Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS Kepada Yth:

Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :

MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE


TUBERKULOID DISERTAI CACAT KUSTA
TINGKAT 2

Oleh:
dr. Stefani Nurhadi
Pembimbing:
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
PENDAHULUAN

Morbus Hansen (MH) atau kusta adalah infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae. Penyakit ini terutama mengenai kulit dan saraf perifer. Penyakit ini dapat juga
menyerang otot, mata, tulang, testis dan organ dalam lainnya kecuali susunan saraf pusat.
Kusta memiliki spektrum manifestasi klinik yang luas. Kejadian penyakit tergantung status
imunitas individu.1,2

Klasifikasi dibuat karena banyaknya variasi dari manifestasi, perjalanan penyakit,


prognosis dan komplikasi dari penyakit ini. Klasifikasi dibuat berdasarkan klinis,
bakteriologis, imunologis dan histopatologis. Ada beberapa klasifikasi yang digunakan
termasuk Madrid, Ridley-Jopling dan WHO. Klasifikasi Madrid membagi kusta menjadi
indeterminate(I), tuberkuloid (T), borderline-dimorphous (B) dan lepromatosa (L). Adapun
untuk kepentingan riset digunakan klasifikasi Ridley-Jopling yaitu tuberkuloid (TT),
borderline tuberkuloid (BT), mid-borderline (BB), borderline lepromatosa (BL) dan
lepromatosa (LL). Sedangkan untuk kepentingan program kusta digunakan klasifikasi WHO
yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB).2,3

Indonesia hingga saat ini merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta
tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil.
Tahun 2013, Indonesia memiliki jumlah kasus kusta baru sebanyak 16.856 kasus dan jumlah
kecacatan tingkat 2 diantara penderita baru sebanyak 9,86%.4Kasus baru kusta terbanyak di
provinsi Jawa Timur (4.132 jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah (1.765 jiwa), Papua
(1.180) dan Sulawesi Selatan (1.172 jiwa).5Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang
penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Penyebaran penderita kusta di Provinsi
Jawa Timur meliputi pantai utara jawa dan Madura.6

Sedangkan di Bali pada tahun 2013 ditemukan kasus baru kusta sebanyak 84
penderita (9 orang kusta PB dan 75 orang kusta MB), 49 orang diantaranya laki-laki dan 35
orang perempuan dan angka penemuan kasus baru tahun 2013 sebesar 2,07 per 100.000
penduduk. Jika dibandingkan dengan penemuan kasus baru pada tahun 2012 dan 2013
jumlahnya sama, hal ini menunjukkan perkembangan penyakit kusta di Bali masih terus
terjadi dan belum bisa ditekan jumlah penderitanya.7

Diantara penyakit menular, kusta adalah penyebab utama kecacatan fisik permanen.
Kecacatan fisik dapat terjadi baik pada kusta MB (imunitas rendah) maupun PB (imunitas
tinggi). Kusta MB seiring dengan waktu cenderung menimbulkan kecacatan yang lebih besar.
Sedangkan kecacatan pada kusta PB sering berhubungan dengan keterlibatan saraf perifer.
Akibat keterlibatan saraf perifer, terdapat kelemahan otot dan kehilangan sensasi pada
tangan, kaki dan mata yang menyebabkan ulserasi dan deformitas. Namun deteksi dan
tatalaksana (termasuk reaksi lepra dan neuritis) sebelum kerusakan saraf terjadi, adalah cara
yang efektif mencegah kecacatan akibat kusta dan komplikasinya. Stigma sosial dan
diskriminasi berhubungan dengan kusta terutama akibat kecacatan dan luka yang
disebabkannya, sehingga penderita dapat dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Cacat
tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah. Sehingga diagnosis dini penyakit dan terapi yang
tepat dapat mencegah stigma dan diskriminasi. Dengan terapi yang tepat, penderita lepra
dapat menjalankan kehidupan yang produktif dalam masyarakat.1,8

Berikut dilaporkan satu kasus morbus hansen (MH) tipe borderline tuberkuloid (BT)
disertai cacat kusta tingkat 2. Kasus ini dilaporkan untuk memberikan pemahaman tentang
penyakit MH, cacat kusta, dampak sosial kecacatan serta cara penanganan yang tepat.

KASUS

Seorang laki-laki, 29 tahun, suku Madura, warga negara Indonesia, dengan nomor rekam
medis 15041753, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada
tanggal 18 Agustus 2015 dengan keluhan utama bercak kemerahan mati rasa di lengan,
punggung dan tungkai.

Pasien dirujuk dari RS Indera dengan diagnosis suspek morbus Hansen tipe PB. Hasil
pemeriksaan BTA cuping telinga (14 Agustus 2015) negatif. Pasien mengeluhkan adanya
bercak kemerahan dan tampak kulit normaldi bagian tengahnya disertai rasa tebal sejak 3
tahun yang lalu. Awalnya muncul di lengan kiri. Sejak 1 tahun yang lalu, bercak membesar
dan muncul di area tubuh lain seperti lengan kanan, tungkai dan punggung. Pasien juga
mengeluh kesemutan pada tangan kanan dan mati rasa pada telapak tangan kanan.

