Anda di halaman 1dari 28

PENYAKIT TROPIS

DIFTERI

Kelompok 2:
Ni Made Nadyah F (P10117026)
Darul Fikri (P10117056)
Afri Anugrah (P10117110)
Fahmilaulhusna (P10117116)
Finni Alfisyah (P10117120)
Devi Angraeni Mallisa (P10117128)
Putu Ayu Widyasari (P10117260)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena
rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini dengan tema Penyakit Tropis Difteri dan juga kami
berterima kasih kepada dosen mata kuliah manajemen bencana yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap karya tulis ilmiah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga karya tulis ilmiah ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya yang telah disusun ini dapat berguna
bagi kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Palu, 16 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................ 2
C. Manfaat .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Definisi Penyakit Difteri ...................................................................... 3
B. Etiologi dan Vektor Penyebab Penyakit Difteri ................................... 4
C. Patologi Penyakit Difteri ..................................................................... 5
D. Faktor Risiko Penyakit Difteri ............................................................. 6
E. Pencegahan Penyakit Difteri .............................................................. 8
F. Penanggulangan Penyakit Difteri ..................................................... 10
G. Temuan Baru Penyakit Difteri .......................................................... 11
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 20
A. Kesimpulan ...................................................................................... 20
B. Saran................................................................................................ 22
SOAL LATIHAN............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis, dimana curah
hujan yang tinggi berdampingan dengan sanitasi yang buruk di beberapa
daerah di Indonesia menyebabkan berkembangnya banyak penyakit.
Salah satu mpenyakit yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi
beserta sanitasi yang buruk adalah penyakit infeksi tropis. Penyakit
infeksi tropis dibagi menjadi tiga, yaitu infeksi tropis yang disebabkan
parasite, infeksi tropis yang disebabkan bakteri, dan infeksi tropis yang
disebabkan oleh virus (Apriliani & Mustafidah, 2017).
Penyakit tropis adalah masalah penyakit yang berada di daerah
Negara beriklim tropis. Negara dengan iklim tropis tersebut termasuk di
Indonesia yang menyebabkan banyaknya kasus penyakit tropis yang
juga ditemukan di Indonesia. Penyakit tropis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, dan parasit. Macam-macam penyakit tropis yang ada antara lain,
yaitu TBC, Kusta, emam typoid, difteri, DBD, polio, malaria, campak,
tetanus, dll. Cara penularan penyakit tropis dapat dilakukan dengan
kontak langsung antara penderita dengan orang sehat, melalui
makanan/minuman, udara dan vector. Penyakit tropis merupakan
penyakit yang berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian bagi
manusia jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat (Kurniasih, Tursina,
& Rismawan, 2017).
Indonesia adalah negara ke dua dengan kasus penyakit difteri
terbanyak dibandingkan dengan Negara India. South-East Asia Region
menempati urutan pertama disetiap tahunnya dalam kasus difteri di
Dunia. Pada tahun 2011-2015 jumlah kasus penyakit difteri yang
dilaporkan di Indonesia sebanyak 2.203 kasus, sedangkan jumlah kasus

1
penyakit difteri di India sebanyak 18.350 yang menjadikan India menjadi
urutan pertama di Dunia dalam kasus penyakit difteri (Mardiana, 2018).
Berdasarkan uraian diatas hal yang melatarbelakangi pembuatan
karya tulis ilmiah ini yaitu untuk mengetahui lebih detail mengenai
penyakit difteri yang termasuk dari salah satu penyakit tropis.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit difteri.
2. Untuk mengetahui etiologi dan factor penyebab penyakit difteri.
3. Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit difteri.
4. Untuk mengetahui patologi penyakit difteri.
5. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit difteri.
6. Untuk mengetahui cara penanggulangan penyakit difteri.
7. Untuk mengetahui temuan baru mengenai penyakit difteri.

C. Manfaat
1. Dapat mengetahui definisi penyakit difteri.
2. Dapat mengetahui etiologi dan vektor penyebab penyakit difteri.
3. Dapat mengetahui cara pencegahan penyakit difteri.
4. Dapat mengetahui patologi penyakit difteri.
5. Dapat mengetahui faktor risiko penyakit difteri.
6. Dapat mengetahui cara penanggulangan penyakit difteri.
7. Dapat mengetahui temuan baru mengenai penyakit difteri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Difteri


Difteri adalah penyakit menular yang terus mengalami peningkatan
kasus. Menurut CDC (2012), mengatakan bahwa difteri termasuk dalam
penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheria yang menyebabkan timbulnya selaput tebal pada bagian
tenggorokan. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya penyempitan
saluran pernapasan yang membuat manusia kesulitan bernapas bahkan
bisa memicu terjadinya kematian. Penyakit difteri diawali dengan gejala
demam dengan suhu 38oC, pseudomembrane (selaput tipis),
tenggorokan menjadi berwarna putih keabuan (laring, faring, tongsil)
yang mudah berdarah dan tidak mudah lepas yang disertai dengan rasa
sakit menelan, leher bengkak (bullneck), serta sesak nafas dan disertai
bunyi (stridor) (Fajriyah, 2014).
WHO mengatakan bahwa penyakit difteri sering menginfeksi
saluran napas bagian atas dan juga tenggorokan dan menghasilkan
racun yang mempengaruhi organ-organ lain. Karakteristik utama penyakit
difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan pembengkakan kelenjar di
leher, dan pada kasus yang lebih parah, difteri dapat menyebabkan
myocarditis atau neuropati perifer. Toksin difteri dapat menyebabkan
membran jaringan mati dan terdapat selaput di tenggorokan yang dapat
mengakibatkan sulitnya bernapas dan menelan. Penyakit ini menular
melalui kontak fisik langsung yaitu dapat melalui batuk atau bersin dari
orang yang terinfeksi (Fajriyah, 2014).

