Anda di halaman 1dari 16

ASKEP DIFTERI

DISUSUN OLEH :
Wahyuni mustika

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN


STIKES Indonesia padang
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui
udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan
kita.

B.

Tujuan

1. Tujuan umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan difteri pada anak.
2. Tujuan khusus
Agar mampu memahami/ mengetahui tentang :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Definisi difteri
Etiologi
Tanda dan Gejala
Patofisiologi
Penatalaksanaan Medis
Komplikasi
Pencegahan
Asuhan Keperawatan Difteri

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun)
Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difteri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae

B. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan
ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi
oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat
bakteri Corynebacterium diphteriae :
1.
2.
3.
4.
5.

Gram positif
Aerob
Polimorf
Tidak bergerak
Tidak berspora

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60 C selama 10 menit, tahan
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil
yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan
agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabuabuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
kuman.

2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung,
ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi
3 tingkat yaitu :
a) Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
nyeri menelan.
b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga
mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti
miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang
ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut
lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret
yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran
pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita
akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi
yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak
terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat
meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak
seperti leher sapi (bulls neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi
walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea

Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer.
Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul
sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bulls neck,
laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai
pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri,
luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva
dan umbilikus.
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna
dengan sekret purulen dan berbau.

C. Manifestasi Klinis
a. Gejala umum.
Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak
lemah.
b. Gejala local
Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional, sesa nafas, serak
sampai dengan stridor jika penyakit sudah stadium lanjut. Gejala akibat eksotoksin tergantung
bagian yang terkena missal mengenaiotot jantung terjadi miokarditis, dan bila mengenai syaraf
mnyebabkan kelumpuhan.

D. Patofisiologi

Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila
terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva,
kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar
kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan
membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul
paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada
umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring
dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya
bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga
melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat
mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan
bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa
keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak
jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan
berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat
dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan
nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada
vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan
tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea
dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

D. Penatalaksanaan
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan
EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus
dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC.
Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1 cm (+)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama 4 sampai 6
jam observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada
pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan,
dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan
nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi
komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin mg dan vitamin B1 100 mg tiap
hari selama 10 hari.

E. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku
kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
b) Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
c) Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane,
dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
d) Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah
(Rampengan, 1993 )

e) Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein


(Rampengan, 1993 ).
f) Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk
mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

F. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya:
a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan
gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
d. Kerusakan ginjal (nefritis).

G. Pencegahan
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri
dua kali berturut-turut negatif.
2. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam
pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala
klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3. Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi
DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4
sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan
boster dilakukan pada usia 1 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2
bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat
dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang
diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.

4. Pencarian orang carier difteria dengan uji shick


Pencarian orang carier difteria dengan uji shick dan kemudian diobati.
Dengan tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman
difteri.

Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika positif
akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

Cara Pencegahan
1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada
para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi
dan anak-anak.
2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas
(missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin
yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen acellular pertussis: (DtaP, yang
digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP).
Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole cell
pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain
mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan
interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan
6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak
perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari
DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.

b) Untuk usia 7 tahun ke atas:


Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia
maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan
konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang
sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin
serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6
bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa
jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai
pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap
10 tahun kemudian.

4. Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada
para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh
tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka
(immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin
diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang
ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a. Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit
dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari
lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus
dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian
antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari
setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
b. Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan
terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan
menyeluruh.
c. Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan
pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang
belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka
telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis
menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
d. Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung
dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian
dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan
untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa
melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak
sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan
bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang
mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum
pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau
DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
e. Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari
sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan
kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Umur
Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur
dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa
Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c. Tempat tinggal
Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan
sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang.
2. Keluhan Utama
Sesak napas disertai dengan nyeri menelan.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam ,lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan
mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.
d. Pola eliminasi

Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia .
7. Pemeriksaan fisik
B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bulls neck), timbul peradangan pada laring/trakea, suara
serak, stridor, sesak napas.
B2 : Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis dengan
tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda
payah jantung.
B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung menurun, pucat.
B6 : Bone
Bedrest

B. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema kelenjer
limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.

C. Rencana Keperawatan
NO

DX

TUJUAN

Setelah dilakukan
1.
tindakan keperawatan 2.
tentang Oxygen
theraphy diharapkan 3.
pola nafas pasien
kembali normal.
4.
Kriteria hasil :
o Frekuensi pernafasan
dalam batas normal.
o Tidak ada suara nafas
tambahan.

INTERVENSI
Observasi tanda tanda vital.1.
Berikan posisi yang
nyaman /semi fowler.
Anjurkan pasien agar tidak 2.
terlalu banyak bergerak.
Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian
O2 lembab atau inhalasi, bila
perlu dilakukan trachcostomi.
3.
4.

1. Kaji status nyeri (lokasi,


frekuensi, durasi, dan
1.
Setelah dilakukan
intensitas nyeri).
II tindakan keperawatan 2. Berikan posisi yang nyaman/
klien mengalami
semi fowler.
2.
pengurangan nyeri. 3. Ajarkan tekhnik relaksasi,
Kriteria hasil :
seperti napas dalam,
3.
o Klien tampak rileks.
visualisasi, dan bimbingan
o Nyeri berkurang/ hilang. imajinasi.
4. Kolaborasi dengan dokter 4.
dalam pemberian analgesik.

III

1. Kaji suhu klien.


1.
Setelah dilakukan
2. Berikan kompres dengan air
tindakan keperawatan
hangat pada daerah dahi,
2.
diharapakan suhu
axila, lipatan paha.
tubuh klien diharapkan3. Anjurkan minum yang
3.
normal.
banyak seseuai toleransi klien.

RASIONAL
untuk mengetahui keadaan
umum pasien terutama pada
pernapasannya.
Peninggian kepala
mempermudah fungsi
pernapasan dengan
menggunakan gravitasiatau
mempermudah pertukaran
O2 dan CO2.
Agar sesak tidak bertambah.
Membantu kekentalan secret
sehingga mempermudah
pengeluarannya.
Memberikan data dasar untuk
menentukan dan mengevaluasi
intervensi yang diberikan.
Menurunkan stimulus
terhadap renjatan nyeri.
Meningkatkan relaksasi yang
dapat menurnkan rasa nyeri
klien.
Sebagai profilaksis untuk
menghilangkan /mengurangi
rasa nyeri dan spasme otot.
Untuk mengidentifikasi pola
demam klien.
Vasodilatasi pembuluh darah
akan melepaskan panas tubuh.
Peningkatan
suhu
tubuh
meningkat sehingga perlu

Kriteria hasil :
o Suhu tubuh normal
(36,50C-37,50C.
o Akral hangat.

4. Kolaborasi dengan dokter


dalam pemberian
terapi ( antipieretik) .

1.
2.

IV
o
o
o

Setelah dilakukan
tindakan keperawatn
diharapkan kebutuhan3.
nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil:
Nafsu makan klien
4.
membaik.
Porsi makanan yang 5.
dihidangkan habis.
Klien tidak mengalami
mual, muntah.

diimbangi dengan asupan


cairan yang banyak.
4. Obat antipiretik membantu
klien menurunkan suhu tubuh.

1. Menganalisis penyebab
Kaji pola makan klien.
ketidakadekuatan nutrisi.
Anjurkan kebersihan oral 2. Mulut yang bersih dapat
sebelum makan.
meningkatkan/ merangsang
Anjurkan makan dalam
nafsu makan klien.
porsi kecil disertai dengan 3. Makanan dalam porsi kecil
makanan lunak/lembek.
mudah dikonsumsi oleh klien
Berikan makan sesuai dengan dan mencegah terjadinya
selera.
anoreksia.
Kolaborasi dengan dokter 4. Meningkatkan intake
dalam pemberian obat
makanan.
antiemetic.
5. Menghilangkan mual, muntah
dan meningkatkan nafsu
makan.

BAB IV
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga
menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.

B.

Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anakanak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan
yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Jakarta: Cetakan kesebelas.
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai