Anda di halaman 1dari 40

TUGAS KEWARGANEGARAAN

Nama : Suwarni

NIM : 1744390028

Prodi : Sistem Informasi (S1)

Fakultas Teknik
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb., Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, karena penulis telah diberikan kekuatan dan kesabaran sehingga
dapat menyelesaikan Makalah Identitas Nasional ini. Makalah ini disusun sedemikian rupa untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, akan besar manfaatnya bila pembaca berkenan memberi saran
dan kritik, yang akan penulis gunakan untuk memperbaiki pembuatan makalah dimasa yang akan
datang. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Nana
Setialaksana selaku Dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. 2. Rekan-rekan kelas yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini. 3. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga Allah swt., membalas kebaikan yang telah diberikan semua pihak kepada penulis. Harapan
penulis, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, penulis mohon maaf apabila
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 18 Juni 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ................................................................ 2

D. Kegunaan Makalah ............................................................. 2

E. Prosedur Penulisan.............................................................. 2

BAB II IDENTITAS NASIONAL

A. IDENTITAS

1. Pengertian ..................................................................... 3

2. Pentingnya Sebuah identitas .......................................... 7

3. Identitas,Fungsi dan Peranan Sosial Manusia (Terjadinya Iteraksi


Sosial) .............................................................. 10

4. Syarat Terbentuknya Interaksi Sosial ............................ 11

5. Dasar Terjadinya Interaksi Sosial .................................. 11

6. Faktor Pengarah Terbentuknya Interaksi Sosial ............. 11

B. NASIONAL

1. Pengertian Nasional atau Nasionalisme ......................... 14

2. Bentuk-bentuk Nasionalisme......................................... 17

3. Unsur-unsur Nasionalisme ............................................ 18

4. Aspek-aspek Nasionalisme............................................ 18

5. Makna Nasionalisme..................................................... 19

6. Diskusi Kontemporer .................................................... 21


C. IDENTITAS NASIONAL

1. Pengertian Identitas Nasional ........................................ 34

2. Unsur-unsur Identitas Nasional ..................................... 35

3. Identitas Nasional Indonesia .......................................... 38

4. Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional.. 38

5. Cita-cita,Tujuan,dan Visi Negara Indonesia .................. 40

6. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional ... 41

7. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi ........ 44

8. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi

Nasional Indonesia ........................................................ 40

BAB III SIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat,
terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution,
era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah
masyarakat satu persatu dan menjadi system internasional yang menentukan nasib ekonomi
sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan
kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama (1989 : 48), membawa
perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideologi universal, dan dalam
kondisi seperti ini, kapitalismelah yang akan menguasainya.

Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi
globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan
kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi.
Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan
yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.

B. Rumusan Masalah

1) Apa pengertian identitas?

2) Apa pengertian nasional/nasionalisme?

3) Bagaimana identitas nasional

C. Tujuan Makalah

- Sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai identitas bangsa Indonesia
- Sebagai salah satu cara belajar yang lebih fariatif agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam
proses belajar, dengan cara mencari dan menganalisis informasi dari berbagai sumber dan
mengelolanya untuk dalap dijadikan pengetahuan tambahan.
D. Prosedur Penulisan

Dalam pengumpulan data atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam menyusun makalah
ini, penyusun menggunakan metode studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara
belajar di perpustakaan dengan jalan mengumpulkan catatan yang ada hubungannya dengan
masalah-masalah yang ditulis.

BAB II

IDENTITAS NASIONAL
A. IDENTITAS

1. Pengertian Identitas

Secara etimologis,identitas berasal dari kata “identity” yang memiliki arti harfiah: ciri,tanda,atau jati
diri yang melekat pada seseorang,kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.
Dengan demikian identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki seorang
kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa membedakan
dengan yang lain.

Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan
kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara
sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku
pula pada suatu kelompok.

Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan
mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama
sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas. Karena
identitas ternyata adalah biang yang memporakporandakan berbagai negara, memecahbelahkan
bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang
berseberangan dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik. Apa yang membedakan kita atas
nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika
kita dilahirkansebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita mengikat kita
pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.

Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu
kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan
kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas
yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan
kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhurkita sejak zaman
Neolitik. Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas,
menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia
beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya
termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut
referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina,
dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut
sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak
Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang
predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan
bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan
berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku
maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta
manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu
atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan di atas secara gamblang
menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau
tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak
terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin
dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini
terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan
bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak
mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan
ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali
tidak ada. Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk
membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus
dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih
banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu
tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya
ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia
membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou” untuk
mencapai satu titik konversi “metanoai”. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti
antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-
masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru
mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel- embel kepurbaan yang
semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada
realitas kehidupan dalam arti sebenarnya. Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang
disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini
Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata
Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term
abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi
sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli
dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah
semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa
bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri,
mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan
merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas
juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang
lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas
dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-
predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali
kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian
proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain,
sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan
kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh
penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.

Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas,
maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah
membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara,
perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya
terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat
dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan
damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu
komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak
saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou
menyimpulkan dengan elegan, “Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam
pergelutan perbedaan.†Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan
menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati
pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu
yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.

Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity,
Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah
kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan
menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya
selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari
belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.

2. Pentingnya Sebuah Identitas

Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi.
Identitas dapat berasal dari sejarah, visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program.
Berbicara mengenai identitas sebenarnya itu adalah sebuah definisi diri dan itu bisa di berikan
oleh orang lain atau kita yang memberikanya. Pelacakan identitas akan menerangkan tentang
siapa kita, karena pelacakan identitas adalah upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain
maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke masa
lalu, di dalam konteks, identitas itu bukanlah sebuah proses produksi di ruang vakum tetapi di
dalam relasi-relasi kita dengan orang lain. Kemudian kemajemukan adalah yang mencerminkan
ketinggalan diri, definisi siapa kita dan yang bukan kita adalah definisi yang di lakukan sendiri
dan definisi diri yang di nisbahkan oleh pihak lain yang berelasi dengan kita. Cara kita
mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita
ambil. Cerita menarik yang beredar di internet menceritakan tentang seekor anak elang yang
dipelihara dan dibesarkan keluarga ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang
anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam- an, antara lain ayam memakan biji-
bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu waktu, si
anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan decak kagum, sang
anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang
mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki
kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa
terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang. Singkat kata, sang anak elang
menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya
sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku,
dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan
mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya. Coba bayangkan, apa
yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya
untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari ilustrasi diatas kita bisa mendapatkan
beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh definisi identitas diri yang kita yakini. Cara kita
mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui cara kita berpikir dan cara
kita bertindak. Definisi identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang
mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.

Dalam pemilu legislatif yang baru saja berlangsung di Indonesia, kebanyakan rakyat belum mampu
menidentifasikan diri mereka sebagai pemegang kedaulatan. Pada pemilu kali ini, identitas yang
terbentuk di wajah rakyat adalah sebagai penjual kedaulatan, hal tersebut terindikasikan melalui
banyaknya kasus money politik. Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai
politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada
kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya
politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan
mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang
kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di
sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik. Jika legislatif yang ihasilkan
melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya
sebagai pedagang. Modal yang mereka keluarkan kepada rakyat harus kembali dalam jangka waktu
tertentu dan harus bertambah karena begitulah identitas pedagang, kemudian lahirlah apa yang
dinamakan politik dagang sapi. Entah siapa yang memulai istilah tersebut, tapi ketika kita
mendengar dan mencoba memahami ternyata politik dagang sapi itu merupakan cara untuk bagi-bagi
kedudukan dalam kabinet. Presiden dan Wakil Presiden yang tepilih nanti merupakan pilihan
rakyat langsung, karena itu mereka memperoleh mandat yang penuh dari rakyat sebagai pemilih.
Karena itu mereka mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pilihan anggota MPR. Akan tetapi
dalam sistim yang berjalan presiden serta pemerintah yang dipimpinnya harus bekerjasama dengan
DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus pandai-pandi
bekerja sama dengan DPR agar program-program mereka disepakati DPR sebelum dapat
dilaksanakan. Sebaik apapun program yang diusulkan, kalau DPR tidak menyetujuinya,
apapaunalasannya, maka program tersebut tidak dapat dilaksanakan dan pemerintah tidak efektif
menjalankan mandat yang diemban dari pemilih. Di dalam media sudah banyak diberitakan
bahwa negosiasi antar berbagai partai capres dalam meminang cawapres sekaligus melakukan
tawar menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang. Maka harapan akan
perbaikan kesejahteraan rakyat yang berjalan beriringan dengan demokratisasi nampaknya hanya
angan-angan, karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal tersebut. Jadi, selagi
kedaulatan itu masih berada di tangan rakyat, mengidentifikasi diri kemudian melakukan tindakan
yang tepat untuk mempergunakannya demi kesejahteraan dalam jangka waktu lima tahun
kedepan harus menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.

3. Identitas, fungsi dan peranan sosial manusia ( terjadinya interaksi sosial )

• manusia sebagai makhluk individu

• Manusia sebagai makhluk sosial

• Manusia sebagai makhluk berketuhanan

Untuk mengemban ketiga fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia mempunyai dorongan
atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan
tuhannya. Hal inilah yang mendasari terjadinya interaksi antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya. Pengertian interaksi sosial : Hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain dalam situasi sosial tertentu. Di dalam proses
interaksi sosial ini juga berlangsung proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social
relationship ).

4. Syarat terbentuknya interaksi sosial :

a. Komunikasi sosial

b. Kontak social

5. Dasar terjadinya interaksi sosial :

• Interaksi sosial didasari oleh adanya kebutuhan ( motivasi ) sosial dankebutuhan individual.

• Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )

o Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )

o Kebutuhan rasa aman ( safety needs )

o Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )

o Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )


o Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )

• David Mc Clelland

o Need for Power ( Motiv berkuasa )

o Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )

o Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik ) semua kebutuhan dan motif
tersebut akan terpenuhi bila manusia mampu membangun kontak sosial dan mengembangkan
komunikasi sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan akhirnya mewujud dalam social
relationship.

6. Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial

• Faktor Imitasi : ( Gabriel Trade ), seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor
imitasi saja. Imitasi dorongan untuk meniru orang lain.

• Fakroe sugesti : sugesti berlangsung jika seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya
kepada orang lain dan diterima.

• Faktor identifikasi

• Faktor Simpati

B. NASIONAL

Nasional atau Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara
yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh,
dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol,
Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang
bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap
Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya
itu. Nasionalisme awalnya berkembang di Eropa. Pada akhir abad 18 di Eropa mulai berlaku suatu
paham bahwa setiap bangsa harus membentuk suatu Negara sendiri dan bahwa Negara itu harus
meliputi seluruh bangsa masing-masing. Kebanyakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor
obyektif tertentu yang membuat mereka berbeda satu sama lain, misalnya persamaan keturunan,
persamaan bahsa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradiri atau juga karena
persamaan agama. Gerakan nasionalisme dan cita- cita kebangsaan yang berkembang di eropa pada
hakikatnya memiliki sifat cinta kebangsaan. Nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian
menjalar ke seluruh dunia. Memasuki awal abad 20 nasionalisme mulai berkembang di negara-
negara Asia dan Afrika termasuk Indoensia. Nasionalisme di Asia dan Afrika bukan hanya suatu
perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan
yang lebih mendalam,

Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;

a. Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap dominasi


imperialisme Barat

b. Ia menjadi peletak dasar bafi terciptanya perubahan masyarakat Asiaterutama dalam cara
pandang tentang kedaerahan menjadi cara pandang seluruh bangsa.

c. ia ditumbuhkan oleh para pemimpin intelektual yang memperoleh pengaruh positif dari
pendidikan Barat seperti pendidikan modern, berpikir kritis, komitmen terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan. Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan

• human dignity / martabat manusia

• Ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi

d. Ia terus berkembang karena para pemimpin dan pengikutnya lebih melihat masa depan
dibanding masa lalu.

Yang dimaksud dominasi (asal kata dominant= lebih kuat/kuasa) politik adalah suatu penguasaan
penuh dalam bidang politik, sehingga pemerintah ada

ditangan penjajah. eksploitasi ekonomi adalah pemerasan yang dilakukan melalui eksploitasi
kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan penetrasi (asal kata to
penetrate = menyusup/menerobos) kebudayaan adalah suatu pemaksaan kepada penduduk
pribumi untuk mengikuti kebudayaan bangsa penjajah. Coba Anda berikan contoh dari tindakan-
tindakan tersebut.

Tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan
rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme dan imperialisme menimbulkan
reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan. Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan
kehendak dan tekad untuk lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme tersebut lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan perjalanan sejarah, bahwa
perlawanan terhadap penjajah mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tidak
membuat penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia. Mengapa demikian?.Disebabkan belum adanya
kesadaran pentingnya persatuan dan kesatuan guna melawan penjajah karena tingkat pendidikan
bangsa Indonesia pada saat itu masih rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai
muncul dan berkembang.

1. Pengertian Nasional atau Nasionalisme

a. Penegrtian Leksikal

Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki
akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif).
Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau
keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan
moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan,
kedaerahan, dan sejenisnya.

Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti
Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa
Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan
kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas
berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The Grolier International
Dictionary: 1992).

Pengertian ini jelas mengalami perubahan karena kata nasion dan nasionalisme diadopsi dan
dipakai secara positif untuk menggambarkan semangat kebangsaan suatu kelompok masyarakat
tertentu. Di bawah pengaruh semangat pencerahan (enlightenment), kata nasionalisme tidak lagi
bermakna negatif atau peyoratif seperti digunakan dalam masyarakat Romawi Kuno. Sejak abad
pencerahan (zaman pencerahan atau zaman Fajar Budi berlangsung selama abad 17–18), kata ini
mulai dipakai secara positif untuk menunjukkan kesatuan kultural dan kedaulatan politik dari suatu
bangsa.

“Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang penting untuk
memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan kultural akan berbicara
mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri sekelompok suku atau masyarakat karena
mereka memiliki kesamaan kultur. Di sini kita berbicara mengenai nasionalisme bangsa Jerman
atau bangsa Korea atau bangsa-bangsa di Eropa Tengah dan Timur yang memiliki kesamaan
kultur. Semangat kebang-saan atas dasar kesamaan kultur ini telah terbentuk sebelum
terbentuknya suatu negara bangsa.

Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme dalam artian
kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan etnis yang memustahilkan kita berbicara
mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini,
sebenar-nya wajar saja jika orang Aceh berbicara mengenai nasionalisme Aceh, demikian pula
orang Papua, Maluku, Jawa, Batak, Bugis, Makassar, Bali, Flores, dan sebagainya. Nasionalisme
yang mereka mak-sudkan tentu saja adalah semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur ini,
dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian kedua adalah nasionalisme
dalam arti kedaulatan politik.

Berdasarkan pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka—atas
dasar nasionalisme, entah nasionalisme kultural atau nasionalisme politik—untuk memperjuangkan
terbentuknya sebuah negara yang independen. Itu berarti baik kelom-pok masyarakat yang
memiliki kesamaan kultur maupun yang multi kultur dapat memiliki nasionalisme dalam artian
kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini, Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme
dalam arti kedaulatan politik. Demikian pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki
keragaman kultur.

Nasionalisme dalam arti semangat kebangsaan karena kesamaan kultur mula-mula mendasarkan
dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama, misalnya kesamaan darah atau keturunan,
suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan.

Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau mengikutsertakan nilai-
nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam
kelompok atau masyarakatnya serta adanya kepentingan ekonomi. Perkembangan lebih lanjut
tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan hak untuk
tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery). Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak untuk
mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru yang
dipengaruhi oleh revolusi Prancis tahun 1789. Sementara itu, hak untuk menentukan nasib sendiri
dan hak untuk tidak dijajah bangsa lain telah menjadi dasar nasionalisme dari negara-negara Asia–
Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II.

b. Pengertian menurut beberapa Tokoh

• Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892)

Nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu lain dengan
dorongan kemauan dan kebutuhan psikis. Sebagai contoh adalah bangsa Swiss yang terdiri dari
berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara.

• Otto Bauer (Jerman, 1882–1939)

Nasionalisme adalah kesatuan perasaan dan perangai yang timbul karena persamaan nasib,
contohnya nasionalisme negaranegara Asia.
• Hans Kohn

Nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi yang diberikan individu kepada negara dan bangsa

• Louis Snyder

Nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politis, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu taraf
tertentu dalam sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang.

2. Bentuk-bentuk Nasionalisme

a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)

adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif
rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques
rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du
Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).

b. Nasionalisme Etnis

adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau
etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep
Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme
romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm
Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan
etnis Jerman.

c. Nasionalisme Budaya

adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama
dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.

d. Nasionalisme kenegaraan

ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis.


Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan
kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat
demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah
membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa adalah Nazisme, serta
nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Fransquisme sayap kanan di
Spanyol, serta sikap ’ Jacobin ’ terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti
juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak
kesetaraann ( equal rights ) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau
Korsika.

e. Nasionalisme agama

ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.

3. Unsur-unsur Nasionalisme Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in
History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu

a. hasrat untuk mencapai kesatuan,

b. mencapai kemerdekaan,

c. mencapai keaslian,

d. kehormatan bangsa.

Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas
kepentingan pribadi dan golongannya.

4. Aspek-aspek Nasionalisme

a. Aspek politik

Nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus


pemerintah kolonial.

b. Aspek Sosial Ekonomi

Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial dan
bertujuan menghentikan eksploitasi ekonomi.
c. Aspek Budaya

Nasionalisme bersifat menghilangkan pengaruh kebudayaan asing yang buruk dan bertujuan
menghidupkan kebudayaan yang mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain.

5. Makna Nasionalisme

Istilah nasionalisme digunakan dala rentang arti yang kita gunakan sekarang. Diantara penggunaan
– penggunaan itu, yang paling penting adalah :

a. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.

b. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.

c. Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.

d. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.

e. Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus Nasionalisme
merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia,
paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang
lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali.
Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme
(internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi
komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta
membawa lagu kematian bagi nasionalisme.

Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis
sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat
sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang
disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut
kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.

Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia
berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi
sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis
pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan.
Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri
etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John
Hutchinson, 1987).

Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan


hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa
yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie
Kedourie, 1960). Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan
yang merupakan teleologi modernitas.

Nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan
budaya dalam masyarakat. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Nasionalisme berada di titik
persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.

Pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan
dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi,
harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme
memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990).

Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap
anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Imagined Communities, Anderson berargumen
bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa
yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.

Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan
ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan
industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini
dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial
masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta
sains dan teknologi.

6. Diskusi Kontemporer

Nasionalisme tidak akan pernah selesai diper-debatkan karena dialah satu-satunya ideologi yang
sungguh-sungguh mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah perasaan yang
sama dan tekad untuk untuk membangun kehidupan bersama. Kalau diperhatikan perdebatan
mengenai nasionalisme dewasa ini (kontemporer), dikotomi nasionalisme sebagai identitas kultural
atau identitas politis akan terus mewarnai perdebat-an ini.

Lima pemikir di bawah ini diambil sebagai contoh untuk menunjukkan diskusi kontemporer
mengenai nasionalisme. Setelah itu, pemikiran- pemikiran mereka akan kita simpulkan. Dari sana kita
mencoba memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.

• Ernest Gellner

Ernest Gellner memahami nasionalisme seba-gai proses pembentukan kultur suatu bangsa. Gellner
mengenal dan membedakan kebudayaan tinggi atau high culture dan kebudayaan rendah atau low
culture. Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan kultur bangsa, maka yang Gellner
maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah bangsa. Dalam proses ini kultur yang
sifatnya tinggi tersebut dikodifikasi.

Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :

1. apa yang dimaksud dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah?

2. apa yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan dan menga-pa hal itu perlu dilakukan? Sekali
lagi, high culture adalah kebudayaan yang oleh sebuah negara dianggap bernilai tinggi dan pantas
dijadikan sebagai kebudayaan nasional.

Menurut Gellner, kriteria sebuah kebudayaan bernilai tinggi atau rendah adalah apakah
kebudayaan tersebut rasional atau tidak. Misalnya sikap ramah (hospitality) suatu kelompok
masyarakat menerima siapa saja yang datang dalam hidup mereka. Kare-na dapat dipahami
secara rasional, sikap ramah dapat diterima menjadi salah satu kebudayaan nasional. Sebaliknya,
jika suatu adat, kebiasaan atau hasil karya yang membahayakan hidup orang lain atau menggangu
ketenteraman hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Dalam kasus seperti ini negara bisa saja menolak bahkan melarang kebudayaan seperti itu. Ingat,
arti kebudayaan adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.

Proses pembentukan high culture dalam nasionalisme adalah proses standardisasi kebudayaan
nasional. Standardisasi ini selain dapat mengalahkan, memperlemah, atau membunuh kebudayaan-
kebudayaan lokal atau kedaerahan, dapat juga membunuh kebudayaan-kebudayaan yang sifatnya
etnik yang sebetulnya telah ada sebelum adanya negara.

Negara sebenarnya bukan hanya dapat mengadopsi salah satu kebudayaan etnik yang ada
menjadi kebudayaan nasional, tetapi juga menolak atau melarangnya. Misalnya, pemerintah Inggris
mengizinkan kebebasan beragama dan beribadah di Inggris, tetapi melarang pengajaran agama
Kristen di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dalam contoh yang paling terakhir, pemerintah
Inggris mengizinkan sekolah- sekolah melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan
alasan supaya semua siswa-siswi dapat berbaur tanpa hambatan atau halangan eksternal dan
internal.

Bagaimana dengan Indonesia? Orde Baru sangat mengutamakan kodifikasi atau standardisasi
kebudayaan nasional ini. Dalam bidang agama, misalnya. Orde Baru melarang sekte-sekte dari
suatu agama bila praktik ritual mereka dipandang mengganggu ketertiban umum dan
membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan bentuk atau ungkapan
kebudayaan lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan dari sekte-sekte tertentu itu bukan
merupakan kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang
resmi dan agama mana yang tidak resmi. Agama yang resmi menurut versi Orde Baru dapat
dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture.

Yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan adalah proses standardisasi kebudayaan. Dengan
kata lain, proses menentukan mana kebudayaan yang dapat menjadi kebudayaan nasional dan
mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup
suatu bangsa. Meskipun demikian, sering terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan penguasa
atau elit politik tertentu dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam arti itu
kodifikasi kebudayaan didahului oleh adanya propaganda yang sifatnya sangat ideologis. Menurut
Gellner, kodifikasi kultur sebenarnya dimaksud untuk mencegah monopoli penentuan kultur
nasional hanya oleh elit atau kelompok tertentu saja. Nah, ini berarti dalam menentukan mana
kebudayaan yang tinggi dan mana yang rendah ha-rus mengikutsertakan seluruh lapisan
masyarakat. Bagi Gellner, proses kodifikasi dengan mengikut-sertakan masyarakat ini sangat
mungkin untuk dilakukan, karena pendidikan massal telah berhasil menyatukan negara dan
kebudayaan secara bersama. Setelah terjadinya proses kodifikasi atau standardisasi kebudayaan
nasional biasanya diikuti de-ngan pendirian museum-museum, penulisan sejarah negara, pendirian
badan-badan ilmiah tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan
resmi (pemerintah).

Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan Gellner adalah
bahwa high culture bersifat sangat rasional. Dalam hal ini, rasionalitas tampaknya terlalu diagung-
agungkan. Bagaimana dengan low culture? Apakah identitas kebangsaan hanya dibentuk oleh high
culture? Apakah low culture seperti praktik-praktik kultik atau ritus-ritus agama tertentu atau
praktik-praktik magi dan sebagainya harus dikendalikan dan dilarang karena sifatnya yang tidak
rasional. Dewa-sa ini lebih diterima bahwa low culture juga menguntungkan bagi pembentukan
identitas kebang-saan.

Dalam arti ini pemerintah atau negara tidak perlu melarang praktik-praktik magi dan perdukunan
sejauh praktik-praktik tersebut tidak membahayakan hidup masyarakat itu sendiri. Karena itu,
pemikiran sementara orang untuk melarang praktik magi atau membuat perangkat hukum untuk
menghukum praktik santet bukan hanya tindak-an yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang
bodoh. Kalau kamu perhatikan acara-acara televisi kita dewasa ini, banyak sekali dipenuhi dengan
acara setan, alam gaib, dan semacam-nya. Menurut kategori Gellner, semua ini adalah low
culture, karena tidak rasional. Meskipun demikian, ungkapan kebudayaan seperti ini ikut
membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban umum, ekspresi
kebudayaan seperti itu sah-sah saja eksis di bumi pertiwi Indonesia.

• Eric Hobsbawn

Berbeda dengan Gellner yang memahami na-sionalisme sebagai proses pembentukan high cultu-re
sebuah bangsa, nasionalisme menurut Eric Hobsbawn dipahami sebagai pembentukan iden-titas
kebangsaan. Pertanyaannya, siapa yang mem-bentuk identitas kebangsaan itu? Apakah identitas
kebangsaan dibentuk oleh seluruh warga masyarakat atau hanya kelompok elit saja? Hobsbawn
berpendapat bahwa yang membentuk identias kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada umumnya
tidak ikut serta dan tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan identitas kebangsaan.
Dalam proses pembentukan identitas kebangsaan ini elit umumnya menciptakan simbol-simbol
yang dapat mendukung tercapainya identitas ke-bangsaan. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa
identitas bangsa sebagai bangsa bahari, para elit menciptakan simbol-simbol yang berhubungan
dengan dunia bahari. Misalnya, kapal laut, perahu nelayan, patung nelayan, dan sebagainya. Setelah
diciptakan, simbol-simbol ini kemudian ditafsirkan oleh para elit. Tafsiran tersebut umumnya
meng- gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol dalam bentuk monumen-monumen
menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana identitas kebangsaan hendak dibangun. Di Indonesia
kita memiliki banyak sekali monumen yang maknanya penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian
bisa mendalami apa makna di balik simbol Monumen Nasional (Monas), monumen Pancasila sakti,
dan monumen proklamator di Jakarta.

Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan
tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi tertentu, dengan maksud untuk
menghubungkan identitas kebangsaan sampai ke masa yang sangat lampau. Penciptaan identitas
kebangsaan semacam ini biasanya juga mengedepankan nilai-nilai luhur nenek moyang suatu
bangsa yang dapat dijadikan anutan masyarakat dewasa ini.

Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar dari nilai-nilai
kebangsaan yang ada pada Kerajaan Sriwijaya. Menurut Dr. P.J. Suwarno (Pancasila Budaya
Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta: 1993, hlm. 20-21), Sriwijaya yang berpusat di Sumatra,
telah mempraktikkan nilai-nilai persatuan, ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan
internasional. Di mata para elit, nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat Kerajaan Sriwijaya ini
menjadi bukti bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki kepribadian atau identitas bangsa
yang agung dan luhur.

Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga
sering mengadakan perayaan-perayaan dan upa-cara-upacara kenegaraan. Melalui perayaan-
perayaan semacam inilah para elit menanamkan dalam diri masyarakat akan nilai-nilai luhur
bangsanya, misalnya dengan merenungkan kembali jasa-jasa para pahlawan bangsa, dan
sebagainya. Karena itu, jangan heran jika dalam suatu negara perayaan-perayaan kenegaraan
dianggap sebagai bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.

Bagi Hobsbawn, massa rakyat menerima begitu saja simbol-simbol dan propaganda-propaganda
yang dilancarkan elit. Di sini sering kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-
simbol dan perayaan-perayaan keagamaan tidak hanya sebatas menyimbolkan perasaan menjadi
bagian dari suatu bangsa. Elit melakukan ini juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.

Bagaimana kita menyikapi pandangan Eric Hobsbawn ini? Ada duakelemahan utama yang dapat
dikemukakan, yakni Pertama, Massa rakyat dianggap bodoh. Rakyat dianggap tidak memiliki sikap
kritis dan hanya menerima begitu saja penciptaan simbol-simbol dalam proses pembentukan
identitas bangsa. Rakyat juga dianggap bodoh dan mengikuti sa-ja upacara-upacara kenegaraan
tanpa mempertanyakan relevansinya. Pandangan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan sekarang.Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit sebenarnya
bukan semata-mata merepresentasikan sesuatu. Simbol- simbol tersebut juga memberi
kemungkinan agar orang lain selain elit atau penguasa menerap-kan makna ke dalam simbol-
simbol tersebut.

Dengan demikian, jarang terjadi bahwa simbol-simbol atau upacara kenegaraan hanya memiliki
makna tunggal. Bagi para elit, upacara 17 Agustus dapat menjadi momen pembentukan iden-titas
bangsa. Akan tetapi bagi sebagian orang, upacara 17 Agustus adalah saat di mana rakyat berpesta
makan, minum, dan mengadakan pertandingan olahraga di lingkungan masing-masing tanpa ada
hubungan dengan semangat nasionalisme. Di sini Hobsbawn lupa bahwa makna harus bersifat plural,
juga dalam produksi identitas kebangsaan. Masyarakat mampu menciptakan simbol dan menafsirkan
sesuai kehendak mereka.

• Benedict Anderson

Nama ahli politik yang satu ini cukup dikenal di Indonesia. Dia menulis buku Imagined Community
yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang
Indonesianis garda depan. Benedict Anderson memahami nasionalisme sebagai komunitas khayalan
(imagined community) yang disatukan oleh sebuah persahabatan horisontal yang mendalam di
mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan
utuh.

Bagi Anderson, komunitas khayalan ini ada atau terbentuk karena kekuatan media massa,
khususnya media cetak. Media cetak sangat berperan dalam menyebarluaskan diseminasi
(penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian
atau majalah mingguan yang secara teratur dan sinkronik membentuk para pembacanya untuk
berbagi perasaan, gagasan atau serangkaian minat bersama, karena isi dan fokus dari berita.
Menurut Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.

Mari kita kemukakan sebuah contoh untuk menjelaskan konsep yang abstrak ini. Tanggal 26
Desember 2004 gelombang tsunami menghancurkan Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan mene-
waskan ratusan ribu orang. Seluruh masyarakat bangsa Indonesia ikut bersedih dan membantu
saudaranya yang tertimpa musibah tersebut. Perasaan bahwa Aceh adalah bagian dari saudara kita
umumnya ditimbulkan oleh media massa yang kita baca, tonton, atau dengar. Kalian bisa bayangkan
apa jadinya kalau bencana itu terjadi pada zaman di mana media massa belum mengalami
kemajuan seperti sekarang ini. Barangkali tidak akan muncul banyak orang yang mengetahui dan
membantu.

Nah, kira-kira proses pembentukan nasionalisme menurut Benedict Anderson terjadi seperti itu.
Suatu komunitas pada akhirnya memiliki perasaan kebangsaan yang sama karena perasaan itu
ditimbulkan oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian it ditimbulkan
oleh media cetak (koran dan majalah) yang mereka baca. Kesamaan minat dan perhatian itu
pada gilirannya memicu perasaan komunitas tersebut untuk mengkhayalkan sebuah masyarakat
tempat mereka hidup bersama sebagai warga masyarakat. Wujud konkret dari komunitas khayalan
itu adalah negara.

Konflik antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat yang memicu gelombang protes
masyarakat Indonesia pun dapat dipahami dengan memakai pemahaman Anderson ini. Harus
diakui bahwa kita mengetahui adanya konflik tersebut dari media massa. Media massalah yang
menimbulkan perasaan kebangsaan kita. Kehadiran kapal-kapal perang dan tentara Indonesia yang
siaga dua puluh empat jam memicu khayalan kita untuk membayangkan sebuah keutuhan wilayah
dan kebesaran bangsa Indonesia. Khayalan-khayalan seperti inilah yang menyatukan masyarakat
dalam gelombang protes terhadap tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di sini memang perasaan
lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih
menonjolkan perasaan daripada pikiran.

Bagaimanapun juga, pemikiran Anderson ada kelemahannya juga. Kelemahaman pandangan


Anderson adalah bahwa dia hanya menekankan peran media cetak dalam menghasilkan kultur dan
identita kebangsaan. Padahal masih ada lagi produksi kultur dan identita kebangsaan melalui ruang
musik (music hall) dan teater, musik-musi popular, pesta-pesta, arsitektur, fesyen, juga melalui
televisi, film, radio, dan teknologi informasi lainnya.

• Anthony Smith

Masih ingat pandangan Ernest Gellner dan Eric Hobsbawn mengenai nasionalisme? Di atas sudah
dikemukakan kelemahan-kelemahan dari pandang-an mereka. Nah, Anthony Smith sendiri
mengkhususkan diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat
nasionalisme. Gellner dan Hobsbawn berpendapat bahwa nasionalisme adalah produk modern, jadi
masa-masa sebelum zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi Smith, nasionalisme atau perasaan
kebang-saan sudah ada jauh sebelum lahirnya suatu bang-sa. Perasaan kebangsaan sudah ada
bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu
sendiri.

Di sini Smith memahami etnisitas sebagai kelompok sosial dengan identitas tertentu dan yang
membedakan diri mereka dari orang lain.Umumnya kelompok-kelompok etnis membentuk sendiri
batas-batas (boundaries) dan menciptakan simbol-simbol yang menjadi tanda bahwa “kita” (us)
berbeda dari “mereka” (they). Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok etnis semacam ini
bisa saja membentuk sebuah negara. Kalau ini yang terjadi, maka nasionalismenya bersifat
nasionalisme etnik.

Selain berpendapat bahwa perasaan dan identitas kebangsaan sudah ada jauh sebelum
terbentuknya sebuah negara, Smith juga berpendapat bahwa nasionalisme berhubungan dengan
pembentukan identitas nasional suatu bangsa. Pembentukan identitas nasional dapat terjadi
melalui penciptaan simbol-simbol nasional. Bagi dia, simbol-simbol nasional tidak diciptakan
sepihak oleh elit, tapi oleh berbagai kelompok yang berbeda. Karena mengikutsertakan banyak
kelompok masyarakat dalam penciptaan simbol-simbol nasional, maka sering terjadi konflik dalam
proses penciptaan simbol-simbol nasional ini. Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak
membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith, dalam menciptakan simbol-simbol tersebut tidak ada
cetak biru (blue print) yang siap dipakai sebagai contoh. Tidak hanya itu.

Bah-kan dalam proses pembentukan kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak biru. Karena itu,
seluruh lapisan masyarakat benar-benar harus terlibat dan berpartisipasi dalam proses
pembentukan identitas nasional dan kebudayaan bangsanya.

Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan simbol-simbol
tersebut tidak ada serangakaian simbol yang dapat diterima bersama, maka pada saat ini
kelompok-kelompok sosial yang ada harus memilih simbol-simbol yang multipel dengan maksud
supaya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dapat didorong untuk menerima dan
mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol tersebut.

Menurut Smith, dapat saja terjadi bahwa ada kebudayaan dari etnis tertentu yang diterima
sebagai kebudayaan nasional asal memenuhi persyaratan. Syaratnya adalah kebudayaan dari etnis
tersebut harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan
rasional. Sesuatu yang masuk akal belum tentu rasional, sementara sesuatu yang rasional sudah
tentu masuk akal. Ziarah ke kuburan dan bersemedi untuk meminta “berkat dan pertolongan”
dari arwah nenek moyang atau tokoh-tokoh terkenal yang sudah mati memang tidak rasional,
tetapi masuk akal. Karena itu upacara seperti ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional
Indonesia Dengan pandangan semacam ini Smith sebetulnya memiliki pemahaman yang sangat
baik mengenai kebudayaan. Bagi dia, kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Sifat dinamis ini
ada karena proses pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu, tetapi proses bersama dari
seluruh anggota masyarakat. Selain itu, kebudayaan suatu bangsa terdiri dari macam-macam
unsur, an-tara lain unsur repository (kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sekarang dan masih
terpelihara), unsur warisan antargenerasi, serangkaian tradisi, dan pembentukan secara aktif
makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri. Unsur yang terakhir ini—pembentukan secara
aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri—terejawan-tah dalam nilai-nilai, mitos-
mitos, dan simbol-simbol yang pantas untuk menyatukan sekelompok orang dengan pengalaman-
pengalaman dan kenangan- kenangan yang sama dan yang membeda-kan me-reka dari kelompok
luar.

Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan Hobsbawn, pandangan Anthony Smith nyaris
sempurna; karena itu tidak perlu dikritik. Kita akan kembali ke pandangan-pandangannya ketika
membica-rakan proyeksi nasionalisme Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.

• Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo


Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme dari pers-pektif
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, nasionalisme Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap
kolonialisme Belanda dan Jepang.

Dalam artikelnya berjudul Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia (Lihat: http://202.159.
18.43/jsi/1sartono.htm), Sartono berpendapat bahwa nasionalisme pertama-tama adalah penemuan
identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling primordial di mana kelompok masyarakat
tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial
lainnya. Identitas diri tersebut, begitu selesai dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial
tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian, proses penemuan
identitas diri sekaligus menjadi proses penetapan boundaries yang membedakan “kelompok kita”
dari “kelompok mereka”.

Dalam konteks Indonesia, proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena
pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang
melembaga yang menimbulkan rasa inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri. Dalam
kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja mendiskriminasi orang-orang Indonesia melalui
pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan simbol-simbol otoritas lainnya.

Menurut Sartono, pengalaman didiskriminasi seperti ini telah mendorong kaum terpelajar
Indonesia untuk membentuk organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908.
Pembentukan BO ini sendiri adalah antitesis terhadap sikap diskrimi-natif Belanda sekaligus
menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.

Wujud tertinggi dari proses pencarian dan perumusan identitas kebangsaan ini adalah munculnya
nasionalisme politik yang lebih jelas arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek
kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu kesadaran kebangsaan
seperti ini muncul, kesadaran ini sendiri langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa
Belanda. Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah praktis-konkret upaya
memperjuangkan kemerdekaan. Seluruh perjuangan organisasi politik dan tentara Indonesia
bermula dari penemuan identitas kebangsaan semacam ini. Dalam arti ini BO memainkan peran
yang sangat penting sebagai organisasi yang mengintegrasikan kaum kaum terpelajar dengan
kaum elit lainnya dan sebagai simbol identitas kolektif masyarakat. Boedi Oetomo mendefinisikan
identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.

C. IDENTITAS NASIONAL

Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia senantiasa
membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok-kelompok. Manusia
dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur
dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil sampai
pada lingkungan terbesar.
Pada mulanya manusia hidup dalam kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk
kelompok lebih besar lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup
bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara merupakan suatu
organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah
tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama. Negara dan bangsa memiliki pengertian yang
berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa
lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang
belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal
dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara
memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di
dunia.

Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang
dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang
disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.Dengan perkataan lain, dapat
dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan
kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem
pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain
sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional
maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai
Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan
dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan
hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.

Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan
dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi
aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda
masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan
Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan
oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta
penjelasannya, yaitu : Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “. Kemudian
dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:
• Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.

• Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan


mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan
bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166
definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.

1. Pengertian Identitas Nasional

Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis ,
identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “nasional”.

Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda
atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan
yang lain.

Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti
yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang
atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.

Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat
pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku
di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang
harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang
semakin dinamis di Indonesia.

2. Unsur - Unsur Identitas Nasional

Identitas Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Ke-majemukan itu
merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan,
dan bahasa.

a. Suku Bangsa

adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya
dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau
kclompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
b. Agama

bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan
berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu.
Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.

c. Kebudayaan

adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau
model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk
menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau
pedoman untuk bertindak (dala bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi.

d. Bahasa

merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem
perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang
digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Dari unsur-unsur identitas Nasional tersebut
dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :

a. Identitas Fundamental,

yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan ldeologi Negara.

b. Identitas Instrumental,

yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera
Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".

c. Identitas Alamiah

yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta
agama dan kepercayaan (agama). Menurut sumber lain
(http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa: Satu jati diri dengan dua identitas:
a. Identitas Primordial

• Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo,
maluku, dsb.

• Orang dengan berbagai latar belakang agama : Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan
sebagainya.

b. Identitas Nasional

• Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.

• Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut.

Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa
yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.

Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh
kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini,
ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu
dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di
dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini
menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah
ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.

Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya
didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan
lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan
tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas
suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan
menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka
bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan
bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka
bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa
Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan
identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan
kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era
globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah
kebangkitan kembali kesadaran nasional.

3. Identitas Nasional Indonesia

a. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia

b. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih

c. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya

d. Lambang Negara yaitu Pancasila

e. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika

f. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila

g. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945

h. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

i. Konsepsi Wawasan Nusantara

j. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional

4. Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional Faktor-faktor yang mendukung kelahiran


identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:

a. Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis

b. Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan

yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002) Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles
dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa
sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:

a. Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.

b. Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,lahirnya angkatan


bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
c. Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi,
dan pemantapan sistem pendidikan nasional

d. Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa
Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari
penjajahan bangsa lain.

Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa-negara membutuhkan


identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang
diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :

a. Primordial

b. Sakral

c. Tokoh

d. Bhinneka Tunggal Ika

e. Sejarah

f. Perkembangan Ekonomi

g. Kelembagaan

Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai

berikut :

a. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih
kurang selama 350 tahun

b. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan

c. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai
Merauke

d. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa

5. Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.

Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II
Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.

Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci
sbagai berikut :

a. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

b. Memajukan kesejahteraan umum

c. Mencerdaskan Kehidupan bangsa

d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang
damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman,
bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu
pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM)
Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi

pembangunan nasional adalah :

a. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.

b. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak
asasi manusia.

c. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang
layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

6. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta
prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia
berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu
asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para
pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan
menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara
berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan
pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber
kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian
bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau
penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar
Identitas Nasional. Menurut sumber lain :

(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)

disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda
pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan
bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam
memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan
salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara
mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan
berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara
hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas
nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara
kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah
meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan
nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi
diberbagai belahan dunia, khususnya negara- negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga
melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing karekteristik
geografis Indonesia. Berbagai tindakan kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis
yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian internasional. Nasionalisme
bukan saja dapat dipandang sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna
mempertahankan Negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk
member kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Dengan kata lain, sikap
nasionalisame membutuhkan sebuah wisdom dalam mlihat segala kekurangan yang masih kita
miliki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan sekaligus kemauan untuk
terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna falsafah dalam pembukaan UUD
1945, yang berbunyi sebagai berikut:

a. Alinea pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan
oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan , karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Maknanya, kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan
penjajahan bertentangan dengan hak asasi manusia.

b. Alinea kedua menyebutkan: “ dan perjuangan kemerdekaaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kepada depan
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,berdaulat, adil, dan makmur. Maknanya:
adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).

c. Alinea ketiga menyebutkan: “ atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong
oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Maknanya, bila Negara ingin mencapai cita-cita maka
kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridha Allah SWT yang merupakan dorongan
spiritual.

d. Alinea keempat menyebutkan: “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menmcerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh
bangsa Indonesia melalui wadah Negara kesatuan republik Indonesia.

7. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri
khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya.
Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi
nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu
kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal
Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup
dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam
berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita,
sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain
sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun
internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas
Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis,
melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju
kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah
identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi
makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam
masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa
pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan
sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalaM
Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya,
yaitu : “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan :

” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat Bebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-
daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan- bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.

Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32

a. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban

dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai
budaya.

b. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan


mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan
bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166
definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.

Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum
memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung
dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat
satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas- batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Globalisasi mempengaruhi
hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan
dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang
dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan
dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.

Aspask-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang
sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai
salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem
dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu
keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.
Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah
Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi
kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi.
Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa.
Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ni
menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.

Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan

a. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.

b. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu


terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.

c. Berkembangnya turisme dan pariwisata.

d. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.

e. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.

f. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.

Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan
mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap
berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya.
Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi
kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab
tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam
setiap kita berpikir dan bertindak. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini
adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari
beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai
dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi
akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.

8. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional Indonesia Berbagai peristiwa sejarah di
negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah yang membawa negeri
Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Besarnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidaklah
mengalami proses kejayaan yang cukup lama, karena pada waktu itu persatuan cenderung
dipaksakan melalui ekspansi perang dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.

Sangat berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum
proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk
bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa
satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928). Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak
budayayang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri
Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara. Dilihat d ari bentuknya Pancasila
merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur. Pancasila
dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan
melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan
Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung
tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang
pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman
dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima
sila. Dalam pidato bahasa Inggris di Washingt n Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar
biasa dari bangsa Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi Indonesia
yaitu Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau dasar yang mana dasar pertama
Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan, kedua berdasar Kemanusiaan, ketiga persatuan ,
dan keempat adalah demokrasi, serta kelima adalah keadilan social. Seringkali bangsa kita ini
mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata beberapa tokoh adalah berkat
kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari kesaktian pancasila tanggal 1
Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pancasila hingga saat ini masih kuat relevansinya
bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini. Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan
bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita
dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan,
nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif
diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
SIMPULAN

Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan
mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Secara etimologis, kata nation berakar dari
kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan
klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Identitas Nasional secara terminologis adalah
suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut
dengan bangsa yang lain. Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau
totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.
Sedangkan bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai
persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter
yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagi suatu
“kesatuan nasional”. Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis
dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang
merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya
globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan
penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali
kesadaran nasional.
DAFTAR PUSTAKA

H. Kaelan dan H Achmad Zubaidi. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan

untuk Perguruan TinggiI. Yogyakarta: Paradigma

Notonagoro. 1997. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.

http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html

http://unsosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid-52

google.com

http://price-mienu.blogspot.com/2010/01/identitas-nasional.html

htto://ipdn-artikelratis.blogspot.com/2008/09/keterkaitan-identitas-

nasional-dengan.html

TC.Media, Edisi ke-5, Agustus 2008

Seabass86,7 mei 2009

http://www.hikmahbudhi.or.id/?p=32

http://yanel.wetpaint.com/page/Identitas+Nasional

Anda mungkin juga menyukai