Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Pendidikan Multikultural

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Junaid H. Matsum, Mpd.


DISUSUN OLEH :
Leona Joece ( F1031221033 )
Indah Rahmawati ( F1031221034 )
Mohan Firdaus ( F1031221039 )
Abdi Roni Pandiaga ( F1031221041 )

REGULER A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
TAHUN 2022/2023
Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat serta karunia-NYA, sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas makalah ini dengan
tepat waktu. Makalah ini kami buat untuk memperdalam lagi pemahaman kami tentang
Pendidikan Multikultural.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, Oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, khususnya kepada Bapak Prof.Dr.Junaidi H. Matsum, M.Pd selaku dosen mata kuliah
Pengantar Pendidikan. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi.

Pontianak , 16 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................................

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................................
1.3 Tujuan Pembahasan .......................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................................................................

2.1 Pengertian Pendidikan Multikultural .............................................................................................................


2.2 Paradigma Pendidikan Multikultural ............................................................................................................
2.3 Pendekatan Pendidikan Multikultural ............................................................................................................
2.4 Pendidikan Berbasis Multikultural .................................................................................................................
2.5 Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia .............................................................................................
2.6 Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global ..........................................................................................
2.7 Menuju Multikulturalisme Global .................................................................................................................

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................................


3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................................................
3.2 Saran ...............................................................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategis dan
konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti pada keragaman etnis, budaya, bahasa, agama dan ras.
Yang terpenting, strategi pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah
memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran
mereka agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Kemajemukan bangsa Indonesia yang tak dimiliki oleh bangsa lain ini, menjadi modal
sosial dengan konstruksi berbasis kearifan lokal. Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang beradab tersebut tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya
nasional. Dalam konteks hubungan sosial (interaksi sosial) baik secara horizontal maupun
vertikal dalam realita pluralitas tersebut, dibutuhkan instrumen pendidikan yang berkarakter
terbuka, inklusif, toleran dan pluralis. Bahasa pendidikan sebagai media sosio-kultur menjadi
jembatan antara realita sosial dengan sikap yang mesti ditunjukan oleh masyarakat, dalam hal
ini adalah warga sekolah seperti guru dan siswa.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural ?
2. Menjelaskan paradigma pendidikan multikultural danMengidentifikasi pendekatan
Pendidikan Multikultural
3. Mendeskripsikan Pendidikan yang berbasis Multikultural,wacana pendidikan
multikultural di Indonesia, dan mendeskripsikan Pendidikan Multikultural dan
Pendidikan Global

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa itu Pendidikan Multikultural
2. Untuk mengetahui paradigma Pendidikan Multikultural dan mengetahui apa saja
pendekatan Pendidikan Multikultural
3. Mengetahui apa artinya Pendidikan yang berbasis Multikultural,wacana Pendidikan
Multikultural di Indonesia dan mengetahui Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga
saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memper debatkannya.
Namun demikian, bukan berarti bahwa de finisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak
jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar
dengan pakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga
terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikul tural. Pendidikna multicultural
menurut para ahli:
1. Menurut andersen dan cusher (1994: 320), bahwa pendidikan multikultural dapat
diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, james banks
(1993:3) mendefinisikan pendidikan mul tikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Arti nya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi per bedaan sebagai keniscayaan
(anugerah Tuhan/sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan
2. James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan mul tikultural sebagai pendidikan
untuk people of color. Arti nya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi per bedaan
sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu
mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma' hady berpendapat, bahwa secara
sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global)."
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process,
and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang
mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan
pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang
pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya
mam pu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan
menghormati atas realitas yang be ragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosio bu
daya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Frei re (pakar pendidikan pembebasan),
bahwa pendidikan bu kan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial
dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise
sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya?

Pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respons terhadap


perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap
kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan
kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi
dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas,
pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membeda kan kelompok-
kelompoknya seperti gender, etnic, ras, buda ya, strata sosial dan agama.
Prinsip-prinsip Pendidikan MultikulturalArifin (2012) Sebagai suatu gerakan
pembaharuan dan proses untukmenciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh
siswa, pendidikan multikultural memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut. Prinsip pertama:
pendidikanmultikultural adalah gerakan politik yang bertujuan menjamin keadilan sosial
bagiseluruh warga masyarakat tanpa memandang latar belakang yang ada. Prinsip
kedua :pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas)
dankelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru
harusditangani lewat reformasi yang komprehensif Prinsip ketiga : pendidikanmultikultural
menekankan reformasi pendidikan yang komprehensif dapat dicapaihanya lewat analisis
kritis atas sistem kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukanreformasi komprehensif
dalam pendidikan.Prinsip keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan
pendidikanmultikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh
kesempatanguna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Prinsipkelima : pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh
siswa,tanpa memandang latar belakangnya.3.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan MultikulturalMenurut James A. Banks dalam Zubaedi,
merumuskan tujuan dari pendidikanmultikultural yaitu:
“The goal of multicultural education is an education for freedom.. . . Multicultural education
should help students to develop the knowledge, attitudes,and skills toparticipate in a
democratic and free society. . . . Multicultural education promotes the freedom, abilities and
skills to cross ethnic and cultural boundaries to participation in other cultures and groups.”
Artinya:
“Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan.
Pendidikan multikultural dimaksudkan untuk membantu para siswa dalammengembangkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi dalammasyarakat yang bebas dan
demokratis. Pendidikan multikultural mengembangkankebebasan, kemampuan dan
keterampilan dalam menerobos batas batas budaya dan etnis agar dapat berpartisipasi dengan
kebudayaan dan kelompok lain”.
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Raharjo (2002) yang mengatakantujuan dari
pendidikan multikultural adalah: “Membantu anak didik dalam mengembangkan pemahaman
dan sikap secara memandai terhadap masyarakat yangberaneka ragam budaya. Anak didik
memiliki budaya sendiri yang hakiki, namuntetap memberikan andil terhadap kesejahteraan
masyarakat.
James Banks (1994) menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling ber kaitan satu dengan yang lain, yaitu:
Pertama, Content Inte gration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok
untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin
ilmu.
Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
Ketiga, anequity paedagogy, yaitu me nyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar
siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras,
budaya (culture) ataupun sosial (Social). Keempat, prejudice reduction, yaitu
mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga,berinteraksi
dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya
akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik
merupakan sasaran (objek) dan sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami
hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman sentang ciri-ciri umum
peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu:
1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksud nya ia dalam keadaan berdaya untuk
menggunakan ke mampuan, kemauan dan sebagainya.
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi
dasar yang dimiliki. secara individual
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya
gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai Perang Dunia (PD) kedua
Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme ini, selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme dan
diskriminasi rasial dan lain-lain juga karena meningkatnya pluralitas (chrages) di negara-
negara Barat sendiri akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara buru merdeka ke
Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikulturala mengungkapkan bahwa dalam program
pendidikan multikultural fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial,
agama dan kultural domain atau Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan
kultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang
berasal dari lulompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan yang pada
akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam
masyarakat Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli" dan mau
mengerti (difference), atau politic of (politik pengakuan terhadap orang-orang dan kelompok
minoritas).
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melibat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan da bahwa sikap "indiference" dan "non-recognition” hanya berakar
dari ketimpangan struktur rasial, tetapi radigma pendidikan multikultural mencakup subjek-
subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-
kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong hanya kajian-kajian tentang ethnic studies untuk
kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum dari tingkat dasar sampai perguruan
tinggi.
Istilah “pendidikan miltikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan
dengan masyarakat malukultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan kebijakan dan strategi strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural
mestilah mencakup subjek-subjek seperti toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-
kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM demokrasi
dan pluralitas, multikulturalisme. Kemanusiaan universel dan subjek-subjek lain yang relevan
Dalam konteks teoretis, belajar dari model model pendidikankan multikultural yang
pemah ada dan sedang dikembangkan oleh negara negara maju, dikenal lima pendekat nya
yaitu, pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme;
kedua, pendidikan menge pertama, pendidikan mngenai perbedaan kebudayaan atau
pemahaman kebudayaan
ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan
keempat pendidikan dwi-budaya,
ke lima pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia,
Sebetulnya, konsep pendidikan multikultural, utama nya di negara-negara yang menganut
konsep demokratis Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit
putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu
bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: "Religious, linguistic, and national
minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes
forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While
many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and
adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national
institutions, in duding the educational and legal system".
Di Amerika, misalnya, muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda,
mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua
Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada
di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara,
terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda beda bahasa dan budayanya. Tetapi, di mata
bangsa Anglo Saxon yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di negara baru itu adalah
kawasan tak bertuan, dan bangsa bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari
makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan.
Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari
Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabeli secara generik dengan nama "Indian"
adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama
tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya
tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru paska kemerdekaannya pada 4
Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang
berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu
dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan
nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Atau dalam bahasa lain, sekolah sebagai medium
transformasi budaya.
Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil
membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu
Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebu dayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan
melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem
demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya
diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga meng hargai kepercayaan dan
berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini, di Indonesia sedang membuat wacana baru
dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multikultural. Sebagaimana
diberitakan oleh salah satu media nasional di tanah air, bahwa saat ini perlu dibangun konsep
pendidikan multikultural (Kompas, 02/09/2004). Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara
positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap 'nasib' pendidikan di negeri ini. Gagasan
tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah
globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehidupan manusia
di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. Salah satu aspek kehidupan yang terkena
imbasnya adalah kebudayaan bangsa (culture and tradition).
Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang
mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus
hingga akhirnya kehilangan jati diri lokal dan nasionalnya. Pendidikan multikultural
hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi
transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai
perbedaan budaya (different of culture).
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Sutjip to, dan Dr. Cut Kamaril Wardani.
Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan
penguatan budaya lokal (local culture). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya
lokal berisiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme
selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendi dikan multikultural untuk dihadirkan dalam
dunia pendidikan kita saat ini. Sebab, pendidikan merupakan instrumen paling ampuh untuk
memberikan penyadaran (conscious) kepada masyarakat, supaya tidak timbul konflik etnis,
budaya dan agama.

B. Paradigma Pendidikan Multikultural


Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal (Yogya karta: IRCISOD, 2004), Ali Maksum
menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat
majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif,
yaitu: horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan
budayanya. Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari
perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667
pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan
masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielak kan. Dan perlu
disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah,
Usman Pelly (1988) menyatakan bahwa, meskipun setiap Warga Negara Indonesia (WNI)
berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat
istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu."
Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif.
Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif, karena faktor
kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik antarkelompok
masyarakat. Pada akhirnya, konflik konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahir
kan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial (social disharmony).
Pakar pendidikan, Syafri Sairin (1992), memetakan akar-akar konflik dalam masyara kat
majemuk, yakni:
(1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic
re sources and to means of production)
(2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion); dan
(3) benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama (con flict of political, ideology, and
religious Interest)
Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih
toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural Pendidikan berparadigma
multikulturalisme tersebut pen ting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan
berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal
budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya
apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan
kha zanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama
ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri (truth claim)
dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang
SARA (suku, adat, ras, dan agama). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan
pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Simbol budaya,
agama, ideologi, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada
hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan (agree in disagreement).
Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna
kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi
Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya (bertaqwa). Hal ini sejalan dengan ajaran
Islam, sebagaimana termaktub da lam Al-qur'an Surat al Hujurat ayat 13: "Hai manusia, se
sungguhnya Kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perem puan (Bapak dan Ibu), dan
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam umat) dan bersuku-suku, supaya
kamu ber kenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah
SWT ialah orang yang lebih taqwa.
Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal." (Al Hujurat: 13) Pendidikan
multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro
dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan
kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah
tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan
manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang
ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menan dai kehidupan modern dan
pergaulan dunia global."

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:


(i) Tujuannya membentuk "manusia budaya" dan menciptakan "masyarakat berbudaya
(berperadaban)".
(ii) Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan,nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (kultural)

(iii) Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman


budaya bangsa dan kelom pok etnis (multikulturalis).
(iv) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap ting kah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya."
Menurut M. Khoirul Muqtafa (2004), paradigma multikultural yang marak didengungkan
sebagai langkah alternatif seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka.
Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun
pemerintah, dalam tindaka praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga
sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.
Sebagai tamsil adalah fenomena dimunculkannya UU "kontroversi" Sisdiknas yang
sengaja didesakkan "ke lompok mayoritas". Masih munculnya keinginan sekelom pok orang
supaya hukum-hukum yang bersumber dari aga ma yang dipeluknya dilegalisasi masuk ke
dalam KUHP tanpa proses objektifikasi (Formalisasi Syariah). Kasus RUU Kerukunan
Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi negara yang deterministik dalam
kehidupan umat beragama juga menan dai betapa lemahnya nalar multikultural dalam 'nalar'
bangsa ini.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-
antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horizontal
maupun vertikal. Secara horizontal, berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan
sebagai "Bangsa Indonesia" dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok
penutur bahasa atau ke dalam golongan penganut ajar an agama yang berbeda satu dengan
lainnya. Sedangkan secara vertikal, berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan
atas dasar-meminjam istilah Karl Marx mode of production yang bermuara pada perbedaan
kelas sosial dan budaya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan.
Yang terjadi seringkali bukan nya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain.
tetapi upaya untuk "mempe. samakan" (confo nity) atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan
ideologi "monokul turalisme" yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan
uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau kemudian monokulturalisme ini
memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak lawan dan mengandung im plikasi-
implikasi negatif (side effect) bagi rekonstruksi kebu dayaan Indonesia yang multikultural.
Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerin tahan sejak
1999, terjadi peningkatan gejala "provinsial isme" yang hampir tumpang tindih dengan
"etnisitas". Po litik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya ko munalisme, makin
menguat.
Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan
persatuan yang di idam-idamkan selama ini ternyata semu belaka. Yang me ngemuka
kemudian adalah kepentingan antarsuku, dae rah, ras ataupun dengan mengenyampingkan
reali tas atau kepentingan yang lain. Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala
cara demi mewujudkan ke pentingan ini. Ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak
dijadikan alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-
musuhan atas na ma perbedaan.
Faktor lain yang turut menyebabkan mandulnya pen didikan multikultural pada tingkat
praksis bisa jadi dise babkan masih dominannya wacana "toleransi" dalam menyikapi realitas
multikultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi
klaimnya sebagaimana diungkap oleh Richard Rorty, seorang filsuf neo-pragmatis.
Penghargaan atas yang lain se bagaimana dibayangkan dalam "toleransi" memang dibu
tuhkan. Namun, toleransi seringkali terjebak pada ego-sen trisme. Ego-sentrisme di sini
adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan
mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawet kan perbedaannya sendiri (I am
what I am not). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang
menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali
kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi
acuh tak acuh (indifference).
Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali para digma multikultural tersebut.
Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan se hingga tidak
hanya berkutat pada aspek kognitif melain kan beranjak ke aspek psikomotorik dan afektif.
Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme,
sebagaimana diungkap Goodenough (1976), adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan
hadir dalam realitas empirik. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak
bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan
secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan (continue). Di sinilah
fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses di mana seseorang
mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi,
mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas.
Yakni, kesiapan un tuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi peng akuan
perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita
melupakan upaya-upaya pe nguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi
dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi
kesadaran akan ek sistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.

C Pendekatan Pendidikan Multikultural


Mendesign pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan
antar kelompok, bu daya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengan dung
tantangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan multikultural tidak
hanya sebatas "merayakan keragaman". Apalagi, jika tatanan masyarakat yang ada masih
penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan
sehari-harinya mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau
perbedaannya dari budaya yang domi nan, akan berjalan dengan aman dan harmoni? Dalam
kondisi demikian, pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah
pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.
Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan
(schooling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi ke budayaan
membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan
kompetensi ke budayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka; tapi
justru semakin banyak pihak yang ber tanggung jawab, karena program-program sekolah
seharus nya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan ke budayaan dengan kelompok etnik.
Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelom pok-
kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih
mengasosiasikan ke budayaan dengan kelompok-kelompok sosial yang self sufficient,
ketimbang dengan sejumlah orang yang secara relatif terus-menerus dan berulang-ulang
terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan
multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengil hami para penyusun program
pendidikan multikultural un tuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara
stereotipe menurut identitas etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari
berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam sua "kebudayaan baru" biasanya
membutuhkan interaksi ini satif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka
dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendu kung sekolah-sekolah yang terpisah secara
etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mem pertahankan dan
memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
Pendi dikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kom petensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondi si secara
proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pen didikan (baik formal maupun non formal)
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti
ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi
dan non Pribumi.Dikotomi semacam ini akan membatasi individu-individu untuk sepenuhnya
mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan
multikultur same sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini Tengandung makna
bahwa pendidikan multikultural ber Pensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan
presiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dan ke-bhineka-an,
Kelima, pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Masyarakat adalah kumpul an manusia atau individu-individu yang terejawantahkan dalam
kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Za kiah Darajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana
diartikan sebagai kumpulan individu dan kelom pok yang diikat oleh kesatuan negara,
kubudayaan dan
Jadi, dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup
dan bekerja sama dá lam masa relatif lama, sehingga individu-individu tersebut dapat
memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi tersebut selanjutnya
membuat sebagian me reka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan
membedakan ekstensinya dari ekstensi komu nitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan dalam
masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang
membentuk individu tersebut adalah pendidik an atau, dengan istilah lain, masyarakat
pendidik.
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multi kultural juga diperlukan kajian dasar
terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang di maksud
adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup dan
dinamis
2 Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu un tuk memenuhi kebutuhan melalui
hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan ma sing-masing.
3. Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan,
melakukan pe nataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pemben tukan pola tingkah laku antara individu
dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya
dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap ting kah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dunia pendidikan, maka akan tampak bahwa masyarakat
sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan ke pribadian
individu peserta didik. Sebab, keberadaan ma syarakat merupakan laboratorium dan sumber
makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis
multikultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peran an dan tanggung jawab moral
terhadap terlaksananya pro ses pendidikan multikultural. Hal ini disebabkan adanya
hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan.Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan
di masa kini dan akan datang.

D. Pendidikan Berbasis Multikultural


Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pa da dekade 1960-an dan 1970-an,
pendidikan berbasis multi kulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutnya di
singkat (MBE), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam
terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan
MBE, yakni pendidikan multikultural (multicultural education) seperti yang dipakai dalam
konteks kehidupan multikultural negara-negara Barat.13 Sejumlah definisi ter ikat dalam
disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antro pologi, sosiologi, psikologi dan lain
sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and
Content, karya seorang pakar pendidikan multikultural dari California State University,
Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua de finisi 'klasik' untuk menekankan
dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama mene kankan
esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui rea litas politik, sosial, dan ekonomi yang
dialami oleh masing masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
(plural) secara kultur. Definisi ini juga ber maksud merefleksikan pentingnya budaya, ras,
gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan.
Dalam satu dekade terakhir, Hernandez mengembang kan sebuah definisi operasional
tentang MBE. Dalam kon septualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang
bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang
pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, bahasa,
agama, dan perkecualian perkecualian yang memengaruhi, membentuk, dan mem pola tiap-
tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE ada lah hasil perkembangan seutuhnya dari
konstelasi/interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan,
dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan (citizenship) dalam
komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.

MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan


realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis
memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di da lam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut
seluruh aset pendidikan yang termanifestasikan melalui konteks, proses, dan muatan
(content). MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan
berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia
memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan
lingkung an pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan
dan keunggulan.

E. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia Hingga saat ini, wacana pendidikan


multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, ter masuk para pakar
dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran
ter hadap fenomena aktual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni
pendidikan multikultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai
suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang hete rogen,
plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999
hingga saat ini. Pendi dikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia seja lan dengan
pengembangan demokrasi yang dijalankan seba gai counter terhadap kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah (otoda). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru
mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan
sepa ratisme).
Menurut Azyumardi Azra,15 pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang
pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan
reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia
yang mul tikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/gejala "provinsialisme" yang hampir tum
pang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat
menimbulkan tidak hanya dis integrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disin
tegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di negara-negara lain, menunjukkan keragaman
tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah
kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan
multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada
keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya me rupakan model pendidikan
multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku
teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti
yang terjadi di Ame rika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling pen ting dalam
reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang
lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis
dan praktisi pendidikan.
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah,
terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum
diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya
perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara,
di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar meng
akomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar
belakang suku, agama, bu daya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pem
belajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran,
tetapi juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action
dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi
untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minor itas. Contoh
yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi
interaksi sis wa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun pro gram anak asuh lintas
kelompok. Di Amerika Serikat, ber samaan dengan masuknya wacana tentang multikultural
isme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah mau pun di masyarakat luas untuk
meningkatkan kepekaan sosial (sense of crisis), toleransi dan mengurangi prasangka
antarkelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidik an multikultural di Indonesia perlu
memakai kombinasi mo del yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski, 16 pendi dikan
multikultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
(1) transformasi diri;
(2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan
(3) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti
bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan.
Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multikultural akan
dapat diberla kukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah
nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.

F Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global


Gambaran dunia saat ini tampak terasa semakin sempit. John Naisbit dalam Mega Trend
2000 juga menggambar kan demikian. Demikian pula Alvin Tofler seorang pakar sejarah
dunia, juga menyebut demikian. Bahwa, Dunia telah menjadi kampung besar (global village),
sebagaimana dike mukakan oleh ahli komunikasi Kanada, McLuhan. Bahwa, di era
globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Apakah
perbedaan mendasar antara pendidikan multikultural dan pendidikan global?
Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman
kultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis pra sangka
demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan
multikultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu
kita rumuskan beberapa inti dari pen didikan multikultural. Pendidikan multikultural berarti
mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang ter hadap bangsanya (the pride in
ones home nation). Dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengem bangan
kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya,
tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global. James bank
mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural
identity, yaitu :
1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam
stereotipe kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut
menunjukkan sikap kefanatikan terha dap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya
lainnya inferior.
2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperang kap dalam kapsul
kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan
bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, dan biasanya
mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini me ngembangkan sikapnya yang
positif terhadap budaya nya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan
jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian
maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui bebe rapa kelemahan budaya atau bangsanya
sendiri.
4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang me nyenangkan terhadap budaya
yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam
menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain.
Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan ke
terikatannya terhadap budaya bangsa dan budaya glo bal.

G. Menuju Multikulturalisme Global


Berkenaan dengan cita-cita untuk mewujudkan tatanan multikulturalisme global, di sini
patut dikemukakan tulisan Muhamad Ali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ber judul
'Menuju multikulturalisme' (Kompas, 3 Januari 2004). Bahwa, dalam beberapa dekade
terakhir, masyarakat ma sih dipertontonkan hubungan internasional yang penuh gejolak.
Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (USSR) berakhir, ternyata
sejarah konflik tidak benar-benar berakhir, sebagaimana dugaan Francis Fuku yama dalam
Magnum Opus-nya "The End of History, yang sangat fenomenal di Amerika.
Konflik Palestina-Israel dan invasi Amerika Serikat (AS)beserta sekutunya terhadap Irak,
itu menunjukkan bahwa tata dunia belum seimbang dan belum stabil. Karakter baik buruk
manusia tidaklah berubah. Aktor-aktor masa kini, dengan berbagai nama dan identitas, baik
yang lama mau pun yang baru, ternyata tetap berselisih. Berbeda pendapat, kepentingan,
ideologi, agama, bahasa, kebudayaan, dan peradaban, itu semua menjadi alasan untuk saling
berkon flik. Realitas tersebut mengundang akademisi Amerika, Samuel P Huntington, untuk
menulis karya kontroversialnya The Clash of Civilization (Benturan antar Peradaban). Karya
tersebut, mempunyai asumsi dasar bahwa setelah keme nangan liberalisme dan kapitalisme
global atas sosialisme komunisme, akan terjadi benturan peradaban antara budaya barat
(Amerika) dengan budaya timur (Islam).
Namun demikian, mesti kita sadari bahwa karakter dunia hingga detik ini sebetulnya
masih tetap multikultural. Jika di masa pra-modern kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk
dinasti, kerajaan, kesukuan, dan keagamaan yang dominan; di masa modern, negara bangsa
(nation state) men jadi aktor yang sangat dominan, mengalahkan kekuatan kekuatan lain.
Nasionalisme pun menjadi plural. Individu dan kelompok telah menjadikan negara-bangsa
sebagai iden titas yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia.
Dalam batas negara-bangsa (nation state), manusia memiliki budaya yang majemuk
(plural), tetapi pada saat yang sama, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Negara-
bangsa begitu kuatnya sehingga budaya telah men jadi tunggal dalam kebudayaan nasional.
"Meskipun berbeda-beda tetap satu" (unity in diversity) menjadi slogan tidak hanya bagi
bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Se rikat, Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi
negara lain. Pada level ini, multikulturalisme dipahami dalam ba tas negara-bangsa (nation
state).
Bagaimana dengan perbedaan budaya antarbangsa? Bagaimana kebudayaan Indonesia,
misalnya, bisa berin teraksi dengan kebudayaan Malaysia, kebudayaan Thailand, kebudayaan
Iran, kebudayaan Inggris, dan sebagainya?
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan sejarah di mana budaya-budaya bangsa
begitu majemuknya, sehingga monokulturalisme, budaya tunggal, tidak mung kin menjadi
agenda sebuah negara-bangsa untuk dipaksa kan kepada bangsa-bangsa lain.
Pengertian budaya di sini tidak terbatas dalam seni, te tapi mencakup segala hal yang
menjadi proses dan produk sebuah komunitas: agama, ideologi, sistem hukum, sistem
pembangunan, dan sebagainya.Budaya dapat bersifat lintas negara, tetapi ada juga bu daya
yang telah menjadi ciri khas negara-bangsa tertentu. Misalnya, para pendiri negara Indonesia
telah menjadikan Pancasila sebagai bagian dari budaya nasional, karena me rupakan
akumulasi dari nilai-nilai bangsa Indonesia. Ma laysia juga merupakan negara-bangsa yang
berkembang da ri berbagai unsur budaya, yaitu: Melayu, India, Tionghoa,dan lain
sebagainya. Terlepas dari berapa kesamaan kultural antara mayoritas orang Indonesia dan
orang Malaysia-seperti bahasa dan agama kedua negara bangsa ini memiliki perbedaan
sistem dan budaya pembangunan.
BAB 3
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari uraian di atas, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan multikultural dapat
merekonstruksi kembali ”kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari beragam etnis,
suku bangsa, budaya dan agama serta strata sosial, sebagai kenyataanyang tak dapat ditolak
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikanmultikulturalisme diharapkan dapat
mengubah “paradigma monokultural” yang penuh dengan prasangka dan diskriminatif ke
paradigma multikulturalisme yang menghargaiperbedaan, keragaman, toleransi dan sikap
terbuka, membangun masyarakat yangberperadaban, toleransi terhadap sesama manusia,
mandiri dan mampu mengatur dirisendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan untuk
menuju dan terciptamasyarakat baru Indonesia, dimana kelompok minoritas dapat menikmati
pendidikanyang mereka cita-citakan tanpa ada pembedaan sedikitpun dari kelompok
mayoritas.
Multikulturalisme merupakan suatu bentuk pemahaman yang berpihak padawujud dari
kehidupan yaitu plural (beragam) tanpa mengesampingkan ataumemberikan pengecualian
terhadap budaya tertentu. Pendidikan multikultural adalahwujud kesadaran mengenai
pluralisme serta merupakan sebuah strategi yang dapatdilakukan untuk menciptakan suasana
saling menghargai didalam perbedaan. Dalammenghadapi pluralisme budaya perlu dilakukan
pembentukan paradigma baru yangmenjunjung tinggi nilai perbedaan. Pendidikan di
Indonesia akan menjadi fleksibelketika dalam prosesnya mengutamakan prinsip-prinsip dasar
multikultural.Bimbingan dan konseling memiliki peranan penting dalam menciptakan
pendidikanmultikultural. Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di
Indonesiamenggunakan beberapa pendekatan yang pertama yaitu mengajarkan
perbedaanbudaya, hubungan manusia, studi etnis, pendekatan pendidikan
multikultural,rekonstruksi multikultural dan sosial.
B.Saran
Sebagai masyarakat dan tenaga pendidik yang berada dalam ruang lingkupkemajemukan
baik agama, suku, bahasa, dan latarbelakang budaya, akan lebih indah jika mampu
mengoptimalkan sebuah perbedaan sebagai kekuatan yang mampu memajukan kepentingan
bersama. Artinya adalah sebagai warga negara Indonesiayang baik seyogyanya mampu
menghargai sebuah perbedaan yang ada dilingkungandimanapun kita berada. Tidak dapat
dipungkiri bawa dari sebuah perbedaan akantimbul suatu permasalahan atau konflik, oleh
sebab itu wajib hukumnya bagi tenagapendidik dan orang yang terdidik untuk mampu
meminimalisir kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebagai bentuk dari akibat adanya
perbedaan tersebut.Dari situlah betapa pentingnya menanamkan pendidikan multikultural
dilingkungan sekolah terutama di Negara Indonesia yang menganut sistem
kebhinekaandengan begitu diharapkan mampu menghasilkan peserta didik dan bibit-bibit
manusiayang berpotensi untuk menghargai akan adanya sebuah perbedaan. Artinya
adalah,pendidikan multikultural sebaiknya menjadi prioritas untuk segera diwujudkan
disetiap satuan pendidikan mengingat peranan pendidikan multikultural yangdiharapkan
dapat memper-siapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan dalam menangani konflik.

Anda mungkin juga menyukai