TINJAUANPUSTAKA
Gambar 2.1 Corynebacterium Diphtheriae dari medium Pai yang diwarnai dengan
biru metilen pembesaran x1000 (Carroll, 2017)
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
(Hartoyo, 2018). Awal dari penyakit ini yaitu ditandai dengan adanya
peradangan pada selaput mukosa, faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada
batuk, muntah, bersin, alat makan, dan kontak langsung dengan lesi kulit.
Setelah terpapar nantinya akan disusul dengan gejala seperti infeksi saluran
4
pernafasan akut (ISPA) bagian atas, nyeri menelan (faringitis) disertai
dengan demam namun tidak tinggi (kurang dari 38,50 C), dan ditemukan
Gambar 2.2 Ciri khas infeksi difteri pada faring posterior (Bruce, 2019)
Distribusi membran bervariasi dari lokal (misalnya, tonsil, faring)
paling sering adalah obstruksi jalan napas atau mati lemas setelah aspirasi
Diameter dari bakteri ini sekitar 0.5 μm - 1 μm. Pada bagian ujung
Lalu pada batang (seringnya pada bagian ujung) terwarnai penuh oleh anilin
(granula metakromatik) dan karena itu bakteri batang terlihat seperti manik-
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada umur anak 5-7
imunisasi toksoid, penyakit ini telah bergeser ke orang dewasa yang tidak
2016). Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus
Timur, yaitu 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus
tersebut, 37% tidak mendapakan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015
terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98%
dan gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun
(Hartoyo, 2018).
diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15
tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Golongan umur yang
sering terkena difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang
dari ibunya. Bahkan juga jarang pada umur di atas 10 tahun. Dan jenis
difteri terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia.
difteri juga dapat terjadi pada orang dewasa. Kejadian epidemi atau
peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada suatu daerah yang sebelumnya
difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri, terjadinya
B. Patofisiologi
mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai
superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah
seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus
hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan perdarahan
hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf yang berujung
(Carroll, 2017)
C. Jenis-jenis Difteri
Menurut (Hartoyo, 2018) Berikut ini adalah beberapa jenis difteri
menurut lokasinya.
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx
dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas.
2. Difteri Hidung
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
4. Difteri Laring
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan
2018)
1. Umum
adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
(Hartoyo, 2018)
2. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan
kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
3. Antibiotik
4. Pengobatan kontak
serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
(Hartoyo, 2018)
5. Pengobatan karier
Gambar 2.3 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit
(Hartoyo, 2018)
Gambar 2.4 Pengobatan terhadap kontak difteria (Hartoyo, 2018) \
E. Komplikasi
1. Pada saluran pernafasan: terjadi obstruksi jalan nafas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis
2. Kardiovaskular: miocarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang
dibentuk kuman difteri
3. Kelainan pada ginjal: nefrisritis
4. Kelainan saraf: kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi
yang mengenai susunan saraf saraf
F. Prognosis Difteri
mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi
Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai
i. Pencegahan Difteri
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan
selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang
lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat
diukur dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah mendapat
DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-
masing 4-6 minggu (Hartoyo, 2018). Vaksin DPT pertama diberikan paling
cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa.
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan dan yang telah lengkap imunisasi primer
(< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5
tahun. Anak yang usianya lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap.
Untuk DPT 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
hipersensitivitas.
• Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
(Hartoyo, 2018)