Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“FEMINISME MULTIKULTURAL DAN GLOBAL”


Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
“Kajian Budaya”
Dosen Pembimbing : Nurul Anam M.pd

Disusun Oleh:
REYNALDI SUDJANA

PROGRAM STUDI S1 SASTRA INGGRIS


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS BAKTI INDONESIA BANYUWANGI
2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Feminisme Multikultural dan Global ” untuk memenuhi tugas di
Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Bakti Indonesia Banyuwamgi.

Penyusunan makalah ini tidak dapat lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

1. Nurul Anam M.pd selaku dosen mata kuliah ”Kajian Budaya”

2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang


membantu dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah


ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran semua pihak demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.

Reynaldi Sudjana

Banyuwangi 7 Desember 2022

ii
COVER ...........................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................2
A. Latar Belakang ..............................................................................................2
B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................3
A. Pendidikan Islam Multikultural.....................................................................3
B. Kesetaraan dan Keadilan Pendidikan ............................................................4
BAB III PENUTUP ............................................................................7
A. Kesimpulan....................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................8

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial,
pencerahan, bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan
membukakan serta membentuk disiplin hidup. Hal demikian membawa pemikiran
bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, ia akan
memerlukan adanya pendidikan. Dalam pengertian umum, kehidupan dari
komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab
pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan manusia.
Pendidikan adalah suatu proses untuk mendewasakan manusia, atau dengan
kata lain pendidikan merupakan suatu upaya untuk “memanusiakan” manusia.
Melalui pendidikan manusia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan
“sempurna” sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia. Pendidikan
dapat mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak baik menjadi
baik. Pendidikan mengubah semuanya.
Agama Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat penting, sehingga
mencari ilmu itu hukumnya wajib. Islam juga mengajarkan bahwa dalam
menuntut ilmu berlaku prinsip tak mengenal batas-dimensi-ruang dan waktu.
Artinya di manapun atau di Negara manapun dan kapanpun (tak mengenal batas
waktu) kita bisa belajar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan islam?
2. Apa pengertian dari kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan islam?
3. Bagaimana hubungan dari kesetaraan dan keadilam dalam pendidikan
islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan islam.
2. Mengetahui apa saja yang terjadi dari kesetaraan dan keadilan pndidikan
islam.
3. Mengetahui bagaimana kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Multikultural
Pendidikan agama Islam berfungsi membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, dan
mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern antar umat beragama.
Pendidikan agama bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
menyerasikan penguasannya dalam ilmu pengetahuan, teknoligi, dan seni.
Pendidikan agama Islam dilakukan untuk mempersiapkan peserta didik
menyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam. Pendidikan tersebut
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau pelatihan yang telah ditentukan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan agama Islam dapat
diartikan sebagai program yang terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam serta
diikuti tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya
dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan
bangsa.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang notabene mayoritas
masyarakatnya memeluk agama Islam, idealnya Pendidikan Agama Islam (PAI)
mendasari pendidikan-pendidikan lain, serta menjadi primadona bagi masyarakat,
orang tua dan peserta didik. PAI seharusnya juga mendapat waktu yang
proporsional, tidak hanya di madrasah atau sekolah-sekolah yang bernuansa
Islam, tetapi juga di sekolah-sekolah umum. Demikian halnya dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan. PAI harus dijadikan tolah ukur dalam
membentuk watak dan pribadi peserta didik serta membangun moral bangsa
(nation charcter building).
Dengan demikian pendidikan agama Islam adalah menyerasikan dengan
kata di atas, dengan menambahkan perkataan Islam, yakni pendidikan agama
Islam adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian dan keterampilan peserta didik yang berasas Islam dalam
mengamalkan ajaran Agama Islam, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Pendidikan agama Islam sebagai sistem, adalah keseluruhan komponen
pendidikan agama Islam yang terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan agama Islam.

3
B. Kesetaraan dan Keadilan Pendidikan
Pendidikan dan manusia bagaikan dalam satu keping uang logam, Yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Pendidikan, akan mengantarkan
manusia memperoleh wawasan pengetahuan dari mana asal usul kehidupan
sampai kepada kejelasan orientasi kehidupannya dengan bekal pendidikan yang
dimilikinya. Tanpa pendidikan, dapat dipastikan bahwa manusia akan kehilangan
ruh penggerak kehidupannya.
Pentingnya pendidikan sudah dikatakan semenjak zaman Yunani Kuno,
Plato mengatakan bahwa pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku
individu maupun sebagai warga negara. Ia beranggapan, idealnya dalam sebuah
negara pendidikan mendapatkan tempat yang paling utama dan mendapatkan
perhatian paling khusus. Bahkan, karena pendidikan adalah tugas dan panggilan
sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara, karena pendidikan itu
sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan
dan ketidakbenaran.
Secara tegas pendidikan adalah media mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membawa sebuah bangsa pada era pencerahan. Pendidikan bertujuan untuk
membangun tatanan bangsa yang berbalut dengan nilai-nilai kepintaran,
kepekaan, dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan merupakan tonggak kuat untuk mengentaskan kemiskinan
pengetahuan, menyelesaikan persoalan kebodohan, dan menutaskan segala
permasalahan bangsa yang selama ini terjadi. Peran pendidikan jelas merupakan
hal yang signifikan dan sentral karena pendidikan memberikan pembukaan dan
perluasan pengetahuan sehingga bangsa ini betul betul sadar terhadap kehidupan
bangsa ini menjadi bangsa yang beradab dan berbudaya. Pendidikan dilahirkan
untuk memperbaiki segala ketimpangan yang sudah menggumpal di segala sendi
kehidupan sebuah bangsa.
Atas dasar pentingnya pendidikan, maka dalam perkembangan hak asasi
manusia (HAM). Hak atas pendidikan ini menjadi salah satu dari hak asasi
manusia yang mendasar. Didalam international covenant on economic, social, and
cultural rightsmencantumkan hak atas pendidikan ini pada article 13 yang
menyatakan :
Hak atas pendidikan seringkali dianggap bagian dari HAM generasi kedua
karena menuntut tindakan positif dari negara. Namun demikian HAM bukanlah
sesuatu yang terbagi dan dapat dipisahkan, tiap-tiap hak saling bergantung dan
saling terkait. Begitupula hak atas pendidikan yang mempunyai banyak
keterkaitan dengan hak-hak lainnya. Hak atas pendidikan ini menjadi sarana untuk
mendapatkan hak-hak lainnya. Pendidikan merupakan prasyarat untuk
mendapatkan hak atas pekerjaan, dengan asumsi bahwa dengan pendidikan yang
tinggi maka akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan.
Masalah dehumanisasi, secara aksiologis, selama ini selalu dipandang
sebagai masalah utama manusia, maka sekarang memiliki watak sebagai suatu
keprihatinan yang tak dapat di hindarkan. Keprihatinan terhadap masalah
humanisasi ini akan segera membawa pada pengakuan akan adanya masalah
dehumanasasi, bukan saja sebagai sebuah kemungkinan onotologis, tetapi juga
sebuah realitas sejarah. Ketika orang menyadari makin meluasnya gejala
dehumanisasi itu, dia akan menanyakan diri sendiri apakah humanisasi masih
merupakan sebuah kemungkinan yang dapat dipertahankan. Dalam sejarah,

4
konteks yang konkret dan objektif, baik masalah humanisasi maupun
dehumanisasi keduanya merupakan kemungkinan yang selalu tersedia bagi
seseorang sebagai makhluk belum selesai yang menyadari ketidak
sempurnaannya.
Tetapi humanisasi ataupun dehumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang
nyata. Maka pilihan humanisasi merupakan fitrah manusia, namun fitrah inilah
yang sering diingkari melalui segala bentuk perbedaan yang lahir di tengah-tengah
masyarakat. Memungkiri lewat perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan
kesewenangan oleh kaum capital terhadap kaum menengah kebawah. Seakan-
akan memungkiri fitrahnya untuk menjadi manusia sejati.
Tuntutan kesetaraan dalam pendidikan hanyalah sebuah kata retoris. Sebab,
tuntutan tersebut tidak memperlihatkan „apa dan bagaimana‟ mencapai kesetaraan
tersebut. Masih bayaknya ketimpangan-ketimpangan dan ketidakmerataan yang
terjadi. Pembangunan manusia pada umumnya hanya berpusat pada daerah
perkotaan dan sangat jauh jika di komparasikan dengan apa yang terjadi daerah-
daerah dalam hal ini pedesaan. Tidak hanya kualitas pendidikan yang rendah
tetapi akses untuk menerima pendidikan sangatlah terbatas, sehingga pantaslah
kata “setara” dalam pendidikan hanya kata kiasan yang melahirkan sebuah utopis
belaka. Bahkan menurut David Cooper tuntutan untuk mendapatkan manusia-
manusai berkualitas secara intelektual dan spiritual melalu kebijakan pemerataan
(leveling) hanya akan mampu menimbulkan ketidakmerataan baru, namun apabila
ingin diterapkan harus melakukan tuntutan yang lebih tegas untuk pemerataan
segala bidang.
Secara teoritis terdapat beberapa prinsip kesetaraan mengapa hal ini menjadi
perlu untuk di realisasikan dalam dunia pendidikan. Walaupun terdapat antitesa
oleh Bryan Wilson bahwa sangat sulit untuk merealisasikan suatu tuntutan yang
terlalu ideal. Namun hal yang perlu untuk diketahui sesuatu apapun akan sulit di
realisasikan apabila tidak di barengi dengan niat dan usaha. Sesuatu apapun
apabila hanya akan tinggal sebatas menjadi teori dalam kepala maka akan menjadi
sampah.
Untuk merealisasikan apa yang kemudian dituntut dalam hal ini adalah
kesetaraan maka ada beberapa prinsip yang kemudian dijadikan sebuah pegangan
dalam merealisasikan kesetaraaan yang di maksud.

Pertama, Prinsip Kegunaan (Principle of Utility),Prinsip ini menekankan


kegunaan atau manfaat sebagai tolak ukur untuk menilai dan mengambil
keputusan. Suatu tindakan atau keputusan dikatakan berguna bila semakin banyak
orang yang mendapat keuntungan dari tindakan tersebut. Prinsip ini berkaitan erat
dengan dua premis yakni: pertama, manusia memiliki kemampuan yang sama
untuk „mengambil manfaat‟ (extracting utility)seperti kebahagiaan; rasa senang
dari sesuatu yang pada dasarnya memberikan manfaat seperti pendapatan, status
dan apa saja (utility goods). Kedua, hal-hal seperti itu (pendapatan, status) „akan
cenderung mengalami kekurangan manfaat‟ (subject to diminishing marginal
utility) bila telah mencapai tahap yang maksimum. Dengan demikian wajarlah bila
seseorang yang memiliki utility goodsdalam jumlah yang berlebihan
memberikannya kepada orang yang berada dalam kekurangan utility goods
tertentu.

5
Kedua, Prinsip Akal Murni (Principle of Pure Reason), prinsip ini bahwa
suatu tindakan hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan yang rasional. Artinya,
A tidak akan diperlakukan dengan cara yang berbeda/sama dengan B kecuali bila
ditemukan adanya perbedaan/persamaan antara keduanya. Prinsip ini kerap
digunakan untuk menentang perlakuan diskriminatif, perlakuan sewenang-wenang
atau prasangka buruk.

Ketiga, Prinsip Keadilan ( Principle of Justice), Ciri khas prinsip ini adalah
menentang ketidakadilan. Ketidakadilan dapat berupa pelanggaran hukum atau
kebijakan yang salah sehingga ada pihak yang dirugikan.

Keempat, Prinsip Perbedaan (Difference Principle),Prinsip ini merupakan


suatu peembangan dari pemikiran John Rawls tentang Teori Keadilan. Salah satu
syarat keadilan menurut Rawls adalah terpenuhinya Prinsip Perbedaan. Prinsip ini
mengandung pengertian bahwa ketidaksetaraan sosial-ekonomi dalam masyarakat
harus ditata sedemikian rupa sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pada
akhirnya akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang paling
tidak beruntung. Yang dimaksud dengan „mereka yang paling tidak beruntung‟
adalah masyarakat atau sekelompok masyarakat yang tidak memiliki kesempatan
untuk menggapai status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Untuk menjamin
terlaksananya keadilan dalam masyarakat Rawls menempatkan individu dalam
„kedudukan asali‟ (the original position) saat sebuah kebijakan distribusi
kebutuhan dilakukan. Kedudukan asali berarti keadaan di mana individu atau
kelompok tidak mengtahui kedudukan, status sosial, kekuatan, nasib atau
kecerdasannya. Dengan kata lain, mereka berada dibawah „tabir ketidaktahuan‟
(veil of ignorance).Jika prinsip ini diabaikan maka besar kemungkinan kriteria
distribusi akan ditentukan oleh kekuatan atau kelemahan yang dimiliki oleh
individu. Misalnya, orang yang mengandalkan pikiran atau tenaga cenderung
menetapkan kriteria distribusi berdasarkan apa yang mereka miliki yakni, pikiran
atau tenaga.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai sebuah kesimpulan bahwa kualitas pendidikan dalam hal ini dalam
bentuk kesetaraan jika ditinjau dari segala aspek yang menunjang pendidikan
haruslah memiliki standar yang sama. Wajar ketika hari ini kualitas pendidikan
hari ini menunjukan pembangunan sumber daya manusia hanya berpusat pada
daerah perkotaan tanpa mempertimbangkan sumber daya manusia yang ada di
daerah(desa). Apabila manusia dan pendidikan di ibaratkan sebuah koin logam
maka sudah sepantasnya system distribusi pendidikan secara merata haruslah di
maksimalkan. Terlebih dalam fase dunia yang memasuki zaman informasi, maka
tuntutan penguatan sumber daya manusia haruslah di perkuat melalui pemerataan
pendidikan.
Ketika Di era modern, yang memperhatikan permasalahan pendidikan
adalah John Dewey, ia mengatakan pendidikan adalah sebagai proses
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, yang menyangkut : daya pikir
(intelektual) maupun daya rasa (emosi) manusia. Selanjutnya menurut Al-
Syaibani pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan
alam sekitarnya. Pendidikan dapat dicermati pula sebagai rangkaian proses untuk
mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, dan keterampilannya kepada
generasi muda, sebagai usaha menyiapkan generasi muda agar dapat memahami
fungsi hidupnya baik jasmani maupun ruhani.
Maka prinsip keseteraan dapat dijadikan sebuah pegangan untuk melahirkan
konsep pemerataan dengan lahirnya sebuah konsep kesetaraan dalam dunia
pendidikan. Strata social dan ekonomi bukan lagi menjadi alasan, maka jika
sikaya harus pintar simiskin pun harus pintar.

7
DAFTAR PUSTAKA
(n.d.).
https://www.kompasiana.com/rizky098/59a2d39d51e03948f10ab8c2/kesetara
an-dalam-pendidikan?page=2&page_images=1.

Anda mungkin juga menyukai