Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENANGANAN KONFLIK MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF


PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Di Susun Guna Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Pendidikan Multikultural

Dosen Pengampu: Dr. Maslikhah, S.Ag., M.Si.

Disusun Oleh:

Rohmatul Maula (23060190028)

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Penanganan Konflik Masyarakat dalam Perspektif Pendidikan Multikultural”
ini dengan tepat waktu. Tak lupa sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi
Agung Muhammad SAW.

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada dosen mata kuliah Pendidikan


Multikultural, Ibu Dr. Maslikhah, S.Ag., M.Si. yang senantiasa membimbing dan
mendoakan kami. Serta terimakasih terhadap orang tua dan teman-teman yang
memberikan dukungan untuk segera menyelesaikan makalah ini.

Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan kita
tentang isu-isu pendidikan Indonesia. Semoga atas segala bantuan yang diberikan
akan mendapat balasan dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik maupun
saran dari pembaca sebagai acuan demi penyempurnaan pembuatan makalah
berikutnya.

Do’a dan harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan juga bagi para pembaca pada umumnya. Atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Salatiga, 12 Desember 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .................................................................... 5

C. Tujuan ...................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pentingnya Pendidikan Multikultural ...................................... 6

B. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural ......................... 8

C. Solusi atau Penanganan Akar Masalah Konflik ....................... 9

D. Peranan Pendidikan Multikultural dalam


Penanganan Konflik ................................................................. 11
...................................................................................................

BAB III PENUTUP

E. Kesimpulan .............................................................................. 14

F. Saran .........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan menjadi aset besar negara dalam proses pembentukan
manusia Indonesia, manusia yang menunjukan ke-Indonesia-annya, mampu
bertahan dan unggul serta mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di
dunia. Pendidikan haruslah terkonsep dengan baik dan matang melalui
kurikulum yang mampu menjembatani kekayaan budaya Indonesia yang
begitu beraneka ragam.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa konflik merupakan bagian dari
masalah yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia di berbagai tempat di
seluruh permukaan bumi ini. Dengan kata lain, konflik secara sempit atau luas
akan terjadi kapan pun dan di mana pun, baik secara spontan atau tanpa
terencana maupun secara terencana.
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk, Indonesia rentan atas konflik-
konflik horizontal yang dimunculkan karena adanya keragaman dalam
masyarakatnya. Konflik tersebut dapat memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa jika tidak adanya manajemen konflik yang baik dari pemerintah dan
juga masyarakat Indonesia. Menurut Manneke Budiman,“Kemajemukan
budaya di Indonesia masih menjadi sebuah kendala daripada aset dalam
proses nation-building” (Budiman, 2003). Modood dalam Zamroni
menyatakan bahwa ide kewarganegaraan yang multikultural adalah kritik dari
asimilasi budaya tradisional yang dituntut oleh kaum migran dan minoritas,
serta individualisme liberal yang tidak memiliki ruang untuk kelompok.
Tantangan terberat dalam pendidikan di Indonesia sebagaimana
dikatakan oleh Zamroni adalah bagaimana pendidikan mampu menanamkan
kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa pada diri peserta
didik, sekaligus tantangan bagaimana pendidikan mampu mengembangkan
kesadaran tersebut kepada peserta didik agar mampu menghargai berbagai
realitas kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara ( Zamroni, 2010). Tantangan ini harus mampu dijawab pendidikan
guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkeadaban dan demokratis
sebagaimana cita-cita pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila. Perlu

iv
adanya pemikiran mendalam bagaimana pendidikan mampu menanamkan
prinsip-prinsip Multikulturalisme dalam berbagai tatanan dan sistem sekolah.
Pemerintah, masyarakat, ahli, maupun praktisi pendidikan serta berbagai
pihak yang terkait perlu kiranya memikirkan format bagaimana pendidikan
yang diterapkan dapat menanamkan jiwa kebhinekaan. Karena hal tesebut
sebagian dari penanganan konflik masyarakat dalam perspektif Pendidikan
Multikultural.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya Pendidikan Multikultural?
2. Bagaimana konflik kesatuan nasional dan multikultural?
3. Bagiamana solusi atau penanganan akar masalah konflik?
4. Bagaimana peranan Pendidikan Multikultural dalam penanganan konflik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Multikultural
2. Untuk mengetahui konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
3. Untuk mengetahui solusi atau penanganan akar masalah konflik
4. Untuk mengetahui peranan Pendidikan Multikultural dalam penanganan
konflik

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pentingnya Pendidikan Multikultural


Mochtar Bukhori (dalam Sindunata, 2000) menyatakan bahwa dunia
pendidikan memerlukan proses transformasi supaya pendidikan mampu
memberikan bekal pada generasi mendatang. Transformatif Pendidikan
merupakan perubahan wajah dan watak yang terjadi pada sistem pendidikan.
Untuk mewujudkankan peserta didik agar memiliki kesadaran kritis dalam
melihat kenyataan-kenyataan dalam kehidupan global dengan memperhatikan
nilai-nilai humanis yang ada, yaitu dengan mengubah orientasi, bukan
kecerdasan semata, atau keterampilan saja tetapi diarahkan untuk siap
menghadapi persoalan-persolan global yang menjadi persoalan umat manusia.
Menurut Wolfgang Klafki (dalam Ivan A. Hadar, 2000), menuntut
bahwa dalam jangka menengah, peserta didik seluruh dunia harus
diperkenalkan kepada permasalahan kunci dunia modern, yaitu perang dan
damai, arti dan masalah prinsip-prinsip nasionalisme dihubungkan dengan
pertanyaan tentang keunikan budaya dan hubungan antar budaya,
permasalahan lingkungan terutama yang berkaitan dengan perubahan
kesadaran dan pola hidup, peningkatan tajam penduduk bumi, kesenjangan
sosial, dan bahaya serta kemajuan teknologi.
Terdapat dua kata dalam istilah Pendikan Multikultural, yakni
pendidikan dan Multikultural. Oleh sebab itu kedua kata ini perlu dijelaskan.
Secara etimologis, pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan
pen- dan akhiran–an yang berarti proses, perbuatan, cara mendidik, pelihara
dan ajar (Basri, 1984).
Secara lebih luas Nana Sudjana mendefenisikan pendidikan sebagai
usaha sadar yang bertujuan mendewasakan peserta didik (anak). Kedewasaan
ini antara lain mencakup kedewasaan intelektual, sosial, moral, dan tidak
semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan juga merupakan suatu
proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, melalui
proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat (Sudjana, 1991).
Secara sederhana, ‘multikultural’ dapat berarti ‘keragaman budaya’.
Istilah multikultural dibentuk dari kata ‘multi’ yang berarti plural; banyak;

vi
atau beragam, dan ‘kultur’ yang berarti budaya. Kultur atau budaya
merupakan ciri-ciri dari tingkah laku manusia yang dipelajari, tidak
diturunkan secara genetis dan bersifat khusus, sehingga kultur pada
masyarakat tertentu bisa berbeda dengan kultur masyarakat lainnya. Dengan
kata lain, kultur adalah sifat yang “khas” bagi setiap individu (person) atau
suatu kelompok (comunitee) yang sangat mungkin untuk berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Semakin meningkatnya komunitas yang muncul, maka
semakin beragam pula masing-masing kultur yang akan dibawa. Dengan
demikian multikultural dapat diartikan sebagai faham keberagaman
(majemuk) terhadap kultul (adat) yang dimiliki oleh sebuah komunitas.
Keberagaman yang dimaksud dalam hal ini adalah keberagaman suku, agama,
ras dan adat istiadat (Nizar, 2009).
Multikultur merupakan aspek yang tidak terbantahkan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, entah hal itu disadari atau tidak. Fay mengemukakan
bahwa multikultural menunjukkan sesuatu yang krusial dalam dunia
kontemporer. Dalam multikultur berbagai perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya dan adanya interaksi sosial adalah bagian daripada pemahaman
dalam hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang berbeda (Fay, 1998).
Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai sebuah gerakan
reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi di sekolah,
sehingga peserta didik baik dari kelompok gender, budaya maupun dari etnik
yang berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyelesaikan
sekolah. Pendidikan multikultural menganggap sekolah sebagai sebuah sistem
sosial (school as a social system) yang terdiri dari bagian-bagian dan variabel-
variabel yang saling terkait. Dengan begitu, untuk membentuk sekolah yang
menjunjung tinggi persamaan kesempatan memperoleh pendidikan, seluruh
komponen utama dari sekolah secara substantif harus diganti. Jika yang
diganti hanya salah satu variabel dari sekolah, seperti kurikulumnya saja,
maka hal itu tidak dapat menghasilkan pendidikan multikultural (Banks,
1997).
Dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan Multikultur dimulai
sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum
sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan
kemasyarakatan yang mendasar telah memberikan dampak yang besar atas
lembaga-lembaga pendidikan seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan
peningkatan populasi imigran (Kuper & Jessica, 2000). Pendidikan
multikultural sangat signifikan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat

vii
plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi ras,
multi etnis, dan multikultur yang membutuhkan konstruksi baru atas keadilan,
kesetaraan dan masyarakat yang demoktratis (Supriatin & Nasution, 2017).
Masalah pokok yang terkait dengan pendidikan multikultural adalah
keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia (Tilaar, 2003). Ketiga
aspek tersebut walaupun terkait erat dengan aspek ekonomi, politik dan
hukum, bukan berarti tidak ada hubungannya dengan pendidikan, justru
pendidikan memiliki peran penting untuk mencetak manusia yang berkeadilan
sosial, memiliki visi politik yang demokratis, dan menunjung tinggi hak dan
martabat orang lain. Tidak mengherankan jika pendidikan multikultural
berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, moral, edukasional dan
agama (Tilaar, 2003).
Menyadari pentingnya pendidikan multikultural, Banks & Banks
(1995) mendefinisikan bahwa multicultural education is a field of study and
an emerging discipline whose major aim is to create equal educational
opportunities for students from diverse racial, ethnic, social-class, and
cultural groups.—pendidikan multikultural adalah suatu bidang studi dan
disiplin terpadu yang tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kesempatan
pendidikan yang sama bagi peserta didik dari kelompok rasial, etnik, kelas
sosial, budaya yang berbeda.
Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang
memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup
di antara masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan model
pendidikan ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat menerima, toleran,
dan menghargai keragaman yang ada di Indonesia Melalui multikulturalisme
diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural
itu, yakni demokrasi, humanisme, dan pluralisme.
B. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Bartos (2002) mendefinisikan bahwa conflict as a situation in which
actors use conflict behavior against each other to attain incompatible goals
and/or to express their hostility —konflik sebagai suatu situasi di mana para
pelaku menggunakan perilaku konflik melawan setiap yang lainnya untuk
mencapai tujuan yang tidak cocok dan/atau untuk menunjukkan penyangkalan
mereka. Definisi konflik Bartos menunjukkan bahwa dalam konflik mengikat
sekurang-kurangnya empat peristilahan: 1) pelaku; 2) perilaku atau tindakan
konflik; 3) tujuan yang tidak selaras; dan 4) perbuatan yang tidak

viii
menyenangkan. Pelaku adalah orang atau kelompok yang bertindak atau
berperan dalam suatu peristiwa. Konflik adalah perbuatan tertentu yang jahat
dan tidak jahat. Perbuatan tidak selaras adalah ketidakmampuan hidup untuk
berkumpul atau bersama-sama dalam kedamaian dan keselarasan. Perbuatan
yang tidak menyenangkan adalah tindakan yang bertentangan dengan akal
sehat sebagai dorongan emosi yang berlebihan, seperti marah cenderung
terjadi secara spontan dan cepat.
Ada keterkaitan antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan
multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan
berorientasi pada stabilitas nasional dan mencapai kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap
kekuasaan pusat yang tentunya dapat menjadi ancaman bagi integrasi bangsa.
Oleh sebab itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani
berbagai perbedaan agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan
multikultural.
1. Deferensiasi tingkat sosial ekonomi
Kehidupan tingkat sosial ekonomi yang berbeda dapat menyebabkan
kecemburuan sosial yang bernuansa konflik. Kondisi demikian
mengakibatkan masyarakat dengan mudah terintimidasi untuk melakukan
tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi. Mereka akan mudah
melampiaskan kekesalan pada kelompok-kelompok mapan. Adanya
tekanan ekonomi memaksa orang bertindak menyimpang. Melalui
pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk masyarakat untuk
berperilaku bijak, saling menghormati sesama manusia tanpa melihat kelas
stratifikasi social.
2. Disharmonisasi dan perilaku diskriminatif
Globalisasi menimbulkan kerentanan ketidaksesuaian maupun perilaku
yang diskriminatif masyarakat yang menampakkan masalah kesenjangan
di berbagai bidang, kondisi tersebut sebagai paradoks globalisasi (Setiadi,
2006).
C. Solusi Atau Penanganan Akar Masalah Konflik
Menurut Avrunin beberapa konflik mungkin tidak begitu dramatic dan
sering dituntaskan dengan kesulitan kecil, tetapi beberapa mempunyai potensi
untuk menjadi lebih besar. Kita merancang untuk membuktikan bahwa ada
property struktural sistematik berlangsung melalui spektrum semua konflik
dan bahwa abstraksi berkaitan dengan proses penyelesaian konflik.

ix
Penangan konflik sebagai halnya yang disarankan oleh Avrunin terdiri atas
tiga tipe, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Type I Conflict Resolution: konflik antara tujuan yang tidak
selaras dirasakan oleh seorang individu yang harus membuat suatu pilihan
sulit biasanya berkenaan dengan sesuatu yang sangat berlainan dari konflik
antara individu-individu, dan itu akan tampak tidak beralasan untuk
mengharapkan konflik intra-individu digunakan sebagai model untuk
memahami konflik antar individu. Kedua, Type II Conflict Resolution:
klasifikasi sederhana Tipe II konflik adalah pendekatan–pendekatan;
pendekatan–penghindaran; dan penghindaran–penghindaran. Ketiga, Type III
Conflict Resolution: Karakteristik Type III Conflict Resolution berikut ini
membedakannya dari tipe-tipe yang lainnya:
a. The options consist of alternative courses of action, rather than their
consequences, and both are unpredictable —pilihan berisi arah pilihan
tindakan;
b. The course of a Type III conflict consists of a sequence of actions and
reactions taken by the antagonists unilaterally —konflik tipe III berisi
suatu rangkaian tindakan dan raksi yang diambil oleh antagonis secara
tunggal;
c. Communication is limited and untrustworthy, words and actions may not
be compatible —komunikasi dibatasi dan tidak dipercayai, kata dan
tindakan bisa tidak cocok;
d. Power dominate s persuasion —kekuatan mendominasi persuasi;
e. Self-interest dominates common interest —kepentingan sendiri
mendominasi kepentingan umum;
f. It is highly susceptible to escalation —gampang dipengaruhi untuk
berkembang lebih besar;
g. It may be resolved by the parties themselves by “playing it out” (e.g.,
combat) or by transformation into Type II with reduced likelihood of
escalation, a defusing process, at the price of some loss of sovereignty —
itu bisa diselesaikan oleh pihak mereka sendiri dengan memainkan itu
semua (misalnya perang);
h. Controlled by loss of sovereignty — dikontrol dengan kehilangan
kedaulatan; and
i. There is always a loser —selalu ada yang kalah.
D. Peranan Pendidikan Multikultural dalam Penanganan Konflik

x
Pendidikan multikultural merupakan suatu pendekatan progresif untuk
melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh mengungkapkan
kekurangan dan kegagalan serta praktek-praktek diskriminatif dalam proses
pendidikan. Pendidikan multikultural dideskripsikan tentang pendidikan
keragaman budaya dalam perubahan demografis dan budaya masyarakat
tertentu atau dunia secara keseluruhan.
Pendidikan memiliki peranan kunci dalam mengusung idealisme
masyarakat multikulturalisme dan cross-cultural. Secara operasional,
pendidikan dengan perspektif multikultural pada dasarnya untuk menjawab
fenomena konflik di antara masyarakat yang berwajah multikultural. Wajah
multikultural di Indonesia hingga kini ibarat api dalam sekam yang suatu saat
bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosio budaya yang memanas yang
memungkinkan konflik tersebut muncul kembali.
Maka menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk memikirkan upaya
pemecahan (solution). Termasuk pihak yang berkewajiban dalam hal ini
adalah kalangan pendidikan. Minimal, pendidikan harus dapat memberikan
penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu
hal yang baik untuk dilestarikan. Mengutip Paulo Freire, proses penyadaran
pihak-pihak yang berkonflik merupakan proses yang sangat mendasar, sebab
bagaimana mungkin suatu konflik ditransformasikan secara sadar kecuali jika
pihak-pihak dalam suatu konflik adalah subjek yang sadar.
Alhasil ide pendidikan multikulturalisme menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa.
Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan
hendaknya menumbuhkan atau mengembangkan kemampuan untuk mengakui
dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin,
masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua,
pendidikan hendaknya memantapkan jati diri dan mendorong konvergensi
gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian,
persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga,
pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik
secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga
meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri pikiran peserta didik
sehingga dengan demikian mereka dapat membangun secara lebih kokoh
kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. Dengan
demikian pendidikan bertindak sebagai proses individuasi, yaitu suatu

xi
perpadudan yang menyeluruh dari dinamika individu dan partisipasinya dalam
kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Sehingga terdapat kesadaran, bahwa
dalam memahami dunia kehidupan selalu dalam konteks dialektika antara
dunia individu dan sosiokultural (Belger & Luckman, 1990).
Tujuan pendidikan multikultural dalam upaya meminimaslisasi konflik
adalah untuk membantu peserta didik: (1) memahami latar belakang diri dan
kelompok dalam masyarakat, (2) menghormati dan mengapresiasi
kebhinekaan budaya dan sosio-historis etnik, (3) menyelesaikan sikap-sikap
yang terlalu etnosentris dan penuh prasangka (prejudice), (4) memahami
faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan
terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik (5)
meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin
dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat
yang lebih baik, adil dan bebas dan (6) mengembangkan jati diri yang
bermakna bagi semua orang.
Dalam upaya pengurangan konflik, pendidikan multikultural
dirancang semaksimal mungkin untuk dapat memfasilitasi pertemuan atau
kontak antarbudaya di masyarakat. Kontak tersebut dirancang guna
mendorong perkenalan, kedekatan, dan kerja sama antarbudaya. Pada tahap
lebih lanjut, perjumpaan atau kontak itu juga dirancang untuk berlatih
memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat dan berlatih
menumbuhkan dan mengembangkan sikap multikultural di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Dengan begitu, penanganan konflik perlu menjadi salah satu kajian
yang sangat penting dalam pendidikan multikultural . Peranan pendidikan
multikultural dalam menangani konflik seperti yang dikemukakan oleh Bartos
adalah:
a. Increased understanding: The discussion needed to resolve conflict
expands people’s awareness of the situation, giving them an insight into
how they can achieve their own goals without undermining those of other
people —meningkatkan pemahaman: diskusi diperlukan untuk
menyelesaikan konflik dengan meningkatkan kesadaran orang-orang
mengenai situasi, memberikan mereka suatu pandangan ke dalam
bagaimana mereka dapat mencapai tujuan sendiri tanpa mengurangi
percaya diri orang-orang lain;
b. Increased group cohesion: When conflict is resolved effectively, team
members can develop stronger mutual respect and a renewed faith in their

xii
ability to work together —meningkatkan keeratan kelompok: ketika
konflik dituntaskan secara efektif, anggota tim dapat mengembangkan
penghargaan kuat bersama dan keyakinan yang terbaharui kembali dalam
kemampuan mereka untuk bekerja bersama-sama; and
c. Improved self-knowledge: Conflict pushes individuals to examine their
goals in close detail, helping them understand the things that are most
important to them, sharpening their focus, and enhancing their
effectiveness —memperbaiki pengetahuan-diri: konflik mndorong
individu untuk mengkaji tujuan mereka dengan rincian akhir, membantu
mereka memahami sesuatu yang paling penting bagi mereka, menajamkan
fokus mereka, dan membenahi efektivitas mereka.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kelenturan
mental dalam menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa
tidak mudah patah dan retak (Asy’arie, 2003). Dalam konteks global dan
nasional, yang dikenal dengan muatan yang sangat majemuk, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik dan kekerasan sosial yang
bernuansa agama yang muncul sebagai efek dari transformasi dan reformasi
sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan
kehidupan bangsa ke depan.

xiii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai sebuah gerakan
reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi di sekolah,
sehingga peserta didik baik dari kelompok gender maupun dari kelompok
budaya dan etnik yang berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk
menyelesaikan sekolah. Ada keterkaitan antara kepentingan kesatuan nasional
dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan
bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional dan mencapai
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Hal ini justru menimbulkan
perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya dapat menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa. Oleh sebab itu pendidikan multikultural
diharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan agar tidak terjadi
benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga
persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Dalam konteks global dan
nasional, yang dikenal dengan muatan yang sangat majemuk, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik dan kekerasan sosial yang
bernuansa agama yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan
reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari
pencerahan kehidupan bangsa ke depan.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah di masa yang akan
datang.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

Asy’arie, Musa. 2003. “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa” dalam


Kompas.

Avrunin, George S. 1988. The structure of conflict. Hillsdale, NJ: Lawrence


Erlbaum Associates.

Banks, J. 1993. Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension,


and Practice. Review of Research in Education.

Banks & Banks. 1995. Handbook of research on multicultural education. New


York: MacMillan Publishing, Inc.

Bartos, Otomar J. 2002. Using conflict theory. Cambridge, England: Cambridge


University Press.

Basri, Agus. 1984. Pendidikan Islam sebagai Penggerak Pembaharuan Islam.


Bandung: al-Ma’arif.

Belger & Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Budiman, Manneke. 2003. “Multikulturalisme: Antara Kekhawatiran dan


Harapan” dalam Cakrawala tak Berbatas. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya.

Fay, Brian. 1998. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural


Approach. Massachusetts: Blank Well Publishers Ltd.

Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Pembebasan. Jakarta, LP3S.

Ivan A. Hadar. 2000. "Pendidikan Global" dalam Kompas.

Kuper, Adam & Jessica Kuper. (2000). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Nizar, Samsul, H. 2009. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah


Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

xv
Setiadi, Ely Hakam Effendi. 2006. Ilmu Sosial Budaya. Jakarta: Kencana
Prenada Media.

Sindunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta:


Kanisius.

Sudjana, Nana. 1991. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah.


Cetakan II. Bandung: Sinar Baru.

Supriatin, A., & Nasution, A. R. 2017. Implementasi Pendidikan Multikultural


Dalam Praktik Pendidikan Di Indonesia. Elementary: Jurnal Ilmiah
Pendidikan Dasar, 3(1), 1.

Tilaar, H.A.R. 2009. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Zamroni. 2010. The Implementation of Multicultural Education. A Reader.


Yogyakarta : Graduate Program The State University of Yogyakarta,
Tiara Wacana Yogya.

xvi

Anda mungkin juga menyukai