3
B. Etiologi dan Vektor Penyebab Penyakit Difteri
Menurut (Widoyono, 2011), etiologi dan vektor penyebab penyakit
difteri adalah sebagai berikut:
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae. Difteria berasal dari bahasa Yunani, diphtera = Kulit yang
tersembunyi. Penyakit ini mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Tipe respirasi, yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi
toksin.
2. Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang
nontoksigenik.
Tipe repirasi biasanya mengakibatkan gejala berat sampai
meninggal, sedangkan tipe kutan umumnya menunjukan gejala ringan
dengan peradangan yang tidak khas, sehingga tidak lagi dilaporkan
dalam program penanggulangan.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 tipe varian, yaitu mitis,
intermedius, dan gravis. Menurut bakteriofag lisisnya, C. Diphtheriae
dapat dibagi menjadi 19 tipe, adapun menurut virulensinya, bakteri ini
dibagi menjadi tipe ganas dan tipe jinak. Bakteri tipe jinak dapat
ditemukan di tenggorok dal selput mulkosa manusia. Tipe ini
mengeluarkan toksin yang bekerja sebagai imunogen yang mampu
meningkat antitoksin difteria, jadi, toksin berfungsi sebagai antitoksin
antibodi sehingga sering terjadi infeksi yang tanpa gejala (Carrier).
Di Rumania, pada masa non-epidemi, angka carrier mencapai 0,5-
1,2% penduduk dengan kuman tipe mitis. Pada masa epidemi, angka
carrier bisa meningkat menjadi 25-40% dengan kuman tipe gravis.
Kuman dengan strain yang tidak ganas apabila terinfeksi oleh
bakteriovag atau virus.

4
C. Patologi Penyakit Difteri
Penyakit difteri timbul dimulai dengan masuknya
basil Corynebacterium diphteriae ke dalam hidung atau mulut, dan
berkembang pada mukosa saluran napas bagian atas terutama daerah
tonsil, kadang-kadang di daerah kulit, konjungtiva, atau genital. Basil
kemudian akan memproduksi eksotoksin (Widoyono, 2011).
Toksin yang terbentuk akan diabsorpsi melewati membrane sel
mukosa, menimbulkan peradangan dan epitel diikuti oleh nekrosis. Pada
daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel darah
putih; keadaan ini mengakibatkan terbentuknya patchy exuddate yang
pada permulaan masih bisa terkelupas. Pada keadaan yang lebih lanjut
toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat menyebabkan daerah
nekrosis ini bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga
menimbulkan terbentuknya membrane palsu yang terdiri atas jaringan
nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu
sampai hitam. Membrane palsu ini sulit terkelupas, apabila dipaksa
terjadi perdarahan. Membrane palsu ini terbentuk di tonsil, faring, laring
dan dalam keadaan berat bisa meluas sampai ke trakea dan kadang-
kadang ke bronkus , diikuti edema soft tissue dibawah mukosanya
(Widoyono, 2011).
Toksin yang terbentuk selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan kerusakan organ dan
jaringan berupa degenerasi, fatty infiltration dan nekrosis, terutama pada
jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenalin dan jaringan saraf. Apabila
mengenai jantung akan menyebabkan mikorditis. Beberapa
jenis Corynebacterium yang hidup pada saluran napas atau konjungtiva
tidak menimbulkan penyakit, jenis ini disebut difteroid,

5
misalnya corynebacterium pseudodiphtheriticum, C. cerosis,
C.Haemolyticum dan C.Ulcerans (Widoyono, 2011).
Setelah terinfeksi, zat-zat berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri
dapat menyebar melalui aliran darah penderita ke organ lain, seperti
jantung, sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ yang signifikan.
Selanjutnya, penyakit ini dapat ditularkan dari seseorang yang telah
terjangkit melalui ludah. Bakteri ini juga dapat menghasilkan racun yang
diproduksididalam aliran darah (Widoyono, 2011).
Difteri menyebar dari seseorang ke oranglain melalui kontak
langsung dengan orang-orang yang memiliki penyakit atau yang
membawanya. Penyakit ini juga dapat menyebar melalui kontak dengan
barang yang telah digunakan oleh penderita, misalnya tisu atau cangkir.
Bakteri Corynebacterium diphtheriae hidup sehingga menyebabkan
orang terinfeksi pada hidung, tenggorokan, kulit atau mata, serta dapat
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui bersin dan batuk
(Widoyono, 2011).
Orang bisa terinfeksi difteri dengan menyentuh luka terbuka dari
seseorang yang terinfeksi.Transisi bakteri melalui media luka ini sangat
umum terjadi di negara-negara tropis ataupun di daerah dengan kondisi
yang padatdisertai kebersihan yang tidak memadai. Bakteri Difteri dapat
bertambah dan berkembang biak pada bagian mulut dan tenggorokan
yang lembab, sehingga dapat menyebabkan peradangan (Widoyono,
2011).

