Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIFTERI DAN CAMPAK”


Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular
Dosen Pembimbing : Ns. Eko Prabowo S.kep M,.Kes

Disusun Oleh:
HABIB SYAPUTRA RAHMANSYAH (201320100003)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA BANYUWANGI
2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Epidemiologi Penyakit Difteri dan Campak” untuk memenuhi tugas di
fakultas ilmu kesehatan Masyarakat Universitas Bakti Indonesia Banyuwamgi.
Penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

1. Ns. Eko Prabowo S.kep M,.Kes selaku dosen mata kuliah


”Epidemiologi Penyakit Menular”

2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang


membantu dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah


ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran semua pihak demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.

Habib Syaputra Rahmansyah

Banyuwangi 24 November 2022

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................6
A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DIFTERI..................................6
1. Pengertian.....................................................................................................6
2. Pendekatan....................................................................................................6
3. Faktor Risiko................................................................................................8
4. Riwayat Alamiah..........................................................................................8
5. Etiologi.........................................................................................................9
6. Pencegahan.................................................................................................10
B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR CAMPAK...............................13
1. Pengertian...................................................................................................13
2. Pendekatan..................................................................................................13
3. Faktor Risiko..............................................................................................14
4. Riwayat Alamiah........................................................................................14
5. Etiologi.......................................................................................................15
6. Pencegahan.................................................................................................15
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................................18
B. Saran..............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini  disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Sedangkan penyakit Campak merupakan penyakit yang sangat mudah
menular yang disebabkan oleh virus dalam genus paramyxovirus, genus
Morbillivirus (P. A. Gastanaduy, Redd, & Clemmons, 2018; Van Heyningen &
Seal, 2019). dan ditularkan melalui batuk dan bersin. Gejala penyakit campak
adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau konjungtivis dan dapat berujung pada komplikasi berupa
pneumonia, diare, dan meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ketika seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan
penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak. Kekebalan
terbentuk jika telah diimunisasi atau telah terinfeksi virus campak sebelumnya.
Campak menjadi perhatian serius pada tahun 2000, dimana dilaporkan
bahwa komplikasi penyakit campak menyebabkan kematian kepada lebih dari
562.000 anak di seluruh dunia.
Pada makalah kali ini kita akan membahas mengenai epidemiologi penyakit
menular difteri dan campak. Mulai dari pengertian hingga bagaimana cara
pencegahan pada penyakit menular tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Difteri
2. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Campak
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Epidemiologi Penyakit Difteri
2. Untuk Mengetahui Epidemiologi Penyakit Campak
BAB II
PEMBAHASAN

A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DIFTERI


1. Pengertian
Difteri, berasal dari bahasa Yunani "Diphtera", yang berarti kulit, pertama
kali diidentifikasi oleh Hippocrates pada abad ke-5 sebelum masehi (Susanti et al.,
2019) dan epidemi difteri dijelaskan dalam abad ke-6 masehi oleh Aetius. Bakteri
pertama kali diamati dalam membrane difteri oleh Edwin Klebs pada tahun 1883
dan dibudidayakan oleh Friedrich Loffler pada tahun 1884. Dimulai pada awal
1900-an, profilaksis dicoba dengan kombinasi toksin dan antitoksin. Toksoid
difteri dikembangkan pada awalnya 1920-an tetapi tidak banyak digunakan
sampai awal 1930-an. Dulu digabungkan dengan vaksin tetanus toksoid dan
pertusis dan menjadi rutin digunakan pada tahun 1940-an (Acosta, Moro, Hariri,
& Tiwari, 2021)
Difteri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae (C. diphtheriae) (Acosta et al., 2021; Arguni, Karyanti, Satari, &
Hadinegoro, 2021; De-Simone et al., 2021; Nassar, Abdullah Al-Amad, &
Ghaleb, 2022; NICD, 2018; Van Le et al., 2022) terutama ditularkan melalui rute
aerosol (Hanvatananukul et al., 2020). Penyakit ini sangat menular dan berpotensi
mengancam jiwa (Nassar et al., 2022), penyakit ini memiliki angka kematian yang
tinggi (Arguni et al., 2021).
2. Pendekatan
Manusia adalah satu-satunya reservoir yang signifikan untuk C. diphtheriae
(ECDC, 2015). Pembawa manusia tanpa gejala berfungsi sebagai reservoir untuk
C. diphtheriae. Infeksi oleh C. diphtheria diperoleh melalui kontak dengan
pembawa atau individu dengan penyakit aktif (Stechenberg, 2019). Penularan
paling sering dari orang ke orang melalui droplet pernapasan. Penularan juga
dapat terjadi dari pajanan pada lesi kulit yang terinfeksi atau barang yang kotor
dengan sekret dari lesi ini (Acosta et al., 2021). Difteri menyerang anak-anak dan
orang dewasa di dunia (Van Le et al., 2022). Penyakit difteri kebanyakan terjadi
pada anak di bawah usia 5 tahun, namun saat ini terjadi pada anak di atas 5 tahun
(5-19 tahun) dan pada orang dewasa (Susanti et al., 2019). Tingkat kematian
difteri adalah 5-10%, dan lebih tinggi pada anak-anak (Nassar et al., 2022). Difteri
biasanya terjadi di antara individu yang rentan (NICD, 2018). Epidemi dapat
terjadi pada populasi rentan yang tidak diimunisasi atau diimunisasi tidak
lengkap. Imunisasi rutin difteri pada bayi dan anak telah menghasilkan penurunan
dramatis dalam kasus difteri yang dilaporkan (Ontario, 2019). Baru-baru ini, ada
laporan kasus yang meningkat dari pelancong yang mendapatkan penyakit kulit
difteri terkait dengan C. diphtheriae non-toksik dan toksigenik. Tujuan perjalanan
yang terkait dengan paparan C. diphtheriae termasuk anak benua India, Timur
Tengah, Afrika (termasuk Nigeria, Kenya, Angola, dan baru-baru ini
Mozambik), Pasifik Selatan (Indonesia, Filipina, Papua Nugini), Asia Tenggara
(Thailand, Kamboja, Vietnam), Amerika Selatan (Brasil, Republik Dominika),
Haiti, dan negara-negara Eropa Timur tertentu (khususnya Latvia dan Rusia)
(NICD, 2018).
Kasus difteri secara global yang dilaporkan ke WHO kemungkinan
merupakan perkiraan yang terlalu rendah dari beban penyakit yang
sebenarnya karena pelaporan yang kurang, pengecualian kasus difteri
non-respiratori dan pengecualian kasus yang disebabkan oleh spesies
berpotensi toksigenik lainnya (WHO, 2018). Sejak tahun 2000, jumlah
kasus difteri yang dilaporkan secara global dalam data Joint Reporting
Form (JRF) awalnya menurun, kemudian diratakan pada 4.300–5.700 kasus yang
dilaporkan/tahun selama 2006–2013 (Clarke et al., 2019). Negara-negara
berkembang memainkan peran penting dalam menjaga cakupan vaksinasi di
seluruh dunia tetap tinggi. Cakupan vaksinasi yang rendah, akses yang buruk ke
layanan kesehatan, dan pendapatan yang rendah menjadi faktor penyebab
munculnya kembali penyakit Difteri di negara berkembang (Rintani et al., 2018).
WHO melaporkan total 4490 kasus difteri di seluruh dunia pada tahun 2013,
terutama di Negara berkembang (Van Le et al., 2022). Selanjutnya, jumlah
tahunan kasus yang dilaporkan menjadi lebih bervariasi; 8.819 kasus dilaporkan
pada tahun 2017, terbanyak kasus dalam satu tahun sejak 2004 (Gambar 8.1).

Gambar 8.1. Kasus difteri tahun 2000–2017 (Clarke et al., 2019) Rata-rata
jumlah kasus tahunan yang dilaporkan di seluruh dunia paling banyak baru-baru
ini melaporkan periode 5 tahun (2013–2017) adalah 6.582, dan meningkat 37%
dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun sebelumnya sebanyak 4.809 kasus selama
2008-2012 (Clarke et al., 2019). Pada tahun 2015, kasus difteri didiagnosis di
Barcelona, Spanyol. Anak 6 tahun yang meninggal karena sakit belum divaksinasi
karena penolakan orang tua terhadap vaksinasi. Di Belgia pada tahun 2016,
seorang gadis berusia 3 tahun meninggal karena difteri. Pada bulan Juni, Juli
2016, terdapat 22 kasus difteri dengan 5 meninggal karena difteri di Malaysia
(Mustafa et al., 2016). Di Yaman, di mana perang saudara telah berlangsung sejak
Maret 2015, wabah besar difteri diketahui pada Oktober 2017 dan Mei 2020,
wabah difteri masih berlangsung (Badell et al., 2021). Empat negara melaporkan
kasus yang dikonfirmasi difteri pada tahun 2021 yakni Brasil dengan satu kasus,
Kolombia dengan satu kasus fatal, Haiti dengan 18 kasus termasuk 3 kematian,
dan Republik Dominika dengan 18 kasus termasuk 12 kematian (OPAS/OMS,
2021).
Setelah pelaksanaan program imunisasi yang meluas, difteri telah
menurun atau dihilangkan dari banyak negara maju. Penyakit ini tetap
endemik di beberapa negara berkembang termasuk anak benua India,
Haiti, Brasil, Nigeria, Filipina, dan beberapa negara Mediterania Timur,
Indonesia, (NICD, 2018). Indonesia memiliki salah satu prevalensi difteri
tertinggi di dunia, dengan Jawa Timur yang paling parah terkena dampaknya
(Susanti et al., 2019). Kasus difteri tertinggi terjadi pada musim dengan curah
hujan yang tinggi (Famalasari, 2020). Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika
Indonesia, musim hujan di Indonesia dimulai pada akhir Oktober-November
sedangkan puncak musim hujan terjadi pada Desember-Februari (Wijayanti &
Fadillah, 2019), periode tersebut menyebabkan kejadian banjir dan kelembaban
udara karena memiliki curah hujan yang tinggi (Famalasari, 2020). Kasus difteri
lebih banyak terjadi pada musim hujan karena kekebalan masyarakat cenderung
menurun pada musim hujan yang berdampak lebih rentan terhadap
penyakit menular (Wijayanti & Fadillah, 2019).
3. Faktor Risiko
Banyak faktor risiko yang menyebabkan difteri seperti cakupan
vaksinasi, status vaksinasi, status sosial ekonomi (pengetahuan, sikap,
pendapatan), karakteristik sistem kesehatan (akses ke pelayanan kesehatan,
ketersediaan dan pengetahuan tenaga kesehatan, perbekalan vaksin, ketersediaan
antitoksin) (Rintani et al., 2018), kepadatan penduduk, status gizi (Nassar et al.,
2022), kelembaban ruangan dan pencahayaan (Nanang Saifudin, Chatarina Umbul
Wahyuni, & Santi Martini, 2016) dan mobilitas anak/orangtua merupakan faktor
risiko difteri, untuk mobilitas disarankan melarang anak/orang tua berkunjung ke
daerah yang sedang terjadi wabah difteri (Susanti et al., 2019) karena kontak
dengan kasus difteri merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan
infeksi (Nassar et al., 2022).
4. Riwayat Alamiah
a. Tahap Prepatogenesis
Tahap prepatogenesis merupakan tahap terjadinya interaksi antara
pejamu dan agen bakteri Corynebacterium diphtheriae. Apabila imunitas dari
pejamu lemah atau agen menjadi lebih ganas serta factor lingkungan merugikan
bagi pejamu maka akan berlanjut ketahap berikutnya yakni tahap patogenis
(Najmah, 2016).
b. Tahap Patogenesis
Gejala awal penyakit termasuk sakit tenggorokan, kesulitan menelan,
malaise, dan demam ringan (Amanda Faulkner, Bozio, Acosta, Tejpratap,
& Tiwari, 2019). Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari, dengan (kisaran 1-10 hari)
(Acosta et al., 2021). Jenis difteri yang paling umum adalah difteri pernapasan
klasik (WHO, 2018). Difteri saluran pernapasan klasik biasanya muncul sebagai
nasofaringitis membranosa atau laringotrakeitis obstruktif. Leher banteng,
pembengkakan leher yang luas dengan limfadenitis serviks, adalah tanda penyakit
parah. Komplikasi yang mengancam jiwa termasuk obstruksi jalan napas bagian
atas yang disebabkan oleh pembentukan pseudomembran, dan miokarditis yang
disebabkan oleh toksin difteri (Hanvatananukul et al., 2020). Ciri khas difteri
pernapasan adalah adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang keras di atas
amandel, nasofaring, atau laring. Pseudomembran sangat melekat pada jaringan di
bawahnya, dan upaya untuk melepaskannya biasanya menyebabkan perdarahan.
Pseudomembran dapat secara progresif meluas ke laring dan trakea dan
menyebabkan obstruksi jalan napas, yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani
(Amanda Faulkner et al., 2019). Toksin difteri dapat diserap dari tempat infeksi
dan mengakibatkan komplikasi sistemik, termasuk kerusakan pada miokardium,
sistem saraf, dan ginjal. Difteri pernapasan yang tidak diobati biasanya
berlangsung selama 1 hingga 2 minggu, tetapi komplikasi dapat bertahan selama
berbulan-bulan (Amanda Faulkner et al., 2019).
c. Tahap Pascapatogenis
Komplikasi dari difteri dapat mengakibatkan miokarditis, obstruksi jalan
napas, otot palatum, paralisis otitis media serta dapat tersebar ke paru-paru
sehingga mengakibatkan pneumonia. Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan imunisasi, menggunakan alat pelindung diri dan pengobatan
pada karier. Pada umumnya, orang yang mengalami penyakit difteria
memiliki kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah oleh karena itu
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus dapat berupa imunisasi DPT
dan pengobatan karier (Hartoyo, 2018). Sebagai karier difteri yang
memperlihatkan hasil positif C.diphteriae harus melakukan pengobatan
adekuat juga mengambil swab tenggorok kembali 2 minggu setelah pemberian
profilaksis antibiotik. Profilaksis antibiotik yang diberikan seperti eritromicin
dapat dilakukan terhadap kontak lain dengan negative difteri sehingga dapat
memutuskan mata rantai penularan difteri (Kambang, Sunarno, Pracoyo, Putranto,
& Abdurrahman, 2016).
5. Etiologi
Difteri disebabkan oleh strain toksigenik Corynebacterium diphtheriae. C.
diphtheriae adalah basil pleomorfik dengan pewarnaan tidak teratur, gram positif,
tidak membentuk spora, tidak bergerak (Alberta Health, 2018). C. diphtheriae
memiliki empat biotipe, yakni gravis, intermedius, belfanti dan mitis. Keempat
biotipe mampu menghasilkan eksotoksin yang identik, yang menyebabkan
manifestasi klasik difteri. Toksin diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung gen tox. Jarang, spesies Corynebacterium lain
(C.ulcerans atau C.pseudotuberculosis) dapat menghasilkan toksin difteri (Oregon
Health Authority, 2022).
Toksin difteri mematikan bagi manusia dalam jumlah sekitar 130 g/kg
berat badan. Internalisasi sitoplasma dari 1 molekul toksin telah terbukti
menyebabkan kematian sel. Strain C. diphtheriae yang toksik dan
nontoksik dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya strain yang menghasilkan
toksin yang menyebabkan penyakit dengan gejala miokarditis dan neuritis
(Stechenberg, 2019). C. ulcerans toksigenik dapat menyebabkan penyakit seperti
difteri pernapasan klasik, tetapi penyebaran dari orang ke orang belum
didokumentasikan. C. pseudotuberkulosis dapat menyebabkan limfadenitis pada
manusia (Oregon Health Authority, 2022).
6. Pencegahan
Pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan melalui tiga acara yakni
sebagai berikut:
a. Pencegahan Primer
1) Optimalisasi pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan dengan
penyebaran informasi dalam bentuk sosialisasi mengenai
pentingnya pelaksanaan imunisasi. Penyuluhan menggunakan
bantuan media baik melalui video, leaflet/brosur, pemberian materi
yang disertai dengan diskusi (Zakiyuddin, 2019), penyuluhan
massal melalui media cetak dan elektronik (Tristanto, 2020).
Penyuluhan dapat dilakukan oleh kader-kader posyandu, karena
kader lebih dekat dengan masyarakat dan memiliki waktu lebih
fleksibel karena dapat menyesuaikan dengan aktivitas masyarakat
yang ada dilingkungannya (Zakiyuddin, 2019). Penyuluhan juga
dapat dilakukan oleh dinas kesehatan yang dilakukan baik
menggunakan metode komunikasi massa maupun komunikasi
secara perorangan (Tristanto, 2020).
2) Surveilans difteri merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan
secara terus menerus dan sistematis berdasarkan informasi dan data
mengenai kasus difteri, serta keadaan yang dapat berpengaruh
terjadinya penularan dan peningkatan penyakit difteri, untuk
memberikan dan memperoleh informasi dalam mengarahkan
tindakan baik pengendalian maupun penanggulangan difteri secara
efisien dan efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Surveilans
dilakukan pada semua tingkatan administrasi pemerintah yakni
Puskesmas, Rumah sakit, tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan
Pusat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
3) Dunia menghadapi kenyataan bahwa secara global telah terjadi
penurunan kasus difteri yang signifikan sejak vaksin dimasukkan
dalam program imunisasi nasional sebagian besar negara pada
tahun 1970-an. Meski demikian, penyakit ini belum sepenuhnya
hilang dari muka bumi (Arguni et al., 2021). Penyakit difteri
mungkin tidak memberikan kekebalan. Orang yang tidak
divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih
dari difteri harus memulai atau menyelesaikan imunisasi aktif
dengan toksoid difteri selama masa pemulihan (Acosta et al.,
2021). Vaksin toksoid difteri pertama kali diperkenalkan di Eropa
pada tahun 1940-an. Saat ini, vaksin toksoid difteri terutama
tersedia dalam kombinasi dengan satu atau beberapa antigen
termasuk tetanus, pertusis, polio, Haemophilus influenzae tipe b,
dan hepatitis B, tergantung pada apakah vaksin akan
digunakan untuk imunisasi primer atau sebagai dosis booster.
Setidaknya satu produsen vaksin (SSI) menawarkan vaksin
monovalen yang mengandung toksoid difteri hanya untuk
digunakan pada remaja dan orang dewasa karena penggunaan
vaksin kombinasi terbatas pada kelompok usia yang lebih muda
(European Centre for Disease Prevention and Control, 2015).Anak-
anak berisiko lebih besar terkena penyakit ini karena status
vaksinasi yang tidak lengkap. Tetapi tren juga menunjukkan bahwa
orang dewasa semakin berisiko terkena infeksi karena menurunnya
tingkat antibodi di masa dewasa. Oleh karena itu, diperlukan
strategi vaksinasi yang berbeda untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebagai kunci pendorong keberhasilan program vaksinasi nasional,
studi lebih lanjut tentang vaksin diperlukan untuk memberikan
dosis vaksin difteri yang lebih sedikit tetapi dengan perlindungan
yang lebih besar untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dan
menurunkan angka putus sekolah. Penguatan sistem surveilans dan
pelayanan kesehatan dapat memberikan peluang yang lebih baik
dalam menanggulangi wabah difteri (Rintani et al., 2018).
b. Pencegahan Sekunder
Selain vaksinasi yang tidak lengkap, kontak dengan pasien difteri juga
salah satu faktor risiko utama penularan (Nassar et al., 2022). Oleh karena
itu yang perlu dilakukan adalah isolasi terhadap semua pasien dengan
suspek difteri sampai diagnosis dikonfirmasi atau disingkirkan. Isolasi
pasien rawat inap dilakukan dengan standar pencegahan melalui kontak
(penggunanaan sarung tangan dan celemek plastik, dll) dan pencegahan
droplet (memakai masker wajah bedah) sampai dua kultur dari tenggorokan dan
hidung (dan lesi kulit pada difteri kulit) diambil setidaknya 24 jam setelah
penyelesaian terapi antibiotik negatif untuk C. diphtheriae toksigenik, C. ulcerans
atau C. pseudotuberculosis.. Bila pasien tidak dirawat di rumah sakit, batasi
kontak dengan orang lain sampai terapi antibiotik selesai (NICD, 2018).
Untuk kasus yang dikonfirmasi atau kemungkinan yang dirawat di
rumah sakit, lakukan tindakan pencegahan yang sesuai yakni untuk
infeksi yang ditularkan melalui tetesan dan/atau tindakan kontak langsung,
misalnya ruang samping dengan penggunaan sarung tangan, celemek dan masker
bedah . Lanjutkan isolasi sampai 2 kultur dari nasofaring dan tenggorokan (atau
lesi kulit jika difteri kulit) diminum setidaknya 24 jam terpisah dan lebih dari 24
jam setelah menyelesaikan antibiotik negatif untuk toksigenik C. diphtheriae, C.
ulcerans atau C. pseudotuberculosis. Jika kasusnya baik dan tidak dirawat di
rumah sakit, anjurkan untuk membatasi kontak dengan orang lain sampai selesai
antibiotik yang sesuai, kasus tersebut tidak boleh menghadiri praktik
dokter umum untuk tes lebih lanjut. Juga disarankan untuk mengambil
swab nasofaring dan tenggorokan dari kontak dekat kasus indeks (Brown
& Asuka, 2015).
c. Pencegahan Tersier
Pada tahap ini upaya yang dilakukan dalam pencegahan melalui
deteksi dini dan memberikan pengobatan yang sesuai karena ini
merupakan fase asimtomatis atau tahap pre klinis (Hulu et al., 2020).
Pasien difteri harus menerima antibiotik untuk membasmi pembawa C.
diphtheriae untuk membatasi penularan, dan menghentikan produksi
toksin difteri lebih lanjut. Pengobatan dengan eritromisin atau penisilin
diberikan selama 14 hari (Amanda Faulkner et al., 2019). Penularan dapat
terjadi selama basil virulen hadir dalam kotoran dan lesi. Waktunya
bervariasi, tetapi organisme biasanya bertahan 2 minggu atau kurang, dan
jarang lebih dari 4 minggu, tanpa antibiotik. Pembawa kronis dapat
melepaskan organisme selama 6 bulan atau lebih oleh karena itu
diperlukan terapi antibiotik yang efektif (Oregon Health Authority, 2022).

B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR CAMPAK


1. Pengertian
Campak adalah penyakit menular akut oleh virus dalam genus
paramyxovirus, genus Morbillivirus (P. A. Gastanaduy, Redd, & Clemmons,
2018; Van Heyningen & Seal, 2019). Referensi campak dapat ditemukan sejak
abad ke-7. Penyakit ini digambarkan oleh dokter Persia Rhazes pada abad ke-10
"lebih ditakuti daripada cacar."(P. Gastanaduy, Haber, Rota, & Patel, 2021).
Campak ditandai dengan demam prodromal (setinggi 105 °F) dan rasa tidak enak,
batuk, coryza, dan konjungtivitis, diikuti oleh ruam makulopapular. Ruam
menyebar dari kepala ke badan hingga ekstremitas bawah (P. A. Gastanaduy et
al., 2018).
2. Pendekatan
Beberapa metode penyebaran virus termasuk kontak langsung dengan
sekret yang terinfeksi, kontak dengan benda yang terkontaminasi, dan
menghirup droplet di udara yang mengandung virus. Partikel virus aerosol tetap
tertahan untuk waktu yang lama dan orang yang tidak kebal dapat
terinfeksi hanya dengan berjalan ke ruangan tempat penderita campak
baru-baru ini berada (Lindberg, Lanzi, & Lindberg, 2015). Sekitar 30% kasus
campak yang dilaporkan memiliki satu atau lebih komplikasi. Komplikasi lebih
sering terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun dan orang dewasa berusia 20
tahun ke atas (Wisconsin Division of Public Health, 2019). Komplikasi lebih
mungkin terjadi terjadi pada kelompok tertentu termasuk orang dengan sistem
kekebalan yang lemah, bayi dan wanita hamil. (NHS, 2016).Orang dewasa dan
anak kecil lebih mungkin mengalami komplikasi dibandingkan anak yang lebih
tua dan remaja (Australian Institute of Health and Welfare, 2018).
Campak dapat mengakibatkan komplikasi seperti infeksi dada dan
telinga, diare, kerusakan otak (NHS, 2016), pneumonia, ensefalitis dan
kematian (P. A. Gastanaduy et al., 2018). Komplikasi campak seperti ensefalitis
(sekitar 1 dari setiap 1.000 kasus) (Wisconsin Division of Public Health, 2019).
Sekitar 1 dari 15 anak-anak dengan campak menderita pneumonia campak dan 1
dari 1.000 menderita ensefalitis campak. Untuk setiap 10 anak yang menderita
ensefalitis campak, 1 meninggal dan hingga 4 mengalami kerusakan otak
permanen (Australian Institute of Health and Welfare, 2018). Kejang dengan atau
tanpa demam (6-7 per 1.000 kasus yang dilaporkan), dan kematian (sekitar 1-3 per
1.000 kasus) (Wisconsin Division of Public Health, 2019). Angka kematian
sekitar 5% di banyak wilayah di dunia (Lindberg et al., 2015). Risiko
kematian akibat komplikasi campak lebih tinggi pada anak-anak yang
lebih muda, orang dewasa yang lebih tua, dan individu dengan
imunosupresi. Penyebab kematian paling umum adalah pneumonia pada
anak-anak dan ensefalitis pada orang dewasa. Pneumonia mempersulit
6% kasus campak di AS, dan 19% kasus campak dirawat di rumah sakit
(Wisconsin Division of Public Health, 2019).
Kampanye vaksinasi global menghasilkan pengurangan yang nyata
dari penularan campak dan kasus-kasus fatal dan WHO telah mencanangkan
tujuan eliminasi. Namun, penyakit ini masih menyebabkan sekitar 110.000
kematian pada tahun 2017 (Düx et al., 2019). Secara global, jumlah kasus campak
telah meningkat secara signifikan sejak 2016. Banyak negara berada di tengah
wabah campak yang cukup besar, dengan semua wilayah di dunia mengalami
peningkatan kasus yang berkelanjutan. Antara Januari 2016 dan Maret
2019, 44.047 kasus dilaporkan dari 30 negara UE/EAA, dengan peningkatan
empat kali lipat dalam kasus yang tercatat antara 2016 dan 2017 (HSE
Immunisation, 2022). Kasus terjadinya penyakit campak dapat dipengaruhi oleh
waktu, virus yang menyebabkan campak berada pada kondisi yang sangat stabil
dengan kelembaban kurang dari 40%, pada daerah yang tropis biasanya campak
terjadinya pada musim kemarau atau panas (april-september) (Riastini & Sutarga,
2021).
3. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian campak yaitu riwayat
imunisasi campak, pengetahuan ibu, persepsi ibu (Ardhiansyah, Rahardjani,
Suwondo, Setiawati, & Kartini, 2019; Arianto, Setiawati, Adi, Hadisaputro, &
Budhi, 2018; Batubara & Oktaviani, 2018; Giarsawan, 2012), selain pengetahuan
ibu, pengetahuan tenaga medis dalam mengelola vaksin juga mempengaruhi
kejadian campak (Ulfah et al., 2017), umur anak (Juniarti, J.Kunoli, & Afni,
2016), riwayat kontak (Ardhiansyah, R, & Suwondo, 2020; Ardhiansyah et al.,
2019), serta faktor ligkungan seperti kepadatan hunian, rumah tidak sehat dan
ventilasi rumah (Ardhiansyah et al., 2020, 2019; Arianto et al., 2018; Giarsawan,
2012) merupakan faktor risiko lainnya.
4. Riwayat Alamiah
a. Tahap Prepatogenesis
Tahap prepatogenesis merupakan tahap terjadinya interaksi antara pejamu
dan agen bakteri Paramyxovirus. Apabila imunitas dari pejamu lemah atau agen
menjadi lebih ganas serta faktor lingkungan merugikan bagi pejamu maka akan
berlanjut ketahap berikutnya yakni tahap patogenis (Najmah, 2016).
b. Tahap Patogenesis
Campak adalah virus yang sangat menular yang dapat bertahan di
ruangan hingga dua jam bahkan jika penderita campak tidak lagi
berada di dalam ruangan. Campak juga dapat disebarkan oleh orang yang
terinfeksi bahkan sebelum ruam atau gejala lain muncul (Arizona Department of
Health Service, 2016). Campak adalah penyakit akut yang ditandai dengan
demam, batuk, pilek, konjungtivitis, ruam makulopapular eritematosa, dan lesi
mulut yang khas (bintik koplik) (Wisconsin Division of Public Health, 2019).
Pada 3 – 7 hari setelah awal gejala, ruam merah (makulopapular) muncul di wajah
dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh (Ontario, 2019). Masa inkubasi adalah
sekitar sepuluh hari (berkisar antara tujuh dan 18 hari) dengan dua sampai empat
hari lagi sebelum ruam muncul (Van Heyningen & Seal, 2019). Campak
disebarkan melalui transmisi udara atau droplet. Individu menular dari awal
periode prodromal (ketika gejala pertama muncul) sampai empat hari setelah
munculnya ruam. Ini adalah salah satu penyakit menular yang paling
mudah menular (Van Heyningen & Seal, 2019). Kasus campak dapat
terjadi hingga 21 hari setelah terpapar selama periode menular (Porter
& Goldfarb, 2019).
Tingkat keparahan konjungtivitis bervariasi dan dapat disertai
dengan fotofobia. Gejala respiratori terjadi akibat inflamasi mukosa akibat infeksi
virus pada sel epitel. Demam biasanya hadir dan mungkin setinggi 40oC. Gejala
prodromal biasanya meningkat beberapa hari sebelum ruam muncul (HSE
Immunisation, 2022). Ruamnya makulopapular eritematosa, mulai dari kepala dan
menyebar ke badan dan anggota badan selama tiga sampai empat hari. Bintik-
bintik koplik (bintik-bintik merah kecil dengan pusat putih kebiruan) dapat
muncul pada selaput lendir mulut satu sampai dua hari sebelum ruam muncul dan
dapat terlihat selama satu sampai dua hari setelahnya (Van Heyningen & Seal,
2019).
Ruam bisa menjadi menyatu di beberapa tempat. Setelah 3 sampai
4 hari, ruam mulai memudar, sesuai urutan munculnya, meninggalkan perubahan
warna kecoklatan sementara. Perbaikan klinis biasanya dimulai dalam waktu 48
jam setelah munculnya ruam. Batuk dapat bertahan selama 1-2 minggu. Demam
yang berlangsung lebih dari 3 sampai 4 hari setelah timbulnya ruam menunjukkan
adanya komplikasi terkait campak. Sekitar 30% kasus campak memiliki satu atau
lebih komplikasi, yang lebih sering terjadi pada mereka yang berusia <5 dan >20
tahun (HSE Immunisation, 2022).
c. Tahap Pascapatogenesis
Dalam tahap ini adalah berakhirnya perjalanan campak bisa
sembuh secara sempurna, sembuh dengan mengalami cacat, menjadi
karier dan penyakit kronik karena terjadi komplikasi dan berakhir kematian (Hulu
et al., 2020). Kasus komplikasi campak antara lain otitis media (1/10-15 kasus),
diare (1/16), pneumonia (1/15), kejang (1/200), ensefalitis (1/1.000),
panensefalitis sklerosis subakut dan kasus kematian (1/500 - 800), (1/25.000)
(HSE Immunisation, 2022).
5. Etiologi
Campak disebabkan oleh virus campak (genus Morbillivirus, famili
Paramyxoviridae) (Wisconsin Division of Public Health, 2019). Virus
campak adalah paramyxovirus dari genus Morbillivirus. Diameternya 120
hingga 250 nm, dengan genom RNA untai tunggal negatif, dan berkerabat
dekat dengan rinderpest dan canine distemper viruses. Dua protein
penting dalam pathogenesis adalah yang pertama protein F (fusi), yang
bertanggung jawab untuk fusi virus dan membran sel inang, penetrasi virus, dan
hemolisis, dan yang kedua adalah protein H (hemagglutinin), yang bertanggung
jawab untuk mengikat virus ke reseptor pada sel inang (P. Gastanaduy et al.,
2021).
6. Pencegahan
Pencegahan penyakit campak dapat dilakukan melalui tiga acara yakni
sebagai berikut:
a. Pencegahan Primer
1) Kurangnya informasi dan motivasi orang tua adalah alasan utama
dari rendahnya cakupan imunisasi, maka perlu diperbaiki sedini
mungkin oleh karena itu intervensi pendidikan singkat yang
dirancang untuk orang tua memiliki efek positif pada pengetahuan
mereka tentang imunisasi (Prihanti, Wisata, Giptiyah, & Kasih,
2020). Penyuluhan imunisasi campak efektif mempengaruhi
pengetahuan ibu menjadi lebih baik (Bomboa, Pascoal, & Lumy,
2015). Kegiatan penyuluhan campak baik sosialisasi dan informasi
dapat diberikan secara berkelanjutan dan berkala melalui kegiatan-
kegiatan arisan PKK, Posyandu, maupun mengadakan pertemuan
lainnya (Giarsawan, 2012).
2) Program vaksinasi yang efektif adalah pendekatan terbaik untuk
mencegah penularan campak terkait perawatan kesehatan (P. A.
Gastanaduy et al., 2018). Komponen kunci lain yang harus menjadi
bagian dari kegiatan penanggulangan wabah adalah penguatan
imunisasi rutin (WHO,2013). Vaksinasi anak secara rutin adalah
salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling sukses dan
hemat biaya (Mosser et al., 2019). Imunisasi berhasil
mengendalikan penyebaran campak; namun, kepatuhan vaksinasi
sulit dipertahankan di abad ke-21 (Lindberg et al., 2015). Dengan
terjadinya wabah memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi
kelemahan program imunisasi yang mungkin berkontribusi
terhadap wabah. Wilayah atau kelompok prioritas dalam wilayah
wabah harus diidentifikasi dan ditargetkan untuk tindakan korektif
untuk memastikan pengiriman tepat waktu dan kualitas layanan
imunisasi rutin yang tinggi dan untuk mencapai cakupan yang
tinggi (WHO, 2013). Kelompok prioritas adalah negara yang
dipilih dengan menerapkan kriteria berikut: (i) perkiraan beban
penyakit, (ii) perkiraan cakupan vaksinasi, (iii) profil kekebalan
terhadap campak, (iv) status kerapuhan, dan (v) kematangan sistem
imunisasi (WHO, 2020). Jika pendekatan selektif akan digunakan
dalam menanggapi wabah, kegiatan imunisasi harus menargetkan
semua kelompok usia (biasanya anak-anak usia prasekolah dan
sekolah) dengan dosis rutin yang terlewat atau tertunda (WHO,
2013).
3) Munculnya pandemi COVID-19 dan dampak besar pada kampanye
vaksinasi preventif dan reaktif, sistem imunisasi rutin dan
kesiapsiagaan dan tanggapan wabah, WHO berkoordinasi dengan
negara masing-masing untuk mengumpulkan data yang relevan
yang diintegrasikan ke dalam proses penilaian risiko. Dukungan
yang ditingkatkan untuk negara-negara prioritas yang
diorientasikan oleh penilaian risiko global ini meliputi:1) intervensi
kesiapsiagaan, dan 2) kegiatan vaksinasi pencegahan di negara-
negara prioritas yang tidak memenuhi syarat Gavi. Risiko dan
prioritas regional akan (kembali) dinilai setiap tahun dan jika
terjadi wabah besar. Dukungan respons wabah akan diberikan
terlepas dari daftar Negara prioritas (WHO, 2020).
b. Pencegahan Sekunder
1) Identifikasi orang dengan tanpa gejala tetapi sudah sakit maupun
penderita yang memiliki risiko tinggi. Pencegahan sekunder ini
dapat dilakukan dengan selalu menjaga kesehatan seperti olahraga
secara teratur, konsumsi makanan yang sehat, cukup istrihat, dan
imunisasi. Dengan memberikan Imunisasi dapat bermanfaat
terhadap kekebalan aktif sehingga melindungi terjadinya penyakit
campak (Hulu et al., 2020) selain itu mempraktikkan kebersihan
tangan yang baik, hindari berbagi gelas atau peralatan minum dan
tutupi batuk dan bersin dengan tisu atau lengan bawah.
Kewaspadaan melalui udara selain praktik rutin harus diikuti ketika
individu dengan kemungkinan campak datang ke tempat perawatan
kesehatan (Manitoba, 2019).
2) Karantina (paling umum karantina sukarela) dari orang yang
terpapar terutama di tempat yang tidak divaksinasi atau populasi
berisiko tinggi. Dalam situasi seperti itu, karantina telah membantu
menahan penyebaran penyakit ke masyarakat sekitar. Kepatuhan
terhadap karantina dapat dipastikan atas kebijaksanaan departemen
kesehatan. Saat memutuskan tentang karantina, faktor yang perlu
dipertimbangkan termasuk: status kekebalan individu, bukti dugaan
kekebalan, apakah orang tersebut berisiko tinggi atau tidak dan
pengaturan transmisi (P.A.Gastanaduy et al., 2018).
3) Jika gejala sugestif berkembang, mereka harus menghubungi
departemen kesehatan setempat secepatnya. Penting untuk
menghindari mengekspos orang yang mungkin secara kebetulan
hadir di fasilitas kesehatan. Orang dengan kemungkinan campak
harus menelepon terlebih dahulu untuk memberi tahu staf di
fasilitas tersebut sehingga pengaturan khusus dapat dibuat untuk
mencegah kontak dengan pasien atau karyawan lain, sambil
menunggu evaluasi (Oregon Health Authority, 2021).

c. Pencegahan Tersier
Dalam tahap ini, melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya
kecacatan yang diakibatkan oleh komplikasi. Upaya dilakukan mencegah
timbulnya perubahan dari komplikasi yang dapat menyebabkan kecatatan
tubuh, upaya rehabilitasi dilakukan sedini mungkin terhadap penderita
kecacatan. Diperlukan adanya kerjasama antara dokter dan pasien (Hulu et al.,
2020).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini  disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Sedangkan penyakit Campak merupakan penyakit yang sangat mudah
menular yang disebabkan oleh virus dalam genus paramyxovirus, genus
Morbillivirus (P. A. Gastanaduy, Redd, & Clemmons, 2018; Van Heyningen &
Seal, 2019). dan ditularkan melalui batuk dan bersin. Gejala penyakit campak
adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau konjungtivis dan dapat berujung pada komplikasi berupa
pneumonia, diare, dan meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ketika seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan
penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak. Kekebalan
terbentuk jika telah diimunisasi atau telah terinfeksi virus campak sebelumnya.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat manambah wawasan kita tentang
apa itu penyakit difteri dan campak serta bagaimana cara pencegahannya dan
dapat kita amalkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, A.M..Moro., P.L.Hariri, S.,, & Tiwari T.S.P. (2021). Diphtheria . 97-100.
Alberta Health. (2018). Dhiptheria Retreived From. http://open
alberta.ca/dataset/75fod4df-d687-4be6-9b83-e808fe38c9fd6/resource/
90ed.
Amanda Faulkener, Bozio C.H, & Acosta A.. Tejpratap & Tiwari. (2019). Manual
for the surveilans of Vaccine-preventable disases. Chapter 1. Manual For
The Surveilance of Vaccine-Preventable Disease. 13. 1-9 .
Ardiansyah. F. R. K. B , & Suwondo A. (2020). Faktor Yang Memengaruhi KLB
Campak Anak. 8487(1) 1-11.
Ardinsyah F Rahardjani, K.B Suwondo A. Setiawati M., & Kartini A. (2019).
Faktor Risiko Campak Anak Pada Sekolah Dasar pada Kejadian Luar
Biasa di kabupaten pesawaran, provinsi lampung. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas 4 (2). 61-72 .
Arianto M. Setiawati M., Adi M.S Hdisaputro S., & Budhi. K. (2018). Beberapa
Faktor Risiko Kejadian Campak Pada Balita di Kabupaten Srolangun.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas 3 (1) 41 .
Arizona Departemen of Health Service . (2016). Measles Surveilance Toolkit For
Healthcare Settings.
Australian Institute of Health and Walfare. (2018). Measles In Aaustralia 2.

Anda mungkin juga menyukai