang terjadi pada anak di bawah usia tiga bulan namun
meningkat dalam rentang usia sampai dengan lima tahun. Puncak insidensinya adalah
pada anak usia dua sampai empat tahun. Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis
sering ditemukan pada anak dengan meningitis TB. Pada sebuah penelitian di India tahun
2014 dilaporkan bahwa meningitis TB merupakan penyebab infeksi SSP yang terbanyak
sebesar 55% dibandingkan jenis infeksi SSP yang lain, pada penelitian ini juga dilaporkan
bahwa anak usia kurang dari 15 tahun paling banyak menderita meningitis. (Elvina, 2016)

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput otak (meningen,
terdiri dari duramater, arakhnoid dan piamater) dan secara kimiawi oleh sawar darah otak.
Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke infeksi yang menyerang meningen ini.
Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan membengkak, dan proses
inflamasi yang ada merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk. (Samatra, 2018)

Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial melalui beberapa cara. Secara alami bisa
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi
dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi bakterial
pada SSP juga dapat terjadi karena trauma kepala yang merobek duramater, atau akibat
bedah saraf. (Samatra, 2018)

7
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring. Bakteri
menghasilkan immune globulin A protease yang bisa merusak barrier mukosa dan
memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel
pada sel epitel, bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.
(Samatra, 2018)

Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterialis akut mempunyai kapsul


polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen, sehingga bisa lepas dari
mekanisme pertahanan seluler yang umumnya menghadang struktur asing yang masuk ke
dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan mencapai kapiler susunan saraf pusat lalu
masuk ke ruang subarakhnoid. Kurangnya pertahanan seluler di dalam ruang subarachnoid
membuat bakteri yang ada akan mudah bermultiplikasi. (Samatra, 2018)

2.1.5 Gejala Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-faktor


yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi
yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam
waktu beberapa minggu. (Nofareni, 2003)

Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi, fotofobia dan
perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung dari derajat
penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pemeriksaan
neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski.
Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil. Gejala meningitis
tuberkulosis terdiri dari 3 stadium, yaitu : (Amir, 2019)

1. Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan
Nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang
timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah
2. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang
8
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seleuruh tubuh menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
3. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan yang sebagaimana mestinya.

2.1.6 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis termasuk golongan ordo Actinomycetales, familia


Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Kuman Mycobacterium Tuberculosis
berbentuk batang, ramping, tidak bergerak, berukuran panjang 1-4 mikrometer dan lebar
0,3-0,6 mikrometer. Kuman ini hidup dalam lingkungan aerob dan tidak menghasilkan
spora. Kuman ini tumbuh optimal pada suhu rata-rata berkisar 33 – 39o C dan maksimal
tumbuh di lingkungan dengan pH 6,6 – 6,8. (Ritarwan, 2011)

Bakteri tuberkulosis mengandung banyak lemak karena itu bila Mycobacterium


Tuberculosa telah mengalami pewarnaan tidak akan kehilangan warnanya (decolorization)
walaupun dengan pemberian alkohol asam sehingga dikenal istilah basil tahan asam.
Kuman TB ini terdiri dari lemak dan protein. Komponen protein utamanya dikenal dengan
istilah tuberkuloprotein (Ritarwan, 2011).

2.1.7 Faktor Resiko

Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko Meningitis di antaranya


adalah status immunocompromised (infeksi human immunodefi ciency virus, kanker,
dalam terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis
kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda asing
di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit kronik
seperti gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis hepatic
(Amir, 2019).

2.1.8 Diagnosis

9
Diagnosis MTB dapat sulit ditegakkan dan mungkin hanya ditegakkan berdasarkan
presentasi klinis dan pemeriksaan analisis cairan serebrospinal (CSS). Beberapa temuan
klinis yang khas yang dapat meningkatkan kemungkinan MTB adalah gejala yang sudah
berlangsung lama lebih dari 6 hari, adanya defisit neurologis fokal. Meningitis TB
merupakan bentuk serius TB pada anak-anak dan ditandai dengan gejala yang muncul
bertahap. (Mahalini, 2017)

Riwayat dan gejala yang tipikal mencakup:

- Paparan dengan individu terinfeksi TB


- Kurangnya minat bermain atau perubahan perilaku
- Nyeri kepala yang bersifat gradual, terutama bila disertai muntah
- Iritabilitas, kebingungan (confusion), Somnolen, penurunan kesadaran.
- Kejang
- Penurunan berat badan. (Mahalini, 2017)

Gejala fisik mencakup:

- Nyeri pada leher dan tahanan saat fleksi leher karena iritasi meningen (Kernig’s sign)
- Paresis nervus kranial
- Perubahan tingkat kesadaran Selalu pertimbangkan meningitis TB pada anak yang
terdiagnosis meningitis dan tidak memberikan respon pengobatan (Mahalini, 2017)

2.1.8.1 Laboratorium

Diagnosis pasti dari meningitis TB adalah ditemukannya pertumbuhan bakteri


Mycobacterium tuberculosis pada medium padat Lowenstein-Jansen dan atau
ditemukannya bakteri pada CSS dengan pewarnaan Erlich-Ziehl-Nielsen. Pada
sebuah penelitian di Italia tahun 2015 didapatkan hasil kultur yang positif hanya
13 persen dari seluruh pasien yang didiagnosa dengan meningitis TB. Cara
penegakan diagnosis yang lain seperti Nucleid Acid Amplification (NAA),
Polymerase Chain Reaction (PCR), deteksi antibodi dan antigen, Adenosin
Deaminase (ADA) dan pengukuran Tuberculostearic Acid. (Elvina, 2016)

10
Cairan serebrospinal dalam jumlah besar (10 mL, jika mungkin) harus
dikumpulkan untuk pemeriksaan Acid Fast Bacilli (AFB). Kultur dan deteksi
genom Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebabkan tertundanya diagnosis,
namun pada umumnya, semua tes memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ulang
CSS dapat membantu penegakan diagnosa. (Elvina, 2016)

2.1.8.2 Hasil Analisa Cairan Serebrospinal

Tekanan cairan serebrospinal biasanya meningkat. Cairan serebrospinal


biasanya mengandung lebih dari 500 sel/mm3 , sebagian besar terdiri dari
limfosit. Kandungan protein meningkat, namun jarang lebih dari 500 mg/dL.
Konsentrasi glukosa biasanya menurun. (Elvina, 2016)

2.1.8.3 Pencitraan

Radiografi berperan sangat penting dalam menegakkan diagnosis meningitis


tuberculosis melalui Computed Tomography (CT) scan dan Magneto Resonance
Imaging (MRI), serta foto dada yang memberikan gambaran TB mendukung
diagnosis meningitis TB. (Elvina, 2016)

Hasil CT scan kepala dan MRI khususnya pada daerah basal otak, dengan
gambaran lesi parenkim, infark, dan tuberkuloma. Hidrosefalus dijumpai pada
sebagian besar pasien. Tuberkuloma intrakranial, yang selanjutnya sering
ditemukan pada negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi ditandai

11
dengan gambaran space occupying lesion, sakit kepala, kejang, dan gejala
neurologis fokal lainnya. Sebagian besar tuberkuloma akan hilang seiring dengan
pemberian obat anti tuberkulosis dan kortikosteroid. Kontras dengan pseudoabses
tuberkulosis yang tidak respon dengan terapi standar. Tindakan drainase dan
eksisi harus dilakukan, namun lokasi lesi pada sisterna basal dan fasilitas bedah
saraf yang tidak memadai menyebabkan tindakan pembedahan tidak dapat
dilakukan. Sebuah penelitian di Afrika Selatan tahun 2015 melaporkan bahwa
pseudoabses TB respon dengan pemberian thalidomide, inhibitor tumor necrosis
factor (TNF)- α yang poten. (Elvina, 2016)

Pencitraan sangat penting dalam mendiagnosis keterlibatan sumsum tulang.


CT atau MRI tulang belakang diindikasikan pada anak dengan sangkaan
tuberkulosis dan gejala neurologis yang melibatkan sumsum tulang. Tiga puluh
persen anak pada stadium awal meningitis TB akan menunjukkan gambaran CT
scan yang normal. Foto toraks umumnya abnormal, dengan limfadenopati dan
infiltrat namun dapat juga normal. (Elvina, 2016)

Pemeriksaan dengan MRI kepala lebih sensitif di bandingkan CT scan,


khususnya untuk melihat lesi-lesi yang melibatkan batang otak dan selaput otak.
(Elvina, 2016)

2.1.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Meningitis tuberkulosis adalah fungal meningitis, viral


meningoencephalitis, dan noninfeksius seperti CSS, leptomeningeal metastasis, dan
sarcoidosis (Amir, 2019).

Jenis fungi yang biasa menyerang meningeal adalah Cryptococcus neoformans,


Candida albicans, Histoplasma Capsulatum, Blastomycoses, dan Coccidiodes immitis.
Fungal meningitis biasa menyerang pasien yang terkena immunocompromised dan
gejalanya mirip meningitis seperti demam, pusing, mual, muntah, kaku kuduk (Amir,
2019).

12
Viral meningoencephalitis merupakan suatu kegawat daruratan, encephalitis berarti
adanya proses inflamasi pada parenkim otak yang disertai dengan disfungsi otak seperti
pusing, kebingungan, disfungsi kognitif (memori akut, berbicara, dan gangguan orientasi),
perubahan perilaku, agitasi, perubahan kepribadian, gangguan neurologis focal (anomia,
disphasia, hemiparesis) dan kejang. (Amir, 2019)

Tanda dan gejala Leptomeningeal metastasis yang paling sering muncul harus
disingkirkan dari manifestasi penyakit parenkim, efek samping kemoterapi atau radiasi
untuk pengobatan. Leptomeningeal metastasis juga harus dibedakan dari kronik meningitis
tuberkulosis, infeksi fungal, atau sarcoidosis dan toxic ensefalopati. Leptomeningeal
metastasis menunjukkan gejala yang pleomorfik dengan tanda dan gejala di 3 wilayah :
(Amir, 2019)

a) Hemisfer cerebral
b) Saraf kranial
c) Sumsum tulang belakang

Meningeal sarcoidosis merupakan multisystem penyakit granuloma yang dapat


melibatkan system saraf pusat (SSP) dalam banyak cara, sehingga menyulitkan untuk
mendiagnosa. Gejala neurologi pada pasien neurosarcoidosis adalah cranial neuropati,
aseptic meningitis, lesi yang lebar, ensefalopati, vaskulopati, kejang, hipotalamic-
pituitary disorder, hidrosefalus, myelopati, peripheral neuropati dan myopati. Karna
etiologi masih belum diketahui maka manifestasi berbeda (Amir, 2019).

2.1.10 Tatalaksana

Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau
kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga
mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien meningitis tuberkulosis,
infeksi HIV, dan anak kecil. Maka, pada kondisi ini atau pada pasien dimana dicurigai
tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai terapi empiris
sembari menunggu hasil pmeriksaan (Amir, 2019).

13
a) Farmakologi

TB paru dan ekstra pari ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang sama, yaitu
rifampisisn, isoniazid, piraazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan
rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberculosis pada meningitis tuberculosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasian meningitis
tuberkulosis ke dalam kategori I terapi tuberculosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid
pada fase lanjutan dalam kasus TB Meningitis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10
bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan
streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberculosis dengan kondisi berat atau
mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin (Amir, 2019).

Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum 300
mg/hari;rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari;pirazinamid 25 (20–
30)mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari;etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum
1.600 mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain
deksametason 0,4 mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB (Amir, 2019).

Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum 300
mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–
40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum
1.000 mg/hari. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,6mg/kgBB atau
prednison 2-4mg/kgBB (Amir, 2019).

b) Bedah

Sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari bedah


sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius dari efek massa
tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus disangkut pautkan merupakan
komplikasi dari basal meningitis dimana aliran dari CSS terblok dari jalur keluarnya pada
ventricle keempat dari jalur penyerapannya di vili arachnoid atau kemungkinan destruksi
dari vili arachnoid nya itu sendiri. Hydrocephalus merupakan komplikasi yang paling
14
parah dari infeksi dari Meningitis Tuberkulosis dan dapat ditatalaksana dengan diuretic,
osmotic agent, lumbar pungsi, external ventricular drainage, atau VentriculoPeritoneal
Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada anak masih kontroversial. Beberapa
penelitian menganjurkan melakukan VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada
grade ringan sampai sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal
pada kasus dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa
pada Meningitis Tuberkulosis terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses
dengan kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Amir, 2019).

2.1.11 Prognosis dan Komplikasi

Saat ini dengan meningkatnya resistensi terhadap M. tuberculosis, keterlambatan


dalam pemberian obat anti TB dan meningkatnya jumlah pasien dengan HIV, morbiditas
dan mortalitas pasien-pasien dengan tuberkulosis juga meningkat. (Elvina, 2016)

Angka kematian pada meningitis tuberkulosa adalah 10-20 persen. Gejala sisa
terutama muncul dan paling sering terjadi pada stadium tiga. Gangguan visual dan
pendengaran sering terjadi, demikian juga hemiparesis, retardasi mental dan kejang.
Keterlibatan hipotalamus dan sisterna basal menyebabkan endokrinopati, seperti diabetes
insipidus, gangguan pertumbuhan, seksual prekoks dan obesitas. (Elvina, 2016)

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Ringkasan

Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi TB primer. Kejadian


meningitis TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat,
umur dan status gizi. Imunisasi BCG meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi M.
tuberkulosis yang virulen. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran
hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru.
Sampai saat ini penyakit tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan didunia,
terutama di negara berkembang.

Secara umum, istilah meningitis menunjuk ke infeksi yang menyerang meningen ini.
Infeksi yang ada menyebabkan selaput ini meradang dan membengkak, dan proses inflamasi
yang ada merangsang reseptor-reseptor nyeri yang ada pada selaput itu sehingga
menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-faktor


yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi
yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu
beberapa minggu. Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko Meningitis di
antaranya adalah status immunocompromised.

Beberapa temuan klinis yang khas yang dapat meningkatkan kemungkinan MTB
adalah gejala yang sudah berlangsung lama lebih dari 6 hari, adanya defisit neurologis fokal.
Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau kultur,
baik dari sputum, darah, maupun CSS. Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga mungkin
tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien Meningitis Tuberkulosis, infeksi
HIV, dan anak kecil. Angka kematian pada meningitis tuberkulosa adalah 10-20 persen.
Gejala sisa terutama muncul dan paling sering terjadi pada stadium tiga.

16
17
DAFTAR PUSTAKA

Amir,F. 2019. Karakteristik Status Gizi Penderita Tuberkulosis Meningitis di RSUP Haji Adam
Malik Medan Periode 2015-2018. Hal 7-8, 16-18. Universitas Sumatera Utara

Elvina,F. 2016. Faktor Resiko Mortalitas Pada Pasien Meningitis Tuberkulosis Anak. Hal 6, 8-
12, 15. Universitas Sumatera Utara.

Harahap, H. S., dkk. 2016. Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium Penyakit Pasien Meningitis
Tuberkulosis yang Dirawat di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang. 15-16. Universitas
Brawijaya.

Huldani. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis. Hal VIII, X, XI.
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Mahalini, D., S. 2017. Update Diagnosis Meningitis Tuberkulosis pada Anak. Hal 4-6.
Universitas Udayana.

Masfiyah, dkk. 2013. Gambaran Definitif Meningitis Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi
Semarang. Hal 62-63. UNISSULA Semarang.

Nofareni. 2016. Status Imunisasi BCG dan Faktor lain yang Mempengaruhi Terjadinya
Meningitis Tuberkulosa. Hal 2-3. Universitas Sumatera Utara.

Rachmayati,S., dkk. 2017. Clinical Patology and Medical Laboratory. Hal 159. Surabaya.

Ritarwan, K. 2011. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa. Hal 1-10.
Universitas Sumatra Utara.

Samatra, P. 2018. Proceeding Book : the 6th Bali Neurology Update. Hal 6-13. Universitas
Udayana.

18

Anda mungkin juga menyukai