D. Faktor Risiko Penyakit Difteri


Faktor risiko terjadinya difteri menurut (Lestari, 2012), dibedakan
menjadi empat faktor, masing-masing merupakan faktor yang mutlak
diperlukan, namun bila sendirian tidak cukup untuk menimbulkan penyakit.
Penyebab yang selalu menimbulkan atau memulai penyakit disebut

6
sufficient factor, sedangkan penyebab yang mutlak dibutuhkan untuk
terjadinya proses penyakit disebut necessary factor. Peran faktor
penyebab penyakit dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor): umur, jenis kelamin, dan


penyakit yang telah atau pernah diderita memberikan kepekaan
terhadap agen penyakit tertentu. Pada penelitian Lubis (2005) kadar
antibodi yang diukur dari vaksin yang diterima pada imunisasi dasar
memiliki perbedaan pada pemberian jumlahnya. Terdapat perbedaan
pada imunisasi 1 kali dengan 3 kali atau lebih dan pada imunisasi 2 kali
dengan 3 kali atau lebih. Rendahnya imunitas berpengaruh terhadap
terjadinya difteri. Umur yang sering terkena difteri adalah 2-10 tahun.
Jarang ditemukan pada bayi berumur di bawah 6 bulan oleh karena
imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya. Juga jarang pada
dewasa yang berumur di atas 15 tahun. Jenis kelamin yang sering
terkena adalah wanita karena daya imunitasnya lebih rendah (Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).
2. Faktor yang mempermudah (enabling factor) : penghasilan rendah, gizi
rendah, perumahan tidak sehat, dan akses rendah ke pelayanan
kesehatan, dan hal – hal yang memungkinkan proses terjadinya
penyakit. Salah satu risiko terjadinya difteri dan KLB difteri yaitu
buruknya sanitasi dan higiene. KLB difteri yang terjadi di Eropa dan
Amerika Serikat telah terjadi pada sosial ekonomi miskin yang hidup
dengan kondisi padat (Galazka, 2000).
Mobilitas meningkatkan terjadinya difteri. Di Polandia pada tahun
1992 – 1995 dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri yang
sebelumnya telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina,
dan Belarus (Galazka, 2000). Terjadinya epidemi pada suatu daerah
yang sudah lama bebas dari penyakit ini, dapat ditimbulkan karena

7
adanya penderita difteri.
3. Faktor pendorong (precipitating factor): pemaparan dengan agen
penyakit atau substansi yang mengganggu kesehatan akan memulai
proses terjadinya penyakit. Manusia merupakan reservoir tunggal dan
sumber penularan utama Corynebacterium diphtheriae (Nelson, 2004).
Terjadinya epidemi pada suatu daerah yang sudah lama bebas
dari penyakit ini, dapat ditimbulkan karena adanya terjadi mutasi dari
jenis non virulen menjadi virulen (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2006).
Menurut Notoatmodjo (1997) bahwa seorang karier :
a. Jumlah karier pada penderita difteri lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah penderita itu sendiri
b. Karier maupun orang yang potensial ditulari sama sekali tidak tahu
bahwa mereka menderita penyakit
c. Karier tidak menurun kesehatannya sehingga masih dapat
melakukan pekerjaan sehari – hari
d. Karier mugkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif
lama
4. Faktor penguat (reinforcing factor): pemaparan yang berulang-ulang
atau kerja keras, kehamilan akan memperberat penyakit yang sudah
berproses.

E. Pencegahan Penyakit Difteri


Pencegahan dapat dilakukan dalam imunisasi DPT (difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada
anak usia sekolah dasar. Suatu penelitian melaporkan bahwa pada
golongan anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 81,3%,
infeksi sedang 16,4%, dan infeksi berat hanya 2,3% ; sedangkan pada
anak yang tidak diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 19,0%, infeksi

8
sedang 21,5%, dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada anak yang diberi
imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang diberi
imunisasi. Setiap bayi (0-1 tahun) perlu diberi vaksin DPT sebanyak tiga
kali yang dimulai pada anak usia dua bulan dengan selang waktu
antarsuntikan minimal satu bulan, dan diulang lagi setelah anak berusia
6-7 tahun melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) di
sekolah dasar (Widoyono, 2011).
Pencegahan penyakit difteri dilakukan dengan vaksinasi toksoid
difteri. Tingginya kasus disuatu wilayah biasanya berbanding terbalik
dengan cakupan imunisasi pada wilayah tersebut. Namun demikian,
tujuan utama pemberian vaksin toksoid difteri adalah menstimulasi
terbentuknya antibody terhadap vaksin difteri yang dihasilkan oleh bakteri
penyebab sehingga orang yang di vaksin tidak serta merta terbebas dari
serangan difteri (Sunarno & Dkk, 2015).
Pengobatan difteri membutuhkan antitoksin dan antibiotik. ADS dan
antibiotic diberikan secara bersama karena ADS tidak dapat digunakan
untuk eliminasi bakteri penyebab, begitu juga sebaliknya, antibiotic tidak
dapat menggantikan peran ADS untuk menetralisasikan toksin difteri.
Dalam hal ini, ADS memiliki keterbatasan karena hanya dapat
menetralisasi toksin yang beredar atau belum berikatan dengan sel atau
jaringan. Oleh karena itu, ADS harus segera diberikan ketika diagnosis
difteri ditegakkan. ADS akan efektif bila diberikan pada 3 hari pertama
sejak timbul gejala. Penundaan pemberian ADS akan meningkatkan
risiko komplikasi dan kematian (Sunarno & Dkk, 2015).
Pemberian antibiotik dibutuhkan untuk eliminasi bakteri penyebab
dan mencegah penularan penyakit. Golongan penisilin dan eritromisin
merupakan antibiotic pilihan utama. Namun, uji kepekaan bakteri
terhadap bakteri perlu harus dilakukan untuk mengetahui perkembangan

9
resistensi bakteri karena telah dilaporkan adanya penurunan kepekaan
bakteri penyebab terhadap eritromisin dan antibiotik lainnya (Sunarno &
Dkk, 2015).

F. Penanggulangan Penyakit Difteri


Penanggulangan penyakit difteri menurut (Direktorat Surveilans dan
Karantina Kesehatan, 2017), yaitu:
a. Setiap suspek Difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan
mencari kasus tambahan dan kontak.
b. Dilakukan rujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan.
c. Pemberian profilaksis pada kontak dan karier.
d. Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) sesegera
mungkin di lokasi yang terjadi KLB Difteri dengan sasaran sesuai
dengan kajian epidemiologi sebanyak tiga putaran dengan interval
waktu 0-1-6 bulan tanpa memandang status imunisasi.
e. Meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi rutin Difteri
(baik imunisasi dasar maupun lanjutan) agar mencapai minimal 95%.
f. Edukasi mengenai difteri, berupa penegakkan diagnosis, tatalaksana,
dan pencegahan kepada tenaga kesehatan dan pemerintah daerah,
serta bekerjasama dengan media masa untuk melakukan edukasi
pada masyarakat mengenai difteri.
g. Edukasi kepada masyarakat untuk segera ke pelayanan kesehatan
bila ada tanda dan gejala nyeri tenggorok, serta menggunakan masker
termasuk di tempat umum bila mengalami tanda dan gejala infeksi
saluran pernafasan.

10
G. Temuan Baru Penyakit Difteri
1. Jurnal Nasional
Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Outbreak Response
Immunization (ORI) Difteri Di Puskesmas Mijen Kota Semarang
Tahun 2018
Evaluasi pelaksanaan kegiatan Outbreak Response
Immunization (ORI) difteri di Puskesmas Mijen Kota Semarang tahun
2018 menurut (Aull Radian, Suryawati, & Sutopo, 2018). Outbreak
Response Immunization (ORI) merupakan salah satu bentuk respon
yang dilakukan untuk mengatasi KLB difteri. Kementerian Kesehatan
memberikan surat edaran berupa petunjuk teknis pelaksanaan ORI
bagi daerah yang memiliki status KLB. Salah satu ketentuan
pelaksanaan ORI yang diatur adalah luas wilayah sekurang-kurangnya
satu kecamatan di lokasi kasus difteri.
Kementerian Kesehatan RI melaksanakan outbreak response
immunization (ORI) gelombang kedua yang merupakan imunisasi
terhadap wabah Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri pada Januari 2018.
Sebelumnya, Kemenkes sudah melakukan ORI di bulan Desember
2017. Selanjutnya putaran ketiga akan dilanjutkan enam bulan
kemudian.
Berdasarkan surat edaran dari Kementerian Kesehatan RI,
kelompok sasaran ORI sesuai kajian epidemiologi yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat setelah melakukan
konsultasi teknis ke Pusat (Subdit Imunisasi, Ditjen P2P) yaitu dengan
luas wilayah sekurang-kurangnya satu kecamatan di lokasi kasus
difteri. Sedangkan menurut buku petunjuk teknis pelaksanaan
imunisasi dan surveilans dalam rangka penanggulangan KLB difteri

11
(2013) disebutkan bahwa pemberian imunisasi difteri dilaksanakan
pada wilayah desa/ kelurahan yang mengalami KLB difteri.
Tidak ada dana khusus dari pemerintah pusat untuk
pelaksanaan kegiatan ORI, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
hanya menerima vaksin dari pusat dan memberikan pada Puskesmas
yang melakukan ORI sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
Sedangkan anggaran untuk pelaksanaan kegiatan maupun untuk
petugas tidak ada. Berdasarkan surat edaran dari Kementerian
Kesehatan RI mengenai juknis pelaksanaan ORI disebutkan bahwa
biaya operasional bersumber pada APBD Provinsi / Kabupaten / Kota.
Disamping itu juga tidak ada pedoman yang dijadikan acuan bagi
petugas dalam pelaksanaan ORI.
Pengadaan vaksin dilakukan setelah sasaran kegiatan ORI
ditetapkan. Jumlah vaksin yang diajukan harus sesuai dengan sasaran
ditetapkan. Pihak puskesmas mengajukan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Apabila disetujui, maka pihak puskesmas langsung
meminta alokasi vaksin ke instalasi farmasi (IF) Kota Semarang.
Pengadaan vaksin disesuaikan dengan jadwal pelaksanaan kegiatan
ORI agar kualitas vaksin terjaga. Dalam buku petunjuk teknis
pelaksanaan imunisasi dan surveilans dalam rangka penanggulangan
KLB difteri (2013) disebutkan vaksin dan logistic yang diterima Dinas
Kesehatan Provinsi didistribusikan dengan cara diambil oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Begitu juga dengan pendistribusian ke
Puskesmas dilakukan dengan cara diambil oleh petugas Puskesmas
dengan cara seperti pendistribusian logistik dapat dilakukan dalam
waktu yang singkat.

