Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI

TUGAS MATA KULIAH : KEPERAWATAN TROPIS

Disusun oleh:
KELOMPOK III

RISKA ROFIQA (R011191142)


AMIR (R011191105)
RUKIYA UMARELLA (R011191106)
RIFKA ZULFIANI LATINAPA (R011191011)
ARDIANSYAH NOCH (R011191045)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSIATAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil alamin, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan

yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan,

kesempatan serta pengetahuan sehingga makalah Askep Difteri pada mata kuliah

Keperawatan Tropis ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah

pengetahuan rekan-rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya

tentang Asuhan Keperawatan Difteri.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa

dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami

meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan.

Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun

dari pembaca demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Makassar, Agustus 2020

Kelompok III

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................1

DAFTAR ISI .............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................3

B. Rumusan Masalah ....................................................................................4

C. Tujuan .......................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Difteri..........................................................................................5

B. Epidemiologi ............................................................................................5

C. Etiologi......................................................................................................5

D. Klasifikasi .................................................................................................5

E. Manifestasi klinis.......................................................................................7

F. Patofisiologi ..............................................................................................8

G. Komplikasi................................................................................................9

H. Penatalaksanaan........................................................................................9

I. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................11

I. Pencegahan.................................................................................................11

J. Asuhan Keperawatan..................................................................................12

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ...................................................................................................21

Saran ..............................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphteriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan
oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini [1].
Berdasarkan data WHO pada tahun 2018, Indonesia adalah Negara keempat di
[2]
dunia yang memiliki kasus diffteri terbanyak dengan 1026 kasus . Menurut
Kementerian Kesehatan (2017), terdapat 170 kabupaten pada 30 provinsi yang
melaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri sepanjang tahun 2017
dengan total kasus yang tercatat sebanyak 948 kasus dengan 44 orang penderita yang
meninggal. Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2017
dimana pada tahun 2016 dengan jumlah 591 kasus [3]
Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian
sesuai usia. Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3
kali, yaitu pada usia 2, 3 dan 4 bulan. Selanjutnya imunisasi lanjutan DT dimasukkan
dalam program Bulanan anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin
meningkatkaan perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan DPT-HB-
Hib mulai dimasukkan dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun
2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah dasar [1].
Meskipun program imunisasi terus berkembang dan kasus difteri terus
bertambah, namun cakupan imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan jenis DPT-
HB-3/DPT-HB-Hib 3 masih mengalami penurunan dari 75,6% pada tahun 2013 turun
menjadi 61,3% pada tahun 2018 [4].

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi Difteri ?
2. Bagaimana epidemiologi Difteri ?
3. Bagaimana etiologi terjadinya Difteri ?
4. Bagaimana klasifikasi Difteri ?
5. Bagaimana manifestasi klinis Difteri ?

1
6. Bagaimana patofisiologi Difteri ?
7. Bagaimana komplikasi Difteri ?
8. Bagaimana penatalaksanaan umum Difteri ?
9. Bagaimana pencegahan Difteri ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada kasus Difteri ?

C. TUJUAN
1. Tujuan umum
Dapat mengetahui dan memahami bagaimana tentang hal yang berkaitan
dengan Difteri dan bagaimana pencegahannya serta bagaimana menyusun Asuhan
Keperawatannya.

2. Tujuan khusus
a. Dapat mengetahui definisi Difteri
b. Dapat mengetahui epidemiologi Difteri
c. Dapat mengetahui etiologi terjadinya Difteri
d. Dapat mengetahui klasifikasi Difteri
e. Dapat mengetahui manifestasi klinis Difteri
f. Dapat mengetahui patofisiologi Difteri
g. Dapat mengetahui komplikasi Difteri
h. Dapat mengetahui penatalaksanaan umum Difteri
i. Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang Difteri
j. Dapat mengetahui pencegahan Difteri
k. Dapat membuat asuhan keperawatan pada kasus Difteri

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphteriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan
oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini [5].
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diphteriae
strain toksin yang ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi terutama
pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit [1].

B. Epidemiologi
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia, terutama di negara miskin yang
penduduknya tinggal pada tempat-tempat permukiman yang rapat, hygiene dan
sanitasi yang buruk dan fasilitas kesehatan yang kurang. Orang-orang yang beresiko
tinggi terkena penyakit Difteri adalah:
1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap
2. Immunocompromized. Sosial ekonomi yang rendah seperti populasi anak jalanan.
Pemakaian obat imunosupresif, penderita HIV, Diabetes Melitus, pecandu alcohol
dan narkotika
3. Tinggal pada tempat-tempat yang padat seperti rumah tahananan, tempat
penampungan
4. Sedang melakukan perjalanan (travel) ke daerah-daerah yang sebelumnya
merupakan daerah endemik Difteri

C. Etiologi
Penyebab penyakit Difteri adalah Corynebacterium dyphteriae. Basil ini juga
disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kalinya tahun 1884 oleh
bakteroiologist dari German yaitu Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Loffler
(1852-1915). Basil ini termasuk jenis batang gram positif, pleomorfik, tersusun
berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan

3
dapat memproduksi eksotoksin. Bentuknya seperti palu (pembesaran ada salah satu
ujung, diameternya 0,11 mm dan panjangnya beberapa mm [5].
Manusia adalah salah-satunya reservoir Corynebacterium dyphteriae.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui
alat makan atau langsung dari lesi kulit.

D. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit Difteri menurut lokalisasi terjadinya infeksi pertama,
antara lain [5]:
1. Difteri Nasal Anterior
2. Difteri Nasal Posterior
3. Difetri Fausial (Faring)
4. Difteri Laringeal
5. Difteri Konjugtiva
6. Difteri Kulit
7. Difteri Vulva/ Vagina
Jenis yang paling sering ditemukan adalah Difteri Fausial. Salah satu yang
perlu diperhatikan adalah masih ada kemungkinan ditemukan kasus-kasus difteri yang
mengenai lebih dari satu lokasi, misalnya nasal dan fausial, atau fausial dan laryngeal.
Menurut tingkat keparahannya, penyakit Difteri dibagi atas tiga tingkat, yaitu;
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan nefritis

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Difteri bergantung pada lokasi infeksi, imunitas
penderitanya dan ada tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah.
Masa inkubasi Difteri umumnya 2-5 hari (range 1-10 hari). Pada Difteri Kutan
adalah 7 hari sesudah infeksi primer pada kulit. Tanda dan gejala awal berupa:
1. Demam tidak tinggi (kurang dari 38,5°C)

4
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas
3. Nyeri tenggorokan, nyeri menelan dan suara parau
4. Persaan tidak enak, mual, muntah dan lesu
5. Sakit kepala
6. Ditemui adanya pseudomembrane putih/ keabu-abuan/ kehitaman di tonsil. Faring
atau laring yang tak mudah lepas dan berdarah apabila diangkat
7. Rinorea, berlendir kadang-kadang bercampur darah
Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak
nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak sepeti leher sapi (bullneck).
Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/ sumbatan jalan nafas, kerusakan otot
jantung serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.
Manifestasi klinis penyakit difteri berdasarkan tempat infeksinya [5]:
1. Difteri Nasal Anterior
Mirip penyakit Common Cold, akan tetapi mempunyai karakteristik yaitu adanya
cairan mukopurulen keluar dari hidung yang berisi lender dan pus, dan kadang
disertai darah dan adanya membrane berwarna putih pada daerah septum nasal.
Dapat sembuh dengan pemberian antibiotik dan antitoksin.
2. Difteri Tonsil dan Faring
Merupakan daerah yang paling sering dikenai infeksi. Gejala pertama berupa lesu,
sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi (kurang dari 38,5°C).
dalam waktu 2-3 hai terbentuk membrane yang berwarna putih kebiruan dan
menyebar sampai ke daerah tonsil dan menutupi hampir seluruh palatum mole.
Membran melekat jaringan dan berdarah kalau dilepaskan. Pada keadaan berat,
pasien kelihatan pucat, nadi cepat, stupor dan bisa menyebabkan kematian. Juga
dapat menimbulkan edema pada daerah submandibuler dan terjadinya
limfadenopati kelenjar servikalis anterior yang disebut dengan Bullneck
Appearance.
3. Difteri Laring
Ditemukan perluasan pembentukan membran dari faring ke daerah laring. Gejala
berupa suara parau, batuk-batuk hebat dan membran bisa menimbulkan sumbatan
jalan nafas dan menimbulkan kematian.
4. Difteri Kulit, Konjungtiva dan Telinga

5
Jenis Difteri ini merupakan keadaan yang jarang terjadi. Difteri kulit biasanya
ditandai dengan ulkus yang mempunyai tepi berwarna abu-abu dan berbatas tegas
dengan dasar membran, bisa ditemukan eksudat apabila disertai oleh infeksi
sekunder. Difteri Konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan secret purulen dan
berbau
5. Bagian tubuh lain yang mungkin dikenai juga adalah mukosa membran dari
konjungtiva, vulvaginasi dan kanalis aurikulus eksternal.

Gambar 1. Difteri Tonsil dan Faring

F. Patofisiologi
Corynebacterium dyphteriae adalah mikroorganisme yang tidak invasive,
hanya menyerang bagian superficial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat
menimbulkan reaksi peradangan lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan
penyakit terjadi apabila kontak langsung dengan pasien Difteri atau dengan carrier
Difteri. Corynebacterium dyphteriae ditularkan dengan kontak langsung melalui
batuk, bersin atau berbicara atau dengan kontak tidak langsung melalui debu, baju,
ataupun peralatan lain yang terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi
karena basil ini cukup resisten terhadap udara panas, dingin dan kering dan tahan
hidup pada debu dan muntahan selama 6 bulan.
Corynebacterium dyphteriae masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian
bertumbuh/ berkembang pada mukosa saluran napas bagian atas terutama daerah
tonsil, faring, laring, kadang-kadang di kulit, konjungtiva atau genital. Basil ini
kemudian akan memproduksi eksotoksin, yang diabsorpsi melewati membran
mukosa, yang menyebabkan terjadinya peradangan dan destruksi sel epitel diikuti

6
oleh nekrosis. Pada daerah neksrosis ini terbentuk fibrin kemudian diinfiltrasi oleh
sel lekosit, keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya patchy exudates yang pada
permulaan masih bisa terkelupas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exudates (membrane palsu) yang terdiri
atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu
sampai hitam. Membrane ini sukar terkelupas,kalau dipaksa lepas akan menimbulkan
perdarahan.
Membran palsu ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, alaring dan pada keadaan
berat bisa meluas sampai ke trachea dan kadang ke bromnkus, kemudian diikuti
edema soft tissue di bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi
saluran pernafasan sehingga memerlukan tindakan segera.
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening
servikal dan edema pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema
muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bullneck Appearance.
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya diserap masuk ke dalam sirkulasi darah
menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh
berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati,
kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan
miokarditis, AV disosiasi sampai blok total dan payah jantung.
Kerusakan jaringan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa demielinasi,
yang dapat menimbulkan paralisis, terutama pada paltum mole, otot mata dan
ekstremitas inferior.
Akibat lain dari Corynebacterium dyphteriae adalah terjadinya
trombositopenia dan proteinuria. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran pernafasan [5].

7
Pathway

Corynobacterium diphteriae
Masuk melalui Berkembangbiak pada
Faktor pencetus: mukosa dan kulit saluran pernafasan atas
Imunisasi tidak lengkap
Faktor lingkungan Seluruh tubuh
Daerah endemic bakteri Lokal Memproduksi eksotoksin

Ginjal Saraf pusat


Proses infeksi Jantung
Menghambat pembentukan
protein dalam sel
Nekrosis Perdarahan Neuritistoksik
Peningkatan aktivitas toksik dan adrenal dan degenerasi
Sel mati, respon inflasi lokal selular dan metabolisme
degenerasi nekrosis lemah pada
hialin tubular akut, selaput mielin
Suhu tubuh meningkat Proteinuria
Pseudomembran (eksudat,
fibrin, sel radang, eritrosit, Miokarditis Paralisis di
nekrosis, sel-sel epitel Hipertermi payah jantung Inkontinensia palatum molle
urine aliran
berlebih
Penyempitan saluran Edema soft tissue pada Edema kongesti infiltrasi sel
pencernaan atas tonsil, faring, laring trakea mono nuclear serat otot dan Hambatan
sistem induksi komunikasi
Nyeri saat menelan Obstruksi saluran pernafasan verbal

Intake makanan Ketidakefektifan pola napas


kurang Nyeri akut

Penurunan Kelebihan
Ketidakseimbangan nutrisi: curah jantung volume cairan
kurang dari kebutuhan tubuh

8
G. Komplikasi
Komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan sebagai berikut: virulensi
basal difteri, luas membran yang terbentuk, jumlah toksin yang diproduksi oleh basil
difteri dan waktu antara mulai ttimbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin.
Komplikasi Difteri adalah sebagai berikut [7]:
1. Saluaran pernafasan: obstruksi jalan nafas, Bronkopneumonia, atektasis paru
2. Kardiovaskular: Miokarditis akibat toksin kuman
3. Urogenital: Nefritis
4. Susunan saraf:
a. Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau),
tersedak/ sukar menelan (minggu I-II)
b. Paralisis/ paresis otot-otot mata yang menyebabkan strabismus, gangguan
akomodassi, dilatasi pupil atau ptosis (minggu III)
c. Paralisis umum mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling
fatal mengenai otot pernafasan (minggu IV)

H. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada penderita Difteri dewasa sama dengan tatalaksana penderita
Difteri anak, yaitu sebagai berikut [1]:
1. Tindakan umum
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi, mempertahankan keadaan umum dan
mengatasi gejala/ akibat yang timbul
Jenis tindakan:
a. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
b. Memperhatikan intake cairan da makanan. Bentuk makanana disesuaikan
dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/ cair,
bila perlu sonde lambung jika ada kesukaran menelan (terutama pada paralisis
palatum molle dan otot-otot faring)
c. Pastikan kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi
(klisma, laksansia) untuk mencegah mengedan berlebihan
d. Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk (difteri laring)
e. Aspirasi sekret secara periodik terutama untuk difteri laring

9
f. Perawatan suportif termasuk perhatian khusus untuk mempertahankan patensi
saluran napas bila terdapat membran laring atau faring ekstnesif. Lakukan
penilaian apakah ditemukan keadaan gawat napas akibat obstruksi saluran
napas karena membran dan edema perifaringeal maka lakukan trakeostomi
2. Tindakan pesifik
Tujuan: menetralisir toksin, eradikasi kuman dan menanggulangi infeksi sekunder
Jenis tindakan:
a. Pemberian Anti Difteri Serum (ADS)
1) Secepat mungkin diberikan setelah melakukan tes hipersensitivitas
terhadap ADS; pemberian antitoksin secara dini sangat penting dalam hal
kesembuhan.
2) Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh
karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anfilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit
3) Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1000 secara intrakiutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10mm
4) Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka)
5) Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negative, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena.
6) Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama
sakit, tidak bergantung pada berat badan penderita, berkisar antara 20.000-
100.000 KI.
7) Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam
8) Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensistivitas lambat (serum sickness)
9) Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi beberapa
menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20 menit-1
jam, serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian
b. Pemberian antibiotik.

10
Antibiotika Penicillin procaine IM 25.000-50.000 U/kg BB maks 1,5 juta
selama 14 hari, atau Erutromisin oral atau injeksi 40 mg/kgBB/hari maks
2g/hari interval 6 jam selama 14 hari
c. Kortikosteroid dapat diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas, dan bila terdapat penyulit miokarditis diberikan
prednison 2mg/kgBB selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap
d. Pada fase konvalesens diberikan vaksin difteri toksoid disesuaikan status
imunisasi penderita

I. Pemeriksaan penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit Difteri [6]:
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman Difteri dari bahan apusan mukosa hidung
dan tenggorok (Nasofaringeal Swab)
2. Darah ruti: Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin. Penghitungan sel darah
tepi, ditemukan: Leukositosis moderat, Trombositopenia
3. Urin lengkap: aspek, protein dan sedimen
4. Ureum kreatinin bila dicurigai ada komplikasi ginjal
5. Pemeriksaan enzim kardiak untuk mendeteksi adanya miokarditis
6. Kelainan EKG dan Echokardiografi ditemukan bila sudah komplikasi miokarditis
7. Pemeriksaan radiografi toraks, ditemukan hiperinflasi
8. Tes Shick: Tes ini bertujuan untuk menentukan ada/ tidaknya antibodi terhadap
toksin difteri (antitoksin) dan dapat mendignosis kasus Difteri ringan dan yang
mengalami kontak dengan Difteri. Untuk mendiagnosis Difteri secara dini, tes ini
tidak dianjurkan karena membutuhkan waktu yang lama

J. Pencegahan
Selain menerapkan pola hidup sehat, penyakit Difteri dapat dicegah dengan
Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk
imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri
ada 3 macam, yaitu [1]:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B
dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus influenzae
tipe B)

11
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus)
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri)
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Imunisasi dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah
(BIAS)
b. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberkan vaksin Td.
Perlindungan optimal terhadap Difteri dapat dicapai dengan cakupan imunisasi rutin,
baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata. Cakupan harus mencapai
minimal 95%, merata di setiap kabupaten/ kota dan tetap dipertahankan.
Pada daerah KLB Difteri dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI)
tanpa menunggu hasil laboratorium suspek Difteri (kasus indeks), dengan sasaran
sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.
Vaksin yang diberikan adalah:
a. Anak usia 1- <5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib
b. Anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. Anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td
Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang dewasa
harus disertakan dalam imunisasi massal.
Disamping melengkapi imunisasi, hal yang dapat dilakukan antara lain
memberikan informasi terkait [6]:
a. Membiasakan hidup bersih dan sehat dan selalu menjaga kesehatan lingkungan
b. Meningkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan yang mengandung nutrisi
seimbang, berolah raga dan cukup istirahat serta mengurangi stress
c. Mengetahui gejala dan hal yang dapat ditimbulkan penyakit Difteri

K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Umur: dapat terjadi pada semua golongan umur namun biasanya sering
pada ank-anak usia 1-14 tahun

12
2) Tempat tinggal: biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang hygiene dan sanitasi yang buruk dan fasilitas kesehatan
yang kurang
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama: lemah, demam yang tidak terlalu tinggi (kurang dari
38,5°C), nyeri menelan, anoreksia, kesulitan bernafas, bengkak pada
tenggorokan/ leher
2) Riwayat kesehatan sekarang: demam yang tidak terlalu tinggi, lesu,
anoreksia, takikardi, pucat, sakit kepala
3) Riwayat kesehatan dahulu: peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring,
laring dan saluran pernafasan atas dan mengalami pilek dengan secret
bercampur darah
4) Riwayat kesehatan keluarga: adanya keluarga yang mengalami Difteri
5) Riwayat imunisasi anak: lengkap atau tidak lengkap
c. Pengkajian pola aktifitas sehari-hari
1) Pola nutrisi dan metabolisme: jumlah asupan nutrisi kurang akibat anoreksi
2) Pola aktivitas: gangguan aktivitas karena malaise atau demam
3) Pola istirahat tidur: adanya sesak nafas menimbulkan gangguan tidur
4) Pola eliminasi: penurunan jumlah urin dan feses karena asupan nutrisi
kurang akibat anoreksia
d. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
Nadi : meningkat
Tekanan darah : menurun
Pernafasan : meningkat, dangkal
Suhu : < 38,5°C
2) Pemeriksaan mukosa saluran nafas
Ditemukan adanya pseudomembran yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
 Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis
 Bisanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinouus dan berwarna
abu-abu kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran

13
pernafasan yang mati dan mudah berdarah kalau dilepas dari
dasarnya.
Membran ini biasanya ditemukan pada palatum, faring, laring, trachea
sampai pada trakeabronkus
3) Pemeriksaan leher: edema pada daerah submandibular dan leher bagian
depan, ditandai dengan suara parau, stridor dan bisad ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening servikalis anterior (Bull’s neck
appearance)
4) Pemeriksaan sistem kardivaskular: takikardi, suara jantung lemah, irama
presistolik gallops, aritmia
5) Pemeriksaan neurologis: gerakan palatum berkurang, paralisis otot mata
(kesukaran akomodasi, strabismus internal), kehilangan refleks tendon
6) Pemeriksaan urogenital: nekrosis pada ginjal, nefritis
e. Pemeriksaan penunjang: laboratotium (apus tenggorokan dan uji shick, hb,
eritrosit, leukosit), EKG, foto thoraks

2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul antara lain:
a. Ketidakefektifan pola nafas
b. Nyeri akut
c. Hipertermi
d. Penurunan curah jantung
e. Kelebihan volume cairan
f. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
g. Hambatan komunikasi verbal
h. Defisien pengetahuan
i. Ansietas
j. Disfungsi proses keluarga

14
3. Nursing Care Plan

NO DIAGNOSA NOC NIC


I Domain 4 Setelah diberikan asuhan 3140 Majajemen jalan nafas
Aktifitas /istirahat keperawatan ketidakstabilan 1. Kaji status pernafasan klien
Kelas 4 pola nafas teratasi dengan (bunyi nafas, adanya suara
Respon kardiovaskuler/ kriteria hasil tambahan, kecepatan, irama
pulmonal Domain II: Kesehatan dan upaya nafas)
fisiologis 2. Posisikan pasien untuk
00032 Kelas E: Jantung paru memaksimalkan ventilasi
Ketidakefektifan pola 0415 Status pernafasan (semi fowler)
nafas dipertahankan pada deviasi 3. Ajarkan pasien tentang
berat dari kisaran normal (1) batuk efektif dan teknik
ditingkatkan ke deviasi ringan relaksasi nafas dalam
dari kisaran normal (4): 4. Gunakan teknik yang
 Irama dan frekuensi menyenangkan untuk
pernafasan memotivasi bernafas dalam
 Kedalaman inspirasi kepada anak-anak (mis:
 Kepatenan jalan nafas, meniup gelembung, meniup
sturasi oksigen kincir, peluit, harmonika,
 Batuk balon, meniup layaknya
 Akumulasi sputum pesta; buat lomba meniup
 Suara nafas tambahan dengan bola pimpong,
 Sianosis meniup bulu)
5. Kelola pengobatan aerosol,
nebulizer ultrasonik
sebagaimana mestinya
6. Lakukan suction nasofaring
atau orofaring untuk
mengeluarkan lendir bila
perlu
7. Regulasi asupan cairan
untuk mengoptimalkan
keseimbangan cairan
8. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, mukolitik dan
oksigen
II Domain 12: Kenyamanan Setelah diberikan asuhan 1400 Manajemen nyeri
Kelas 1: Kenyamanan keperawatn nyeri akut teratasi 1. Kaji skala nyeri
fisik dengan kriteria hasil 2. Kaji nyeri komprehensif
00132 Nyeri akut Domain V: Kondisi kesehatan meliputi lokasi,
yang dirasakan karakteristik, onset/ durasi,
Kelas V: Status gejala frekuensi, kualitas, intensitas
2102 Tingkat nyeri atau beratnya nyeri dan
dipertahankan pada berat (1) pencetus
ditingkatkan ke ringan (4): 3. Observasi adanya petunjuk
 Tanda vital: tekanan nonverbal mengenai
darah, nadi, frekuensi ketidaknyamanan apabila

15
nafas, deyut jantung apikal pasien tidak dapat
 Skala nyeri berkomunikasi secara efektif
 Ekspresi nyeri wajah 4. Ajarkan teknik
meringis nonfarmakologi seperti
 Tidak bisa beristirahat terapi music, teknik
relaksasi Guided imagery,
terapi bermain, terapi
aktivitas
5. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan misalnya
suhu ruangan, pencahayaan
dan suara bising
6. Libatkan keluarga dalam
modalitas penurun nyeri jika
memungkinkan
7. Kolaborasi pemberian
anlgesik
III Domain 11: Keamanan/ Setelah diberikan asuhan 3900 Pengaturan suhu
perlindungan keperawatan hipertermi 1. Observasi tanda vital:
Kelas 6: Termoregulasi teratasi dengan kriteria hasil tekanan darah, nadi, suhu
00007 Hipertermia Domain II: Kesehatan dan pernafasan)
fisiologis 2. Pantau warna kulit, turgor
Kelas I: Regulasi metabolik kulit dan kelembaban
0800 Termoregulasi membran mukosa
dipertahankan pada sangat 3. Tingkatkan intake cairan dan
terganggu (1) ditingkatkan ke nutrisi adekuat
sedikit terganggu (4): 4. Longgarkan pakaian,
 Suhu (36,5-37,5) lepaskan pakaian yang
 Denyut nadi radial berlebihan
 Frekuensi pernafasan 5. Berikan kompres air hangat
6. Sesuaikan suhu lingkungan
sesuai kebutuhan pasien
7. Kolaborasi pemberian
antipiretik sesuai kebutuhan
IV Domain 2: Nutrisi Setelah diberikan asuhan 1100 Manajemen nutrisi
Kelas 1: Makan keperawatan 1. Tentukan status gizi pasien
00002 ketidakseimbangan nutrisi: dan kemampuan pasien
Ketidakseimbangan kurang dari kebutuhan tubuh memenuhi kebutuhan gizi
nutrisi: kurang dari teratasi dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi adanya alergi
kebutuhan tubuh Domain II: Kesehatan atau intoleransi makanan
fisiologi yang dimiliki pasien
Kelas K: Pencernaan dan 3. Monitor kalori dan asupan
nutrisi makanan
1004 Status nutrisi 4. Monitor kecendrungan
dipertahankan pada sangat terjadinya penurunan dan
menyimpang dari rentang kenaikan berat badan

16
normal (1) dipertahankan ke 5. Tentukan apa yang menjadi
sedikit menyimpang dari referensi makanan bagi
rentang normal (4): pasien
 Asupan gizi 6. Berikan pilihan makanan
 Asupan makanan sambil menawarkan
 Asupan cairan bimbingan terhadap pilihan
 Energi makanan yang lebih sehat ,
 Rasio berat badan jika diperlukan
 Hidrasi 7. Ciptakan lingkungan yang
optimal pada saat
mengkonsumsi makanan
(mis: bersih, berventilasi,
santai dan bebas dari bau
yang menyengat)
8. Pastikan makanan disajikan
dengan cara yang menarik
dan pada suhu yang paling
cocok untuk konsumsi
secara optimal
9. Kolaborasi pemberian obat
sebelum makan seperti
analgesic, antiemetik bila
perlu

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diphteriae
strain toksin yang ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi terutama
pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.
Manusia adalah salah-satunya reservoir Corynebacterium dyphteriae.
Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui
alat makan atau langsung dari lesi kulit.
Difteri Tonsil dan Faring merupakan daerah yang paling sering dikenai
infeksi. Gejala pertama berupa lesu, sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak
begitu tinggi (kurang dari 38,5°C). dalam waktu 2-3 hari terbentuk membran yang
berwarna putih kebiruan dan menyebar sampai ke daerah tonsil dan menutupi hampir
seluruh palatum mole. Pada keadaan berat, pasien kelihatan pucat, nadi cepat, stupor
dan bisa menyebabkan kematian serta dapat menimbulkan Bull’s neck appearance.
Tindakan spesifik dalam penatalaksanaan Difteri adalah dengan pemberian
Anti Difteri Serum (ADS), antibiotik dan kortikosteroid.
Selain menerapkan pola hidup sehat, penyakit Difteri dapat dicegah dengan
Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk
imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan ada 3 macam, yaitu: DPT-HB-
Hib , DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus) dan Td.

B. Saran
Menjalankan pola hidup sehat adalah sesuatu yang dianjurkan untuk dilakukan
setiap orang. Namun penyakit Difteri berada pada level yang berbeda, menjalankan
hidup sehat saja tidak cukup untuk menangkal penyakit yang satu ini. Mencegah
Difteri secara alami efektifnya dengan melakukan imunisasi lengkap yang jadwal
pemberiannya sesuai usia. Sehingga diharapkan peningkatan kesadaran seluruh
lapisan masyarakat terkhusus pelaku kesehatan untuk menggalakkan kegiatan
imunisasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

[1] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pedoman pencegahan dan

pengendalian Difteri. Jakarta

[2] World Health Organization (2018)

[3] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017)

[4] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil utama riskesdas 2018

[5] Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M. S., & Setiati, S. (2009). Buku ajar ilmu

penyakit dalam jilid III edisi IV. Jakarta Pusat: Interna Publishing.

[6] Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan: berdasarkan

diagnosa medis dan NANDA NIC-NOC edisi revisi jilid 1. Jogjakarta: Mediaction

Publishing.

[7] Saputra, M. A. (2018). Difteri dalam lingkup asuhan keperawatan. Jurnal Kesehatan .

[8] Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis keperawatan: Definisi

dan klasifikasi 2018-2020 (NANDA International nursing diagnosis: Definitions and

classification 2018-2020. Jakarta: EGC.

[9] Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing outcomes

classification (NOC): pengukuran outcomes kesehatan edisi kelima. Singapore: Elsevier.

[10] Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing

intervention classification (NIC) edisi keenam. Singapore: Elsevier.

19

Anda mungkin juga menyukai