Anda di halaman 1dari 20

“MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN PENYAKIT DIFTERI”

untuk memenuhi tugas keperawatan medical bedah

Jenjang pendidikan DIII keperawatan

Disusun oleh:

1. Jeki Ariantono
2. Rika Lionita A
3. Sevia Ito P

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul”KAJIAN PENYAKIT DIFTERI”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah KMB 1 dan tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Mulyohadi Sungkono, SpOG (K), selaku pembina Yayasan Kendedes Malang.
2. drg. Suharwati, selaku Ketua Yayasan Kendedes Malang.
3. dr. Endah Puspitorini, MscIH., DTMPH, selaku PLH Ketua Yayasan Kendedes
Malang.
4. Dr. Edi Murwani, Amd.Keb., SPd., MMRS, selaku Ketua STIKes Kendedes
Malang.
5. Ns.Chinthia Kartikaningtyas, M.Kep, selaku ketua Program Studi Diploma III
Kebidanan STIKes Kendedes Malang.
6. Eka Yuni Indah Nurmala, SST., M.Keb, selaku Wakil Ketua I STIKes Kendedes
Malang.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Untuk itu mohon masukan yang
positif demi kesempurnaan penyusunan makalah ini. Terimakasih.

MALANG, 22 SEPTEMBER 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR..................................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................3
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................................3
1.1. Latar Belakang...........................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................................5
KONSEP TEORI.........................................................................................................................5
2.1. Definisi Difteri.............................................................................................................5
2.2. Etiologi Difteri.............................................................................................................5
2.3. Patofisiologi Difteri....................................................................................................5
2.4. Manifestasi klinik.......................................................................................................6
4.5. Klasifikasi Difteri........................................................................................................6
2.5. Komplikasi Difteri......................................................................................................8
2.6. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................8
2.8. Tindakan pencegahan.............................................................................................11
BAB III.......................................................................................................................................12
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN....................................................................................12
3.1. Pengkajian.................................................................................................................12
3.2. Diagnosa....................................................................................................................13
3.3. Intervensi Keperawatan..........................................................................................14
3.4. Evaluasi.....................................................................................................................18
BAB IV.......................................................................................................................................18
PENUTUP..................................................................................................................................18
4.1. Kesimpulan...............................................................................................................18
4.2. Saran..........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae,
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
nasofaring (bagian antara hidung dan faringa atau tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 %
kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernapasan ini.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian difteri.?
2. Bagaimana etiologi difteri.?
3. Bagaimana patofisiologi difteri?
4. Apa manifestasi klinis dari difteri.?
5. Bagaimana klasifikasi difteri.?
6. Bagaimana komplikasi difteri.?
7. Apa pemeriksaan penunjang untuk difteri ?
8. Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit difteri?
9. Bagaimana tindakan pencegahan untuk terhadap difteri?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang penyakit Difteri
2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiwa dalam menegakkan asuhan
keperawatan pada klien yang mengalami difteri

1.4. Manfaat Penulisan


1. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang tepat untuk membantu
klien yang mengalami difteri
2. Mengetahui dan memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membantu
klien yang mengalami penyakit difteri
BAB II

KONSEP TEORI

2.1. Definisi Difteri

Difteri ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium difteria. Adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa.

Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorokan dan paling sering
pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang.

Difteri adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang serig diserang adalah
saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran.

2.2. Etiologi Difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif, yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat
dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan
langsung dari lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air susu, dan
lendir yang telah mengering. Basil ini dapat membentuk:
 Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih
keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan
basil.
 Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa
jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas
terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf

2.3. Patofisiologi Difteri
Patofisiologis kuman berkembang biak pada saluran nafas atas dan dapat juga pada
vulva kulit mata walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan
melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring dan
saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung
toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan
nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan

kondisi yang fatal.

2.4. Manifestasi klinik


Gejala umum yang timbul berupa:
1. Demam tidak terlalu tinggi
2. Lesu dan lemah
3. Pucat
4. Anoreksia
Gejala khas yang menyertai:
1. Nyeri menelan
2. Sesak nafas
3. Serak
4.5. Klasifikasi Difteri
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :

1. Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur
darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga
hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau
kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan
myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul
belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome.
Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini
tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain,
bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
2. Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai
dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau,
timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak
membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai
dengan dinding belakang mulut (faring).
3. Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam
sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4. Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan  vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak
seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung
tidak terasa apa apa.

2.5. Komplikasi Difteri
Komplikasi yang bias muncul pada pasien difteria yaitu :
 Miokarditis (minggu ke-2).
 Neuritis.
 Nefritis.
 Bronkopneumonia
 Paralisis

2.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini
tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang
tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan
akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul
warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak
didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat
terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang
dalam 72 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.
Pada urin terdapat albumin ringan.
3. Pemeriksaan Diagnostik
 Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
 Pada urine terdapat albuminuria ringan.
2.7. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan
EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu
berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan
spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri :
 ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
 Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
 Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari
selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat
dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian
tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari).
Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk
mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci
tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu)
air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi
dengan desinfektan
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan
adanya  pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri
tersebut.
 Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor
inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi
otot, kedengaran stridor :
a) Berikan O2
b) Postural drainase
c) Baringkan setengah duduk.
d) Hubungi dokter.
e) Pasang infus (bila belum dipasang).
f) Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat
terjadi.
 Miokarditis
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng
akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul
pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis
hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk
mengetahui gejala miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien
harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-
turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu
dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
a) Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan
dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin
menurun (bradikardi) harus segera menghubungi dokter.  Perawatan lain
selain tanda vital dan keadaan umum :
b) Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus
sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya
komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
c) Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus
(ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh bangun).
 Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan
kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila
pasien minum air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a) Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b) Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi
sedikit.
 Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus
diperhatikan warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
 Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena
sakit menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah
agar ia mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur
encer dan berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama
sekali atau hanya sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu
dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian sesak nafas telah berkurang
sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral dan apabila anak telah mau
makan infus dihentikan. Berikan minum yang sering untuk memelihara
kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi
2.8. Tindakan pencegahan
1. Imunisasi
a. Iminisasi Primer
Anak usia 6 minggu - 6 tahun Diberikan dosis Td secara IM/ SC dengan
interval 4-6 minggu dimulai ketika anak usia 6 minggu - 2 bulan dan
dilanjutkan dengan pemberian ke-4 selama 1 tahun sesudah pemberian ke-3
preparat yang digunakan adalah Pediatric Taksoid Dipteri.
Anak usia 7 tahun / lebih Diberikan Td dengan pemberian ke-2 berselang
waktu 4-8 minggu diberikan dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang
1 tahun dengan pemberian ke-2, preparat yang digunakan adalah Adult
Taksoid Dipteria
b. Imunisasi Boster
Anak usia 6 minggu- 6 bulan apabila pemberian dosis ke-4 imunisasi primer
anak belum berumur 4 tahun maka diberikan boster ketika anak tersebut mulai
masuk TK. Anak usia 7 tahun atau lebih diberikan boster setiap 10 tahun
2. Isolasi pasien
Penderita difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaansediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium
diphtheriae 2 kali berturut-turut.
3. Pencarian orang carier difteria
dengan uji shick dan kemudian diobati. Dengan tujuan  untuk mengetahui
apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman difteri.
Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02
ml, jika positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
a. Identitas: dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sering dijumpai pada
anak (usia 1-10 tahun).
b. Keluhan utama: Biasanya pasien datang dengan keluhan kesulitan bernapas
pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan, dan bengkak pada tenggorokan/leher.
c. Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
d. Pemeriksaan fisik:
Pernapasan, sulit bernapas, produksi sputum meningkat, dspneu, pada
tenggorakan ada luka, edema mukosa, pembesaran kelenjar getah bening,
pernapasan cepat dan dangkal, penggunaan otot bantu pernapasan, terdengar
wheezing (auskultasi).
e. Nutrisi
Tidak nafsu makan, sulit menelan, turgor kulit menurun, berat badan menurun,
edema, laring, faring.
f. Aktivitas
Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang tidur, penurunan
kemampuan, beraktivitas, pusing, fatique,  insomnia.
g. Sirkulasi
Nadi meningkat (takikardi), aritmia, interaksi sosial,  merasa tergantung,
pembatasan mobilitas fisik.

Pada difteri tonsil-faring terdapat malaise, suhu tubuh lebih dari 38,9oC,terdapat
pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullneck. Pada difteri laring terdapat
stridor, suara parau, dan batuk kering, sementara pada obstruksi laring yang besar
terdapat retraksi supra sternal, subkostal, dan supra klavikula.Pada difteri hidung terdapat
pilek ringan, sekret hidung yang serosanguinus sampai mukopurulen, dan membran putih
pada septum nasi. Selain itu, difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus
yang bercampur darah.

Difteri faring dan tonsil, terlihat pembengkakan kelenjar leher. Juga akan tampak
membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan
dinding belakang mulut (faring).

Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit
dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya tetapi tidak nyeri.

3.2. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Disfungsi Neuromuskular.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
3. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolisme     meningkat, intake cairan menurun).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.

3.3. Intervensi Keperawatan


a. Pola nafas tidak efektif b/d disfungsi neruromoskular

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan


pola napas pasien kembali normal.

INTERVENSI RASIONAL
Monitor pola napas yang meliputi Mengetahui apakah ada kelainan
irama pernapasan, penggunaan otot- dalam pernapasan untuk
otot bantu napas, suara napas, dan menentukan intervensi selanjutnya.
frekuensi napas.
Berikan oksigen sesuai advis (2- Oksigen memaksimalkan
4Lt/menit). Apabila anak masih bayi pernapasan  dan perubahan posisi
atur kepala dengan posisi ekstensi. dan ambulasi meningkatkan
pengisian udara segmen paru
berbeda sehingga memperbaiki difusi
gas.
Atur posisis tidur pasien (kepala lebih Kepala lebih tinggi memungkinkan
tinggi) ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan .

Auskultasi suara nafas, catat adanya Suara nafas yang tidak efektif bisa
suara nafas tambahan. menyebabkan terjadinya obstruksi
jalan nafas / kegagalan pernapasan

Lakukan fisioterapi dada jika perlu. Memudahkan upaya pernapasan


dalam dan meningkatkan drainase
secret

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d  anoreksia

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan BB


stabil,pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan pasien dapat mengumpulkan
energi untuk beraktivitas kembali.

INTERVENSI RASIONAL
Pastikan diet memenuhi kebutuhan Tinggi karbohidrat, protein dan kalori
pernapasan sesuai indikasi dibutuhkan selama ventilasi untuk
memperbaiki fungsi otot pernapasan.
Catat masukan oral saat makan dan Selera makan biasanya buruk dan
tawarkan makanan yang disukai anak masukan nutrisi penting mungkin 
menurun. Tawaran makanan
kesukaan dapat meningkatkan
pemasukan oral
Timbanglah berat badan setiap hari. Berguna untuk menentukan
kebutuhan kalori, menyusun tujan
berat badan dan evaluasi
keadekuatan rencana nutrisi
Aturlah pemberian makanan dalam Meningkatkan atau memaksimalkan
porsi yang sedikit tapi sering. asupan nutrisi anak

Libatkan orang tua dalam pemberian Membantu dalam memenuhi asupan


makanan. nutrisi anak, karena biasanya orang
tua tahu cara yang tepat agar
anaknya mau makan

c. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan organisme virulen.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan


resiko infeksi tidak terjadi

INTERVENSI RASIONAL
Observasi TTV klien Demam dapat terjadi karena infeksi
atau dehidrasi
Turunkan faktor resiko nosokomial Faktor ini paling sederhana tetapi
melalui cuci tangan yang tepat pada paling paling penting untuk mencegah
semua perawat infeksi di rumah sakit
Anjurkan keluarga klien untuk Menurunkan transmisi organisme
menyiapkan wadah sekali pakai untuk melalui cairan
sputum, contohnya tissue
Pertahankan hidrasi adekuat dan Membantu memperbaiki tahanan
nutrisi umum untuk penyakit dan
menurunkan resiko infeksi
Berikan antimikrobial sesuai indikasi Satu atau lebih agen dapat digunakan
tergantung pada identifikasi patogen
bila infeksi terjadi
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit
(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan


resiko kurangnya volume cairan tidak terjadi

INTERVENSI RASIONAL
Observasi tanda vital Peningkatan suhu, memanjangnya
demam dan meningkatkan laju
metabolik dan kehilangan cairan
melalui evaporasi. Peningkatan
takikardia menunjukkan kekurangan
cairan sistemik
Kaji turgor kulit, kelembaban Indikator langsung keadekuatan
membran mukosa ( bibir, lidah ) volume cairan meskipun membran
mukosa mulut mungkin kering karena
napas mulut dan oksigen tambahan
Pantau masukan dan keluaran cairan Memberikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti
Tekankan masukan cairan yang Memenuhi kebutuhan dasar cairan
optimal setiap harinya atau sesuai dan menurunkan resiko dehidrasi
kondisi individual
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan


klien dapat beraktifitas sebagaimana mestinya

INTERVENSI RASIONAL
Evaluasi respon klien terhadap aktifitas. Menetapkan kemampuan dan
Catat laporan dispnea, peningkatan kebutuhan pasien dan
kelemahan perubahan tanda vital selama memudahkan pilihan intervensi
dan setelah aktifitas
Berikan lingkungan yang tenang dan Menurunkan stress dan rangsanga
batasi pengujung berlebihan, meningkatkan istirahat
Jelaskan pentingnya istirahat dalam Pembatasan aktifitas ditentukan
rencana pengobatan dan perlunya dengan respon individual pasien
keseimbangan aktifitas dan istirahat terhadap aktifitas dan kegagalan
pernapasan
Bantu aktifitas perawatan diri yang Meminimalkan kelelahan dan
diperlukan membantu keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen

3.4. Evaluasi
1. Pola napas anak kembali normal.
2. BB stabil, pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan anak dapat
mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali.
3. Resiko infeksi tidak terjadi
4. Resiko kurangnya volume cairan tidak terjadi
5. Masalah intoleransi aktifitas teratasi, serta anak dapat beraktifitas sebagaimana
mestinya

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak


anak.Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan
bagian atas.Untuk menguji apakah tubuh mengandung antitoksin terhadap kuman difteria
dilakukan uji kulit yang disebut Uji Shick.

Masa inkubasi terjadi 2-7 hari.Gejala umum demam, lesu, pucat, nyeri kepala,
anorexia. Gejala lokal neri telan, bengkak pada leher. Kelenjar regional sesak nafas, serak
sampai stridor.Bila menyerang otot jantung dapat terjadi miokarditis dan bila mengenai
syaraf dapat terjadi kelumpuhan.Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT dan isolasi
bagi penderita difteri.

4.2. Saran

Penyakit difteri rentan menyerang anak-anak dan perlu penanganan yang cermat
dan tepat. Terutama asuhan keperawatan yang efektif dapat mempercepat proses
penyembuhan penyakit difteri.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Manjoer, Suproharto. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta

Merdjani,A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI:
Jakarta

Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Bagian II. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

Rusepno Hasan, dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jilid II. Hal 568-72. Cetakan Kesebelas. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai