Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Corynebacterium Difteri adalah kuman basil gram positif aerob. Produksi

toksisn hanya terjadi apabila bakteri itu sendiri terinfeksi oleh virus spesifik

(bacterio-phage) membawa informasi gen untuk produksi toksin (tox gene).

Hanya strain toxigenic yang dapat menyebabkan penyakit yang berat.(1)

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong

yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi,

rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya

Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat

telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis)

pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki

gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub

PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun,

DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian

profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada

bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan

cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki

manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu

vaksin.(2)

1
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

2.1 Definisi

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya

pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring,

faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah, yang disebabkan oleh

infeksi bakteri corynebacterium diphteriae. Salah satu komplikasi penyakit difteri

adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga

menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa

dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.(2)

2.2 Epidemiologi

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi

Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab

Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai

dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang.

Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri

tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan

di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang

dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa

yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri. (2)

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di

Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di

Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011.

2
Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti

Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Pada tahun 2014 Kota

Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus

tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok. (2)

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong

yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi,

rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya

Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat

telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis)

pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki

gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub

PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun,

DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian

profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada

bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan

cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki

manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu

vaksin. (2)

2.3 Etiologi

Difteria adalah penyakit infeksi menular akut yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium diphtheriae. Kelainan atau patologi yang terjadi disebabkan oleh

suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (strain toksigenik). Untuk

3
dapat bersifat toksigenik diduga suatu bacteriophage memegang peranan penting.
(3)

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Kuman C. Diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta

berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai

memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke

seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Efek toksin pada

jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang

telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribososm.

Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk

membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA diperlukan proses

translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +

dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. proses translokasi ini memerlukan

enzim translokase (elongation factor-2) yang aktif.(4)

Toksin difteri mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragment B dan selanjutnya fragment A akan masuk, mengakibatkan inaktifasi

enzim translokase melalui proses; NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2

(inaktif) + H2 + Nikotinamid tidak terbentuk rangkaian polipetida yang

diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas didaerah kolonisasi

kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama sama dengan jaringan

nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produkksi

toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat

4
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu

kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran

juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran

akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa

penyembuhan. (4)

Pada pseudomembran dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri

(misalnya streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematus dapat

menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi dengan

perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang

diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama

jantung, saraf, ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas

atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah

melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat

masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis

biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah

3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan

degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem

konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis

interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksis dengan degenerasi lemak pada

selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang

tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. (4)

2.5 Manifestasi Klinis

5
Masa Inkubasi dari difteri adalah 2 sampai 5 hari ( range, 1-10 hari).

Penyakit ini dapat mengenai hampir seluruh membran mukus. Untuk keperluan

klinis, akan lebih mudah apabila difteri diklasifikasikan dalam beberapa jenis

manifestasi, tergantung lokasi anatomis dari infeksi.(1)

a. Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold , dengan

gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret

hidung berangsur angsur serosanguinus dan kemudian mukopuluren,

menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan

tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin

sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga

diagnosis lambat dibuat. (4)


b. Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faringa adalah anoreksia, malaise, demam ringan

dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari kemudia timbul membran yang

melekat, berwarna putih kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding

faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan

trakea. Usaha melepas membran akan menyebabkan perdarahan. Dapat

terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis

terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas maka

akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala akan tergantung dari deraja

penetrasiu toksin dan luas membran. Pada kasus berat dapat terjadi

kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum

molle baik uni maupun bilateral, disetrtai kesukaran menelan dan

regurgitasi. Stupor, koma bahkan kematian bisa terjadi dalam 1

6
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi

berangsung angsur dan bisa disertai dengan penyulit miokarditis atau

neuritis. Pada kasus ringan mem,bran akan terlepas dalam 7-10 hari

biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (4)


c. Difteri laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri

laring primer gejlaa toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring

mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa

faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.

Gejala klinis difteri sukar dibedakan dari tipe infection croups yang

lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan

batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi

suprasternal, interkostal dan supraventrikular. Bila terjadi pelepasan

membran yang menutupi jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan

trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai perluasan dari

difteri faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala

obstruksi dan toksemia. (4)


d. Difteri kulit, vulvavaginal, konjungtiva dan telinga
Difteri kulit, difteri vulvavaginal, difteri konjungtiva dan difteri telinga

merupakan tipe difteri yang tidak lazim (unusual). Difteri kulit berupa

tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan

cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtival

berupa kemerahan, edem dan membran pada konjungtiva palpebra.

Pada telinga berupa otitis ekstrena dengan sekret purulen dan berbau. (4)

7
2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Diagnosis difteri harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, olehg

karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan

kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih

akurat adalah dengan identifikasi secara fluoresence antibody technique, namun

untuk itu diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. Difteri dengan

pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas secara in

vivo dan in vitro.(4) Gambaran klinis dari infeksi difteri bervariasi tergantung dari

lokasi infeksi, pseudomembrane merupakan tanda patoghnomonis suatu infeksi

difteri.

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang

Kultur lesi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Sangatlah penting

untuk mengambil swab pada area faring, terutama area yang mengalami

perubahan warna, ulserasi, dan tonsilar crypts. Media kultur berisi tellurite lebih

sering dipilih karena memberikan keuntungan pada pertumbuhan organisme.

Apabila basil difteri terisolasi, perlu dilakukan pemeriksan produksi toksin.

Blood agar plate juga penting untuk mendeteksi bakteri streptokokus

hemolitikus. Pewarnaan gram dari membran sangat membantu untuk memastikan

diagnosis klinis. Pewarnaan gram akan memperlihatkan gambaran club-shape

8
yang tampak seperti huruf cina. Spesies difteri lainnya (diphterioids) yang

memang secara normal berada di tenggorokan dapat mempersulit pemeriksaan.

Meskipun demikian, terapi sebaiknya dimulai setelah diagnosis klinis ditegakkan,

meskipun tidak ada pemeriksaan pewarnaan gram.

Beberapa penelitian yang dapat membantu presumtive diagnosis adalah: 1)

pemeriksaan PCR positif untuk gen difteri tox, atau 2) isolasi dari C difteri pada

kultur spesimen dari kontak langsung, atau 3) titer antibody nonprotective difter

tang rendah (<0.1IU) pada serum pasien yang sebelumnya diberikan antitoxin.

Untuk mengisolasi bakteri C.Difteri dari pasien, sangat dianjurkan menggunakan

loeffler slant dengan swab tenggorokan.

2.7 Diagnosis Banding

2.7.1. Difteria Hidung

Penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea

(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung,

snuffles (lues kongenital)

2.7.2. Difteria Faring

Harus dibedakan dengan tonsilitis membranosa akut yang

disebabkan oleh streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat),

moniliasis.

9
2.7.3. Difteria Laring

Gejala difteria laring menyerupai laringitis.

2.7.4. Difteria Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang

disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi

minimal, mengeliminasi C.Diphtheriae untuk mencegah penularan serta

mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri. Pentalaksanaan dibagia menjadi 2

yaitu umum dan kusus;

2.8.1 Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorokan negatif dua kali berturut turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi

selama dua sampai tiga minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3

minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Kusus pada difteri laring,

dijaga agar nafas tetap bebas, serta dijaga kelembabaan udara dengan

menggunakan humidifier.

2.8.2 Khusus

1. Antitoksisn : Anti Diphteria Serum

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Dengan

pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada pemderita kurang dari

10
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan angka kematin ini

meningkat sampai 30%

Tipe difteri Dosis ADS(KI) Cara pemberian


Difteri hidung 20000 IM
Difteri Tonsil 40000 IM/IV
Difteri Faring 40000 IM/IV
Difteri Laring 40000 IM/IV
Kombinasi lokasi diatas 80000 IV
Difteri + penyulit, 80000-120000 IV

bullneck
Terlambat 80000-120000 IV

berobat(>72jam), lokasi

dimana saja

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih

dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga

harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan

penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intra kutan.

Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10mm. uji mata dilakukan

dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata

yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak

gejala hiperemi pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata

positiv, ADS diberikan dengan cara disensitisasi (Besredka). Bila uji

hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligu secara Intra

vena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lam

sakit, tidak ergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000 sampai

120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS IV dalam larutan

11
garam fisiologis atau 100ml glukosa 5% dalam 1 sampai 2 jam. Pengamatan

terhadap kemungkinan efek samping obat atau reaksi sakal dilakukan selama

pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu

dimonitor terjadinya raksi hipersensitivitas tipe lambat (serum sickness)

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin procain 50.000-

100.000 IU/Kg/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitifitas penisilin

dapat diberikan eritromisin 40mg/kg/hari

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada

difteri. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteri yang disertai

gejala:

Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak

bullneck)
Bila terdapat penyulit myocarditis. Pemberian kortikosteroid untuk

mencegah myocarditis ternyata tidak terbukti. Prednison

2mg/kg/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya

bertahap.

2.8.3 Pengobatan Penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap

baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak

12
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif, merupakan

indikasi tindakan tracheostomy.

2.8.4 Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan

berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti

setiap hari sampai masa inkubasi terlampaui, pemeriksaan serologis dan observasi

harian. Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toxoid

difteri.

2.8.5 Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukan keluhan, mempunyai uji

schick negatif tetapi mengandung basil difteri dalam naso faringnya. Pengobatan

yang dapat diberikan adalah, penisilin 100mg/kg/hari oral atau injeksi, atau

eritromisin 40mg/kg/hari selama 1 minggu. Mungkin diperlukan tindakan

tonsilektomi atau adenoidektomi.

Biakan Uji schick Tindakan


(-) (-) Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi dasar

diberikan booster toxoid difteri


(+) (-) Pengobatan karier: penisilin 100mg/kg/hari oral atau

injeksi, atau eritromisin 40mg/kg/hari selama 1 minggu


(+) (+) Penisilin 100mg/kg/hari oral atau suntikan atau

eritromisin 40mg/kg + ADS 20000KI


(-) (+) Toxoid Difteri (imunisasi aktif), sesuaikan dengan status

imunisasi

2.9 Pencegahan

13
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan

pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak. Pada umumnya setelah seorang

anak menderita difteri, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga

perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari, imunisasi DPT dan

pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteri lengkap,

mempunyai antibodi terhadap toksin difteri tetapi tidak mempunyai antibodi

terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi

pengidap difteri dalam nasofaringnya (karier) atau mederita difteri ringan.

2.10 Komplikasi

Sebagian besar komplikasi dari difteri, termasuk kematian, sangat

berkaitan dengan efek dari toksin. Komplikasi tersering adalah myocarditis dan

neuritis. Myocarditis akan tampak sebagai kelainan irama jantung dan dapat

terjadi pada fase awal penyakit atau beberapa minggu kemudian, dan dapat

berujung pada gagal jantung. Apabila myocarditis muncul pada fase awal lebih

sering fatal.

Neuritis sering mempengaruhi motor neuron dan biasanya membaik

sepenuhnya. Paralisis palatum mole sangat sering terjadi pada minggu ketiga

penyakit. Paralisis otot mata, tungkai, dan diafragma dapat terjadi setelah minggu

ke 5. Pneumonia sekunder dan gagal nafas dapat terjadi akibat paralisis diafragma.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan obstruksi jalan nafas, sering

terjadi pada bayi.

2.11 Prognosis

14
Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan Antibiotik lebih baik

daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di

Indonesia pada daerah pedalam yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai

kasus difteri berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian

mendadak pada kasus difteri dapat disebabkan oleh karena 1) Obstruksi jalan

nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri, 2) adanya

myocarditis dan gagal jantung, 3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis

nervus nefricus. Anak yang pernah menderita myocarditis atau neuritis sebagai

penyulit difteri, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;

walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.

15
BAB III

KESIMPULAN

Kasus difteri masih terjadi hingga saat ini karena masih ditemukan daerah

pedalaman yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap

imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk

menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas

Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan

memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang

mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri).

Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan Antibiotik lebih baik

daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Di

Indonesia pada daerah pedalam yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai

kasus difteri berat dengan prognosis buruk.

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat mudah dicegah namun

cukup sulit bila diobati. Pencegahan dengan cara pemberian imunisasi merupakan

pilihan utama dalam menanggulangi kasus difteri. Oleh karena itu perlu

ditingkatkan perhatian masyarakat akan pentingnya pencegahan penyakit difteri

ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Winbaum,C. 2015. Centers for Disease Control and Prevention

Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases, 13th

Edition.United State

2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Imunisasi Efektif Cegah

Difteri.2016.Indonesia

3. Christie AB. Diphtheria. Infectious diseases, epidemiology and clinical

practice. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2010

4. Soedarmo, S.2015. Infeksi dan Pediatri Tropis.Edisi Kedua. Ikatan Dokter

Anak Indonesia.313-314

17

Anda mungkin juga menyukai