PENYAKIT DIFTERI
untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah
Jenjang pendidikan DIII keperawatan
Disusun oleh:
1. Jeki Ariantono
2. Rika Lionita A
3. Sevia Ito P
1. dr. Mulyohadi Sungkono, SpOG (K), selaku pembina Yayasan Kendedes Malang.
2. drg. Suharwati, selaku Ketua Yayasan Kendedes Malang.
3. dr. Endah Puspitorini, MscIH., DTMPH, selaku PLH Ketua Yayasan Kendedes Malang.
4. Dr. Edi Murwani, Amd.Keb., SPd., MMRS, selaku Ketua STIKes Kendedes Malang.
5. Ns.Chinthia Kartikaningtyas, M.Kep, selaku ketua Program Studi Diploma III Kebidanan
STIKes Kendedes Malang.
6. Eka Yuni Indah Nurmala, SST., M.Keb, selaku Wakil Ketua I STIKes Kendedes
Malang.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Untuk itu mohon masukan yang positif demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini. Terimakasih.
MALANG, 21
SEPTEMBER 2021
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
difteri adalah penyakit akut yang disebabkan karena toxin dari Corynebacterium
diphtheriae(CD) yang menyerang saluran pernafasan atas termasuk tonsil, hidung, dan
tenggorokan.Centers for Disease Control and Prevention(2015) menyebutkan bahwa,
toksin yang dikeluarkan oleh CD dapat menghambat sintesis protein, merusak
jaringan lokal yang terkena, dan pembentukan pseudomembran. Yang lebih
berbahaya adalah apabila toksin mencapai pembuluh darah dapat menyebabkan
myocarditis, neuritis, trombocytopenia, dan proteinuria. Penyakit ini merupakan
penyakit yang langka, prevalensinya tergolong rendah. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan (PERMENKES) nomor 948 tahun 2004, pemerintah memasukan
difteri sebagai salah satu kejadian luar biasa(KLB).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan etiologic penyakit difteri ?
2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit difteri ?
3. Berapa macam jenis-jenis penyakit difteri ?
4. Bagaimana tata pelaksanaan penyakit difteri ?
5. Bagaimana prognosis penyakit difteri ?
6. Bagaimana pencegahan penyakit difteri ?
7. Bagaimana cara outbreak response dari penyakit difteri ?
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui pengertian dan etiologic penyakit difteri
2. untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri
3. untuk mengetahui jenis jenis penyakit difteri
4. untuk mengetahui tata pelaksanaan penyakit difteri
5. untuk mengetahui prognosis penyakit difteri
6. untuk mengetahui cara pencegahan penyakit difteri
7. untuk mengetahui outbreak response dari penyakit difteri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difteri
2.1.1. Definisi dan Etiologi Difteri
Gambar 2. 1 Corynebacterium Diphtheriae dari medium Pai yang diwarnai dengan biru metilen
pembesaran x1000 (Carroll, 2017)
Distribusi membran bervariasi dari lokal (misalnya, tonsil, faring) hingga luas
yang mencakup seluruh trakeobronkial. Penyebab kematian yang paling sering adalah
obstruksi jalan napas atau mati lemas setelah aspirasi pseudomembran. (Bruce, 2019)
Diameter dari bakteri ini sekitar 0.5 μm - 1 μm. Pada bagian ujung organisme ini
memberikan gambaran seperti "bentuk gada" (Gambar 2.1). Lalu pada batang
(seringnya pada bagian ujung) terwarnai penuh oleh anilin (granula metakromatik) dan
karena itu bakteri batang terlihat seperti manik-manik (Carroll, 2017)
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada umur anak 5-7 tahun.
Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria
(Kementerian Kesehatan, 2014). Ketika endemik difteri, paling banyak mempengaruhi
anak-anak <15 tahun. Sejak diperkenalkannya imunisasi toksoid, penyakit ini telah
bergeser ke orang dewasa yang tidak mendapatkan vaksin dan memiliki tingkat
imunisasi yang rendah (Padhye, 2016). Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus
dengan jumlah kasus meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dan 22 provinsi yang
melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu
295 kasus yang berkontribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak
mendapatkan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri
dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan gambaran menurut umur terbanyak
pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun (Hartoyo, 2018)
Menurut Fitriana dan Harli (2014) Kelompok risiko tinggi penyakit difteri
terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia. Dewasa ini di era
vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana penyakit difteri juga dapat terjadi pada
orang dewasa. Kejadian epidemi atau peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada suatu
daerah yang sebelumnya sudah dinyatakan terbebas dari difteri. Faktor resiko yang
dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai berikut: adanya penderita
difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri, terjadinya penurunan
cakupan imunisasi, dan terdapat perubahan virulensi bakteri.
2.1.2. Patiofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane mukosa atau
kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai menghasilkan toksin.
Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan
epitelium dan juga respon inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada
fibrin, sel darah merah dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna
kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba
mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler sehingga
akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar getah bening regional dileher
membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher yang
mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll, 2017)
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus diabsorbsi lalu
dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah satunya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal.
Terkadang akan disertai dengan perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu
menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada palatum mole, otot-otot mata, dan
ekstrimitas. (Carroll, 2017)
2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat. (Hartoyo, 2018)
4. Difteri Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria laring
gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan
gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan
batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan
nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari
difteria faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia. (Hartoyo, 2018)
5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus
superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan
dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan
infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada
dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering
terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus
respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria
kulit. (Hartoyo, 2018)
6. Difteri pada tempat lain
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus
genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi,
pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada
telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. (Hartoyo, 2018)
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier (Hartoyo, 2018)
2. Antitoksin
Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS
harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi
reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000
secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata
dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada
mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di
atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness). (Hartoyo, 2018)
3. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral 125-250
mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi
setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis
terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan
difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan
dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit)
yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila
hasil kultur didapatkan C. diphteriae. (Hartoyo, 2018)
4. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap
hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. (Hartoyo, 2018)
5. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kg BB/hari oral/iv atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
adenoidektomi. (Hartoyo, 2018)
Gambar 2. 3 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit (Hartoyo, 2018)
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3
minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent
infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi
ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas
terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah
mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing
4-6 minggu (Hartoyo, 2018). Vaksin DPT pertama diberikan paling cepat pada usia 6
minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa. Apabila diberikan vaksin DTPa maka
interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan dan yang
telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur
18 bulan dan 5 tahun. Anak yang usianya lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap. Untuk DPT 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
diberikan setiap 10 tahun. Apabila imunisasi belum lengkap, segera dilengkapi (lanjutkan
dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang). (IDAI, 2017)
Test kekebalan:
a) Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak
terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
(Hartoyo, 2018)
b) Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti
bahwa:
Pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
(Hartoyo, 2018)
Pada adaptive immunity, sistem ini bersifat spesifik terhadap pathogen yang
berarti dapat mengenali dan menghancurkan pathogen secara spesifik dan juga
memberikan imunitas protektif jika innate immunity tidak mampu mencegah atau
melawan pathogen yang masuk kedalam tubuh. Komponen yang ada pada adaptive
immunity antara lain sistem produksi antibody dari sel B dan imunitas seluler sel T
Singkatnya innate immunity bersifat efektif dan berperan penting dalam melenyapkan
pajanan antigen pertama dari pathogen tetapi jika sistem ini tidak mampu atau gagal
maka adaptive immunity akan secara spesifik melawan pathogen serta membentuk
imunitas spesifik terhadap pathogen tersebut. Kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan
dan selalu bekerja sama dalam menghancurkan pathogen. (Detrick, 2017)
Pertahanan lini pertama pada imunitas alami dilakukan oleh barrier epithelial
kulit dan mukosa serta oleh sel dan antibiotik alami yang berada di epitel, yang
semuanya berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila mikroba
menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau sirkulasi, mikroba akan diserang
oleh fagosit, limfoid spesifik yang disebut sel limfoid alami misalnya sel natural killer,
dan beberapa protein plasma, temasuk protein dari sistem komplemen. (Abbas, 2016)
Setiap bahan yang secara spesifik dapat dikenali oleh limfosit dan antibodi
disebut antigen. Respon imun adaptif seringkali menggunakan sel-sel serta molekul dari
sistem imun alami untuk mengeliminasi mikroba, dan fungsi imunitas adaptif untuk
memprekuat mekanisme antimikroba imunitas alami. Sebagai contoh, antibodi (suatu
komponen dari imunitas adaptif) berikatan dengan mikroba, dan mikroba yang dilapisi
antibodi ini berikatan kuat dengan fagosit yang telah teraktivasi dan mengaktivasi
fagosit tersebut, yang mencerna dan menghancurkan mikroba (Abbas, 2016)
2.3. Imunisasi
2.3.1. Definisi
Imunisasi merupakan suatu upaya agar dapat menimbulkan atau meningkatkan
imunitas individu terhadap suatu penyakit dan diharapkan jika terpajan oleh suatu
penyakit, kemungkinan untuk tidak sakit atau hanya sakit ringan saja. (Mardiana, 2018)
Saat vaksin berada didalam tubuh, vaksin membuat antibodi untuk melawan
antigen dan setelah itu sistem imun yang memiliki daya ingat terhadap antigen lalu
mengingatnya sebagai pajanan pertama. Masyarakat yang dapat diberikan imunisasi
antara lain anak-anak dan juga orang dewasa, dikarenakan sistem imun pada anak-anak
belum sempurna dan pada orang dewasa yang berusia diatas 60 tahun akan terjadi
degradasi sistem imun nonspesifik dan ini menjadi salah satu faktor yang membuat usia
lanjut sering atau mudah terkena penyakit autoimun. Pemberian booster dilakukan
untuk memperkuat kekebalan agar tetap diatas ambang perlindungan dan juga
memperpanjang durasi perlindungan (Mulyani dan Rinawati, 2013)
Dengan imunisasi antigen dapat dicegah untuk menginfeksi tubuh. Salah satu
sistem yang berperan disini adalah immunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem
pertahanan humoral antara lain IgA, IgD, IgE, IgG, IgM. Dan juga terdapat limfosit B dan
limfosit T dari sistem pertahanan seluler yang terdiri dari sel Th1, Th2, Tc). Imunitas
seluler pada anak-anak mulai berkembang secara spesifik pada umur 2-3 tahun dan
pada imunitas humoral lebih lambat perkembangannya yaitu pada umur 6-9 tahun
(Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Target sasaran program imunisasi antara lain bayi (0-11 bulan), ibu hamil,
Wanita Usia Subur (WUS) dan siswa SD. Adapun usaha untuk meningkatkan kualitas
imunisasi antara lain dengan kampanye, peningkatan keahlian petugas imunisasi,
kualitas penyimpanan vaksin dan sweeping sasaran (Dinkes Jatim, 2015).
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang sangat jarang (satu per satu
juta dosis vaksin), tidak diharapkan, dan dapat menjadi fatal bila tidak ditangani
dengan baik. Antigen vaksin dan komponennya dapat menimbulkan alergi.
Reaksi alergi dapat bersifat lokal maupun sistemik dan dapat berupa reaksi
anafilaktik ringan sampai berat atau respons seperti anafilaksis (urtikaria
diseluruh tubuh, kesulitan bernafas, nafas bunyi, pembengkakan pada mulut dan
tenggorokan, hipotensi sampai syok). (WHO, 2014)
Strategi ORI
Outbreak Response Immunization dilaksanakan dengan beberapa
strategi, antara lain dilaksanakan sebanyak 3 putaran, dengan target cakupan
>90%. ORI dilaksanakan dengan interval 1 dan 6 bulan, pada kelompok sasaran
usia 1 – <19 tahun (kelas 3 SLTA). Terdapat 3 macam jenis vaksin yang
dipergunakan untuk ORI, yaitu : Vaksin DPT-HB-Hib (Penta valen) untuk anak
usia 1 s/d <5 tahun, Vaksin DT untuk anak usia 5 s/d <7 tahun; dan Vaksin Td
untuk usia 7 s.d <19 tahun. (Kemenkes RI, 2015)
Faktor genetik dari respon imun akan berperan pada gen yang berbeda-beda
yaitu kompleks MHC (Major Histocompability Compleks) dan gen non MHC. Gen
komplek MHC memegang peranan dalam presentasi antigen. Sel Tc melakukan proses
pengenalan pada antigen yang berasosiasi dengan MHC klas 1, dan juga sel Td disertai
sel Th yang akan mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC klas 2.
Maka, respon set T akan mengawasi secara genetic dan dapat diketahui bahwa terdapat
potensi variasi sel imun. Sedangkan gen non MHC mengakibatkan defisiensi imun yang
berikatan dengan gen tertentu, contohnya pada gammaglobulinemia yang bergabung
dengan kromosom dan hanya terdapat pada anak laki-laki atau penyakit alergi. Inilah
beberapa faktor yang mendukung adanya peran genetik pada respon imun, walaupun
mekanismenya belum diketahui secara jelas (Melanie, 2015)
Penelitan dilakukan terhadap remaja yang memiliki titer antibodi difteri yang
belum diinjeksi booster DPT. Setelah diberikan booster, semua pasien mengembangkan
titer antibodi pelindung, yang bertahan selama 10 tahun berikutnya. (Gowin, 2016)
WHO menganjurkan anak yang berusia < 48 bulan atau < 4 tahun mendapatkan
imunisasi DPT-HB-Hib saat bayi dan imunisasi DPT-HBHib booster untuk menstimulasi
level antibodi. Kekebalan dipengaruhi oleh adanya antitoksin dan kemampuan
pembentukan antibodi. (Fitriansyah, 2018)
2.5.2. Komposisi DPT
Gambar 2. 6 Vaksin DTP-HB-Hib Produksi Bio Farma yang digunakan Depkes (WHO, 2015)
Imunisasi DPT juga termasuk komitmen global dalam rangka eliminasi tetanus.
Imunisasi DPT diberikan 3 kali sebagai imunisasi dasar, dilanjutkan dengan imunisasi
ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3). Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi
(sebelum masuk sekolah) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita,
imunisasi TT perlu diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang
bertujuan untuk mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi baru lahir). (IDAI,
2017)
Di Indonesia, ada 2 jenis jadwal imunisasi yang berlaku yaitu jadwal imunisasi
IDAI (ikatan dokter anak indonesia) dan jadwal imunisasi Depkes RI. Jadwal IDAI
biasanya digunakan sebagai rujukan oleh dokter di rumah sakit atau klinik, sedangkan
jadwal Kemenkes dipakai oleh fasilitas pemerintah seperti puskesmas / posyandu.
Semua imunisasi wajib ada pada kedua jadwal tersebut. Tetapi untuk imunisasi
tambahan hanya ada pada jadwal IDAI saja. Ada beberapa perbedaan jadwal imunisasi
wajib pada IDAI dan Depkes RI secara garis besar yaitu imunisasi menurut jadwal IDAI
dilakukan setelah lahir, bulan ke 1, 2, 4, 6, dan 9. Sedangkan menurut jadwal Depkes RI
dilakukan imunisasi saat setelah lahir, bulan ke 1, 2, 3, 4, dan 9. (Nur, 2015)
Gambar 2. 9 Jadwal imunisasi dasar (untuk bayi usia 0-11 bulan) (Kemenkes RI, 2015)
Persegi yang berada dibagian dalam VVM terbuat dari bahan yang peka terhadap
panas, pada awalnya berwarna cerah dan akan menjadi lebih gelap terhadap paparan
panas. Awalnya, kotak bagian dalam berwarna lebih terang dari lingkaran luar. Sejak
saat itu, akan terjadi perubahan suhu tetapi masih mencapai batas yang dapat diterima,
yaitu persegi bagian dalam tetap lebih terang dari lingkaran luar dan jika vaksin belum
kadaluarsa, vaksin dapat digunakan. Vaksin harus dibuang jika persegi bagian dalam
berwarna sama dengan lingkaran luar. Ini menunjukkan bahwa vial telah terpapar pada
tingkat panas yang tidak dapat diterima dan vaksin telah terdegradasi, tidak dapat
digunakan dan harus dibuang. (WHO, 2011)
Persegi bagian dalam akan terus menjadi gelap oleh paparan panas sampai jauh
lebih gelap dari lingkaran luar. (WHO, 2011)
2. Difteri, Tetanus
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres dengan air dingin . Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
(WHO, 2014)
2.6 Alur Teori