DIFTERI
Oleh :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karuniaNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tema “Difteri”
Makalah ini bertujuan khususnya untuk memenuhi tugas keperawatan anak.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Perumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi........................................................................................................2
B. Penyebab / Etiologi.....................................................................................3
C. Patofisiologi ...............................................................................................4
D. Tanda dan gejala..........................................................................................5
E. Komplikasi..................................................................................................6
F. Pemeriksaan penunjang...............................................................................7
G. Penatalaksanan............................................................................................7
H. Pengkajian keperawatan..............................................................................11
I. Diagnose keperwatan..................................................................................13
J. Rencana keperawatan..................................................................................13
BAB III KASUS
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................14
B. Saran ..........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium
diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan
laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar
oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada
daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk ditingkat sanitasi
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit,
sehingga kita perlu menjaga kebersihan lingkungan. Difteri termasuk penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Adapun tujuan program imunisasi
adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi. Amerika Serikat misalnya, ada 52 kasus difteri dilaporkan
antara tahun 1980 dan 2000; antara tahun 2000 dan 2007 hanya ada tiga kasus
sebagai DPT (Difteri-Pertusis''-Tetanus'') vaksin direkomendasikan untuk
semua usia sekolah- anak-anak. Booster vaksin yang dianjurkan untuk orang
dewasa karena manfaat dari penurunan vaksin dengan usia tanpa konstan
pajanan ulang, mereka sangat direkomendasikan untuk mereka yang bepergian
ke daerah di mana penyakit belum diberantas.
4
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi defteri
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi difteri
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala difteri
4. Mahasiswa mampu menjelaskan komlikaasi difteri
5. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan difteri
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan difteri
2. Apa saja kelasifikasi difteri
3. Apa penyebab dari difteri
4. Bagaimana tanda dan gejala anak yang mengalami difteri
5. Bagaimana patofisiologi difteri
6. Apa saja penatalaksanaan pada difteri.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi
secara local pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan olah
basil gram positif corynebacterium diphteria,ditandai oleh terbentuknya
eksudat yang berbentuk membran pada tempat nfeksi,dan diikuti gejala-gejala
umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
(Sudoyo Aru,dkk 2009).
Difteri merupakan penyakit infeksi yang meyerang pada saluran napas bagian
atas yang disebapkan oleh karena kuman corynebacterium diphtheria yang
bersifat gram positip,polimorf,dan tidak membentuk spora.penyakit ini mudah
menyerang anak-anak melalui udara atau pada alat yang terkontaminaasi.
(A.Aziz Alimun Hidayat,2006)
B. Etiologi
6
5. Difteri konjungtifa
6. Difteri kulit
7. Difteri Vulva/ vagina
C. Patofisiologi
Kuman C. Diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah (IDAI, 2012).
Pseudomembran timbul local kemudian menjalar dari faring, tonsil, laring,
dan saluran napas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak
dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer
sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan (Ngastiyah, 2005).
Setelah 2-4 hari masa, toksin difteria mula-mula menempel pada membran
sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk,
mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses: NAD + EF2
(aktif) toksin ADP – ribosil – EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi
7
inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
pendarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan (IDAI, 2012).
Adanya pseudomembran dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain
sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia
sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.
Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin lokal awal.
Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal,
trombositopenia, miokardiopati, dan dieliminasi saraf. Karena dua komplikasi
terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah infeksi mukokutan, mekanisme
patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara imunologik
(Kliegman & Nelson, 1999). Toksin juga dapat menimbulkan nefritis
interstitialis yang disebabkan oleh nekrosis pada hati dan ginjal. Kematian
pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan
napas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena
terjadi miokarditis, atau gagal napas akibat terjadinya bronkopneumonia
(Ngastiyah, 2005).
Komplikasi miokarditis biasanya timbul 10 – 14 hari setelah terjadinya
infeksi, dan dapat pula pada akhir minggu pertama atau minggu keenam.
Sedangkan system saraf berupa neuritis perifer biasanya timbul 3 -7 minggu
setelah perjalanan penyakit. Perubahan patologis yang ditemukan pada
jaringan organ adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin. Pada system saraf
dapat ditemukan adanya degenerasi lemak dari sarung myelin. Pada hati dapat
terjadi nekrosis sehingga dapat terjadi hipoglikemia. Pada ginjal dapat terjadi
nekrosis tubular akut (Rampengan, 2007).
8
PATHWAY
9
E. Komplikasi
1. Kerusakan saraf toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masala
sulit menelan,masalah saluran kemiih,serta pembekakan saraf tangan dan
kaki
2. Kelumpuhan diagfraagma adalah otot berbentuk kubah tebal yang
memisahkan dada dan perut.
3. Masalah pernafasan sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi
bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat
pernafasan .
4. Miokarditis(kerusakan jantung)adalah kondisi jantung,yang melibatkan
peradangan pada otot jantung,dalam hal ini di sebabkan oleh toksin difteri
5. Difteri hipertoksik komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah.
F. Pemeriksaan penunjang
Bakteriologik. Preparat asupan kuman difteri dari bahan asupan mukosa
hidung dan tenggorakan (Nasofaringeal swab)
1. Darah rutin: Hb,leukosit,hitung jenis,eritrosit,albumin
2. Urin lengkap: aspek,protein dan sedimen
3. Enzim CPK,segara saat masuk RS
4. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
5. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x
seminggu,kecuali bila ada indikasi bisa dilakukan 2-3x seminggu
6. Pemeriksaan radiografi toraks untuk mengecek adanya hiperinflasi
7. Tes schick
10
bila perlu sonde lang jika ada kesukaran menelan(terutama pada paralisis
palatum molle dan otot-otot faring
3. Pastikan kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu
defekasi (klisma,laksansia,stool softener) untuk mencegah pengedan
berlebihan
4. Bila anak gelisah beri sedative berupa deazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk(difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodik terutama untuk difteri larin
7. Bila ada tanda-tanda obsruksi jalan nafas segera berikan Oksigen atau
trakeostomi
Tindakan fisik
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasarkan atas luasnya membran dan beratnya
penyakit.
Dosis 40.000 IU untuk difter sedang, yakni luas membran menutupi
sebagian/seluruhTonsin secara unilateral/bilateral. Dosis 80.000 IU untuk
difteri berat. Yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil,
meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring. Dosisi 120.000 IU
untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring
dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus
lanjut.SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui IV dengan cara
melarutkannya dalam 200 cc NaCL 0,95%. Pemberian selesai dalam
waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit)
4. Antibiotik
Penicilin prokain diberikan 100.000 IU/KgBB selama 10 hari, maksimal
3gram/hari. Eritromisin (bila alergi PP) 50 MG/KG BB secara oral 3-4
kali/hari selama 10 hari
11
5. Kortikosteroid
Diindikasikan pada difteri berat dan sangat berat (membran luas,
komplikasi bull neck). Dapat diberikan prednison 2 mm/kgBB/hari secara
IV (terutama untuk toksemia).
Discharge Planning
1. Vaksin DPT
2. Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan
3. Tingkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan yang
mengandung nutrisi seimbang
berolah raga dan cukup istirahat serta mengurangi stress
4.Mengetahui gejala dan bahaya yang disebabkn difteri
I. Pengkajian
Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering
dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).
Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan
bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak
pada tenggorokan /leher.
Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
Pemeriksaan fisik
Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh >
38,9° C, terdapat pseudomembran pada tonsil dan
dinding faring, serta bullnek.
Pada difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk
kering, sementara pada obstruksi laring yang besar
terdapat retraksi supra sterna, sub costal, dan supra
clavicular.
Pada difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung
yang serosauinus sampai mukopurulen dan membrane
putih pada septum nasi.
12
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan diagnosis pasti diperlukan sediaan langsung
dengan kultur dan pemeriksaan toksigenitas.
I. Rencana Keperawatan
13
berkurang pernapasan klien
2. Tidak ada (bunyi
retraksi dada napas,kecepatan,da
3. RR : 15-30 n irama napas
x /menit pasien)
4. Penurunan 5. Kolaborasi dengan
produksi dokter pemberian
sputum obat bronkodilator
5. Tidak sianosis dan mukolitik.
6. Batuk efektif 6. Bersihkan secret
dari saluran
pernapasan dengan
suction bila perlu
2. Ketidakseimbangan SLKI SIKI
nutrisi kurang dari Setelah diberikan 1. Berikan kalori
kebutuhan tubuh askep selama sesuai kebutuhan
berhubungan 3x24 jam nutrisi.
dengan penurunan diharapkan 2. Kaji BB klien.
intake makanan. kebutuhan nutrisi 3. Monitor turgor
pasien terpenuhi kulit.
dengan criteria 4. Monitor kalori dan
hasil : intake nutrisi.
1. Adanya 5. Monitor nafsu
peningkatan makan klien.
berat badan 6. Monitor
sesuai tujuan. pertumbuhan dan
2. Nafsu makan perkembangan.
pasien 7. Kolaborasi dengan
meningkat. ahli gizi untuk
3. Berat badan menentukan jumlah
ideal sesuai kalori dan nutrisi
14
tinggi badan. yang diperlukan
4. Tidak terjadi klien.
penurunan
berat badan
yang berarti.
5. Mampu
mengidentifik
asi kebutuhan
nutrisi.
6. Kolaborasi
dengan ahli
gizi untuk
pemberian
makanan yang
tepat
7. Turgor kulit
elastic
3. Kurang SLKI SIKI
pengetahuan Setelah diberikan 1. Jelaskan kepada
berhubungan askep 1x60 menit klien dan keluarga
dengan tidak diharapkan klien tentang gejala,
mengetahui sumber dan keluarganya pengobatan, proses
informasi. dapat memahami penyakit,cara
tentang penanganan,
penyakitnya tentang penyakit
dengan criteria yang dialami klien.
hasil : 2. Sediakan sumber
1. Pasien dan informasi yang
keluaraga tepat tentang
menyatakan kondisi pasien
paham tentang 3. Instruksikan pasien
15
penyakit yang mengenai tanda
dideritanya, dan gejala yang
kondisi terjadi untuk
prognosis, dan dilaporkan pada
program perawat
pengobatan.
2. Pasien dan
klien mampu
melakukan
prosedur yang
dijelaskan
dengan benar.
3. Pasien dan
klien mampu
menjelaskan
kembali apa
yang telah
dijelaskan
oleh perawat
atau tim
kesehatan
yang lainnya.
4 Hipertermi SLKI SIKI
berhubungan Setelah diberikan 1. Monitor suhu
dengan proses askep 2x24 jam pasien
penyakit diharapkan suhu 2. Monitor warna
badan klien ada kulit pasien
dalam rentang 3. Monitor WBC, dan
normal dengan Hb pasien
criteria hasil : 4. Kompres pasien
1. Suhu pada lipat paha dan
16
badan aksila
pasien 5. Kolaborasi
dalam pemberian
rentang antibiotic sesuai
normal indikasi dokter
yaitu 36-
38⁰ C
2. Badan
pasien
sudah
tidak
hangat lagi
3. Warna
kulit
pasien
normal,yai
tu tidak
kemerahan
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19