Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PENYAKIT DIFTERI
untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah
Jenjang pendidikan DIII keperawatan

Disusun oleh:
1. Jeki Ariantono
2. Rika Lionita A
3. Sevia Ito P

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul”KAJIAN PENYAKIT DIFTERI”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah KMB 1 dan tidak lupa kami ucapkan
terima kasih kepada:

1. dr. Mulyohadi Sungkono, SpOG (K), selaku pembina Yayasan Kendedes Malang.
2. drg. Suharwati, selaku Ketua Yayasan Kendedes Malang.
3. dr. Endah Puspitorini, MscIH., DTMPH, selaku PLH Ketua Yayasan Kendedes Malang.
4. Dr. Edi Murwani, Amd.Keb., SPd., MMRS, selaku Ketua STIKes Kendedes Malang.
5. Ns.Chinthia Kartikaningtyas, M.Kep, selaku ketua Program Studi Diploma III Kebidanan
STIKes Kendedes Malang.
6. Eka Yuni Indah Nurmala, SST., M.Keb, selaku Wakil Ketua I STIKes Kendedes
Malang.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Untuk itu mohon masukan yang positif demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini. Terimakasih.

MALANG, 21
SEPTEMBER 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
difteri adalah penyakit akut yang disebabkan karena toxin dari Corynebacterium
diphtheriae(CD) yang menyerang saluran pernafasan atas termasuk tonsil, hidung, dan
tenggorokan.Centers for Disease Control and Prevention(2015) menyebutkan bahwa,
toksin yang dikeluarkan oleh CD dapat menghambat sintesis protein, merusak
jaringan lokal yang terkena, dan pembentukan pseudomembran. Yang lebih
berbahaya adalah apabila toksin mencapai pembuluh darah dapat menyebabkan
myocarditis, neuritis, trombocytopenia, dan proteinuria. Penyakit ini merupakan
penyakit yang langka, prevalensinya tergolong rendah. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (PERMENKES) nomor 948 tahun 2004, pemerintah memasukan
difteri sebagai salah satu kejadian luar biasa(KLB).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan etiologic penyakit difteri ?
2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit difteri ?
3. Berapa macam jenis-jenis penyakit difteri ?
4. Bagaimana tata pelaksanaan penyakit difteri ?
5. Bagaimana prognosis penyakit difteri ?
6. Bagaimana pencegahan penyakit difteri ?
7. Bagaimana cara outbreak response dari penyakit difteri ?
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui pengertian dan etiologic penyakit difteri
2. untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri
3. untuk mengetahui jenis jenis penyakit difteri
4. untuk mengetahui tata pelaksanaan penyakit difteri
5. untuk mengetahui prognosis penyakit difteri
6. untuk mengetahui cara pencegahan penyakit difteri
7. untuk mengetahui outbreak response dari penyakit difteri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difteri
2.1.1. Definisi dan Etiologi Difteri

Gambar 2. 1 Corynebacterium Diphtheriae dari medium Pai yang diwarnai dengan biru metilen
pembesaran x1000 (Carroll, 2017)

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,


suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada
tonsil, faring, dan / atau rongga hidung (Hartoyo, 2018).
Awal dari penyakit ini yaitu ditandai dengan adanya peradangan pada selaput
mukosa, faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit. Selain itu manusia merupakan
satu-satunya reservoir Corynebacterium Diphtheriae. Penyebaran penyakit ini melalui
droplet (percikan ludah) dari batuk, muntah, bersin, alat makan, dan kontak langsung
dengan lesi kulit. Setelah terpapar nantinya akan disusul dengan gejala seperti infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, nyeri menelan (faringitis) disertai dengan
demam namun tidak tinggi (kurang dari 38,50 C), dan ditemukan pseudomembrane
putih/keabu-abuan/kehitaman pada tonsil, laring atau faring. (Kemkes RI, 2017).
Gambar 2. 2 Ciri khas infeksi difteri pada faring posterior (Bruce, 2019)

Distribusi membran bervariasi dari lokal (misalnya, tonsil, faring) hingga luas
yang mencakup seluruh trakeobronkial. Penyebab kematian yang paling sering adalah
obstruksi jalan napas atau mati lemas setelah aspirasi pseudomembran. (Bruce, 2019)

Diameter dari bakteri ini sekitar 0.5 μm - 1 μm. Pada bagian ujung organisme ini
memberikan gambaran seperti "bentuk gada" (Gambar 2.1). Lalu pada batang
(seringnya pada bagian ujung) terwarnai penuh oleh anilin (granula metakromatik) dan
karena itu bakteri batang terlihat seperti manik-manik (Carroll, 2017)

Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada umur anak 5-7 tahun.
Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria
(Kementerian Kesehatan, 2014). Ketika endemik difteri, paling banyak mempengaruhi
anak-anak <15 tahun. Sejak diperkenalkannya imunisasi toksoid, penyakit ini telah
bergeser ke orang dewasa yang tidak mendapatkan vaksin dan memiliki tingkat
imunisasi yang rendah (Padhye, 2016). Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus
dengan jumlah kasus meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dan 22 provinsi yang
melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu
295 kasus yang berkontribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak
mendapatkan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri
dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan gambaran menurut umur terbanyak
pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Hartoyo, 2018)

Semua golongan unsur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheria,


namun 80% kaasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang tidak
mendapatkan imunisasi dasar. Golongan imir yang sering terkena difteri adalah 5-7
tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya
imunisasi pasif melalui plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada umur di atas 10
tahun. Dan jenis kelamin yang sering menderita adalah perempuan dikaitkan dengan
daya imunisasinya yang rendah (Fitriansyah, 2018)

Menurut Fitriana dan Harli (2014) Kelompok risiko tinggi penyakit difteri
terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia. Dewasa ini di era
vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana penyakit difteri juga dapat terjadi pada
orang dewasa. Kejadian epidemi atau peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada suatu
daerah yang sebelumnya sudah dinyatakan terbebas dari difteri. Faktor resiko yang
dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai berikut: adanya penderita
difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri, terjadinya penurunan
cakupan imunisasi, dan terdapat perubahan virulensi bakteri.

2.1.2. Patiofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane mukosa atau
kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai menghasilkan toksin.
Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan
epitelium dan juga respon inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada
fibrin, sel darah merah dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna
kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba
mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler sehingga
akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar getah bening regional dileher
membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher yang
mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll, 2017)
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus diabsorbsi lalu
dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah satunya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal.
Terkadang akan disertai dengan perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu
menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada palatum mole, otot-otot mata, dan
ekstrimitas. (Carroll, 2017)

2.1.3. Jenis-Jenis Difteri


Menurut (Hartoyo, 2018) Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut
lokasinya.
1. Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan
membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas.
Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang
pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi
mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. (Hartoyo, 2018)

2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat. (Hartoyo, 2018)

3. Difteri Tonsil dan Laring


Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri
menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah, melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis
dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan
sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari
dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. (Hartoyo, 2018)

4. Difteri Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria laring
gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan
gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia. (Hartoyo, 2018)

5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus
superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan
dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan
infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada
dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering
terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus
respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria
kulit. (Hartoyo, 2018)
6. Difteri pada tempat lain
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus
genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi,
pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada
telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. (Hartoyo, 2018)

2.1.4. Tata Laksana Difteri


Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. (Hartoyo, 2018)

1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier (Hartoyo, 2018)

2. Antitoksin
Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi
reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada
mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di
atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness). (Hartoyo, 2018)

3. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral 125-250
mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi
setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan
difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan
dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit)
yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila
hasil kultur didapatkan C. diphteriae. (Hartoyo, 2018)

4. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. (Hartoyo, 2018)

5. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kg BB/hari oral/iv atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
adenoidektomi. (Hartoyo, 2018)

Gambar 2. 3 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit (Hartoyo, 2018)

Gambar 2. 4 Pengobatan terhadap kontak difteria (Hartoyo, 2018)

2.1.5. Prognosis Difteri


Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah yang belum di imunisasi, masih dijumpai kasus
difteria berat dengan prognosis buruk. Kematian mendadak pada kasus difteria dapat
disebabkan oleh karena (1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membran difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma
sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau
neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala
sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. (Hartoyo,
2018)

2.1.7. Pencegahan Difteri


Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier.
(Hartoyo, 2018)

Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3
minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent
infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi
ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas
terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah
mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing
4-6 minggu (Hartoyo, 2018). Vaksin DPT pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa. Apabila diberikan vaksin DTPa maka
interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan dan yang
telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur
18 bulan dan 5 tahun. Anak yang usianya lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap. Untuk DPT 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
diberikan setiap 10 tahun. Apabila imunisasi belum lengkap, segera dilengkapi (lanjutkan
dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang). (IDAI, 2017)

Test kekebalan:
a) Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak
terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
(Hartoyo, 2018)
b) Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti
bahwa:
 Pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
 Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
(Hartoyo, 2018)

2.2. Sistem Imun


2.2.1. Mekanisme Pertahanan Tubuh Manusia
Dengan adanya sistem imun, tubuh dapat mengenali secara teliti dan
membunuh pathogen yang telah masuk ke dalam tubuh. Inilah yang disebut dengan
respon imun. Terdapat 2 sistem yang berperan dalam melawan atau mencegah
pathogen masuk ke dalam tubuh yaitu imunitas bawaan (innate immunity) dan imunitas
didapat (adaptive immunity). Pada innate immunity memiliki sifat non spesifik terhadap
pathogen, cepat dimobilisasi ditempat awal infeksi yang berarti imunitas ini bekerja
dengan segera terhadap pathogen tetapi imunitas ini tidak menghasilkan imunitas
protektif yang bertahan lama. Komponen yang termasuk dalam imunitas bawaan
antara lain sel fagositik, sel natural killer (NK), sitokin dan komplemen. (Detrick, 2017)

Pada adaptive immunity, sistem ini bersifat spesifik terhadap pathogen yang
berarti dapat mengenali dan menghancurkan pathogen secara spesifik dan juga
memberikan imunitas protektif jika innate immunity tidak mampu mencegah atau
melawan pathogen yang masuk kedalam tubuh. Komponen yang ada pada adaptive
immunity antara lain sistem produksi antibody dari sel B dan imunitas seluler sel T
Singkatnya innate immunity bersifat efektif dan berperan penting dalam melenyapkan
pajanan antigen pertama dari pathogen tetapi jika sistem ini tidak mampu atau gagal
maka adaptive immunity akan secara spesifik melawan pathogen serta membentuk
imunitas spesifik terhadap pathogen tersebut. Kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan
dan selalu bekerja sama dalam menghancurkan pathogen. (Detrick, 2017)

Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik dan mengawali,


mempengaruhi dan meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh
IFN-γ, TNF-α dan IL-1. IL-12 merupakan mediator utama imunitas nonspesifik dini
terhadap mikroba intraselular dan merupakan induktor kunci dalam imunitas selular
spesifik terhadap mikroba. Efek biologis IL-12 adalah merangsang produksi IFN-γ oleh sel
NK dan sel T, diferensiasi set T CD4 menjadi sel Th1 yang memproduksi IFN-γ. IFN-γ yang
diproduksi berbagai sel sistem imun merupakan sitokin utama MAC dan berperan
terutama dalam imunitas non spesifik dan spesifik selular. IFN-γ adalah sitokin yang
mengaktifkan makrofag untuk membunuh fagosit. IFN-γ yang merangsang ekspresi
MHC-1 dan MHC-II dan konstimulator APC. IFN-γ meningkatkan diferensiasi sel CD4 naif
ke subset sel Th1 dan mencegah proliferasi sel Th2. IFN-γ bekerja terhadap sel B dalam
pengahalihan subkelas IgG yang mengikat Fcγ-R pada fagosit dan mengaktifkan
komplemen. Kedua proses tersebut meningkatkan fagositosis mikroba yang diopsinisasi.
IFN-γ dapat mengalihkan Ig yang berpatisipasi dalam eliminasi mikroba. IFN-γ
mengaktifkan neutrofil dan merangsang efek sitolitik sel NK. (Bratawidjaja dan
Rengganis, 2014)

2.2.2. Respon imun terhadap bakteri


Terbagi menjadi 2 yaitu respon imun terhadap bakteri ekstraseluler dan
intraseluler dan masing-masing akan dibagi lagi menjadi imunitas alamiah dan imunitas
spesifik. Imunitas alamiah pada bakteri ekstraseluler melalui mekanisme fagositosis oleh
neutrophil, monosit serta makrofag jaringan sedangkan imunitas spesifik pada
ekstraseluler komponen yang berperan penting adalah kekebalan humoral. Lalu
imunitas alamiah pada bakteri intraseluler ialah fagositosis tetapi seringkali bakteri
resisten terhadap degradasi dari sel fagosit sehingga dapat dikatakan tidak terlalu efektif
untuk mencegah penyebaran infeksi. Selanjutnya imunitas spesifik terhadap bakteri
intraseluler mengandalkan cell mediated immunity (CMI) yang dimana sistem ini
dijalankan oleh sel T. (Munasir, 2016)

Pertahanan lini pertama pada imunitas alami dilakukan oleh barrier epithelial
kulit dan mukosa serta oleh sel dan antibiotik alami yang berada di epitel, yang
semuanya berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila mikroba
menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau sirkulasi, mikroba akan diserang
oleh fagosit, limfoid spesifik yang disebut sel limfoid alami misalnya sel natural killer,
dan beberapa protein plasma, temasuk protein dari sistem komplemen. (Abbas, 2016)

Keseluruhan mekanisme imunitas alami ini secara spesifik mengenali dan


bereaksi terhadap mikroba. Selain memberikan pertahanan awal terhadap infeksi,
respon imun alami meningkatkan respon imun adaptif terhadap agen-agen infeksius.
Respon imun adaptif terutama penting untuk pertahanan terhadap mikroba infeksius
yang bersifat patogenik terhadap manusia (yaitu dapat menyebabkan penyakit) dan
mampu melawan imunitas alami. Sementara mekanisme imunitas alami mengenali
struktur-struktur yang sama-sama dimiliki oleh berbagai kelas mikroba, sel-sel imunitas
adaftif (limfosit), mengekpresikan reseptor yang secara spesifik mengenali berbagai
molekul yang diproduksi oleh mikroba serta molekul-molekul non infeksius (Abbas,
2016)

Setiap bahan yang secara spesifik dapat dikenali oleh limfosit dan antibodi
disebut antigen. Respon imun adaptif seringkali menggunakan sel-sel serta molekul dari
sistem imun alami untuk mengeliminasi mikroba, dan fungsi imunitas adaptif untuk
memprekuat mekanisme antimikroba imunitas alami. Sebagai contoh, antibodi (suatu
komponen dari imunitas adaptif) berikatan dengan mikroba, dan mikroba yang dilapisi
antibodi ini berikatan kuat dengan fagosit yang telah teraktivasi dan mengaktivasi
fagosit tersebut, yang mencerna dan menghancurkan mikroba (Abbas, 2016)

2.3. Imunisasi
2.3.1. Definisi
Imunisasi merupakan suatu upaya agar dapat menimbulkan atau meningkatkan
imunitas individu terhadap suatu penyakit dan diharapkan jika terpajan oleh suatu
penyakit, kemungkinan untuk tidak sakit atau hanya sakit ringan saja. (Mardiana, 2018)

Saat vaksin berada didalam tubuh, vaksin membuat antibodi untuk melawan
antigen dan setelah itu sistem imun yang memiliki daya ingat terhadap antigen lalu
mengingatnya sebagai pajanan pertama. Masyarakat yang dapat diberikan imunisasi
antara lain anak-anak dan juga orang dewasa, dikarenakan sistem imun pada anak-anak
belum sempurna dan pada orang dewasa yang berusia diatas 60 tahun akan terjadi
degradasi sistem imun nonspesifik dan ini menjadi salah satu faktor yang membuat usia
lanjut sering atau mudah terkena penyakit autoimun. Pemberian booster dilakukan
untuk memperkuat kekebalan agar tetap diatas ambang perlindungan dan juga
memperpanjang durasi perlindungan (Mulyani dan Rinawati, 2013)

Dengan imunisasi antigen dapat dicegah untuk menginfeksi tubuh. Salah satu
sistem yang berperan disini adalah immunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem
pertahanan humoral antara lain IgA, IgD, IgE, IgG, IgM. Dan juga terdapat limfosit B dan
limfosit T dari sistem pertahanan seluler yang terdiri dari sel Th1, Th2, Tc). Imunitas
seluler pada anak-anak mulai berkembang secara spesifik pada umur 2-3 tahun dan
pada imunitas humoral lebih lambat perkembangannya yaitu pada umur 6-9 tahun
(Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)

2.3.2. Imunisasi di Indonesia


Indikator yang dipakai untuk mengetahui pencapaian program imunisasi
diIndonesia yaitu dengan melihat angka UCI (Universal Child Immunization). Awalnya
UCI digunakan sebagai cakupan imunisasi lengkap dengan persentase minimal 80%
dengan tiga jenis antigen antara lain DPT3, Polio dan Campak. Lalu pada tahun 2003,
UCI telah mencakup semua jenis vaksin yaitu BCG 1 (satu) kali, DPT 3 (tiga) kali, HB 3
(tiga) kali, Polio 4 (empat) kali dan campak 1 (satu) kali (Dinkes Jatim, 2015).

Target sasaran program imunisasi antara lain bayi (0-11 bulan), ibu hamil,
Wanita Usia Subur (WUS) dan siswa SD. Adapun usaha untuk meningkatkan kualitas
imunisasi antara lain dengan kampanye, peningkatan keahlian petugas imunisasi,
kualitas penyimpanan vaksin dan sweeping sasaran (Dinkes Jatim, 2015).

Menurut Data statistik (Kemenkes, 2016) dalam 3 tahun terakhir cakupan


imunasasi di Indonesia dapat dikatakan baik jika dilihat dari cakupan imunisasi dasar
lengkap dari tahun 2014-2016, persentase cakupan imunisasi dasar lengkap berada
diatas 85% walaupun menurut target standar prosedur minimal di Indonesia adalah
100%. Lalu salah satu hal yang harus dapat perhatian dari pemerintah yaitu sampai saat
ini belum ada program imunisasi untuk orang dewasa padahal dengan diadakan
program tersebut dapat meningkatkan kualitas hidup dan peningkatan produktivitas.

2.3.3. Tujuan Imunisasi


Adapun tujuan imunisasi memiliki 2 tujuan:
1. Tujuan Umum
Menurukan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
2. Tujuan Khusus
a. Tercapainya target universal child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi diseluruh
desa/kelurahan pada tahun 2014
b. Tervalidasinya eliminasi tetanus maternal dan neonatal (insiden di bawah
1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013
c. Eradikasi polio pada tahun 2015
d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015
e. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengolahan
limbah medis (safety injection practice and waste disposal management)
(Mexitalia, 2017)

2.3.4. Manfaat Imunisasi


Manfaat yang didapat dari imunisasi antara lain:
1. Untuk anak : mencegah agar penderitaan yang disebabkan penyakit tidak
menimbulkan kecacatan ataupun kematian
2. Untuk keluarga : menghilangkan kekhawatiran orangtua dan meyakinkan
bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman
3. Untuk negara: Membenahi tingkat kesehatan, menjadikan bangsa kuat dan
berakal dengan tujuan pembangunan negara
(Proverawati dan Andhini, 2010)
2.3.5. Jenis-jenis kekebalan
Saat terjadi pengenalan antigen dapat terjadi 2 jenis kekebalan yaitu:
a. Kekebalan aktif: Pada kekebalan aktif, perlindungan yang dihasilkan oleh
sistem kekebalan orang itu sendiri dan akan berlansung seumur hidup lalu
kekebalan aktif dapat didapatkan dengan 2 cara yaitu aktif alamiah dan
buatan. Aktif Alamiah adalah ketika seseorang menderita penyakit
sedangkan buatan didapatkan ketika pemberian vaksinasi. (Bratawidjaja dan
Rengganis, 2014)
b. Kekebalan pasif: tidak diperoleh dari dalam tubuh melainkan dari luar
tubuh dan terbagi menjadi pasif alamiah dan pasif buatan. Pasif alamiah
contohnya kekebalan yang didapat dari ibu lewat plasenta saat didalam
kandungan atau diperoleh dari pemberian ASI pertama kali. Sedangkan untuk
pasif buatan kekebalan yang diperoleh dengan cara menyuntikkan antibodi
yang telah diekstrak dari satu individu ke tubuh orang lain sebagai serum,
contohnya pemberian serum antibisa ular pada orang yang dipatuk ular
berbisa. (Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)

2.3.6. Keberhasilan Imunisasi


Berbagai faktor mempengaruhi respon terhadap imunisasi seperti faktor
endogen berupa usia, genetik, kesehatan umum dan faktor eksogen berupa infeksi
intermiten, status gizi dan medikasi (Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)

2.3.7. Kegagalan Imunisasi


Beberapa faktor penting penyebab kegagalan imunisasi antara lain
adalah harga vaksin yang mahal, menurunnya efektifitas vaksin akibat distribusi yang
tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak adanya kotak pendingin
dalam pendistribusiannya, dan sebagian besar vaksin harus diberikan dengan
penyuntikan, dll. Keadaan ini mempengaruhi ketersediaan vaksin terutama di
negara-negara miskin dimana justru penyakit tersebut sangat tinggi angka kesakitan
dan kematiannya. (Mulyani dan Rinawati, 2013)
2.3.8. Reaksi KIPI (Kejadian Ikutian Pasca Imunisasi)
1. Klasifikasi
Menurut (WHO, 2014) KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak
diinginkan pada seseorang yang terjadi setelah pemberian imunisasi.
Kejadian ini dapat merupakan reaksi vaksin ataupun bukan. Kejadian yang
bukan reaksi vaksin dapat merupakan peristiwa koinsidens (peristiwa yang
kebetulan terjadi) bersamaan atau setelah imunisasi. Klasifikasi KIPI dibagi
menjadi 5 kategori :
a. Reaksi KIPI yang terkait komponen vaksin
KIPI yang diakibatkan sebagai reaksi terhadap suatu komponen
atau lebih yang terkandung di dalam vaksin Contoh: Pembengkakan
luas di paha setelah imunisasi DTP
(WHO, 2014)
b. Reaksi KIPI yang terkait dengan cacat mutu vaksin
KIPI yang disebabkan oleh karena ada cacat mutu yang
dipersyaratkan dalam produk vaksin, termasuk penggunaan alat
untuk pemberian vaksin yang disediakan oleh produsen.
Contoh: Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh produsen
vaksin pada waktu melakukan inaktivasi virus polio saat proses
pembuatan vaksin IPV (inactivated polio vaccine). Kelalaian dalam
proses inaktivasi dapat menyebabkan kelumpuhan apabila IPV
tersebut disuntikkan kepada orang. (WHO, 2014)
c. Reaksi KIPI akibat kesalahan prosedur
KIPI jenis ini disebabkan oleh cara pelarutan vaksin yang salah dan
cara pemberian vaksin yang salah. Kesalahan ini sangat mudah untuk
dihindari.
Contoh: Terjadinya infeksi oleh karena penggunaan vial multidosis
yang terkontaminasi oleh mikroba (Catatan: Jarum yang berulang-
ulang masuk ke dalam vial sewaktu mengambil vaksin sudah tidak
steril lagi) (WHO, 2014)
d. Reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik
KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu disuntik. Contoh:
Terjadinya apa yang disebut dengan vasovagal syncope yaitu reaksi
neurovaskuler yang menyebabkan terjadinya mata berkunang-
kunang , badan terasa lemah sampai pingsan. Sering terjadi pada
anak dewasa muda pada saat pemberian imunisasi atau sesudah
pemberian imunisasi. (WHO, 2014)
e. Kejadian koinsiden
KIPI ini disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak disebutkan
sebelumnya.
Contoh: Demam yang sudah terjadi sebelum atau pada saat
pemberian imunisasi. Dalam hal ini dikatakan sebagai asosiasi
temporal. Sebagai contoh di daerah endemis malaria seperti di
daerah sub sahara, penderita malaria yang disebabkan infeksi
plasmodium malaria yang ditularkan oleh nyamuk anopheles sangat
sering terjadi. Sehingga sering terjadi KIPI yang bersifat koinsiden.
KIPI koinsiden apabila sering ditemukan didalam kegiatan
imunisasi, maka dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa ada masalah
kesehatan masyarakat diwilayah tersebut yang perlu dianalisis lebih
jauh. (WHO, 2014)

2.3.9. Kontraindikasi Imunisasi


Kontraindikasi terhadap vaksinasi adalah keadaan tertentu yang jarang pada
seseorang dimana terjadi peningkatan risiko terjadinya reaksi simpang.
Mengabaikan kontra indikasi dalam pemberian imunisasi dapat menimbulkan reaksi
simpang serius yang tidak diinginkan. Kebanyakan kontra indikasi bersifat sementara
sehingga vaksinasi dapat dilakukan lagi dikemudian hari. (WHO, 2014)
Kontra indikasi yang mutlak diperhatikan terhadap semua jenis vaksin adalah
riwayat reaksi alergi berat terhadap vaksin atau konstituen vaksin. Perhatian khusus
(precautions) bukanlah kontra indikasi tetapi merupakan kondisi yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan manfaat dan risiko vaksinansi. Peringatan yang
tertulis dalam label vaksin terkadang oleh petugas ditafsirkan sebagai kontra indikasi
mutlak. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya cakupan imunisasi kerena terjadi
missopportunities (kehilangan kesempatan untuk mendapatkan imunisasi). (WHO,
2014)

Tanda-tanda reaksi alergi


Petugas imunisasi harus mengenal setiap gejala alergi agar dapat melakukan
tindakan segera.

Gambar 2. 5 Kontraindikasi Terhadap vaksin (WHO, 2014)

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang sangat jarang (satu per satu
juta dosis vaksin), tidak diharapkan, dan dapat menjadi fatal bila tidak ditangani
dengan baik. Antigen vaksin dan komponennya dapat menimbulkan alergi.
Reaksi alergi dapat bersifat lokal maupun sistemik dan dapat berupa reaksi
anafilaktik ringan sampai berat atau respons seperti anafilaksis (urtikaria
diseluruh tubuh, kesulitan bernafas, nafas bunyi, pembengkakan pada mulut dan
tenggorokan, hipotensi sampai syok). (WHO, 2014)

2.3.10. Outbreak Response Immunization


Secara epidemiologi, penyebab KLB (kejadian luar biasa) karena terjadinya
Immunity Gap kekebalan dalam populasi karena akumulasi kelompok yang rentan
terhadap difteri, baik karena tidak mendapat imunisasi atau karena imunisasinya
tidak lengkap. Juga faktor kepadatan penduduk serta kepadatan hunian rumah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah dengan kapadatan lebih dari lima
orang meningkatkan risiko terjadinya penularan. Kejadian Luar Biasa lebih sering
terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi. Selain itu, risiko KLB juga
meningkat pada wilayah dengan mobilisasi penduduk tinggi. (Kemenkes RI, 2016)

Berbagai strategi untuk menanggulangi kejadian Difteri antara lain:


 Melakukan penyelidikan epidemiologi dan penemuan kasus, kontak dan
karier pada seluruh kasus Difteri. Hal ini untuk menentukan ada atau
tidaknya penularan dan penyebaran kasus Difteri
 Melakukan rujukan segera kasus difteri ke rumah sakit, serta memberikan
antibiotika profilaksis pada kasus kontak dan karier. Kemudian dilakukan tata
laksana kasus di Rumah Sakit sesuai prosedur, seperti dengan menempatkan
kasus di ruang isolasi, serta mengurangi kontak dengan orang lain
 Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri agar mencapai cakupan
minimal 95%.
 Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) kasus difteri
sebanyak 3 (tiga) putaran.
(Kemenkes RI, 2015)
Outbreak Response Immunization (ORI) dimaksudkan untuk: (1).
Memutuskan rantai penularan dengan segera; (2). Menurunkan jumlah kasus
difteri dan (3). Mencegah agar penularan tidak semakin meluas dengan
memberikan imunisasi difteri kepada kelompok usia tertentu. (Kemenkes RI,
2015)

Strategi ORI
Outbreak Response Immunization dilaksanakan dengan beberapa
strategi, antara lain dilaksanakan sebanyak 3 putaran, dengan target cakupan
>90%. ORI dilaksanakan dengan interval 1 dan 6 bulan, pada kelompok sasaran
usia 1 – <19 tahun (kelas 3 SLTA). Terdapat 3 macam jenis vaksin yang
dipergunakan untuk ORI, yaitu : Vaksin DPT-HB-Hib (Penta valen) untuk anak
usia 1 s/d <5 tahun, Vaksin DT untuk anak usia 5 s/d <7 tahun; dan Vaksin Td
untuk usia 7 s.d <19 tahun. (Kemenkes RI, 2015)

Selain hal tersebut, strategi ORI dilakukan dengan melibatkan organisasi


profesi (IDAI, IDI, IBI,PPNI, dan lainnya) untuk meningkatkan keberhasilan. ORI
dilaksanakan di sekolah-sekolah, Posyandu, Puskesmas dan Faskes lainnya.
(Kemenkes RI, 2015)

Sedangkan untuk wilayah yang tidak termasuk dalam kategori ORI,


dilakukan beberapa strategi, antara lain dengan : Penguatan program imunisasi
rutin (bayi, Baduta dan BIAS); Penjangkauan sasaran yang tidak atau belum
lengkap status imunisasi rutinnya; Perbaikan manajemen program, seperti
kualitas rantai dingin vaksin serta pelayanan imunisasi; Peningkatan kinerja
surveilans PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi); Tetap
mempertahakan cakupan imunisasi rutin difteri tetap tinggi dan merata
(minimal 95%). (Kemenkes RI, 2015)

2.4. Status imun pejamu


Mekanisme proteksi dipengaruhi berbagai faktor. Keadaan nutrisi, penyakit yang
menyertai dan usia akan mempengaruhi kadar globulin atau CMI. In utero, janin
biasanya terhindar dari antigen asing dan infeksi mikroorganisme, meskipun patogen
tertentu (rubela) dapat menginfeksi ibu dan merusak janin. Imunitas ibu melindungi
janin dengan jalan mengeliminasi mikroba sebelum memasuki uterus, atau melindungi
bayi baru lahir melalui antibody transplansenta atau air susu ibu. Pada umumnya bayi
baru lahir menunjukkan respon imun yang lemah dan meningkat efektif dengan usia.
Bayi baru lahir sudah siap membentuk IgM dan dapat memberikan respon terhadap
toksoid, virus polio yang diberikan parenteral atau polio yang dilemahkan dan diberikan
oral. Pemberian vaksin pertusis segera setelah lahir, tidak memberikan respon protektif
bahkan dapat menimbulkan toleransi terhadap vaksin yang diberikan kemudian hari
(Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)

Alasan ketidaklengkapan imunisasi antara lain ketidaktahuan akan jadwal


imunisasi, anak sakit saat hendak diimunisasi, dan orang tua takut akan efek samping
imunisasi. Selain itu, terdapat faktor lain yang berkaitan dengan kelengkapan imunisasi
antara lain yaitu pendidikan ayah dan pendidikan ibu. (Albertina, 2016)

Menurut (Mulyani, 2018) Kurangnya sumber informasi di lingkungan masyarakat


dan partisipasi dari petugas kesehatan atau kader posyandu harus lebih banyak
melakukan pemantauan sehingga warga ingin melakukan imunisasi terhadap anaknya.
Pengetahuan ibu dipengaruhi oleh banyaknya informasi yang diterima serta
kemampuan ibu dalam pemahaman informasi yang diberikan termasuk informasi
pemberian imunisasi dasar pada bayi. Masih banyaknya pengetahuan ibu tentang
kelengkapan imunisasi dasar pada bayi yang masih rendah yaitu pengetahuan tentang
frekuensi dan waktu pemberian imunisasi dasar lengkap. Hal ini dikarenakan pemberian
imunisasi jadwalnya rutin sebagai kegiatan penimbangan balita di Posyandu sehingga
ibu hanya berperan pasif dalam kepatuhan jadwal pemberian imunisasi karena kegiatan
penimbangan tersebut disertai dengan pemberian imunisasi-imunisasi dasar pada bayi
sehingga banyak ibu yang tidak tahu pastinya kapan waktu yang tepat dalam pemberian
imunisasi. Hal ini juga yang menyebabkan ibu tidak tahu berapa kali pemberian
imunisasi diberikan pada bayinya karena informasi jadwal pemberian imunisasi hanya
disampaikan tanpa menyebutkan jenis imunisasinya, sedangkan nama imunisasi yang
berbeda dengan tujuannya dan masih asing bagi ibu sehingga menyebabkan masih
banyak sebagian ibu yang kurang pengetahuannya tentang pengertian dan manfaat
imunisasi tersebut yaitu imunisasi BCG dan DPT. Hal ini dikarenakan informasi jarang
diterima oleh ibu-ibu sehingga kebanyakan dari mereka tidak mengetahui hal tersebut.

2.4.1. Faktor Genetik Pejamu


Sel- sel imun yang berinteraksi dipengaruhi oleh variabel genetik. Respon imun
manusia terbagi atas responder rendah, cukup, dan baik terhadap suatu antigen.
Respon yang diberikan tidak menentu, terkadang respon terhadap antigen tinggi tetapi
terhadap antigen yang lain lebih rendah. Karena alasan inilah terdapat keberhasilan
vaksinasi yang tidak 100% (Melanie, 2015)

Faktor genetik dari respon imun akan berperan pada gen yang berbeda-beda
yaitu kompleks MHC (Major Histocompability Compleks) dan gen non MHC. Gen
komplek MHC memegang peranan dalam presentasi antigen. Sel Tc melakukan proses
pengenalan pada antigen yang berasosiasi dengan MHC klas 1, dan juga sel Td disertai
sel Th yang akan mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC klas 2.
Maka, respon set T akan mengawasi secara genetic dan dapat diketahui bahwa terdapat
potensi variasi sel imun. Sedangkan gen non MHC mengakibatkan defisiensi imun yang
berikatan dengan gen tertentu, contohnya pada gammaglobulinemia yang bergabung
dengan kromosom dan hanya terdapat pada anak laki-laki atau penyakit alergi. Inilah
beberapa faktor yang mendukung adanya peran genetik pada respon imun, walaupun
mekanismenya belum diketahui secara jelas (Melanie, 2015)

2.5. Imunisasi DPT


2.5.1. Fungsi Imunisasi DPT
Imunisasi DPT merupakan sebuah vaksin 3-in-1 yang melindungi tubuh dari difteri,
pertusis dan tetanus. Difteri merupakan suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan
bisa mengakibatkan komplikasi yang serius juga fatal. Pertusis (batuk rejan) merupakan infeksi
bakteri yang ada disaluran udara dan ditandai dengan batuk hebat dan disertai bunyi
pernafasan yang melengking. Sedangkan pertusis akan menyebabkan serangan batuk hebat
yang mengakibatkan anak tidak dapat bernafas, makan dan minum. Selain itu juga pertusis
dapat mengakibatkan komplikasi serius, seperti pneumoni, kejang dan kerusakan otak. Tetanus
merupakan infeksi bakteri yang akan mengakibatkan kaku pada bagian rahang disertai dengan
kejang (Mulyani dan Rinawati, 2013)

Frekuensi imunisasi DPT akan mempengaruhi peningkatan titer antibodi


terhadap difteri. Konsentrasi antibodi spesifik yang lebih besar dari 0,1 IU / mL
dianggap protektif terhadap tetanus atau difteri. Level di atas 1.0 dianggap untuk
memastikan perlindungan jangka panjang, bila hasil titer difteria atau tetanus < 0,01
IU/ml dikelompokkan sebagai rentan. Titer antibodi terhadap dfiteri meningkat dengan
jumlah dosis yang diberikan dan menurun seiring waktu. Pada bayi berumur 2 bulan
yang belum mendapat imunisasi DPT masih memiliki kekebalan terhadap difteria
dengan kadar rata-rata 0,008 IU/ml. Setelah imunisasi ke-1 terjadi penurunan secara
bermakna menjadi 0,005 IU/ml, dan baru meningkat secara bermakna setelah imunisasi
ke-2 menjadi 0,005 IU/ml dan setelah imunisasi ke-3 titer antibodi menjadi 0,217 IU/ml
(Fadlyana, 2016). Tingkat efektivitas vaksinasi dipengaruhi oleh beberapa dosis
pemberian DPT seperti dosis satu kali, dua kali, tiga kali, dan dosis ulangan, sehingga
semakin lengkap pemberian DPT maka semakin efektif anak akan terlindungi dari
penyakit difteri. (Fitriansyah, 2018)

Penelitan dilakukan terhadap remaja yang memiliki titer antibodi difteri yang
belum diinjeksi booster DPT. Setelah diberikan booster, semua pasien mengembangkan
titer antibodi pelindung, yang bertahan selama 10 tahun berikutnya. (Gowin, 2016)

WHO menganjurkan anak yang berusia < 48 bulan atau < 4 tahun mendapatkan
imunisasi DPT-HB-Hib saat bayi dan imunisasi DPT-HBHib booster untuk menstimulasi
level antibodi. Kekebalan dipengaruhi oleh adanya antitoksin dan kemampuan
pembentukan antibodi. (Fitriansyah, 2018)
2.5.2. Komposisi DPT

Gambar 2. 6 Vaksin DTP-HB-Hib Produksi Bio Farma yang digunakan Depkes (WHO, 2015)

Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :

Toksoid difteri murni 20 Lf


Toksoid tetanus murni 5 Lf
B.Pertussis inaktif 12 OU
HbsAg 10mcg
Konjugat Hib 10mcg
Alumunium fosfat 0,33 mg
Thimerosal 0,025mg
(FDA, 2018)
2.5.3. Perbedaan Vaksinasi dan Imunisasi
Vaksin adalah suatu zat yang berbentuk produk biologi yang diketahui berasal
dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang dilemahkan. Vaksin
diberikan kepada individu yang sehat guna merangsang munculnya antibody atau
kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi penyakit tertentu lalu vaksinasi adalah
ketika vaksin diberikan kepada tubuh, biasanya melalui injeksi. Yang perlu diperhatikan,
imunisasi adalah proses yang terjadi pada tubuh setelah divaksinasi yang memberikan
perlindungan kekebalan terhadap penyakit secara spesifik tergantung jenis vaksin yang
diberikan. (Depkes RI, 2016)
2.5.3. Jadwal Pemberian Imunisasi DPT
Menurut (IDAI, 2017) imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu saat anak
berumur 2 bulan (DPT1), 3 bulan (DPT2), 4 bulan (DPT3) dan booster pada usia 18 bulan
tetapi jika diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin yaitu usia
2, 4 dan 6 bulan.

Imunisasi DPT juga termasuk komitmen global dalam rangka eliminasi tetanus.
Imunisasi DPT diberikan 3 kali sebagai imunisasi dasar, dilanjutkan dengan imunisasi
ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3). Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi
(sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita,
imunisasi TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang
bertujuan untuk mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi baru lahir). (IDAI,
2017)

Gambar 2. 7 Jadwal Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017)

Gambar 2. 8 Keterangan Vaksin DPT (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017)


Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi,
rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan
hilang dalam 2 hari. Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI
atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb setiap 3 - 4
jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka
dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika
orangtua merasa khawatir, bayi atau anak dibawa ke dokter. (IDAI, 2013)

Di Indonesia, ada 2 jenis jadwal imunisasi yang berlaku yaitu jadwal imunisasi
IDAI (ikatan dokter anak indonesia) dan jadwal imunisasi Depkes RI. Jadwal IDAI
biasanya digunakan sebagai rujukan oleh dokter di rumah sakit atau klinik, sedangkan
jadwal Kemenkes dipakai oleh fasilitas pemerintah seperti puskesmas / posyandu.
Semua imunisasi wajib ada pada kedua jadwal tersebut. Tetapi untuk imunisasi
tambahan hanya ada pada jadwal IDAI saja. Ada beberapa perbedaan jadwal imunisasi
wajib pada IDAI dan Depkes RI secara garis besar yaitu imunisasi menurut jadwal IDAI
dilakukan setelah lahir, bulan ke 1, 2, 4, 6, dan 9. Sedangkan menurut jadwal Depkes RI
dilakukan imunisasi saat setelah lahir, bulan ke 1, 2, 3, 4, dan 9. (Nur, 2015)

Gambar 2. 9 Jadwal imunisasi dasar (untuk bayi usia 0-11 bulan) (Kemenkes RI, 2015)

2.5.5. Prosedur Pemberian Imunisasi DPT


Vaksin DPT dosis 0,5 cc diberikan dengan bentuk suntikan pada bagian otot
lengan (deltoid) atau paha tengah luar dengan cara: menempatkan bayi pada posisi
miring di atas pangkuan ibu dengan seluruh kaki telanjang dan masukkan jarum dengan
sudut 90 derajat lalu menekan seluruh jarum ke dalam otot dan suntikkan dengan
perlahan (Mulyani dan Rinawati, 2013)

Suntikan DPT dapat menyebabkan demam ringan, nyeri, kemerahan atau


bengkak di area penyutikkan setelah 1-2 hari setelah penyuntikan. Solusi agar tidak
nyeri dan menurunkan demam dapat dengan diberikan asetominofen (atau ibuprofen).
Jika ditempat penyuntikan terasa nyeri dapat diberi kompres hangat dan banyak
menggerakkan bagian tempat penyuntikan. Apabila anak sedang menderita sakit yang
serius, imunisasi DPT dapat ditunda sementara sampai anak kembali sehat. (Mulyani
dan Rinawati, 2013)

2.5.6. Cara Penyimpanan Vaksin DPT


Sebaiknya vaksin disimpan pada suhu 2 – 8 °C agar mampu bertahan sampai 2
tahun. Bila vaksin disimpan pada suhu < 0 °C ini akan menyebabkan kerusakan pada
vaksin dan jika pada suhu 22 °C – 25 °C vaksin hanya akan bertahan sekitar 6 bulan
(Sambara, 2017). Salah satu ciri yang dapat dilihat apabila vaksin terpapar suhu tinggi
yaitu dengan Vaksin Vial Monitor (VVM) yang berada pada lingkaran gelap dan putih
segiempat akan berubah jika terpapar suhu luar dan dapat menurunkan efektifitas
vaksin (WHO, 2011)

Persegi yang berada dibagian dalam VVM terbuat dari bahan yang peka terhadap
panas, pada awalnya berwarna cerah dan akan menjadi lebih gelap terhadap paparan
panas. Awalnya, kotak bagian dalam berwarna lebih terang dari lingkaran luar. Sejak
saat itu, akan terjadi perubahan suhu tetapi masih mencapai batas yang dapat diterima,
yaitu persegi bagian dalam tetap lebih terang dari lingkaran luar dan jika vaksin belum
kadaluarsa, vaksin dapat digunakan. Vaksin harus dibuang jika persegi bagian dalam
berwarna sama dengan lingkaran luar. Ini menunjukkan bahwa vial telah terpapar pada
tingkat panas yang tidak dapat diterima dan vaksin telah terdegradasi, tidak dapat
digunakan dan harus dibuang. (WHO, 2011)
Persegi bagian dalam akan terus menjadi gelap oleh paparan panas sampai jauh
lebih gelap dari lingkaran luar. (WHO, 2011)

Gambar 2. 10 Vaksin Vial Monitoring (VVM) (WHO, 2011)

2.5.7. Booster DPT


Imunisasi sangat penting untuk diulang, hal ini bertujuan untuk bosa
mempertahankan agar kekebalan tubuh dapat melindungi terhadap paparan penyakit.
Beberapa jenis imunisasi akan mulai berkurang kemampuannya sesuai dengan
pertumbuhan usia anak, hal ini menyebabkan imunisasi perlu penguatan (booster)
dengan cara pemberian imunisasi ulangan. (Mulyani dan Rinawati, 2013)

Vaksin DPT ulangan


1. Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak usia kurang dari
8 tahun maka DPT diberikan dalam 4 dosis yaitu ke 1 sampai ke 3 diberikan
dengan selang waktu 1-2 bulan dan yang ke-4 enam bulan kemudian.
2. Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun diberikan vaksin DT
kemudian penguat diberikan setiap 10 tahun
3. Imunitas terhadap pertusis berlangsung selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi dasar. Meskipun demikian seorang anak yang sudah
menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan terjangkit pertusis masih
dapat terjadi pada usia remaja. Maka dianjurkan untuk memberikan
suntikan ulangan pada usia remaja
4. Pada usia remaja (10-14 tahun) diperlukan vaksinasi ulang terhadap
tetanus (DT). Khususnya anak perempuan yang bertujuan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya tetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan
kemudian hari.
(Mulyani dan Rinawati, 2013)

2.5.8. Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Difteri, Pertusis, Tetanus


1. Difteri, Pertusis, Tetanus
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam
tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua / pengaruh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb setiap 3 -
4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup
diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap,
atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke dokter. (WHO,
2014)

2. Difteri, Tetanus
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres dengan air dingin . Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
(WHO, 2014)
2.6 Alur Teori

Anda mungkin juga menyukai