Pasien sempat mengobati penyakitnya dengan minum ramuan herbal (sari buah
sirsak) sejak 7 bulan yang lalu, tetapi keluhan tidak membaik. Riwayat sosial, pasien lahir
dan besar di Madura, pendidikan terakhir SMU dan saat ini bekerja sebagai seorang sales di
Denpasar (sejak tahun 2007). Penderita tinggal dengan seorang istri. Tidak ada anggota
keluarga maupun teman pasien yang menderita keluhan yang sama. Riwayat alergi dan
penyakit kuning pada penderita maupun keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran
komposmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan 18x/menit, denyut nadi
80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu aksila 36,5oC dan VAS 0. Pada status generalis
didapatkan kepala normocephali, pada pemeriksaan kedua mata tidak didapatkan anemia
maupun ikterus. Alis mata tidak madarosis dan kelopak mata dapat membuka dan menutup
seperti biasa. Pada pemeriksaan hidung telinga dan tenggorokan tidak ditemukan adanya
kelainan. Tidak didapatkan infiltrat pada telinga. Pembesaran kelenjar limfe regional tidak
ditemukan. Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen dalam
batas normal, tidak didapatkan pembesaran hepar dan lien. Pada ekstremitas teraba hangat
dan tidak edema. Terdapat deformitas claw hand pada digiti ke I sampai ke V manus dekstra.

Status dermatologis, lokasi pada regio brachii-antebrachii dekstra dan sinistra,


tengkuk, punggung, dan kedua lutut didapatkan effloresensi berupa plak eritema multipel,
bentuk oval-geografika, batas tegas, ukuran 0,5x1,5 cm hingga 6x10cm dengan central
clearing (punched out lesion), lesi satelit berupa plak eritema. Didapatkan xerosis pada lesi.

Gambar 1. Lesi satelit pada lengan kanan. Gambar 2.Atrofi otot tenar dan hipotenar tangan kanan.

Gambar 3. Lesi punched out di lengan kanan. Gambar 4. Lesi punched out di lengan kiri.
Gambar 5.Lesi di tengkuk dan punggung. Gambar 6.Claw hand pada tangan kanan.

Pada pemeriksaan saraf didapatkan penebalan n. ulnaris dekstra dan n. medianus


dekstra. Pemeriksaan sensibilitas didapatkan penurunan terhadap rasa raba, nyeri dan
suhupada lesi dan telapak tangan kanan. Pada pemeriksaan voluntary muscle test (VMT)
terdapat penurunan fungsi saraf ulnaris dekstra dan saraf medianus, sedangkan pada n.
auricularis magnus, n. radialis, n. tibialis posterior dan n. peroneus komunis dalam batas
normal. Atrofi otot tenar dan hipotenar dekstra. Pemeriksaan bakteriologis dengan
pengecatan Ziehl-Neelsen tidak ditemukan basil tahan asam (BTA) baik pada cuping telinga
kanan, cuping telinga kiri, maupun pada lesi.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis


pasien adalah morbus hansen tipe borderlineborderline (BB), dengan diagnosis banding tipe
borderline tuberkuloid (BT) disertai cacat kusta tingkat 2 (claw hand dekstra).
Penatalaksanaan pada penderita adalah multidrug therapy (MDT) PB paket ke-1, vitamin B1
B6 B12 1x1 tablet setiap hari dan KIE untuk melatih jari-jari tangan.

PENGAMATAN LANJUTAN I

Pada pengamatan hari ke-41 (tanggal 28 September 2015)lesi lama menipis dan menjadi
kering, kemerahan berkurang, mati rasa masih ada dan tidak muncul lesi baru pada kulit
pasien. Keluhan kesemutan kadang-kadang masih dirasakan pada tangan kanan. Keluhan
lemah pada jari-jari tangan kanan pasien masih dirasakan. Pasien mengaku telah minum obat
MDT PB secara teratur. Keluhan mual, muntah dan demam disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita dengan kesadaran komposmentis dan


keadaan umum baik. Nadi 80x/menit, frekuensi nafas 20x/menit, suhu aksiler 36,7oC. pada
status generalis penderita tidak didapatkan adanya kelainan. Pada ekstremitas terdapat
deformitas claw hand pada digiti ke-1 sampai ke-5 manus dekstra. Status dermatologi, pada
lokasi regio brachii-antebrachii dekstra dan sinistra, tengkuk, punggung, dan kedua lutut
didapatkan effloresensi berupa makula hipopigmentasi multipel, bentuk oval-geografika,
batas tegas, ukuran 0,5x1,5 cm hingga 6x10cm.

Pada pemeriksaan saraf didapatkan penebalan n. ulnaris dekstra dan n. medianus


dekstra. Pemeriksaan sensibilitas didapatkan penurunan terhadap rasa raba, nyeri dan
suhupada lesi dan telapak tangan kanan. Pada pemeriksaan voluntary muscle test (VMT)
terdapat penurunan fungsi saraf ulnaris dekstra dan saraf medianus, sedangkan pada n.
auricularis magnus, n. radialis, n. tibialis posterior dan n. peroneus komunis dalam batas
normal. Atrofi otot tenar dan hipotenar dekstra.

Gambar 7.Lesi hipopigmentasi pada kedua lengan.

Gambar 8.Atrofi otot tenar dan hipotenar pada tangan kanan.Gambar 9.Claw hand tangan kanan.
Gambar 10.Lesi hipopigmentasi di tengkuk dan punggung.Gambar 11.Lesi di kedua lutut.

Gambar 12.Biopsi kulit diambil dari lesi di bagian tengkuk.

Hasil pemeriksaan histopatologi sediaan kulit dari lesi daerah tengkuk (12 September
2015, dengan nomor PA 3849/PP/2015) didapatkan secara makroskopis dalam tabung darah
1 poton jaringan biopsi punch ukuran 0,5x0,2x0,2 cm, ditutupi kulit ukuran 0,2x0,2x0,2 cm,
warna putih abu-abu, konsistensi kenyal. Sedangkan secara mikroskopis didapatkan sediaan
potongan jaringan kulit yang terdiri dari lapisan epidermis dan dermis. Tidak tampak area
Grenz zone. Pada dermis bagian atas tampak struktur granuloma-granuloma tersusun oleh sel-
sel epiteloid histiosit, sebagian granuloma tampak di perineural. Disekitar granuloma-
granuloma tersebut terdapat serbukan padat limfosit hingga ke perineural. Pada pulasan
Ziehl-Nielsen tidak tampak kuman Mycobacterium leprae. Kesimpulan gambaran morfologi
sesuai untuk morbus Hansen tipe borderline tuberkuloid (BT).

Gambar 13.Histopatologi tampak granuloma-granuloma.Gambar 14.Granuloma di perineural.

Diagnosis kerja pasien adalah follow up morbus hansen tipe borderline tuberkuloid
dengan cacat kusta tingkat 2 (claw hand dekstra). Penatalaksanaan pada penderita adalah
Penatalaksanaan pada penderita adalah multidrug therapy (MDT) pausibasiler paket ke-2,
vitamin B1 B6 B12 1x1 tablet setiap hari, konsultasi dengan bagian rehabilitasi medis dan
KIE untuk melatih jari-jari tangan. Diagnosis dari bagian rehabilitasi medik adalah claw hand
et kausa MH tipe BT. Penatalaksanaan yang diberikan adalah elektro stimulasi otot intrinsik
tangan, latihan range of movement (ROM), pergerakan dan fungsional tangan.

PEMBAHASAN

Kusta adalah penyakit granulomatus kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium


leprae.Kuman tersebut merupakan basil tahan asam, obligat intraseluler, Gram positif, yang
tidak dapat dikultur. Faktor resiko adalah kerentanan genetik dan paparan lingkungan, seperti
lahir atau bertempat tinggal pada suatu daerah endemik, seorang anggota keluarga menderita
kusta dan kemiskinan.9

Pada kasus, pasien lahir dan besar di Madura.Secara nasional Provinsi Jawa Timur
merupakan penyumbang penderita kusta terbanyak diantara provinsi lainnya, serta
penyebaran penderita kusta terutama meliputi daerah pantai utara Jawa dan Madura.6Namun
adanya paparan dengan penderita kusta disangkal oleh pasien.

Diagnosis dan klasifikasi kusta berdasarkan pada klinis, hapusan kulit dan
histopatologi (dilakukan pada tempat yang memiliki fasilitas tersebut). Terdapat 3 tanda
kardinal meliputi lesi kulit hipopigmentasi atau eritematus dengan penurunan/ kehilangan
sensasi, keterlibatan saraf perifer, berupa penebalan dengan gangguan sensorik dan hapusan
sayatan kulit positif mengandung basil tahan asam.10

Ridley dan Jopling (1966) mendefinisikan 5 kolompok penyakit kusta [tuberkuloid


(TT), borderline tuberkuloid (BT), mid-borderline (BB), borderline lepromatosa (BL) dan
lepromatosa (LL)] berdasarkan bentuk klinis, bakteriologis, histologis dan imunologis.
Klasifikasi ini sangat berguna untuk tujuan penelitian tetapi sering tidak mudah diterapkan
pada kondisi di lapangan dan pusat kesehatan primer.10

Tabel 1. Karakteristik Klasifikasi Ridley-Jopling10

TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya 1-3 Sedikit Beberapa Banyak, Tidak
4-10 10-30 asimetris terhitung,
>30 Simetris
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, Bervariasi Kecil, Kecil
biasanya besar beberapa besar beberapa besar
Permukaan Sangat kering, Kering, Tidak/sedikit Mengkilat Mengkilat
berskuama, berskuama, mengkilat
tampak cerah &
bengkak terinfiltrasi
Sensasi Hilang Berkurang Berkurang Sedikit Tidak/ sedikit
sedang berkurang terpengaruh
Rambut Hilang Hilang atau Berkurang Sedikit Tidak
sedikit sedang berkurang terpengaruh
pada awalnya
BTA 0 0 atau sedikit Berjumlah Banyak Sangat
sedang banyak, globi
Reaktifitas +++ + atau ++ -/ + - -
Lepromin

Ciri-ciri MH tipe BT menunjukkan lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid


berupa makula besar pucat dan plak anestesi.Dapat tampak pemanjangan kecil dari lesi pada
satu sisi (pseudopodium) atau bahkan lesi satelit.Jumlah lesi bervariasi dari 3 hingga 10
dengan ukuran dan kontur yang bervariasi.Ukuran lesi cenderung membesar dan dapat
menutupi seluruh anggota gerak.Kehilangan sensasi kurang jelas daripada lesi TT.Lesi sering
didapatkan pada wajah, aspek lateral ekstremitas, bokong dan skapula.Lesi makula
hipopigmentasi dengan batas yang jelas biasanya terasa kering bila disentuh karena hilangnya
kemampuan berkeringat.Pada lesi terdapat hilangnya sensasi sentuhan ringan atau suhu yang
jelas.Beberapa saraf perifer membesar secara ireguler dan berpola asimetri.Kerusakan saraf
adalah karakteristik yang sangat penting pada kusta BT dan anestesi atau defisit motorik
sering ditemukan saat pemeriksaan.Walaupun sedang diterapi dengan obat-obatan anti kusta,
kerusakan saraf dapat berkembang menjadi anestesi yang lebih luas dan destruksi serta
deformitas, kecuali jika penderita diawasi dan dilakukan pencegahan yang tepat.Hal
terpenting dari kusta BT adalah kerentanannya timbul reaksi kusta tipe 1 pada kulit maupun
saraf. Penderita tersebut sebaiknya diperiksa dengan teliti adanya nyeri saraf dan tanda awal
kelemahan atau anestesi tangan dan kaki yang membutuhkan intervensi segera.10