12
2. Jurnal Internasional
Aktivitas Klinis dan Tolerabilitas SL-401 (Tagraxofusp):
Rekombinan Diphtheria Toxin dan Interleukin-3 dalam Keganasan
Hematologis
Aktivitas klinis dan tolerabilitas SL-401 (Tagraxofusp):
Rekombinan Diphtheria Toxin dan Interleukin-3 dalam keganasan
hematologis menurut (Alkharabsheh & Frankel, 2019) yaitu mengatasi
resistensi sel batang leukemia terhadap kemoterapi intensif telah
menjadi bidang penelitian ekstensif selama dua dekade terakhir.
Kemajuan dan pemahaman yang lebih besar tentang biologi molekuler
sel-sel batang leukemia sedang dalam kemajuan pesat. Terapi yang
ditargetkan saat ini sedang digunakan dalam praktek klinis dengan
tingkat respons yang wajar, tetapi penyembuhan sedang dicapai
hanya dalam persentase kecil pasien, kemungkinan besar karena
heterogenitas mutasi tumor. Toksin difteri yang direkayasa secara
genetika menyatu dengan interleukin-3 (SL-401 atau tagraxofusp)
telah menunjukkan aktivitas yang kuat dalam neoplasma sel dendritik
plasmacytoid blast dan tingkat respons yang menjanjikan pada
keganasan myeloid yang berbeda, termasuk pemberantasan penyakit
residu minimal. Beberapa uji klinis sedang dilakukan dengan
menggunakan obat ini dan hasil awal sangat menggembirakan.
Hematopoiesis adalah proses kompleks dengan banyak faktor,
dilakukan untuk menghindari produksi klon dan sel batang leukemia.
Interleukin 3 (IL-3) adalah salah satu faktor pertumbuhan dan sitokin
yang berpartisipasi dalam proses ini pada tingkat garis keturunan
granulocytic dan monocytic. Ekspresi reseptor interleukin 3 (IL-3R)
dimulai pada CD34+ sel hematopoietik dan dipertahankan selama
semua tahap perkembangan untuk granulosit dan prekursor monosit.

13
Beberapa peneliti telah menargetkan reseptor ini untuk pengobatan
berbagai jenis leukemia myeloid. Baru-baru ini, percobaan telah
menggunakan teknologi sel T reseptor antigen chimeric untuk
menargetkan CD123 di limfoma Hodgkin dalam upaya untuk
mengatasi lingkungan mikro yang tertekan kekebalannya dan
memungkinkan limfosit T pasien untuk menyerang sel tumor. Struktur
IL-3R terdiri dari subunit α, yang merupakan tempat perlekatan ligan
dan mewakili spesifisitas reseptor, dan subunit β, yang dibagi dengan
faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag dan penting untuk
transduksi sinyal, internalisasi kompleks reseptor ligan, dan aktivasi
melalui fosforilasi jalur Ras.
Perkembangan antibodi monoklonal dan sitokin adalah kemajuan
besar dalam pengobatan kanker karena kemampuan mereka untuk
memberikan terapi kanker, seperti obat sitotoksik, isotop, dan racun.
Racun adalah agen pro-apoptosis yang kuat, dan mereka mencapai
efek selulernya dengan berbagai jalur. Salah satunya adalah dengan
mematikan sintesis protein. Setelah penghapusan domain pengikat
alami dari racun, mereka terkonjugasi menjadi antibodi monoklonal
atau sitokin sebagai ligan mereka. Salah satu toksin yang telah
digunakan dalam terapi kanker adalah toksin difteri, yang merupakan
eksotoksin yang dikeluarkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Racun
ini menghambat sintesis protein dalam inang, yang merupakan
patofisiologi yang mendasari infeksi difteri. Sebelumnya, toksin difteri
direkayasa untuk menargetkan interleukin-2 dan disetujui oleh Food
and Drug Administration (FDA) pada tahun 2002 untuk pengobatan
limfoma sel T kulit [13]. Namun, karena efek sampingnya, pemasaran
obat ini dihentikan oleh produsen.

14
Toksin Difteri terdiri dari tiga domain dan beberapa elemen
penghubung, yaitu domain pengikatan C terminus, domain katalitik N
terminus, dan domain translokasi. IL-3 adalah sitokin yang
mempromosikan diferensiasi sel induk hematopoietik menjadi berbagai
sel myeloid. IL-3R terdiri dari dua subunit (α dan β). Subunit α (CD123)
langsung berikatan dengan IL-3, sedangkan subunit β (CDw131)
berfungsi sebagai subunit pensinyalan. Idenya adalah untuk
menghapus domain pengikatan toksin difteri dan menggantinya
dengan IL-3 untuk menargetkan sel-sel induk leukemia yang
mengekspresikan CD123 dan CDw131 dengan menghambat sintesis
protein intraseluler dan karenanya menginduksi kematian sel.
Kombinasi (toksin difteri dan IL 3) bernama SL-401 (tagraxofusp)
dan telah mencapai tahap II uji klinis, dengan aktivitas yang kuat di
plasmasitoid neoplasma blastic dendritik sel (BPDCN) dan keganasan
hematologi lainnya. Selanjutnya, FDA menyetujui obat ini pada
Desember 2018 untuk BPDCN dewasa dan anak-anak. Dalam hal ini,
peneliti melaporkan data praklinis dan menggambarkan uji klinis untuk
SL-401 dan aktivitasnya dalam berbagai keganasan myeloid.
Dalam hal ini, terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan, yaitu:
a. Data praklinis dan Eksperimen
Sebelumnya, para peneliti menyatukan toksin difteri
terpotong dengan GM-CSF menggunakan linker-Nya. Namun,
karena profil toksisitas dan efek samping hati, mereka memutuskan
untuk mengeksplorasi faktor pertumbuhan yang berbeda. Level IL
Ekspresi -3R diperiksa oleh Testa dan rekan dan mereka
menunjukkan tingkat rantai IL-3R α yang lebih tinggi dalam sel
batang leukemia (LSC) dan ekspresi rendah pada sel induk

15
hematopoietik normal, yang membuatnya menjadi penanda untuk
LSC dan target untuk pengobatan. Menggunakan rekayasa
genetika, 388 ami pertama tidak ada residu asam dari toksin difteri
yang menyatu dengan interleukin 3 melalui HM linker (DT388IL3).
Mekanisme aksi dimulai ketika ligan melekat pada subunit α-3R
(CD123). Bersamaan dengan pengikatan pada subunit IL-3R β, ini
akan memicu endositosis yang dimediasi reseptor ke dalam vesikel
yang akan mengantarkan toksin difteri ke endosom di mana ia
dibelah oleh furin untuk menghasilkan fragmen A dan B dari toksin.
Lingkungan asam dari endosom sebagian akan membuka ketiga
domain toksin untuk memfasilitasi pelepasan fragmen A yang
mengandung domain katalitik ke dalam sitosol. Akhirnya, domain
katalitik akan ADP-ribosilat faktor perpanjangan 2, yang akan
menyebabkan penghambatan sintesis protein dan kematian sel.
Selain itu, beberapa penelitian pada hewan mengkonfirmasi
kemanjuran in vivo dari toksin difteri yang direkayasa dan
memberikan informasi lebih lanjut tentang dosis yang sesuai dan
kesiapannya untuk uji klinis manusia pertama.
b. Uji Klinis dan Uji coba
Pertama pada manusia dilakukan pada pertemuan tahunan
American Society of Clinical Oncology (ASCO) pada tahun 2006.
Temuan awal menunjukkan toksisitas yang dapat dikelola pada
pasien usia lanjut dengan leukemia myeloid akut (AML) atau pada
mereka dengan penyakit relaps atau refrakter. Penelitian ini
termasuk 31 pasien yang menerima satu siklus SL-401. Temuan
menunjukkan toksisitas ringan dan aktivitas biologis yang
menjanjikan. Di antara pasien yang menjalani evaluasi untuk
respons, 78% memiliki respons objektif, termasuk 55% CR setelah

16
siklus pertama. Karena sifat obat, ada pertanyaan tentang apakah
antibodi berkembang karena vaksinasi difteri sebelumnya selama
masa kanak-kanak atau apakah obat yang diinfuskan itu sendiri
dapat memicu perkembangan antibodi yang mungkin
menonaktifkan SL-401. Para peneliti memeriksa teori ini dan
melaporkan bahwa titer pretreatment positif akibat vaksinasi
sebelumnya. Evaluasi berulang setelah terapi menunjukkan
peningkatan titer; Namun, ini tidak mempengaruhi kejadian
toksisitas, farmakokinetik, atau tingkat respons klinis.
Bukti saat ini dari uji klinis awal menunjukkan bahwa efek
samping dapat ditoleransi dan dikelola. Selain itu, aktivitas klinis
terlihat pada tumor yang mengekspresikan CD123, terutama
BPDCN. Baru-baru ini, para peneliti menunjukkan data yang kuat
pada pertemuan tahunan American Society of Hematology pada
bulan Desember 2017 untuk percobaan fase II dari agen tunggal
SL-401 di BPDCN, dengan tingkat respons keseluruhan 84%.
Selain itu, dua abstrak dipresentasikan pada pertemuan tahunan
European Society of Hematology pada Juni 2018. Yang pertama
menggambarkan leukemia myelomonocytic kronis, dan semua
pasien menunjukkan respons penurunan limpa, sementara 12,5%
menunjukkan sumsum tulang belakang CR. Abstrak kedua
menggambarkan myelofibrosis primer, dan 50% pasien
menunjukkan respons limpa. Singkatnya, hasil uji coba SL-401
menunjukkan tidak ada efek samping yang serius, tidak seperti
bentuk lain dari imunoterapi, dan aktivitas klinis dalam berbagai
keganasan hematologis, paling efektif di BPDCN. Di masa depan,
kita mungkin akan melihat hasil yang lebih positif dari uji coba fase
III.

17
c. Efek Samping dan Tolerabilitas
Untuk mengulasnya secara rinci, ini adalah protein
rekombinan dari toksin difteri yang terkonjugasi dengan IL-3 untuk
menginternalisasi toksin di dalam sel tumor. Berdasarkan sifat
agen ini, beberapa bentuk reaksi imun atau infus akan diharapkan.
Efek samping paling serius yang dilaporkan dalam uji klinis
manusia adalah sindrom kebocoran kapiler (CLS), yang
sebelumnya disebut VLS, yang dimanifestasikan oleh edema,
hipoalbuminemia, hipotensi, dan kelelahan. Ini dilaporkan sebagai
kelas ≤3; namun, tiga kasus CLS fatal dilaporkan dalam uji coba.
Efek samping lain yang signifikan dilaporkan sampai tingkat
4, termasuk trombositopenia. Namun, itu reversibel dan tidak
terkait dengan kejadian perdarahan besar. Selain itu, neutropenia
tingkat kurang dari 3 dilaporkan. Pasien dengan keganasan yang
terlibat sumsum rentan terhadap sitopenia karena perluasan
penyakit dan efek samping pengobatan.
Terapi alternatif untuk kemoterapi tradisional diperlukan untuk
meningkatkan hasil, terutama pada pasien dengan keganasan
refrakter primer atau kekambuhan hematologis. Menggunakan IL-3
sebagai konjugat menawarkan keuntungan karena beberapa
keganasan hematologi mengekspresikan CD123 dan CDw131.
Oleh karena itu, memiliki target yang sangat diekspresikan pada
sel tumor akan meningkatkan kemungkinan bahwa obat tersebut
akan menunjukkan aktivitas anti-tumor dengan menginternalisasi
toksin difteri dan menginduksi apoptosis. Aktivitas yang paling
mencolok dicatat dalam BPDCN, dengan respons yang sangat baik
pada organ yang terkena, termasuk sumsum tulang, kulit, dan
kelenjar getah bening. Hasil dalam keganasan hematologi lainnya,

18
seperti multiple myeloma dan leukemia myelomonocytic kronis,
masih dalam uji klinis awal, dan studi ini memberikan pemahaman
yang lebih baik tentang lingkungan mikro sumsum tulang dan
peran pDC dalam perkembangan tumor dan resistensi pengobatan.
Telah dilaporkan bahwa pDC memiliki aktivitas anti-tumor melalui
produksi interferon alfa.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria yang menyebabkan timbulnya selaput
tebal pada bagian tenggorokan. Corynebacterium diphtheriae terdiri
dari 3 tipe varian, yaitu mitis, intermedius, dan gravis.
2. Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Difteria berasal dari bahasa Yunani, diphtera = Kulit yang
tersembunyi. Penyakit ini mempunyai dua bentuk, yaitu tipe respirasi
yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin dan
tipe kutan yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang
nontoksigenik.
3. Patologi penyakit difteri yaitu, toksin yang terbentuk akan diabsorpsi
melewati membrane sel mukosa, menimbulkan peradangan dan
epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin,
kemudian diinfiltrasi oleh sel darah putih, keadaan ini mengakibatkan
terbentuknya patchy exuddate yang pada permulaan masih bisa
terkelupas. Pada keadaan yang lebih lanjut toksin yang diproduksi
basil ini semakin meningkat menyebabkan daerah nekrosis ini
bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan
terbentuknya membrane palsu yang terdiri atas jaringan nekrotik,
fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna abu-abu sampai
hitam.
4. Faktor risiko terjadinya difteri dibedakan menjadi empat faktor,
masing-masing merupakan faktor yang mutlak diperlukan, namun bila
sendirian tidak cukup untuk menimbulkan penyakit. Penyebab yang
selalu menimbulkan atau memulai penyakit disebut sufficient factor,

20
sedangkan penyebab yang mutlak dibutuhkan untuk terjadinya
proses penyakit disebut necessary factor.
5. Pencegahan dapat dilakukan dalam imunisasi DPT (difteria, pertusis,
dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak
usia sekolah dasar.
6. Penanggulangan peyakit difteri adalah melakukan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan mencari kasus tambahan dan kontak,
melakukan rujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan, memberikan profilaksis
pada kontak dan karier, melaksanakan Outbreak Response
Immunization (ORI) sesegera mungkin di lokasi yang terjadi KLB
Difteri, meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi rutin
Difteri (baik imunisasi dasar maupun lanjutan) agar mencapai
minimal 95%, memberikan edukasi mengenai difteri, berupa
penegakkan diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan kepada tenaga
kesehatan dan pemerintah daerah, serta bekerjasama dengan media
masa untuk melakukan edukasi pada masyarakat mengenai difteri,
memberikan edukasi kepada masyarakat untuk segera ke pelayanan
kesehatan bila ada tanda dan gejala nyeri tenggorok, serta
menggunakan masker termasuk di tempat umum bila mengalami
tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan.
7. Temuan baru mengenai penyakit difteri adalah melakukan Outbreak
Response Immunization (ORI) yang merupakan salah satu bentuk
respon yang dilakukan untuk mengatasi KLB difteri. Kementerian
Kesehatan memberikan surat edaran berupa petunjuk teknis
pelaksanaan ORI bagi daerah yang memiliki status KLB. Salah satu
ketentuan pelaksanaan ORI yang diatur adalah luas wilayah
sekurangkurangnya satu kecamatan di lokasi kasus difteri. Untuk

21
temuan kasus lainnya, yaitu mengenai aktivitas klinis dan tolerabilitas
sl-401 (tagraxofusp): rekombinan diphtheria toxin dan interleukin-3
dalam keganasan hematologis.

B. Saran
Dengan adanya karya tulis ilmiah ini, diharapkan masyarakat dapat
mengetahui lebih detail mengenai penyakit difteri beserta cara-cara
penanggulangannya.

22
SOAL LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit difteri?


a. Penyakit tidak menular pada saluran pernafasan
b. Penyakit menular pada saluran pernafasan
c. Penyakit tidak menular pada saluran pencernaan
d. Penyakit menular pada saluran pencernaan
2. Penyakit difteri disebabkan oleh?
a. Kuman atau bakteri
b. Kotoran hewan
c. Virus
d. Makanan basi
3. Bagaimana cara penularan penyakit difteri?
a. Melalui makanan yang terkontaminasi
b. Saat penderita berbicara
c. Saat penderita batuk bersin
d. Semua jawaban benar
4. Apa tanda dan gejala dari penyakit difteri?
a. Kesemutan
b. Diare
c. Sakit menelan
d. Kaki bengkak
5. Siapa saja yang dapat terkena penyakit difteri?
a. Bayi dan anak-anak saja
b. Remaja saja
c. Dewasa saja
d. Semua golongan umur
6. Bagaimana cara untuk mencegah penyakit difteri?
a. Dengan melakukan vaksinasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)

23
b. Menghindari kontak langsung dengan penderita difteri
c. Makan makanan yang bergizi dan nutrisi yang baik
d. Semua jawaban benar
7. Apa yang dapat dilakukan bila seorang kerabat, anggota keluarga,
tetangga menderita difteri?
a. Tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungan rumah
b. Dibiarkan saja
c. Melakukan pemeriksaan kesehatan diri dan anggota keluarga ke
Unit Pelayanan Kesehatan terdekat
d. Penderita difteri tidak menggunakan masker sampai sembuh
8. Virus apa yang menyebabkan penyakit difteri?
a. Corynebacterium diphteriae
b. Leptospira interrogans
c. Mycobacterium leprae
d. Ebola
9. Dibawah ini yang bukan termasuk dari 3 tipe varian corynebacterium
diphteriae yaitu?
a. Mitis
b. Intermedius
c. Gravis
d. paramiksovirus
10. Penyakit difteri banyak ditemukan pada negara-negara yang memiliki
iklim?
a. Curah hujan yang tinggi
b. Musim kemarau
c. Musim dingin
d. Musim semi

24
DAFTAR PUSTAKA

Alkharabsheh, O., & Frankel, A. E. (2019). Clinical activity and tolerability of


SL-401 (Tagraxofusp): Recombinant diphtheria toxin and interleukin-3 in
hematologic malignancies. Biomedicines, 7(1).
https://doi.org/10.3390/biomedicines7010006
Apriliani, F. P., & Mustafidah, H. (2017). Jurnal Riset Sains dan Teknologi.
Riset Sains Dan Teknologi, 1(1), 22–36.
Aull Radian, S., Suryawati, C., & Sutopo, P. J. (2018). Evaluasi Pelaksanaan
Kegiatan Outbreak Response Immunization (Ori) Difteri Di Puskesmas
Mijen Kota Semarang Tahun 2018. 6, 2356–3346.
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan. (2017). Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Difteri.
Fajriyah, I. (2014). Hubungan Pengetahuan Ibu dan Dukungan Keluarga
Dengan Status Imunisasi TD Pada Sub PIN Difteri. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 2(3), 404–415.
Kurniasih, M., Tursina, & Rismawan, T. (2017). Diagnosis Penyakit Tropis.
Journal Coding, Sistem Komputer Untan, 05(3), 64–71.
Lestari, K. S. (2012). Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Difteri Di Kabupaten Sidoarjo. FKM UI, 20.
Mardiana, D. E. (2018). The Influence of Immunization and Population
Density to Diphtheria’s Prevalence in East Java. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 6(2), 122. https://doi.org/10.20473/jbe.v6i22018.122-129
Sunarno, & Dkk. (2015). Pengembangan Metode Diagnostik Cepat
Laboratorium untuk Identifikasi Penyebab Difteri: Aplikasi PCR Multipleks
untuk Identifikasi Cepat Difteri. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan
dan Pemberantasan Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

25

Anda mungkin juga menyukai