PENDAHULUAN
toksisn hanya terjadi apabila bakteri itu sendiri terinfeksi oleh virus spesifik
Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong
Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat
pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki
PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun,
DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian
profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada
bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan
cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki
vaksin.(2)
1
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya
faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah, yang disebabkan oleh
adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga
menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa
2.2 Epidemiologi
tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan
di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang
dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa
Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011.
2
Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Pada tahun 2014 Kota
Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus
Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong
Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat
pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki
PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun,
DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian
profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada
bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan
cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki
vaksin. (2)
2.3 Etiologi
Difteria adalah penyakit infeksi menular akut yang disebabkan oleh bakteri
suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (strain toksigenik). Untuk
3
dapat bersifat toksigenik diduga suatu bacteriophage memegang peranan penting.
(3)
berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Efek toksin pada
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribososm.
Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
Toksin difteri mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas didaerah kolonisasi
kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama sama dengan jaringan
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
4
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan. (4)
diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf, ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksis dengan degenerasi lemak pada
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)
5
Masa Inkubasi dari difteri adalah 2 sampai 5 hari ( range, 1-10 hari).
Penyakit ini dapat mengenai hampir seluruh membran mukus. Untuk keperluan
klinis, akan lebih mudah apabila difteri diklasifikasikan dalam beberapa jenis
a. Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold , dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari kemudia timbul membran yang
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas maka
penetrasiu toksin dan luas membran. Pada kasus berat dapat terjadi
6
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi
neuritis. Pada kasus ringan mem,bran akan terlepas dalam 7-10 hari
laring primer gejlaa toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
Gejala klinis difteri sukar dibedakan dari tipe infection croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
merupakan tipe difteri yang tidak lazim (unusual). Difteri kulit berupa
tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan
Pada telinga berupa otitis ekstrena dengan sekret purulen dan berbau. (4)
7
2.6 Diagnosis
kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih
untuk itu diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. Difteri dengan
vivo dan in vitro.(4) Gambaran klinis dari infeksi difteri bervariasi tergantung dari
difteri.
untuk mengambil swab pada area faring, terutama area yang mengalami
perubahan warna, ulserasi, dan tonsilar crypts. Media kultur berisi tellurite lebih
8
yang tampak seperti huruf cina. Spesies difteri lainnya (diphterioids) yang
pemeriksaan PCR positif untuk gen difteri tox, atau 2) isolasi dari C difteri pada
kultur spesimen dari kontak langsung, atau 3) titer antibody nonprotective difter
tang rendah (<0.1IU) pada serum pasien yang sebelumnya diberikan antitoxin.
moniliasis.
9
2.7.3. Difteria Laring
2.8 Penatalaksanaan
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
2.8.1 Umum
tenggorokan negatif dua kali berturut turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama dua sampai tiga minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Kusus pada difteri laring,
dijaga agar nafas tetap bebas, serta dijaga kelembabaan udara dengan
menggunakan humidifier.
2.8.2 Khusus
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada pemderita kurang dari
10
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan angka kematin ini
bullneck
Terlambat 80000-120000 IV
berobat(>72jam), lokasi
dimana saja
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga
harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intra kutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10mm. uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemi pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata
hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligu secara Intra
vena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lam
sakit, tidak ergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000 sampai
120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS IV dalam larutan
11
garam fisiologis atau 100ml glukosa 5% dalam 1 sampai 2 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat atau reaksi sakal dilakukan selama
2. Antibiotik
3. Kortikosteroid
gejala:
bullneck)
Bila terdapat penyulit myocarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
bertahap.
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
12
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif, merupakan
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa inkubasi terlampaui, pemeriksaan serologis dan observasi
harian. Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toxoid
difteri.
schick negatif tetapi mengandung basil difteri dalam naso faringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah, penisilin 100mg/kg/hari oral atau injeksi, atau
imunisasi
2.9 Pencegahan
13
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya setelah seorang
anak menderita difteri, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari, imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteri lengkap,
2.10 Komplikasi
berkaitan dengan efek dari toksin. Komplikasi tersering adalah myocarditis dan
neuritis. Myocarditis akan tampak sebagai kelainan irama jantung dan dapat
terjadi pada fase awal penyakit atau beberapa minggu kemudian, dan dapat
berujung pada gagal jantung. Apabila myocarditis muncul pada fase awal lebih
sering fatal.
sepenuhnya. Paralisis palatum mole sangat sering terjadi pada minggu ketiga
penyakit. Paralisis otot mata, tungkai, dan diafragma dapat terjadi setelah minggu
ke 5. Pneumonia sekunder dan gagal nafas dapat terjadi akibat paralisis diafragma.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan obstruksi jalan nafas, sering
2.11 Prognosis
14
Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan Antibiotik lebih baik
Indonesia pada daerah pedalam yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai
mendadak pada kasus difteri dapat disebabkan oleh karena 1) Obstruksi jalan
nervus nefricus. Anak yang pernah menderita myocarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteri, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
15
BAB III
KESIMPULAN
Kasus difteri masih terjadi hingga saat ini karena masih ditemukan daerah
memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang
Indonesia pada daerah pedalam yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat mudah dicegah namun
cukup sulit bila diobati. Pencegahan dengan cara pemberian imunisasi merupakan
pilihan utama dalam menanggulangi kasus difteri. Oleh karena itu perlu
ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Edition.United State
Difteri.2016.Indonesia
Anak Indonesia.313-314
17