Sedangkan kusta tipe BB adalah termasuk spektrum yang tidak stabil dan kebanyakan
turun tingkat ke arah LL jika tidak diterapi.Tampak beberapa lesi kulit dengan
kecenderungan menjadi simetris.Lesi terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran termasuk papul,
plak, lesi sirsinata dan nodul (jarang). Karakteristik lesi kulit adalah lesi anuler dimana batas
dalamnya tampak tegas disebut „punched out‟ dan batas luarnya lebih kabur dan landai
terhadap kulit normal. Pada wajah dapat tampak infiltrasi dengan kadang-kadang nodul pada
telinga dan dagu.Karena ketidak stabilan imunologis, keadaan BB tidak berlangsung lama
dan secara cepat berubah menjadi BT atau BL. Kerusakan saraf bervariasi.Jika pasien
mengalami penurunan tingkat dari BT banyak saraf dapat terkena namun asimetri. Pada
pasien yang mengalami perbaikan dari BL, sering karena pengobatan, saraf perifer akan
terkena tetapi tidak banyak defisit neurologis kecuali bila terjadi reaksi tipe 1. Kehilangan
sensorik perifer dalam pola simetri pada BB jarang didapatkan.10

Pada kasus, pasien ini mengeluhkan adanya bercak kemerahan dengan warna putih di
bagian tengahnya disertai rasa tebal sejak 3 tahun yang lalu.Awalnya muncul di lengan kiri.
Sejak 1 tahun yang lalu, bercak membesar dan muncul di area tubuh lain seperti lengan
kanan, tungkai dan punggung. Pasien juga mengeluh kesemutan pada tangan kanan dan mati
rasa pada telapak tangan kanan. Pada pemeriksaan status dermatologis, pada regio brachii-
antebrachii dekstra dan sinistra, tengkuk, punggung, dan kedua lutut didapatkan effloresensi
berupa plak eritema multipel, bentuk oval-geografika, batas tegas, ukuran 0,5x1,5 cm hingga
6x10cm dengan central clearing (punched out lesion) dan lesi satelit berupa plak eritema.
Pada pasien juga didapatkan penebalan saraf ulnaris dan medianus, defisit neurologis
(sensorik dan motorik) dan deformitas berupa clawhand pada tangan kanan. Pemeriksaan
bakteriologis dengan pengecatan Ziehl-Neelsen tidak ditemukan basil tahan asam (BTA) baik
pada cuping telinga kanan, cuping telinga kiri, maupun pada lesi. Sehingga diagnosis banding
pada pasien kasus ini adalah morbus hansen tipe BB dengan diagnosis banding tipe BT
disertai claw hand dekstra.

Idealnya setiap penderita kusta sebaiknya dilakukan pemeriksaan biopsi kulit untuk
konfirmasi diagnosis dan tipe kusta, untuk mengidentifikasi komplikasi seperti
reaksi.11Terdapat 2 tipe perubahan histologis yang berbeda pada kusta; reaksi lepromatosa,
dimana sejumlah besar makrofag pada dermis berisi basil tahan asam dan reaksi tuberkuloid
dimana tampak agregat seperti tuberkel dari sel-sel epiteloid, sel raksasa berinti banyak dan
limfosit, basil sulit ditemukan. Pola histologi tersebut tampak pada spektrum polar kusta,
tetapi dapat tumpang tindih pada bentuk borderline.12

Histologi kusta tipe BT menunjukkan bentukan tuberkel yang lebih jarang daripada
kusta TT dan destruksi saraf tidak lengkap. Subepidermal Grenz zone tampak secara
bervariasi.Sel langhans dan limfosit biasanya tidak sebanyak pada granuloma kusta
TT.Sedangkan pada kusta tipe BB, tampak kelompok-kelompok sel epiteloid tanpa terbentuk
granuloma berbatas tegas.Tidak tampak sel-sel raksasa Langhans dan limfosit lebih tersebar.
Kadang-kadang basil dapat ditemukan.12

Pada kasus ini, hasil pemeriksaan histopatologi sediaan kulit dari lesi daerah tengkuk
(12 September 2015, dengan nomor PA 3849/PP/2015) tidak tampak area Grenz zone.Pada
dermis bagian atas tampak struktur granuloma-granuloma tersusun oleh sel-sel epiteloid
histiosit, sebagian granuloma tampak di perineural.Disekitr granuloma-granuloma tersebut
terdapat serbukan padat limfosit hingga ke perineural.Pada pulasan Ziehl-Nielsen tidak
tampak kuman Mycobacteriumleprae.Kesimpulan gambaran morfologi sesuai untuk morbus
Hansen tipe borderline tuberkuloid (BT).

Kusta dalam bahasa Sansekerta “Kushnati” yang berarti berangsur-angsur akan habis,
menggambarkan bahwa individu yang terkena kusta cenderung menjadi cacat. Menurut
beberapa penelitian, didapatkan beberapa resiko terjadinya kecacatan yaitu jenis kelamin,
umur, pendidikan, reaksi kusta, tipe kusta, tingkat pengetahuan, keteraturan berobat, lama
sakit, pekerjaan, diagnosis dini dan perawatan diri.Cacat cenderung lebih sering terjadi pada
laki-laki dibanding dengan perempuan, diperkirakan berkaitan dengan pekerjaan berat dan
kasar, kebiasaan keluar rumah dan merokok. Sedangkan usia, didapatkan bahwa semakin tua
usia penderita maka kemampuan sistem saraf berkurang sehingga lebih sering terjadi
paralisis. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi penderita untuk
kurang merawat diri sehingga kerusakan akan bertambah berat. Yang tak kalah pentingnya
yaitu reaksi kusta, suatu periode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta akibat reaksi
kekebalan tubuh, dapat merugikan penderita. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum
mendapat pengobatan, dalam pengobatan maupun setelah pengobatan.13 Pada kasus, pasien
adalah laki-laki berusia 29 tahun dengan pendidikan terakhir SMU dan pekerjaan sebagai
sales.

Patofisiologi kecacatan akibat kusta dapat disebabkan oleh infiltrasi basil pada kulit
dan saraf maupun akibat reaksi kusta berupa neuritis akut yang dapat menimbulkan gangguan
fungsional pada saraf. Infiltrasi kuman pada jaringan (sering pada kusta lepromatosa) dapat
menimbulkan hilangnya alis mata, depresi hidung, keriput kulit wajah. Sedangkan kerusakan
saraf tepi dapat disebabkan neuritis akibat kuman kusta dan respon imun penjamu.14

Masuknya basil ke dalam saraf perifer dapat menjadi langkah pertama tejadinya
neuropati pada kusta.Terdapat dua jalur dimana basil kusta dapat memasuki saraf
perifer.Jalur pertama yaitu melalui aliran darah dan limfe.Serta jalur kedua penyebaran sel ke
sel melalui sel Schwann dimulai dari distal ke proksimal. Sebenarnya kerusakan saraf tepi
sudah mulai terjadi saat muncul manifestasi penyakit kusta dan kompartemen sensorik adalah
bagian yang sering terkena.15

Sedangkan keterlibatan saraf motorik terjadi akibat kerusakan saraf campuran (suatu
sabut saraf yang terdiri dari cabang sensorik dan motorik).Contohnya, pada saraf ulnaris
terdapat cabang sensorik dan motorik yang terpisah pada funikuli yang berbeda pada
pergelangan tangan, dan bergabung kembali di daerah lengan bawah dan membentuk satu
atau dua funikuli besar di daerah siku.Perkembangan gangguan motorik pada saraf ulnaris
sangat tergantung dari lokasi ketinggiannya pada lengan bawah. Jika terjadi kompresi saraf
ulnaris di daerah pergelangan tangan dimana funikuli saraf kecil dan banyak, edema
inflamasi intraneural akan menghasilkan tekanan pada saraf yang tidak terlalu parah.
Sedangkan jika terjadi pada siku, dimana funikuli sedikit dan besar maka serabut saraf akan
lebih parah kerusakannya akibat kompresi.15

Lesi kulit cenderung terjadi pada daerah yang suhunya paling rendah (seperti aspek
ekstensor lengan bawah, siku, tangan, paha, tungkai, kaki, dan pipi) demikian juga saraf
perifer yang menginervasinya (seperti saraf ulnaris, medianus, peroneal komunis, tibialis dan
trigeminus) juga turut terlibat.Dari studi pada lesi kulit oleh Khanolkar, dapat disimpulkan
bahwa organisme berdiam di akson dan dibawa secara sentripetal dalam aksoplasma seperti
ikan berenang ke hulu sungai.15Pada kasus, lesi pasien terdapat pada lengan, tungkai dan
punggung.

Respon imun penjamu terhadap basilkusta berperan penting menghasilkan perubahan


struktural dan fungsional pada kusta melalui aktivasi imun dimediasi sel maupun imunitas
humoral yang teraktivasi dalam berbagai derajat dalam reaksi kusta dan basil kusta sendiri
yang nampaknya tidak terlalu menimbulkan kerusakan yang signifikan. Sebagai hasil akhir
dari keterlibatan saraf yang berat adalah hilangnya serabut saraf dan digantikan dengan
jaringan ikat, seperti dibuktikan pada beberapa studi.15

Telah diketahui sejak lama bahwa penyakit kusta dapat menyebabkan disabilitas dan
kecacatan.16Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi akibat penyakit kusta
yang terutama menyerang saraf tepi. Menurut Srinivasan, saraf perifer yang terkena akan
mengalami beberapa tingkat kerusakan. Pertama, stage of involvement, pada tingkat ini
penebalan saraf dan mungkin disertai nyeri tekan dan ganguan nyeri spontan pada saraf
tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi seperti anestesi atau kelemahan otot.Tahap
berikutnya, stage of damage, saraf telah rusak dan terganggu fungsinya (otonom, sensoris dan
motorik).Diagnosis stage of damage dapat ditegakkan, bila saraf telah mengalami paralisis
tidak lengkap dan paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan.Dengan pengobatan pada
tingkat ini kerusakan saraf yang permanen dapat dihindari.Tahap akhir, stage of destruction,
adalah tahapan dimana saraf telah rusak secara lengkap atau paralisis saraf secara lengkap
lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan fungsi saraf ini tidak
dapat diperbaiki.8Terdapat sejumlah besar kasus yang telah menyelesaikan pengobatan multi
drug treatment (MDT) namun mengalami berbagai kecacatan dan disabilitas sebagai
konsekuensi kerusakan saraf permanen.16

Cacat tubuh tersebut dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit
dilakukan secara dini. Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu: Tingkat I, terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri, tanpa gangguan
fungsi gerak, namun telah terjadi gangguan sensorik; Tingkat II, terjadi kerusakan pada saraf,
timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal termasuk pada otot kelopak mata, otot jari
tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih dapat terjadi pemulihan kekuatan otot.Bila
berlanjut, dapat terjadi luka (di mata, tangan dan kaki) dan kekakuan sendi; Tingkat III,
terjadi penghancuran saraf. Kelumpuhan akan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi infeksi
yang progresif dengan kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.8

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok.Kelompok cacat primer, ialah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae. Termasuk
cacat primer adalah (1) Cacat pada fungsi saraf sensorik (misal: anestesi); fungsi saraf
motorik (missal: claw hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagoftalmus) dan cacat fungsi
otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas kulit berkurang, serta gangguan
reflex vasodilatasi (2) Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat (fasies leonine, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel rambut
menyebabkan alopesia atau madarosis, keruskan pada glandula sebasea dan sudorifera
menyebabkan kulit kering dan tidak elastis (3) Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi
kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis dan bola
mata.8

Sedangkan kelompok cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan saraf. Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis
atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan
motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau
berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Cacat pada tangan dan kaki dibagi menjadi tiga
tingkat kecacatan menurut WHO (1988) yaitu tingkat 0 (tidak ada anestesi dan kelainan
anatomis), tingkat 1 (ada anestesi, tanpa kelainan anatomis) dan tingkat 2 (terdapat kelainan
anatomis).8

Dalam kondisi normal tangan dengan mudah melakukan berbagai gerak spesifik,
misalnya menggenggam, mencengkeram, menjepit dan lain-lain. Kelemahan otot tangan akan
menyebabkan hilangnya kemampuan gerak tersebut. Pada gangguan saraf ulnaris terdapat
anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis. Clawing kelingking dan
jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus dorsalis. Pada pergelangan tangan, fleksi
melemah dan abduksi ke arah ulnar tidak mampu serta ketidakmampuan adduksi ibu jari.Juga
terjadi gangguan sensasi pada sisi ulnar tangan dan jari ke V. Terjadi gangguan vasomotor,
yaitu kulit menjadi dingin, kering dan pucat pada sisi ulnar tangan. Kuku jari ke V sering
rusak dan luka sering terjadi karena gangguan sensasi serta gangguan proses penyembuhan.17
Sedangkan gangguan saraf medianus dapat menyebabkan anestesi pada ujung jari
bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah; tidak mampu adduksi ibu jari; clawing ibu
jari, telunjuk dan jari tengah serta ibu jari kontraktur. Jika terjadi kombinasi gangguan saraf
ulnaris dan medianus maka pergelangan tangan akan hiperekstensi dan tangan menetap ke
arah radial. Ibu jari abduksi, gerakan fleksor abduksi ataupun adduksi jari-jari tidak dapat
dikerjakan.Atrofi pada dorsal interoseus tenar, hipotenar, gambaran tendon fleksor
menonjol.Gangguan sensasi terjadi hampir pada seluruh tangan. Gangguan otonomik seperti
pada gangguan saraf ulnaris juga terjadi.17

Pada kasus, didapatkan gangguan saraf perifer meliputi fungsi sensorik, motorik dan
otonom.Fungsi sensorik yang terganggu meliputi rasa raba, suhu dan nyeri pada lesi kulit dan
tangan kanan.Fungsi motorik yang terganggu adalah deformitas digiti 1-5 manus
dekstra.Pada pemeriksaan juga didapatkan penebalan pada nervus ulnaris dekstra dan
medianus dekstra.Juga didapatkan atrofi otot tenar dan hipotenar.

Oleh karena kecacatan kusta adalah akibat gangguan saraf perifer, maka pemeriksaan
saraf perifer harus dilakukan secara teliti dan benar, namun cukup sederhana dan
murah.Pemeriksaan ini meliputi fungsi sensorik, motorik dan otonom.Fungsi sensorik dapat
diperiksa pada telapak tangan, yaitu daerah yang dipersarafi oleh n. ulnaris dan
medianus.Juga pada daerah telapak kaki untuk daerah yang dipersarafi oleh n. tibialis
posterior. Untuk fungsi motorik, otot yang diperiksa adalah otot-otot yang dipersarafi oleh n.
fasialis dengan memeriksa penutupan bola mata; n. ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.
abduktor digiti minimi; n. medianus dengan memeriksa kekuatan m. abduktor pollisis brevis;
n. radialis dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan; n. peroneus dengan
memeriksa kekuatan fleksidorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi maupun inversi; dan
n. tibialis posterior dengan memeriksa kekuatan otot trisep surae, tibialis posterior, fleksor
halusis longus dan fleksor digitorum longus.Sedangkan fungsi otonom diperiksa dengan
memegang tangan/ kaki pasien untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Pada tahap awal, bila berbagai gangguan ini cepat diketahui, maka dengan
terapi medikamentosa serta tindakan perlindungan saraf dari kerusakan lebih lanjut, maka
hasilnya akan sangat baik.8

Diantara penderita kusta yang telah sembuh terdapat beberapa dari mereka yang tidak
memiliki kecacatan tetapi dapat berkembang menjadi cacat akibat kelalaian dalam merawat
anggota tubuhnya yang telah mati rasa.16Kusta dan kecacatannya tersebut sering
menimbulkan dampak sosial yang dapat memperburuk kondisi psikososial
penderita.Penderita kusta sering dikucilkan, ditolak, dipersalahkan atau tidak dihargai oleh
keluarga, teman dan komunitasnya.Penderita kusta juga mendapat kesulitan untuk diterima
masuk sekolah atau bekerja. Penerimaan sosial masih menjadi realita yang harus dihadapi
kebanyakan pasien kusta.18

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi
menjadi 3 kelompok, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan lesi 2-5 buah
dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT
WHO menjadi sebagai berikut: (a) Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas
rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1-2
mg/ kg berat badan) swakelola, selama 6 bulan. (b) Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5
buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson
100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan 1 tahun. (c) Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas
Rifampisin 600 mg, ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan Minoksiklin 100 mg dosis
tunggal.19

Pada kasus, penderita terdapat banyak lesi kulit dan dari pemeriksaan hapusan sayatan
kulit didapatkan BTA negatif dan hasil pemeriksaan histopatologi MH tipe BT. Oleh karena
itu, penderita diberikan pengobatan pausibasiler.

Sedangkan untuk cacat kusta lebih baik dan ekonomis dilakukan pencegahan daripada
penanggulangan.Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas
kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. Pencegahan cacat ditujukan
untuk mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta ditegakkan dan diobati, mencegah
agar cacat yang telah terjadi jangan menjadi lebih berat dan menjaga agar cacat yang telah
baik tidak kambuh lagi.17

Upaya pencegahan cacat terdiri dari upaya pencegahan cacat primer dan sekunder.
Upaya pencegahan cacat primer meliputi diagnosis dini, pengobatan secara teratur dan
adekuat, diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, diagnosis dini dan penatalaksanaan
reaksi. Sedangkan pencegahan cacat sekunder dapat berupa perawatan diri sendiri untuk
mencegah luka; latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur; bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan; bedah septik untuk mengurangi perluasan
infeksi sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang dan
perawatan mata, tangan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.17Pada
kasus pasien diterapi dengan MDT paket pausibasiler selama 6 bulan, vitamin B1 B6 B12
1x1 sehari, latihan sendi dan KIE pencegahan dan perawatan tangan yang mati rasa.

Pencegahan dan perawatan cacat tangan dan kaki dapat dilakukan oleh penderita
sendiri atau keluarganya sebagai berikut. Mengamati dan melaporkan kepada petugas
kesehatan adanya perubahan rasa, berkurangnya kekuatan otot, nyeri saraf; timbulnya luka,
kulit pecah-pecah atau kekakuan sendi; luka yang tidak sembuh-sembuh dan perlu perbaikan/
ganti alat bantu atau alat pelindung. Perawatan tangan dan kaki yang perlu dilakukan bila ada
kelemahan otot adalah latihan secara aktif, tetapi bila kekuatan otot sudah tidak ada atau
hampir hilang dapat dilakukan secara pasif.Pertahankan range of movement (ROM) sendi-
sendi tangan dengan latihan ROM baik pasif maupun aktif. Bila telah timbul kontraktur harus
dilakukan latihan peregangan.17

Latihan baik aktif maupun dibantu berfungsi untuk meningkatkan kekuatan otot,
mempertahankan tonusnya dan mencegah disuse atrofi, kekakuan sendi dan
kontraktur.Karena latihan dapat menyebabkan hipertrofi serat otot yang tersisa dan
mengkompensasi serat yang rusak.Latihan aktif dilakukan untuk kelemahan sendi dini dan
tidak lengkap.Sedangkan latihan aktif dengan bantuan digunakan untuk mencegah kerusakan
struktur anatomi karena adaptasi postur.Misalnya kerusakan bagian ekstensor jari-jari akibat
clawing dan fleksi konstansendi interfalangs proksimal dapat diminimalkan dengan
menyangga sendi metakarpofalangeal pada fleksi sudut 90o untuk mencegah peregangan dan
kerusaan ekstensor lebih lanjut.Sedangkan padalatihan pasif, pergerakan sendi sepenuhnya
dengan bantuan dari luar. Tujuannya untuk mempertahankan ROM penuh sehingga tidak
terjadi kontraktur pada kelompok otot lawannya atau sendi itu sendiri.20

Pasien dengan tangan dan kaki yang mati rasa tanpa disadari bisa melukai dirinya
sendiri.Oleh karena itu diperlukan beberapa tindakan sederhana perawatan tangan dan kaki
untuk mencegah kecacatan.Untuk tangan/kaki yang kering, pecah dan terbelah dianjurkan
setiap hari direndam dalam air selama 20 menit dan diolesi minyak/vaselin secara teratur.
Dianjurkan untuk menghindari benda-benda tajam atau panas, memakai sepatu atau sandal
untuk melindungi kaki terhadap luka, bila perlu memakai alat bantu jalan (tongkat). Untuk
tangan/kaki yang luka dianjurkan untuk membersihkannya dengan sabun dan air lalu dibalut
dengan kain bersih dan diistirahatkan.8

Pada kasus, dari bagian rehabilitasi medis pasien didiagnosis claw hand et kausa MH
tipe BT. Penatalaksanaan yang diberikan adalah elektro stimulasi otot intrinsik tangan,
latihan range of movement (ROM), pergerakan dan fungsional tangan.

Untuk perawatan tangan yang mati rasa, pasien perlu memeriksa tangannya setiap hari
untuk mencari tanda-tanda luka seperti kemerahan, kulit melepuh, luka dan lain-lain.Tangan
yang mati rasa perlu direndam setiap hari dalam air dingin selama 20 menit.Dalam keadaan
masih basah perlu dioleskan minyak.Kulit yang keras dan tebal perlu digosok agar menjadi
tipis dan halus.Jari-jari yang bengkok perlu diurut lurus agar sendi tidak menjadi kaku.
Tangan yang mati rasa perlu dilindungi dengan menghindari panas dan benda-benda yang
tajam dan kasar.17

Proteksi tangan dapat dilakukan dengan memakai sarung tangan waktu bekerja,
berhenti merokok, tidak menyentuh gelas/barang panas secara langsung dan melapisi gagang
alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan
pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas.Bidai dipasang pada anggota gerak
fungsional saat timbul reaksi penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah
kerusakan saraf.21

Bidaidapat digunakan untuk memelihara jari-jari pada claw hand.Bidai statik untuk
mepertahankan posisi sendi sedangkan bidai dinamik digunakan untuk melatih jari-jari. Bidai
yang umum digunakan untuk deformitas tangan antara laingutter splint, finger loop splint,
opponent splint, adductor band dan plasterof Paris. Gutter splint adalah bidai statik
berbentuk tabung terbelah, terbuat dari bahan polivinil tebal dilapisi flannel dengan perekat
velkro pada pengikatnya. Finger loop splint adalah bidai melingkar yang terbuat dari bahan
yang lembut dengan lubang terbuka pada ujungnya.Melalui lubang ini sebuah tali karet
dikaitkan dan diikat. Pada ujung lain tali karet terikat pada ban pergelangan tangan dengan
tegangan tertentu. Ini adalah bidai dinamis yang digunakan untuk melatih jari-jari dan
membantu meluruskan sistem ekstensor jari-jari.Opponents splintsama dengan loop splint
tetapi lingkarannya lebih lebar, berfungsi untuk memfasilitasi pergerakan diagonal dari ibu
jari. Adductor band terdiri dari ban lurus dengan perekat velkro pada ujungnya. Selanjutnya,
plaster of Paris digunakan untuk sendi interfalang proksimal untuk mengatasi kontraktur
secara bertahap.20
Gambar 15.Aneka bidai searah jarum jam: adductor band, finger loop splint, opponent splint dan gutter splint.

Gambar 16.Plaster of Paris: cylindrical splint dan thumbweb splint.

Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan kecacatan adalah
penderita mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat resiko terjadinya luka
sehingga penderita harus melindungi tempat resiko tersebut.Penderita dapat melakukan
perawatan kulit dan melatih sendi bila mulai kaku. Bila terdapat luka, penderita dapat
membersihkannya dan mengurangi tekanan pada luka dengan istirahat.17

Pemulihan dari gangguan neurologis terbatas, tetapi lesi kulit biasanya bersih dalam
tahun pertama pengobatan.Perubahan warna dan kerusakan kulit biasanya menetap.Terapi
fisik, bedah rekonstruktif, transplantasi saraf dan tendon dan pembebasan kontraktur secara
bedah dapat meningkatkan kemampuan fungsional penderita lepra.Deformitas yang sering
tersisa adalah kaki mati rasa seperti yang terjadi pada penderita diabetes.22 Prognosis pada
kasus adalah dubius ad bonam.
SIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus MH tipe BT pada seorang laki-laki usia 29 tahun yang disertai
dengan cacat kusta tingkat 2 berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan bercak kulit mati rasa pada kedua lengan, tungkai dan
punggung, lemah pada jari-jari tangan kanan serta kesemutan dan mati rasa telapak tangan
kanan.Pasien berasal dari Madura dan pindah ke Denpasar sejak 8 tahun yang lalu.Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan digiti I-V manus dekstra.Pada pemeriksaan saraf
didapatkan pembesaran saraf medianus dekstra dan ulnaris dekstra.Pemeriksaan sensibilitas
didapatkan penurunan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu pada lesi kulit dan telapak tangan
kanan.Terdapat gangguan pada VMT fungsi saraf ulnaris dan saraf medianus.Status
dermatologi pada lokasi regio brachii-antebrachii dekstra dan sinistra, tengkuk, punggung,
dan kedua lutut didapatkan effloresensi berupa makula hipopigmentasi
multipel.Penatalaksanaan yang diberikan dari bagian kulit dan kelamin adalah MDT MB
paket I dan vitamin B1 B6 B12 serta konsul bagian rehabilitasi medis diberikan stimulasi otot
intrinsik tangan, latihan range of movement (ROM), pergerakan dan fungsional
tangan.Prognosis pada pasien dubius ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Thorat MD, Sharma P. In: Epidemiology. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. India:
Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 24-31.
2. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. In: Kusta. 2nd ed.
Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2003; 12-32.
3. Mishra RS, Kumar J. Classification. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. India:
Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 144-51.
4. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementerian Kesehatan RI. Menkes
canangkan resolusi Jakarta guna hilangkan stigma dan diskriminasi kusta. Indonesia:
Depkes; 2015.
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Kusta. Indonesia;
2015. 1-7.
6. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2013. Profil kesehatan Provinsi Jawa Timur
tahun 2012. Indonesia: Dinkes Jatim; 2013.1-18.
7. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Profil kesehatan Provinsi Bali tahun 2013.Indonesia:
Dinkes Bali; 2014.1-24.
8. Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat kusta. In: Kusta. Indonesia: Balai Penerbit
FK UI, 2003; 83-93.
9. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick‟s Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: Mc Graw Hill companies, 2008; 1786-96.
10. Kumar B, Dogra S. Case definition and clinical types. In: IAL Textbook of Leprosy.
1st ed. India: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 152-66.
11. Job CK, Ponnaiya J. Laboratory diagnosis. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. India:
Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 176-88.
12. Weedon D. Bacterial and rickettsial infections. In: Weedon‟s Skin Pathology. 3rd ed.
United Kingdom: Churchill Livingstone Elsevier, 2010; 548-72.
13. Susanto N. Faktor-faktor yang berhubungan dengantingkat kecacatan penderita kusta.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2006.
14. Shah N, Shah A. Deformities of face, hands and feet, and their management. In: IAL
Textbook of Leprosy. 1st ed. India: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 424-
46.
15. Shetty VP. Pathomechanisms of nerve damage. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed.
India: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 237-45.
16. Shah N. Working towards a leprosy free world providing comprehensive care. India:
Novartis, 2012; 1-19.
17. Putra IB. Pencegahan kecacatan pada tangan pendeita kusta. Indonesia: USU e-
Repository; 2008. 1-13.
18. Gopal PK. Aspek psikososial. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers, 2010; 560-4.
19. Soebono H, Suhariyono B. Pengobatan penyakit kusta. In: Kusta. Indonesia: Balai
Penerbit FK UI, 2003; 66-74.
20. Malaviya GN. Deformity/ disability prevention. In: IAL Textbook of Leprosy. 1st ed.
India: Jaypee Brothers Medical Publishers, 2010; 447-66.
21. Nuhonni SA, Cholis M. Rehabilitasi medik I. In: Kusta. Indonesia: Balai Penerbit FK
UI, 2003; 94-103.
22. Smith DS. Leprosy follow-up. Medscape. July 22nd 2014. Available in:
http://www.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai