Anda di halaman 1dari 28

PENGARUH PENYAKIT DIFTERI YANG

MEWABAH DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan


Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah
Bahasa Indonesia

Oleh:

AURA INTAN BAIZURAH


NIM : 2114401002

PROGRAM STUDI DIPLOMA III – KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN (AKPER)
MUHAMMADIYAH BIREUEN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, atas segala
Rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “PENGARUH PENYAKIT DIFTERI YANG MEWABAH DI
INDONESIA”. Tak lupa shalawat serta salam penulis hadiahkan kepada Baginda
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari Alam Jahiliyah ke Alam
Islamiah, serta kepada sekalian keluarga dan sahabat Rasulullah yang ikut berjuang
menegakkan agama islam dimuka bumi ini.

Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Bahasa Indonesia, Ibu
Maisura, S.Pd, M.Pd yang sangat membantu dan membimbing penulis dalam
mencurahkan pemikiran-pemikiran agar dapat tersusunnya makalah ini sedemikian
rupa.

Penulis sadar bahwasanya makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis sangat menghargai dan mengharapkan
kritikan serta saran dari semua pihak pembaca guna untuk memperbaikinya
dikemudian hari agar jauh lebih baik lagi. Demikian yang dapat penulis sampaikan,
semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan memperluas wawasan
bagi kita semua. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Bireuen, 20 Desember 2021

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan................................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 5
A. Pengertian Difteri.................................................................................. 5
B. Etiologi Difteri...................................................................................... 6
C. Patofisiologi Difteri.............................................................................. 8
D. Klasifikasi Penyakit Difteri.................................................................. 9
E. Tanda Dan Gejala Difteri......................................................................12
F. Pengobatan Penyakit Difteri..................................................................13
G. Pengaruh Penyakit Difteri di Indonesia................................................15

BAB III PENUTUPAN............................................................................................19


A. Kesimpulan...........................................................................................19
B. Kritik dan Saran....................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran Mikroskopis Corynebacterium Diphtheria dengan


Pewarnaan Gram................................................................................ 5
Gambar 2.2 Gambar Penyakit Difteri Yang Menyerang
Hidung.................................................................................................10

Gambar 2.3 Gambar Penyakit Difteri Yang Sudah Menyebar


Ke Mulut ............................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit, atau jamur, dan dapat berpindah ke
orang yang sehat. Beberapa penyakit menular yang umum di Indonesia dapat dicegah
melalui pemberian vaksinasi serta pola hidup bersih dan sehat. Penyakit menular
dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung
terjadi ketika kuman pada orang yang sakit berpindah melalui kontak fisik, misalnya
lewat sentuhan dan ciuman, melalui udara saat bersin dan batuk, atau melalui kontak
dengan cairan tubuh seperti urine dan darah. Orang yang menularkannya bisa saja
tidak memperlihatkan gejala dan tidak tampak seperti orang sakit, apabila dia hanya
sebagai pembawa (carrier) penyakit.

Sebagai penduduk yang tinggal di area tropis ada beberapa penyakit menular
yang sering dialami oleh orang Indonesia. Beberapa penyakit menular ini dapat
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, dan parasit. Berikut adalah 5 daftar penyakit
menular tersebut adalah Infeksi Saluran Akut (ISPA), Diare, Tuberkulosis, Demam
berdarah dan difteri. Salah satu dari 5 (lima) penyakit di atas yang belum banyak
orang ketahui dan sangat berbahaya yaitu penyakit difteri. Difteri adalah salah satu
penyakit yang sangat menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diptheriae strain toksigenik. Manusia adalah satu-satunya
reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan
ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak erat langsung di
kulit. “Apabila tidak diobati dan kasus tidak mempunyai kekebalan imun tubuh,
maka akan mencapai angka kematian sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka
kematiannya sekitar 10% (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable

1
2

Diseases, 2017)”. “Angka kematian Difteri rata-rata 5 – 10% pada anak usia kurang
5 tahun dan 20% pada dewasa diatas 40 tahun (CDC Atlanta, 2016)”.

Pengobatan penyakit difteri harus dilakukan sesegera mungkin setelah timbul


gejala untuk menghindari komplikasi dan kematian. Pengobatan berupa antibiotik
untuk membunuh kuman dan memberikan anti difteri serum (ADS) untuk
menetralisir exotoxin dari kuman difteri. Menurut Kemenkes RI pada tahun 2019
penyakit menular masih menjadi perhatian pemerintah dengan jumlah kasus yang
besar dan salah satu penyakit menular yang masih menjadi sorotan adalah difteri.
Selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi,
dengan jumlah sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus. Vaksinasi
masih terhambat isu haram-halal dan masyarkat masih takut dan mengira vaksinasi
tersebut memiliki efek samping yaitu menjadikan anaknya autisme sampai kematian.

Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam penyakit yang dapat


dicegah dengan imunisasi (PD3I) antara lain TBC, difteri, tetanus, hepatitis tipe B,
pertusis, campak, polio, radang selaput otak, dan radang paru-paru. Imunisasi
merupakan salah satu intervensi (perencanaan) kesehatan yang terbukti paling cost
effective (murah), karena dapat mencegah dan mengurangi kejadian kesakitan,
kecacatan, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian tiap
tahunnya. Sasaran program ini adalah bayi usia 2-12 bulan untuk vaksin Difteri
Pertusis Tetanus (DPT) sebagai imunisasi dasar, pada anak usia 6-7 tahun untuk
pemberian booster Difteri Toksoid (DT).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik
beberapa rumusan permasalah antara lain ialah:
1) Apa itu penyakit Difteri?
2) Bagaimana etiologi dari penyakit Difteri?
3) Bagaimana patofisiologi Difteri?
3

4) Apakah Difteri memiliki klasifikasi?


5) Bagaimanakah tanda-tanda dan gejala seseorang terserang penyakit Difteri?
6) Bagaimana cara mengobati penyakit Difteri?
7) Apa pengaruh penyakit Difteri di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
diantaranya ialah:
1) Agar mengetahui apa itu penyakit Difteri
2) Agar mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit Difteri
3) Agar memahami bagaimana patofisiologi Difteri
4) Untuk mengenal klasifikasi dari Penyakit Difteri
5) Untuk mengetahui tanda-tanda serta gejala dari penyakit Difteri
6) Agar memahami bagaimana pengobatan yang sesuai dari penyakit Difteri
7) Untuk dapat memahami apa pengaruh dari penyakit Difteri di Indonesia

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini diantaranya ialah:
1) Manfaat Teoritis
Penulisan makalah ini diharapkan sebagai sarana pengembangan ilmu
pengetahuan dan menjadi sebuah referensi pada penulisan – penulisan selanjutnya
yang berhubungan dengan penyakit Difteri dalam ruang lingkup kesehatan, serta
dapat memberikan informasi – informasi dalam memperkaya wawasan terhadap
penyakit Difteri.

2) Manfaat Praktis
Penulisan makalah ini bermanfaat dalam rangka memenuhi salah satu syarat
tugas mata kuliah Bahasa Indonesia bagi penulis, kemudian bisa bermanfaat sebagai
sumbangan bagi mahasiswa/i untuk penulisan proposal atau makalah selanjutnya
4

dengan cara memahami apa itu penyakit Difteri yang telah mewabah di Indonesia
sejak tahun 2014.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Difteri
Virus dan bakteri memang merupakan penyebab umum yang dapat membuat
seseorang menjadi sakit. Ketika gangguan tersebut telah menginfeksi tubuh, maka
gangguannya mulai bekerja. Salah satu penyakit yang dapat terjadi dan dapat
mematikan adalah difteri. Gangguan ini telah beberapa kali menimbulkan kasus yang
besar. Penyebarannya yang terjadi melalui udara dapat mudah menular dari satu
orang ke orang lain. Disebutkan apabila penyakit ini dapat mencatatkan kasus baru
tiap bulannya, terutama pada tahun lalu. Maka dari itu, kamu harus tahu gejala dan
cara mencegah difteri agar mudah untuk diatasi.

Difteri adalah salah satu penyakit yang dapat menyebabkan ancaman serius
hingga berdampak pada kematian jika terjadi. Selain itu, selalu ada kasus yang terjadi
tiap bulannya di provinsi seluruh Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi di Sumatera
Utara hingga Oktober 2019 disebutkan 17 orang positif mengalami difteri. Dari total
angka tersebut, 3 orang di antaranya mengalami kematian. Bahkan, catatan tersebut
selalu naik tiap tahunnya meski vaksin terhadap difteri sudah tersedia.

Gambar 2.1

Gambaran Mikroskopis Corynebacterium Diphtheria dengan Pewarnaan Gram.


Sumber: Graham Heid, PHIL CDC, 1965.

5
6

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan
sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri juga termasuk
dalam penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.
Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih
keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas
ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah
berdarah apabila dilakukan pengangkatan. Diagnosis cepat harus segera dilakukan
berdasarkan gejala klinis, laboratorium (swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk
penanganan lebih awal. Tata laksana terdiri dari penggunaan antitoksin spesifik dan
eliminasi organisme penyebab. Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, miokarditis, paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar
ke paru-paru menyebabkan pneumonia. Pencegahan dengan melakukan imunisasi,
pengobatan karier, dan penggunaan APD.

Selain penyebarannya yang mudah terjadi, bakteri ini juga dapat


menimbulkan gangguan yang fatal. Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut
menghasilkan racun yang membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan. Pada akhirnya,
kumpulan sel mati tersebut dapat membentuk lapisan abu-abu pada tenggorokan.
Racun dari bakteri juga dapat menyebar ke aliran darah yang menyebabkan kerusakan
pada jantung, ginjal dan sistem saraf.

B. Etiologi Difteri
Etiologi penyakit difteri adalah infeksi bakteri gram positif, Corynobacterium
diphtheria. C. diphtheria adalah bakteri basilus, nonmotil, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Terdapat strain yang patogenik dan tidak patogenik. Kuman difteri dapat
menular melalui droplet respiratorik seperti dari batuk atau bersin atau kontak
langsung dengan sekret respiratorik, dari lesi kulit yang terinfeksi, dan dari barang-
barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri difteri. C. diphtheria bukan kuman
7

yang sangat invasif dan biasanya hanya menempati lapisan superfisial mukosa
respiratorik dan lesi kulit, dan dapat menyebabkan reaksi inflamasi ringan di jaringan
lokal. [1,4-6]

Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh C.


diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh virus
spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat
empat strain C. diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain
ini dapat memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C.
diphtheria, spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama
difteri pada kulit. C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia
dan banyak ditemukan pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan.
[1,4-6]

Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal


diperoleh pada suasana aerob. Dibandingkan dengan kuman lain yang tidak berspora,
C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan, dan pembekuan.
Namun kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan (Putri, 2018). Di alam C.
diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang
yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri (karier) (Putri, 2018).
Bakteri ini terdiri dari beberapa 11 tipe atau varian jenis yaitu tipe mitis, intermedius,
dan gravis. Sementara itu WHO sendiri menambahkan tipe belfanti
menggenapkannya menjadi 4 varian bakteri. Tipe mitis merupakan tipe yang paling
sering menimbulkan penyakit diantara tipe lainnya (FK UB, 2016).

Sementara untuk keganasannya, bakteri ini dibagi menjadi bakteri toksigenik


dan bakteri non toksigenik. Perbedaan keduanya yaitu pada strain toksigenik
terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox
(Chin, J., 2000). Tipe bakteri nontoksigenik tidak bersifat patogenik, hanya saja dapat
berubah sewaktu-waktu menjadi toksigenik bila terinduksi dengan bakteriofag. Pada
8

dasarnya produksi toksin hanya terjadi bila bakteri tersebut mengalami lisogenasi
oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin, hanya galur toksigenik
yang dapat menyebabkan penyakit gelap (Kandun, 2016). Spesies bakteri coryneform
lain yang dapat juga menimbulkan manifestasi klinis difteri yaitu Corynebacterium
ulcerans (FK UB, 2016). Strain toksigenik mampu menghasilkan toksin berupa
eksotoksin. Eksotoksin inilah yang merupakan faktor virulensi dari C. diphtheriae
(FK UB, 2016). Masa inkubasi biasanya 2-5 hari tapi dapat juga lebih lama
(Widoyono, 2011). Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status
imunisasi, dan penyebaran toksin (Kandun, 2016).

C. Patofisiologi Difteri
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membran mukosa atau
kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai menghasilkan toksin.
Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan
epitelium dan juga respon inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel
pada fibrin, sel darah merah dan putih sehingga membentuk "pseudomembran"
berwarna kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin
mencoba mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler
sehingga akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar getah bening regional
dileher membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher yang
mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll,
2017).

Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus diabsorbsi lalu
dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah satunya degenerasi
parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan kelenjar adrenal.
Terkadang akan disertai dengan 8 perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu
menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot
mata, dan ekstrimitas (Carroll, 2017).
9

Toksin terdiri atas dua macam protein, A dan B. Fragmen B berperan


membuka jalan bagi fragmen A untuk masuk ke dalam sel. Fragmen B akan
menyebabkan proses proteolisis melalui ikatan dengan reseptor pada permukaan sel
host yang rentan. Hal ini menyebabkan hancurnya lapisan membran lipid. Fragmen A
kemudian akan masuk melalui lapisan yang hancur tersebut. Fragmen ini akan
menonaktifkan faktor elongasi EF-2 pada sel yang akan menyebabkan terjadinya blok
pada sintesis protein sel yang akan berujung pada kematian sel. Proses ini
menyebabkan terbentuknya pseudomembran yang merupakan koagulasi nekrotik
yang terdiri atas fibrin, leukosit, eritrosit, sel epitel respiratorik yang mati, dan
kuman. Destruksi jaringan lokal menyebabkan toksin menyebar secara limfatik dan
hematologik menuju bagian lain tubuh, seperti miokardium, ginjal dan sistem saraf.
Strain yang bersifat nonpatogenik pada dasarnya menimbulkan infeksi yang tidak
terlalu berbahaya, tetapi semenjak program vaksinasi berkembang, telah dilaporkan
kejadian strain patogenik C. diphtheria menyebabkan penyakit yang invasif.

D. Klasifikasi Penyakit Difteri


Menurut (Hartoyo, 2018). Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut
lokasinya, sehingga penyakit difteri dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Difteri Saluran Napas


Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan
membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas.
Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang
pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi
mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Pada difteria tonsilar
dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul.
Separuh pasien memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia,
10

suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan
pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula
(bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum molle,
oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.

2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir
atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi
toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.

Gambar 2.2
Gambar Penyakit Yang Menyerang Hidung

3. Difteri Tonsil dan Faring


Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari
derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
11

kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur
dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

4. Difteri Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah 10 kali dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria
laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus
berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring
terjadi sebagai perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.

Gambar 2.3
Gambar Penyakit Difteri Yang Sudah Menjalar Ke Mulut
12

5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi non-progresif yang ditandai dengan ulkus
superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit
dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/Streptococcus dan biasanya
bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan
infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo.
Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau
kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada
sebagian kecil penderita difteria kulit.

6. Difteri Pada Tempat Lain


Bakteri Corynebacterium diphteriae dapat menyebabkan infeksi
mukokutaneus pada tempat lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan
ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis).
Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan submukosa
membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain dan virus. Difteria
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen
dan berbau.

E. Tanda Dan Gejala Difteri


Penetapan kasus salah satunya dilihat dari tanda dan gejala klinis yang muncul
hal ini karena penanganan sedini mungkin sangatlah penting untuk dilakukan. Gejala
difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Meskipun demikian, tidak
semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala. Apabila muncul gejala,
biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi
tenggorokan dan amandel penderita. Tanda dan gejala yang digunakan sebagai alat
diagnosa penyakit difteri, yaitu: sakit tenggorokan, suara serak, batuk, pilek, demam,
13

menggigil, lemas, muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah


bening, dan terdapat lapisan yang menutupi amandel.

Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin. Penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan
nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, serta infeksi
sekunder oleh bakteri lain. Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat
bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada
minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis
ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya refleks tendon dalam,
peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat
terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat
menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dan terjadi hipotensi dan gagal jantung.

F. Pengobatan Penyakit Difteri


Sumber penularan yang utama adalah penderita maupun karier difteri. Karier
merupakan orang yang terinfeksi difteri (hidung maupun tenggorok) tetapi tidak
mengalami gejala penyakit. Masa penularan difteria dari penderita adalah 2-4
minggu, jarang hingga 4 minggu (Widoyono, 2011; Kartono, 2018). Pada penderita
yang menerima pengobatan dengan antibiotik, masa menularnya hanya 1-2 hari
(Kartono, 2008). Sementara untuk karier penularaan bisa mencapai 6 bulan. Biasanya
mereka yang berada di sekitar orang yang terinfeksi difteri sangat rentan tertular
penyakit ini seperti keluarga, dekat, teman sekolah, teman bermain, tetangga, atau
rekan kerja. Penularan terjadi melalui droplet yakni ketika penderita maupun karier
batuk atau bersin (Widoyono, 2011). Selain itu, debu atau muntahan juga bisa
menjadi sumber penularan. Jarang terjadi penularan melalui peralatan yang tercemar
14

lesi pederita difteri kulit. Dikatakan pula susu yang tidak dipasteurisasi dapat
berperan sebagai media penularan difteri (Chin, J., 2000).

Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari


penularan ke pasien lainnya. Isolasi dapat dilakukan selama 48 jam sejak pemberian
antibiotik hingga tidak lagi menular (Kemenkes RI, 2017). Sementara menurut
Widoyono (2011) untuk pengobatan sendiri terdapat dua tujuan utama yaitu untuk
memulihkan pasien dari peradangan dan toksin bakteri itu sendiri. Pengobatan
tersebut diantaranya:
1) ADS (Antidiphteria Serum)
Antitoksin yang dapat mengikat toksin dalam darah. Sayangnya ADS ini tidak
mampu mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat diperoleh dari serum kuda. ADS
ini diberikan kepada suspek difteri tanpa menunggu hasil laboratorium
2) Antibiotik
Berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis.
Pengobatan jenis ini diberikan kepada suspek difteri serta kontak kasus dengan tujuan
untuk dapat menekan penularan penyakit. Untuk membunuh bakteri difteri dan
mengatasi infeksi akibat penyakit difteri tersebut, dokter akan memberikan antibiotik,
seperti penisilin atau erythromycin. Antibiotik perlu dikonsumsi sampai habis sesuai
resep dokter, guna memastikan tubuh sudah bebas dari penyakit difteri. Dua hari
setelah pemberian antibiotik, umumnya penderita sudah tidak lagi bisa menularkan
penyakit difteri. Penanganan difteri dilakukan di rumah sakit, guna mencegah
penularan difteri ke orang lain. Apabila diperlukan, dokter juga akan meresepkan
antibiotik pada keluarga pasien. Bagi pasien yang mengalami sesak napas akibat
selaput di tenggorokan yang menghalangi aliran udara, dokter THT akan melakukan
prosedur pengangkatan selaput.

Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri


yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi
15

DPT termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin
ini dilakukan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta pada usia 5 tahun. Guna
memberikan perlindungan yang optimal, vaksin sejenis DPT (Tdap atau Td) akan
diberikan pada rentang usia 10-12 tahun dan 18 tahun. Khusus untuk vaksin Td,
pemberian dilakukan setiap 10 tahun. Tak hanya pada anak-anak, vaksin difteri juga
perlu diberikan pada orang dewasa. Bagi anak-anak berusia di bawah 7 tahun yang
belum pernah mendapat imunisasi DPT atau tidak mendapat imunisasi lengkap, dapat
diberikan imunisasi kejaran sesuai jadwal yang dianjurkan dokter anak. Khusus bagi
anak-anak yang sudah berusia 7 tahun ke atas dan belum mendapat imunisasi DPT,
dapat diberikan vaksin Tdap.

G. Pengaruh Penyakit Difteri Di Indonesia


Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan
imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae
strain toksin. Kasus penyakit difteri saat ini masih menjadi kejadian luar biasa (KLB)
dan menyebabkan kematian. Penyakit difteri pada umumnya menyerang anak-anak
usia 1-10 tahun.

Jumlah kejadian difteri berdasarkan data WHO 2013 tercatat sebanyak 4.680
kasus yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia. Pada tahun
2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari
negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Pada tahun 2013
jumlah kasus difteri di Indonesia dilaporkan sebanyak 775 kasus (19% dari total
kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 kasus pada tahun 2014
(6% dari total kasus SEAR). Diantara beberapa negara ASEAN, Indonesia
menduduki posisi tertinggi jumlah kasus difteri. Pada tahun 2016 Indonesia
menduduki posisi pertama dengan 342 kasus, Myanmar di posisi kedua dengan 136
kasus dan Philipina di posisi ketiga dengan 42 kasus.
16

Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan tahun 2015 (252 kasus pada tahun 2015 dan 415 pada tahun 2016)
dengan CFR difteri yaitu sebesar 5,8 %. Pada tahun 2016 diantara 33 provinsi di
Indonesia sebanyak 20 provinsi melaporkan terdapat kasus difteri diwilayahnya. Dari
jumlah tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa
Barat yaitu 133 kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak
mendapatkan vaksinasi. Pada tahun 2017 KLB difteri kembali terjadi di Indonesia
dimana berdasarkan data Epidemiologi KLB difteri yang telah dikumpulkan
Kementerian Kesehatan selama tahun 2017, KLB difteri terjadi di 170
Kabupaten/Kota dan di 30 Provinsi, dengan jumlah sebanyak 954 kasus, dengan
kematian sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9 januari 2018),
terdapat 14 laporan kasus dari 11 Kabupeten/ Kota di 4 Provinsi (DKI, Banten, Jawa
Barat dan Lampung) dan tidak ada kasus yang meninggal.

Jika ditinjau lebih spesifik lagi, maka untuk itu penulis ingin memaparkan
sedikit tentang kejadian Provinsi Aceh yang terjangkit penyakit difteri tersebut. Di
kutip dari kuparan Merdeka.com, “Rendahnya kesadaran masyarakat memberikan
imunisasi lengkap kepada anak mengakibatkan meningkatnya kasus penderita difteri
di Aceh dari tahun ke tahun. Bahkan periode Juni tahun 2018 ini penderita difteri di
Aceh lebih tinggi dari tahun sebelumnya.”

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, penderita difteri di


Aceh tertinggi selama 7 tahun terakhir sejak 2012 lalu. Semester satu tahun 2018
telah ditemukan 143 kasus, namun belum ada pasien yang meninggal dunia. Bila
dibandingkan tahun 2017 lalu, penderita kasus difteri sepanjang tahun sebanyak 113
penderita dan 5 orang meninggal dunia. Berdasarkan data tersebut tampak jelas baru
semester satu tahun 2018 naik cukup signifikan. Serambi Mekkah menduduki
peringkat ketiga di Indonesia terjangkut difteri. Untuk peringkat pertama di Provinsi
Jawa Timur dan kedua Jawa Barat. Selama kurun waktu 7 tahun terakhir, hanya tahun
2015 kasus difteri. Pada tahun 2012 ditemukan 5 kasus dan satu meninggal dunia.
17

Pada tahun 2013 ditemukan 6 kasus dua orang meninggal dunia, tahun 2014
ditemukan 5 kasus satu orang meninggal.

"Cukup tinggi, kita peringkat ketiga di Indonesia tahun 2017 lalu penderita
difteri," kata Kepala Bidang Penanganan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh,
dr Abdul Fatah, Rabu (25/7) di Banda Aceh.

Ada 13 kabupaten yang terjangkit difteri tahun 2017 lalu, yaitu yang paling
tinggi berada di Kabupaten Aceh Timur sebanyak 18 kasus, satu orang meninggal
dunia. Lalu disusul Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Banda Aceh sebanyak 17 kasus,
satu meninggal dunia di Pidie Jaya. Lalu di Aceh Utara dan Bireuen sebanyak 13
kasus masing-masing satu orang meninggal dunia. Selanjutnya Kabupaten Pidie 12
kasus, Aceh Besar 9 kasus, Lhokseumawe 5 kasus, seorang meninggal dunia, Aceh
Barat 4 kasus. Sedangkan kabupaten lainnya Kota Sabang hanya 2 kasus, Kabupaten
Aceh Selatan, Aceh Tamiang dan Aceh Singkil hanya satu kasus selama tahun 2017.

Mirisnya pada tahun 2018 jumlah daerah yang terjangkit difteri pada semester
pertama bertambah menjadi 18 kabupaten/kota. Kota Banda Aceh yang berada di
pusat ibu kota Provinsi Aceh dan Kabupaten Besar yang bertetanggaan merupakan
daerah tertinggi terjangkit difteri. Hingga Juni 2018 sudah ditemukan 24 kasus difteri.
Sedangkan, Kabupaten Pidie ditemukan 20 kasus, disusul Aceh Utara 16 kasus dan
Aceh Jaya, Bireuen dan Aceh Barat 7 kasus. Setelah itu Aceh Tengah dan
Lhokseumawe 6 kasus, Aceh Timur 5 kasus, Sabang, Nagan Raya dan Pidie Jaya 4
kasus. Kemudian, yang paling rendah terjangkit difteri dari 18 daerah yang terjangkit
dari 23 kabupaten/kota berada di Kabupaten Aceh Tamiang 3 kasus, Kota Langsa dan
Bener Meriah 2 kasus dan Aceh Singkil dan Kota Subussalam 1 kasus.

"Alhamdulillah tahun 2018 belum ada yang meninggal dunia," jelasnya.

Rata-rata kelompok umur yang paling rentan terjangkit virus difteri pada usia
14 tahun sebanyak 40 persen. Usia 5-9 tahun sebanyak 29 persen, usia 10-14 tahun 25
persen, 1-4 tahun 5 persen dan 1 tahun hanya 1 persen. Menurut dr Abdul Fatah,
18

siapapun berpotensi terjangkit difteri, karena dalam tubuh manusia memang sudah
memiliki embreo itu. Namun yang membuat bisa bertahan dan terhindar dari penyakit
berbahaya itu adalah dengan cara melakukan imunisasi yang lengkap sejak kecil.

"Siapapun bisa terjangkit, tidak mengenal usia, siapapun yang tidak memberikan
imunisasi pada anak, tetap rentan," ungkapnya.

Data dari Dinkes Aceh pada tahun 2017 lalu menunjukkan, sebanyak 94
persen yang menderita difteri tidak pernah mendapatkan imunisasi apapun pada anak.
Sisanya 5 persen hanya pernah mendapatkan imunisasi sebanyak 3 kali dan 1 persen
pernah imunisasi 1 kali.

"Jadi imunisasi itu harus lengkap dan terus dilakukan secara periodik sesuai arahan
pihak terkait, ini untuk menjamin ketahanan tubuh anak terjamin," tukasnya.

Kata dr Abdul Fatah, pada tahun 2018 ini kasus difteri yang terjadi di Aceh
masih disebabkan minimnya kesadaran masyarakat memberikan imunisasi lengkap
pada anak. Bahkan berdasarkan data terbaru, 77 persen yang terjangkit difteri karena
tidak ada imunisasi. Oleh sebab itu, pencegahan melalui pemberian imunisasi saat
dini itu merupakan suatu hal yang penting tapi sering di abaikan dan dianggap hal
yang sepele di masyarakat. Sangat disayangkan jika banyak dari warga negara
Indonesia tercatat sebagai negara yang minimnya perhatian dari orang tua terhadap
kesehatan anaknya, karena aktivitas dari orang tua yang sibuk sehingga melupakan
kewajiban sebagai pengontrol kesehatan anaknya merupakan hal yang sangat miris
sekali. Oleh karena itu penyakit difteri sangatlah mempengaruhi keadaan Indonesia,
lebih – lebih lagi difteri lebih aktif menyerang anak di usia dini dan mendominasi
menyerang tenggorokan anak – anak. Kesadaran dari lingkungan keluarga
merupakan hal yang utama sekali, karena jika tidak dikontrol mulai dari lingkungan
yang paling kecil ditakutkan akan naiknya persentase anak – anak yang terserang
penyakit difteri.
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit, atau jamur, dan dapat berpindah ke
orang yang sehat. Beberapa penyakit menular yang umum di Indonesia dapat dicegah
melalui pemberian vaksinasi serta pola hidup bersih dan sehat. Penyakit menular
dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Virus dan bakteri memang
merupakan penyebab umum yang dapat membuat seseorang menjadi sakit. Ketika
gangguan tersebut telah menginfeksi tubuh, maka gangguannya mulai bekerja. Salah
satu penyakit yang dapat terjadi dan dapat mematikan adalah difteri.

