Anda di halaman 1dari 18

Bagian THT-KL

Pendidikan Profesi Dokter

TONSILITIS
Fakultas Kedokteran UMI

REFERAT

DIFTERI
Risna Sri Wahyuni.M / 11120182047
Pembimbing : dr. Andi Tenri Sanna, Sp.THT-KL, M.Kes
tonsila

Batas Tonsil:

1. Lateral – m. konstriktor faring superior

2. Anterior – m. palatoglosus

3. Posterior – m. palatofaringeus

4. Superior – palatum mole

5. Inferior – tonsil lingual


Garis median Garis paramedian Ukuran tonsila
T0 : Post Tonsilektomi
T1: Tonsil masih terbatas dalam Fossa
Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum
melewati garis paramedian (pillar  post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum
melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
definisi
Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium Diphteriae, Infeksi biasanya terdapat
pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit,
konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan
gejala-gejala lokal dan sistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada
tempat infeksi.
epidemiolog
i
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-
negara tropis dengan penduduk padat dan cakupan imunisasi
rendah. Penularan melalui kontak dengan karier atau individu
terinfeksi. Bakteri ditularkan melalui kontak droplet. Difteri
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.

Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering


menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program
imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan
kematian akibat difteria berkurang sangat banyak

Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah kasus


difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus meninggal 24 kasus,
sehingga CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di Jawa
Timur (209 kasus) dan Jawa Barat (133 kasus).
etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob,
bentuk ireguler, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang
pleomorfis. Koloni-koloni bakteri ini berwarna putih kelabu pada agar MacConkey
atau medium Loeffler.
Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari (1-10 hari). C. diphteriae dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu intermedius, gravis, mitis, dan
belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam bentuk toksigenik.
Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami lisogenisasi) oleh
virus spesifik (bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen tox).
Hanya strain toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat.
i
Fragmen B berfungsi untuk
Bakteri masuk melalui
melekatkan molekul toksin
droplet/sekret pernapasan Toksin ini merupakan suatu
yang teraktifasi pada
dan kontak kulit, melekat protein yang mempunyai 2
reseptor sel pejamu yang
serta berproliferasi pada fragmen, yaitu fragmen A
sensitif agar selanjutnya
permukaan saluran nafas (aminoterminal) dan fragmen
fragmen A melakukan
atas dan mulai memproduksi B (carboxylterminal) yang
penetrasi ke dalam sel.
toksin selanjutnya menyebar disatukan dengan ikatan
Kedua fragmen ini penting
ke seluruh tubuh melalui disulfide.
dalam menimbulkan efek
pembuluh limfe dan darah.
toksik pada sel.

Produksi toksin semakin banyak, daerah Sebagai respon terjadi


infeksi semakin lebar dan terbentuklah inflamasi lokal yang bersama-
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu sama dengan jaringan
membran yang melekat erat berwarna nekrotik membentuk bercak
putih keabu-abuan. Bila dipaksa melepas eksudat yang mula-mula
membran akan terjadi perdarahan. mudah dilepas.
Manifestasi klinis
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah dan nyeri menelan.
b. Gejala lokal dalam 2-3 hari tonsil edema ditutupi bercak putih kotor
keabu-abuan/ kebiru-biruan yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta
dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat pada
dasarnya, sehingga apabila diangkat akan mudah berdarah.
Manifestasi klinis
Pada perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar
limfe leher akan membengkak sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull’s neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.
 
C. Gejala akibat eksotoksin
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio
cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan.
diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri pemeriksaan preparat langsung
ditegakkan berdasarkan kuman yang diambil dari
gambaran klinik yaitu terlihat permukaan bawah membran
membran warna putih keabu- semu dan didapatkan kuman
abuan/kebiruan, Corynebacterium diphteriae.

Diagnosis pasti dengan isolasi


Diagnosis dapat dibuat lebih
C. diphteriae dengan
awal dan penanganan dapat
pembiakan dilanjutkan dengan
dimulai segera ketika diketahui
tes toksigenesitas secara vivo
bahwa terjadi endemik difteri.
dan vitro.
penatalaksana
an
Tatalaksana

Isolasi dan Terapi


Medikamentosa
karantina Suportif
karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita
diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:

Evaluasi gejala klinis


Sebaiknya dilakukan tes
Biakan usap hidung atau setiap hari sampai masa
Schick (tes kerentanan
tenggorok kemungkinan terjadi
terhadap difteri) .
komplikasi terlewati
medikamentosa
Tatalaksana difteri bertujuan untuk menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphteriae menggunakan
antibiotik. Setelah diagnosis klinis, harus diambil spesimen untuk kultur dan pasien diisolasi ketat. Pasien
yang dicurigai difteri harus diberi antitoksin dan antibiotik dengan dosis adekuat.

Serum Antitoksin Difteri (ADS)


Antibiotik

 Penisilin G prokain diberikan secara IM sekali sehari


(300.000 Unit/hari untuk berat badan <10 kg dan 600.000
Unit/hari untuk berat badan >10 kg) selama 14 hari atau
 Eritromisin oral atau injeksi
(40 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum
2 gram/ hari) selama 14 hari.
 Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam setelah
pemberian antibiotik. Eliminasi kuman dibuktikan dengan
dua kali kultur dengan hasil negatif 24 jam setelah terapi
antibiotik selesai dan keadaan memungkinkan.
Terapi suportif
 Pasien harus tirah baring total dan makanan disesuaikan keadaan pasien.
 Evaluasi terutama status respiratorik sedikitnya setiap 3 jam oleh perawat dan 2 kali/hari
oleh dokter. Pasien harus ditempatkan dekat perawat, agar obstruksi jalan napas dapat
dideteksi sesegera mungkin.
 Intubasi atau trakeostomi dilakukan jika terjadi tanda obstruksi jalan napas disertai gelisah.
Alternatif lain adalah intubasi orotrakeal, tetapi bisa menyebabkan terlepasnya membran,
sehingga gagal mengurangi obstruksi.
 Status hidrasi harus dijaga dan berikan diet lunak atau cair tinggi kalori.
 Sekret harus dibersihkan dengan cara pengisapan untuk mencegah aspirasi. Penanganan
Kontak Kerabat/keluarga serumah dengan pasien harus mendapat imunisasi booster
difteri, antibiotik, dan menjalani pemeriksaan kultur apusan hidung dan tenggorokan.
pencegahan
 Imunisasi dasar DTP (DTP-1, DTP-2, dan DTP-3) diberikan 3 kali sejak usia 2
bulan (tidak boleh sebelum usia 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu.
 Imunisasi ulangan booster DTP (DTP-4) diberikan satu tahun setelah DTP-3 (usia
18-24 bulan) dan DTP-5 saat masuk sekolah usia 5 tahun.
 Apabila pada usia 5 tahun belum diberi DTP-5, vaksinasi booster diberi Td sesuai
program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS, SD kelas 1, usia 7 tahun).
 Vaksinasi booster Td diberikan 2 kali pada program BIAS (SD kelas 2 dan 3).
 Dosis vaksinasi DTP (DTWP, DTaP, DT, atau Td) adalah 0,5 mL intramuskular
baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.
komplikasi
Neuritis sering mengenai saraf
Miokarditis dapat bermanifestasi motorik dan biasanya sembuh
sebagai irama jantung abnormal total. Paralisis palatum molle
pada awal perjalanan penyakit atau paling sering terjadi pada minggu
beberapa minggu kemudian, dan ke-3. Paralisis otot mata, tungkai,
dapat menyebabkan gagal jantung. dan diafragma dapat terjadi
setelah minggu ke-5.

Komplikasi lain
Pneumonia meliputi otitis
sekunder dan media dan
gagal napas dapat insufisiensi
terjadi akibat pernapasan akibat
paralisis obstruksi,
diafragma. khususnya pada
bayi.
prognosis
● Prognosis tergantung dari toksik kuman, Lokasi dan perluasan
membrane, Kecepatan terapi, Status kekebalan, Umur
penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin
buruk, Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang
baik pada penderita gizi kurang
● Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi
yang berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis
yang baik.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai