Disusun Oleh:
HABIB SYAPUTRA RAHMANSYAH (201320100003)
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Epidemiologi Penyakit Difteri dan Campak” untuk memenuhi tugas di
fakultas ilmu kesehatan Masyarakat Universitas Bakti Indonesia Banyuwamgi.
Penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................6
A. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR DIFTERI..................................6
1. Pengertian.....................................................................................................6
2. Pendekatan....................................................................................................6
3. Faktor Risiko................................................................................................8
4. Riwayat Alamiah..........................................................................................8
5. Etiologi.........................................................................................................9
6. Pencegahan.................................................................................................10
B. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR CAMPAK...............................13
1. Pengertian...................................................................................................13
2. Pendekatan..................................................................................................13
3. Faktor Risiko..............................................................................................14
4. Riwayat Alamiah........................................................................................14
5. Etiologi.......................................................................................................15
6. Pencegahan.................................................................................................15
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................................18
B. Saran..............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Sedangkan penyakit Campak merupakan penyakit yang sangat mudah
menular yang disebabkan oleh virus dalam genus paramyxovirus, genus
Morbillivirus (P. A. Gastanaduy, Redd, & Clemmons, 2018; Van Heyningen &
Seal, 2019). dan ditularkan melalui batuk dan bersin. Gejala penyakit campak
adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau konjungtivis dan dapat berujung pada komplikasi berupa
pneumonia, diare, dan meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ketika seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan
penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak. Kekebalan
terbentuk jika telah diimunisasi atau telah terinfeksi virus campak sebelumnya.
Campak menjadi perhatian serius pada tahun 2000, dimana dilaporkan
bahwa komplikasi penyakit campak menyebabkan kematian kepada lebih dari
562.000 anak di seluruh dunia.
Pada makalah kali ini kita akan membahas mengenai epidemiologi penyakit
menular difteri dan campak. Mulai dari pengertian hingga bagaimana cara
pencegahan pada penyakit menular tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Difteri
2. Mempelajari Epidemiologi Penyakit Campak
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Epidemiologi Penyakit Difteri
2. Untuk Mengetahui Epidemiologi Penyakit Campak
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 8.1. Kasus difteri tahun 2000–2017 (Clarke et al., 2019) Rata-rata
jumlah kasus tahunan yang dilaporkan di seluruh dunia paling banyak baru-baru
ini melaporkan periode 5 tahun (2013–2017) adalah 6.582, dan meningkat 37%
dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun sebelumnya sebanyak 4.809 kasus selama
2008-2012 (Clarke et al., 2019). Pada tahun 2015, kasus difteri didiagnosis di
Barcelona, Spanyol. Anak 6 tahun yang meninggal karena sakit belum divaksinasi
karena penolakan orang tua terhadap vaksinasi. Di Belgia pada tahun 2016,
seorang gadis berusia 3 tahun meninggal karena difteri. Pada bulan Juni, Juli
2016, terdapat 22 kasus difteri dengan 5 meninggal karena difteri di Malaysia
(Mustafa et al., 2016). Di Yaman, di mana perang saudara telah berlangsung sejak
Maret 2015, wabah besar difteri diketahui pada Oktober 2017 dan Mei 2020,
wabah difteri masih berlangsung (Badell et al., 2021). Empat negara melaporkan
kasus yang dikonfirmasi difteri pada tahun 2021 yakni Brasil dengan satu kasus,
Kolombia dengan satu kasus fatal, Haiti dengan 18 kasus termasuk 3 kematian,
dan Republik Dominika dengan 18 kasus termasuk 12 kematian (OPAS/OMS,
2021).
Setelah pelaksanaan program imunisasi yang meluas, difteri telah
menurun atau dihilangkan dari banyak negara maju. Penyakit ini tetap
endemik di beberapa negara berkembang termasuk anak benua India,
Haiti, Brasil, Nigeria, Filipina, dan beberapa negara Mediterania Timur,
Indonesia, (NICD, 2018). Indonesia memiliki salah satu prevalensi difteri
tertinggi di dunia, dengan Jawa Timur yang paling parah terkena dampaknya
(Susanti et al., 2019). Kasus difteri tertinggi terjadi pada musim dengan curah
hujan yang tinggi (Famalasari, 2020). Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika
Indonesia, musim hujan di Indonesia dimulai pada akhir Oktober-November
sedangkan puncak musim hujan terjadi pada Desember-Februari (Wijayanti &
Fadillah, 2019), periode tersebut menyebabkan kejadian banjir dan kelembaban
udara karena memiliki curah hujan yang tinggi (Famalasari, 2020). Kasus difteri
lebih banyak terjadi pada musim hujan karena kekebalan masyarakat cenderung
menurun pada musim hujan yang berdampak lebih rentan terhadap
penyakit menular (Wijayanti & Fadillah, 2019).
3. Faktor Risiko
Banyak faktor risiko yang menyebabkan difteri seperti cakupan
vaksinasi, status vaksinasi, status sosial ekonomi (pengetahuan, sikap,
pendapatan), karakteristik sistem kesehatan (akses ke pelayanan kesehatan,
ketersediaan dan pengetahuan tenaga kesehatan, perbekalan vaksin, ketersediaan
antitoksin) (Rintani et al., 2018), kepadatan penduduk, status gizi (Nassar et al.,
2022), kelembaban ruangan dan pencahayaan (Nanang Saifudin, Chatarina Umbul
Wahyuni, & Santi Martini, 2016) dan mobilitas anak/orangtua merupakan faktor
risiko difteri, untuk mobilitas disarankan melarang anak/orang tua berkunjung ke
daerah yang sedang terjadi wabah difteri (Susanti et al., 2019) karena kontak
dengan kasus difteri merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan
infeksi (Nassar et al., 2022).
4. Riwayat Alamiah
a. Tahap Prepatogenesis
Tahap prepatogenesis merupakan tahap terjadinya interaksi antara
pejamu dan agen bakteri Corynebacterium diphtheriae. Apabila imunitas dari
pejamu lemah atau agen menjadi lebih ganas serta factor lingkungan merugikan
bagi pejamu maka akan berlanjut ketahap berikutnya yakni tahap patogenis
(Najmah, 2016).
b. Tahap Patogenesis
Gejala awal penyakit termasuk sakit tenggorokan, kesulitan menelan,
malaise, dan demam ringan (Amanda Faulkner, Bozio, Acosta, Tejpratap,
& Tiwari, 2019). Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari, dengan (kisaran 1-10 hari)
(Acosta et al., 2021). Jenis difteri yang paling umum adalah difteri pernapasan
klasik (WHO, 2018). Difteri saluran pernapasan klasik biasanya muncul sebagai
nasofaringitis membranosa atau laringotrakeitis obstruktif. Leher banteng,
pembengkakan leher yang luas dengan limfadenitis serviks, adalah tanda penyakit
parah. Komplikasi yang mengancam jiwa termasuk obstruksi jalan napas bagian
atas yang disebabkan oleh pembentukan pseudomembran, dan miokarditis yang
disebabkan oleh toksin difteri (Hanvatananukul et al., 2020). Ciri khas difteri
pernapasan adalah adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang keras di atas
amandel, nasofaring, atau laring. Pseudomembran sangat melekat pada jaringan di
bawahnya, dan upaya untuk melepaskannya biasanya menyebabkan perdarahan.
Pseudomembran dapat secara progresif meluas ke laring dan trakea dan
menyebabkan obstruksi jalan napas, yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani
(Amanda Faulkner et al., 2019). Toksin difteri dapat diserap dari tempat infeksi
dan mengakibatkan komplikasi sistemik, termasuk kerusakan pada miokardium,
sistem saraf, dan ginjal. Difteri pernapasan yang tidak diobati biasanya
berlangsung selama 1 hingga 2 minggu, tetapi komplikasi dapat bertahan selama
berbulan-bulan (Amanda Faulkner et al., 2019).
c. Tahap Pascapatogenis
Komplikasi dari difteri dapat mengakibatkan miokarditis, obstruksi jalan
napas, otot palatum, paralisis otitis media serta dapat tersebar ke paru-paru
sehingga mengakibatkan pneumonia. Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan imunisasi, menggunakan alat pelindung diri dan pengobatan
pada karier. Pada umumnya, orang yang mengalami penyakit difteria
memiliki kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah oleh karena itu
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus dapat berupa imunisasi DPT
dan pengobatan karier (Hartoyo, 2018). Sebagai karier difteri yang
memperlihatkan hasil positif C.diphteriae harus melakukan pengobatan
adekuat juga mengambil swab tenggorok kembali 2 minggu setelah pemberian
profilaksis antibiotik. Profilaksis antibiotik yang diberikan seperti eritromicin
dapat dilakukan terhadap kontak lain dengan negative difteri sehingga dapat
memutuskan mata rantai penularan difteri (Kambang, Sunarno, Pracoyo, Putranto,
& Abdurrahman, 2016).
5. Etiologi
Difteri disebabkan oleh strain toksigenik Corynebacterium diphtheriae. C.
diphtheriae adalah basil pleomorfik dengan pewarnaan tidak teratur, gram positif,
tidak membentuk spora, tidak bergerak (Alberta Health, 2018). C. diphtheriae
memiliki empat biotipe, yakni gravis, intermedius, belfanti dan mitis. Keempat
biotipe mampu menghasilkan eksotoksin yang identik, yang menyebabkan
manifestasi klasik difteri. Toksin diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi
oleh bakteriofag yang mengandung gen tox. Jarang, spesies Corynebacterium lain
(C.ulcerans atau C.pseudotuberculosis) dapat menghasilkan toksin difteri (Oregon
Health Authority, 2022).
Toksin difteri mematikan bagi manusia dalam jumlah sekitar 130 g/kg
berat badan. Internalisasi sitoplasma dari 1 molekul toksin telah terbukti
menyebabkan kematian sel. Strain C. diphtheriae yang toksik dan
nontoksik dapat menyebabkan penyakit, tetapi hanya strain yang menghasilkan
toksin yang menyebabkan penyakit dengan gejala miokarditis dan neuritis
(Stechenberg, 2019). C. ulcerans toksigenik dapat menyebabkan penyakit seperti
difteri pernapasan klasik, tetapi penyebaran dari orang ke orang belum
didokumentasikan. C. pseudotuberkulosis dapat menyebabkan limfadenitis pada
manusia (Oregon Health Authority, 2022).
6. Pencegahan
Pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan melalui tiga acara yakni
sebagai berikut:
a. Pencegahan Primer
1) Optimalisasi pencegahan penyakit difteri dapat dilakukan dengan
penyebaran informasi dalam bentuk sosialisasi mengenai
pentingnya pelaksanaan imunisasi. Penyuluhan menggunakan
bantuan media baik melalui video, leaflet/brosur, pemberian materi
yang disertai dengan diskusi (Zakiyuddin, 2019), penyuluhan
massal melalui media cetak dan elektronik (Tristanto, 2020).
Penyuluhan dapat dilakukan oleh kader-kader posyandu, karena
kader lebih dekat dengan masyarakat dan memiliki waktu lebih
fleksibel karena dapat menyesuaikan dengan aktivitas masyarakat
yang ada dilingkungannya (Zakiyuddin, 2019). Penyuluhan juga
dapat dilakukan oleh dinas kesehatan yang dilakukan baik
menggunakan metode komunikasi massa maupun komunikasi
secara perorangan (Tristanto, 2020).
2) Surveilans difteri merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan
secara terus menerus dan sistematis berdasarkan informasi dan data
mengenai kasus difteri, serta keadaan yang dapat berpengaruh
terjadinya penularan dan peningkatan penyakit difteri, untuk
memberikan dan memperoleh informasi dalam mengarahkan
tindakan baik pengendalian maupun penanggulangan difteri secara
efisien dan efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Surveilans
dilakukan pada semua tingkatan administrasi pemerintah yakni
Puskesmas, Rumah sakit, tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan
Pusat (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
3) Dunia menghadapi kenyataan bahwa secara global telah terjadi
penurunan kasus difteri yang signifikan sejak vaksin dimasukkan
dalam program imunisasi nasional sebagian besar negara pada
tahun 1970-an. Meski demikian, penyakit ini belum sepenuhnya
hilang dari muka bumi (Arguni et al., 2021). Penyakit difteri
mungkin tidak memberikan kekebalan. Orang yang tidak
divaksinasi atau divaksinasi tidak lengkap yang pulih
dari difteri harus memulai atau menyelesaikan imunisasi aktif
dengan toksoid difteri selama masa pemulihan (Acosta et al.,
2021). Vaksin toksoid difteri pertama kali diperkenalkan di Eropa
pada tahun 1940-an. Saat ini, vaksin toksoid difteri terutama
tersedia dalam kombinasi dengan satu atau beberapa antigen
termasuk tetanus, pertusis, polio, Haemophilus influenzae tipe b,
dan hepatitis B, tergantung pada apakah vaksin akan
digunakan untuk imunisasi primer atau sebagai dosis booster.
Setidaknya satu produsen vaksin (SSI) menawarkan vaksin
monovalen yang mengandung toksoid difteri hanya untuk
digunakan pada remaja dan orang dewasa karena penggunaan
vaksin kombinasi terbatas pada kelompok usia yang lebih muda
(European Centre for Disease Prevention and Control, 2015).Anak-
anak berisiko lebih besar terkena penyakit ini karena status
vaksinasi yang tidak lengkap. Tetapi tren juga menunjukkan bahwa
orang dewasa semakin berisiko terkena infeksi karena menurunnya
tingkat antibodi di masa dewasa. Oleh karena itu, diperlukan
strategi vaksinasi yang berbeda untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebagai kunci pendorong keberhasilan program vaksinasi nasional,
studi lebih lanjut tentang vaksin diperlukan untuk memberikan
dosis vaksin difteri yang lebih sedikit tetapi dengan perlindungan
yang lebih besar untuk meningkatkan cakupan vaksinasi dan
menurunkan angka putus sekolah. Penguatan sistem surveilans dan
pelayanan kesehatan dapat memberikan peluang yang lebih baik
dalam menanggulangi wabah difteri (Rintani et al., 2018).
b. Pencegahan Sekunder
Selain vaksinasi yang tidak lengkap, kontak dengan pasien difteri juga
salah satu faktor risiko utama penularan (Nassar et al., 2022). Oleh karena
itu yang perlu dilakukan adalah isolasi terhadap semua pasien dengan
suspek difteri sampai diagnosis dikonfirmasi atau disingkirkan. Isolasi
pasien rawat inap dilakukan dengan standar pencegahan melalui kontak
(penggunanaan sarung tangan dan celemek plastik, dll) dan pencegahan
droplet (memakai masker wajah bedah) sampai dua kultur dari tenggorokan dan
hidung (dan lesi kulit pada difteri kulit) diambil setidaknya 24 jam setelah
penyelesaian terapi antibiotik negatif untuk C. diphtheriae toksigenik, C. ulcerans
atau C. pseudotuberculosis.. Bila pasien tidak dirawat di rumah sakit, batasi
kontak dengan orang lain sampai terapi antibiotik selesai (NICD, 2018).
Untuk kasus yang dikonfirmasi atau kemungkinan yang dirawat di
rumah sakit, lakukan tindakan pencegahan yang sesuai yakni untuk
infeksi yang ditularkan melalui tetesan dan/atau tindakan kontak langsung,
misalnya ruang samping dengan penggunaan sarung tangan, celemek dan masker
bedah . Lanjutkan isolasi sampai 2 kultur dari nasofaring dan tenggorokan (atau
lesi kulit jika difteri kulit) diminum setidaknya 24 jam terpisah dan lebih dari 24
jam setelah menyelesaikan antibiotik negatif untuk toksigenik C. diphtheriae, C.
ulcerans atau C. pseudotuberculosis. Jika kasusnya baik dan tidak dirawat di
rumah sakit, anjurkan untuk membatasi kontak dengan orang lain sampai selesai
antibiotik yang sesuai, kasus tersebut tidak boleh menghadiri praktik
dokter umum untuk tes lebih lanjut. Juga disarankan untuk mengambil
swab nasofaring dan tenggorokan dari kontak dekat kasus indeks (Brown
& Asuka, 2015).
c. Pencegahan Tersier
Pada tahap ini upaya yang dilakukan dalam pencegahan melalui
deteksi dini dan memberikan pengobatan yang sesuai karena ini
merupakan fase asimtomatis atau tahap pre klinis (Hulu et al., 2020).
Pasien difteri harus menerima antibiotik untuk membasmi pembawa C.
diphtheriae untuk membatasi penularan, dan menghentikan produksi
toksin difteri lebih lanjut. Pengobatan dengan eritromisin atau penisilin
diberikan selama 14 hari (Amanda Faulkner et al., 2019). Penularan dapat
terjadi selama basil virulen hadir dalam kotoran dan lesi. Waktunya
bervariasi, tetapi organisme biasanya bertahan 2 minggu atau kurang, dan
jarang lebih dari 4 minggu, tanpa antibiotik. Pembawa kronis dapat
melepaskan organisme selama 6 bulan atau lebih oleh karena itu
diperlukan terapi antibiotik yang efektif (Oregon Health Authority, 2022).
c. Pencegahan Tersier
Dalam tahap ini, melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya
kecacatan yang diakibatkan oleh komplikasi. Upaya dilakukan mencegah
timbulnya perubahan dari komplikasi yang dapat menyebabkan kecatatan
tubuh, upaya rehabilitasi dilakukan sedini mungkin terhadap penderita
kecacatan. Diperlukan adanya kerjasama antara dokter dan pasien (Hulu et al.,
2020).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Sedangkan penyakit Campak merupakan penyakit yang sangat mudah
menular yang disebabkan oleh virus dalam genus paramyxovirus, genus
Morbillivirus (P. A. Gastanaduy, Redd, & Clemmons, 2018; Van Heyningen &
Seal, 2019). dan ditularkan melalui batuk dan bersin. Gejala penyakit campak
adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit (rash) disertai dengan batuk
dan/atau pilek dan/atau konjungtivis dan dapat berujung pada komplikasi berupa
pneumonia, diare, dan meningitis dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Ketika seseorang terkena campak, 90% orang yang berinteraksi erat dengan
penderita dapat tertular jika mereka belum kebal terhadap campak. Kekebalan
terbentuk jika telah diimunisasi atau telah terinfeksi virus campak sebelumnya.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat manambah wawasan kita tentang
apa itu penyakit difteri dan campak serta bagaimana cara pencegahannya dan
dapat kita amalkan ke dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, A.M..Moro., P.L.Hariri, S.,, & Tiwari T.S.P. (2021). Diphtheria . 97-100.
Alberta Health. (2018). Dhiptheria Retreived From. http://open
alberta.ca/dataset/75fod4df-d687-4be6-9b83-e808fe38c9fd6/resource/
90ed.
Amanda Faulkener, Bozio C.H, & Acosta A.. Tejpratap & Tiwari. (2019). Manual
for the surveilans of Vaccine-preventable disases. Chapter 1. Manual For
The Surveilance of Vaccine-Preventable Disease. 13. 1-9 .
Ardiansyah. F. R. K. B , & Suwondo A. (2020). Faktor Yang Memengaruhi KLB
Campak Anak. 8487(1) 1-11.
Ardinsyah F Rahardjani, K.B Suwondo A. Setiawati M., & Kartini A. (2019).
Faktor Risiko Campak Anak Pada Sekolah Dasar pada Kejadian Luar
Biasa di kabupaten pesawaran, provinsi lampung. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas 4 (2). 61-72 .
Arianto M. Setiawati M., Adi M.S Hdisaputro S., & Budhi. K. (2018). Beberapa
Faktor Risiko Kejadian Campak Pada Balita di Kabupaten Srolangun.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas 3 (1) 41 .
Arizona Departemen of Health Service . (2016). Measles Surveilance Toolkit For
Healthcare Settings.
Australian Institute of Health and Walfare. (2018). Measles In Aaustralia 2.