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan
sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, atau rongga hidung. Difteri juga termasuk dalam
penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.
Diagnosis cepat harus segera dilakukan berdasarkan gejala klinis, laboratorium (swab
tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan lebih awal. Tata laksana terdiri dari
penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme penyebab. Komplikasi dari
difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis, paralisis otot palatum,
otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan pneumonia.
Pencegahan dengan melakukan imunisasi, pengobatan karier, dan penggunaan APD.

Etiologi penyakit difteri adalah infeksi bakteri gram positif, Corynobacterium


diphtheria. C. diphtheria adalah bakteri basilus, nonmotil, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan
oleh C. diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh

19
20

virus spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat


empat strain C. diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain
ini dapat memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C.
diphtheria, spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama
difteri pada kulit. C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia
dan banyak ditemukan pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan.
Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunisasi, dan
penyebaran toksin.

Patofisiologi difteri sendiri berasal dari Bakteri Corynebacterium Diphtheriae


yang tumbuh di membran mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian
bakteri akan mulai menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran
mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon inflamasi
superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah dan putih
sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna kelabu yang seringnya akan
menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba mengambil pseudomembran
ini, malah akan membuka dan merusak kapiler sehingga akan terjadi perdarahan. Di
ikuti dengan kelenjar getah bening regional dileher membesar lalu kemungkinan akan
muncul edema pada bagian leher yang mengakibatkan gangguan saluran napas yang
dikenal dengan "bull neck". Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan
terus diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh salah
satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung, hati, ginjal, dan
kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan 8 perdarahan hebat. Toksin ini juga
mampu menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada paralisis palatum mole,
otot-otot mata, dan ekstrimitas.

Difteri memiliki klasifikasi sesuai dengan dimana letak lokasi tumbuhnya


penyakit difteri tersebut, Menurut (Hartoyo, 2018), klasifikasi dari penyakit tersebut
ialah difteri saluran pernafasan, difteri pada laring, difteri pada tonsil/faring, difteri
pada kulit, difteri pada hidung dan juga di difteri pada tempat yang lainnya seperti di
21

telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus
genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi,
pembentukan membran dan perdarahan submukosa membantu dalam membedakan
difteria dari penyebab bakteri lain dan virus. Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Sedangkan tanda dan gejala seseorang terjangkit penyakit difteri dapat berupa
terbentuknya lapisan tipis yang berwarna abu –abu yang menutupi tenggorokan dan
amandel penderita. Gejala difteri dapat muncul mulai dari 2 – 5 hari setelah seseorang
terinfeksi, tetapi tidak semua penderita mengalami gejala terinfeksi penyakit difteri
tersebut. Dapat ditandai dengan gejala batuk, pilek, demam, kelelahan, panas dingin,
ruam/ ulkus pada kulit, suara terasa sesak, kesusahan dalam menelan, dan munculnya
gejala berupa benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening. Risiko
orang yang mudah terinfeksi diantaranya ialah apabila seseorang hidup di area yang
padat penduduk sehingga buruknya strata kebersihannya, berada di wilayah yang
sedang mewabah difetri dan memiliki kekebalan tubuh yang rendah sehingga
mudahnya bakteri masuk ke dalam tubuh orang yang rentan terkena penyakit difteri.

Apabila seseorang yang sudah terjangkit difteri dapat disembuhkan dengan


melakukan pengobatan berupa pemberian antiracun (antitoksin) dan pemberian
antibiotik jenis penisilin dan erythromycin. Difteri tergolong kedalam penyakit serius
dan harus di atasi sesegera mungkin, bila tidak di tangani maka bakteri difteri bisa
mengeluarkan racun dan dapat merusak sejumlah organ dan dapat berpotensi
mengancam jiwa. Namun bisa bisa dicegah dengan imunisasi DPT, imunisasi DPT
merupakan pemberian vaksin pertussis dan tetanus pada orang yang rentan terjangkit.
Organ – organ yang dapat terkomplikasi diantaranya ialah jantung akibat radang otot
jantung (miokarditis), ginjal akibat terjadinya gagal ginjal, dan otak akibat tidak
adanya asupan oksigen dan dapat mengakibatkan kelumpuhan.
22

Jumlah kejadian difteri berdasarkan data WHO 2013 tercatat sebanyak 4.680
kasus yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia. Pada tahun
2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari
negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Pada tahun 2013
jumlah kasus difteri di Indonesia dilaporkan sebanyak 775 kasus (19% dari total
kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 kasus pada tahun 2014
(6% dari total kasus SEAR). Diantara beberapa negara ASEAN, Indonesia
menduduki posisi tertinggi jumlah kasus difteri. Pada tahun 2016 Indonesia
menduduki posisi pertama dengan 342 kasus, Myanmar di posisi kedua dengan 136
kasus dan Philipina di posisi ketiga dengan 42 kasus.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, penderita difteri di


Aceh tertinggi selama 7 tahun terakhir sejak 2012 lalu. Semester satu tahun 2018
telah ditemukan 143 kasus, namun belum ada pasien yang meninggal dunia. Bila
dibandingkan tahun 2017 lalu, penderita kasus difteri sepanjang tahun sebanyak 113
penderita dan 5 orang meninggal dunia. Berdasarkan data tersebut tampak jelas baru
semester satu tahun 2018 naik cukup signifikan. Serambi Mekkah menduduki
peringkat ketiga di Indonesia terjangkut difteri. Untuk peringkat pertama di Provinsi
Jawa Timur dan kedua Jawa Barat. Selama kurun waktu 7 tahun terakhir, hanya tahun
2015 kasus difteri. Pada tahun 2012 ditemukan 5 kasus dan satu meninggal dunia.
Pada tahun 2013 ditemukan 6 kasus dua orang meninggal dunia, tahun 2014
ditemukan 5 kasus satu orang meninggal.

Oleh sebab itu, pencegahan melalui pemberian imunisasi saat dini itu
merupakan suatu hal yang penting tapi sering di abaikan dan dianggap hal yang
sepele di masyarakat. Sangat disayangkan jika banyak dari warga negara Indonesia
tercatat sebagai negara yang minimnya perhatian dari orang tua terhadap kesehatan
anaknya, karena aktivitas dari orang tua yang sibuk sehingga melupakan kewajiban
sebagai pengontrol kesehatan anaknya merupakan hal yang sangat miris sekali. Oleh
karena itu penyakit difteri sangatlah mempengaruhi keadaan Indonesia, lebih – lebih
23

lagi difteri lebih aktif menyerang anak di usia dini dan mendominasi menyerang
tenggorokan anak – anak. Kesadaran dari lingkungan keluarga merupakan hal yang
utama sekali, karena jika tidak dikontrol mulai dari lingkungan yang paling kecil
ditakutkan akan naiknya persentase anak – anak yang terserang penyakit difteri.

B. Kritik dan Saran


Demikian makalah ini penulis susun sebagaimana atas dasar dukungan dan
bimbingan dalam mencurahkan ide – ide dan pemikiran yang telah tertuang
sebagaimana mestinya, semoga makalah ini dapat diambil manfaat di kalangan umum
baik dari kalangan mahasiswa/i ataupun lainnya, dan bisa menambah wawasan bagi
para pembaca sekalian. Penulis mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, kurang dimengerti dan kelugasannya,
tentunya banyak kekurangan dan kelemahan penulis dalam menuangkan isi pemikiran
dikarenakan terbatasnya materi dan referensi yang kami peroleh. Penyusun juga
sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaannya makalah ini. Semoga
makalah ini dapat diterima dengan baik dan bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Alif. 2018. Aceh jadi provinsi ketiga di Indonesia pengidap difteri terbanyak.
(https://www.merdeka.com/peristiwa/aceh-jadi-provinsi-ketiga-di-indonesia-
pengidap-difteri-terbanyak.html). Di akses, 14 Desember 2021.

dr. Rodeardo Maringga, Fredy. 2019. Etiologi Penyakit Difteri.


(https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/difteri/etiologi). Di
akses, 17 Desember 2021.

dr. Verona Handayani, Verury. 2020. Kenali Gejala dan Cara Pencegahan Difteri
yang Dapat Mematikan. (https://www.halodoc.com/artikel/kenali-gejala-dan-
cara-pencegahan-difteri-yang-dapat-mematikan). Di akses, 15 Desember
2021.

dr. Willy, Tjin. 2019. Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan.
Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya ditandai oleh
munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan dan amandel.
(https://www.alodokter.com/difteri). Di akses, 10 Desember 2021.

https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/artdesign/article/
viewFile/14443/14225

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2018/01/buku-pedoman-
pencegahan-dan-penanggulangan-difteri.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai