Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KERANGKA OPERASIONAL MULTIKULTURALISME

Dosen pengampu :

Dr. Noni Witisma, M.Pd

Disusun Oleh :

1. Armelia Safitri (2111270005)


2. Ferdo Hardianto (2111270021)
3. Sonita Candra Kirana (2111270012)
4. Wensi Mayang Sari (2111270018)

PRODI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SOEKARNO


BENGKULU

2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kerangka
Operasional Multikulturalisme”. Penulisan makalah merupakan salah satu tugas
yang diberikan dalam mata kuliah, pendidikan multikultural.

Dalam penulisan makalah kali ini penulis merasa masih banyak


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, memngingat akan
kemampuan yang dimiliki oleh penulis.Untuk itu kritik dan saran dari semua
pihak dapat penulis harapkan demi penyempurnaan dalam pembuatan makalah
ini.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih


yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah, khususnya kepada Dosen yang memberikan tugas dan petunjuk,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Bengkulu, 25 Mei 2023

Penulis

DAFTAR ISI

i
HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

KATA PENGATAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
A. Pengertian Multikulturalisme................................................................4
B. Hakekat Pendidikan Multikultural........................................................5
C. Paradigma Pendidikan Multikultural....................................................8
D. Pendekatan Pendidikan Multikultural...................................................11
E. Pendidikan Berbasis Multikultural.......................................................13

BAB III PENUTUP.........................................................................................15

A. Kesimpulan...........................................................................................15
B. Saran.....................................................................................................15

DAFTAR PUSTKA........................................................................................16

i
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bhineka Tunggal Ika merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Sebagaimana


diketahui, Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia,
mencapai 17, 667 pulau besar dan pulau kecil. Karena itu wajar kalau dikatakan
kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa
dielakkan, sekaligus anugerah Yang Mahakuasa. Kenyataan menunjukkan terdapat
350 kelompok etnis, adat tradisi, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan
tertentu, namun setiap warga negara Indonesia berbicara dalam satu bahasa nasional.
Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan budaya, Indonesia sangat
membutuhkan perdamaian, keadilan, persamaan, dan seterusnya yang merupakan
unsur yang dapat dilahirkan oleh pendidikan multikultural.

Dalam konteks ini, kesadaran akan multikulturalisme atau pluralisme lalu


menjadi nilai yang sangat penting. Kendati demikian, secara dini perlu agaknya kita
membedakan dua persitilahan yang memiliki kemiripan: “pluralitas” dan
“pluralisme.” Sebab tak sedikit kalangan acap kali mengacaukan penggunaan dua
peristilahan tersebut. Pluralitas adalah sebuah fakta tentang kepelbagaian yang ada
secara alami dan berdasarkan hukum alam: ras, warna kulit, suku, agama, budaya,
jenis kelamin dan seterusnya. Pluralitas, karena itu, bukanlah sebuah pilihan tapi
anugerah Tuhan bagi manusia. Sebab itu, tidak ada yang salah dalam pluralitas.
pluralisme adalah sebuah sikap yang mengakui sekaligus menghargai, menghormati,
memelihara, dan, bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat
plural, jamak atau kepelbagaian itu. Dalam konteks teologi lintas- agama misalnya,
pluralisme membangun sebuah postulat: bahwa dalam jantung semua agama dan
tradisi otentik mempunyai pesan kebenaran yang sama yakni kita semua berasal dan
akan kembali kepada satu tujuan yang sama: kepadaYang Absolut, Yang Awal-Yang
Akhir, Yang Hollygious atau dalam teologi disebut sebagai Tuhan. (Supriatin &
Nasution, 2017)

Tetapi, patut dicatat bahwa akhir-akhir ini yang terjadi justru jauh dari harapan
kemanusiaan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, keharmonisan,
keamanan, perdamaian, dan persaudaraan. Dengan kata lain diskriminasi, konflik
sosial agama, krisis politik, ekonomi, budaya dan pendidikan, semakin menggurita di
negeri ini.

Jika dalam dunia pendidikan persoalan yang terjadi adalah bentuk kekerasan
yang menimpa siswa seperti tawuran, dan perkelahian antar siswa. Salah kasus yang
dimuat dilaman Detiknews tawuran terjadi pada tahun 2016 yang melibatkan dua
kelompok

1
sekolah yang berbeda di Kabupaten Karawang, yaitu antara SMK PGRI Lemah
Abang Wadas dan SMK Negeri Purwasari yang mengakibatkan satu dari mereka
meninggal dunia,dalam berita disebutkan bahwa yang melatarbelakangi terjadinya
tawuran adalah saling ejek antar dua sekolah yang berbeda tersebut. Jika dikaji lebih
lanjut, dapat ditemukan bahwa betapa minimnya attitude pelajar terutama pada
bagaimana mereka menghargai sebuah perbedaan yang ada pada diri mereka masing-
masing, artinya adalah hal tersebut mampu menunjukkan bahwa perlu adanya
pemahaman yang dapat diberikan kepada peserta didik mengenai multikulturalisme.

Dalam dunia pendidikan sekolah memiliki peran penting dalam menanamkan


pendidikan multikultural, pendidikan multikultural dapat diberikan kepada peserta
didik dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, agar konsep multikultural
dapat diterapkan dan diaplikasikan oleh masyarakat. Pendidikan multikultural sebagai
perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses
pendidikan. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak menjadi sumber
konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan
keberagaman yang dinamis dan kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa dapat
terus dilestarikan.

Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada


berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi
atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Anggapan bahwa
kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan
perselisihan, keributan, dan ketidak harmonisan. Dengan pendidikan multikultural
diharapkan individu dapat menerima dan memahami perbedaan yang ada, serta
individu dapat saling bertukar pendapat yang pada gilirannya akan memperkaya
kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud
masyarakat yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.

Melalui makalah ini, akan dijabarkan mengenai karakteristik problematika


pendidikan multikultural, konsep pendidikan multikultural beserta implementasi yang
dapat diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai multikulturalisme.

B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian Multikulturalisme?
2. Bagaimana Hakekat Pendidikan Multikultural?

2
3. Bagaimana Paradigma Pendidikan Multikultural?
4. Bagaimana Pendekatan Pendidikan Multikultural?
5. Bagaimana Pendidikan Berbasis Multikultural?
C. Tujuan
1. Untuk Memahami Pengertian Multikulturalisme
2. Untuk Memahami Hakekat Pendidikan Multikultural
3. Untuk Memahami Paradigma Pendidikan Multikultural
4. Untuk Memahami Pendekatan Pendidikan Multikultural
5. Untuk Memahami Pendidikan Berbasis Multikultural

3
BAB II

PEMBAHAS

AN

A. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,


multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaanya masing-masing yang
unik.

Multiculturalism is an approach which replaces universalism and which


introduces ethnicity unnecessarily and unhelpfully into the civic realm that is, ‘civil
society’— multikulturalisme adalah suatu pendekatan yang menggantikan
unversalisme dan yang memperkenalkan etnik yang tidak perlu dan tidak mendukung
ke dalam wilayah perhatian atau kegiatan ‘masyakarat sipil’. The concept of
multiculturalism is a multicultural position to respond racial, socio- economic class,
gender, language, culture, sexual preference, and disability-related diversity —konsep
multikulturalisme adalah suatu posisi multikultural untuk menjawab perbedaan yang
berkaitan dengan rasial, golongan sosial-ekonomi, jender, bahasa, budaya, jenis
kelamin, dan ketunaan.

Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa


bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar
dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Multikulturalisme
merupakan suatu paham yang menekankan pada kesenjangan budaya local tanpa
mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan
utama multikulturalisme adalah kesataraan budaya.

Multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam


konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, baik ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang
memberikan pemahaman bawa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah
bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan
bangsa yang multikultural aalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya
(ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam
prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
(Ibrahim, 2019)

Multikulturalisme dibedakan menjadi lima model yaitu sebagai


berikut:

1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok

4
kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi
minimal satu sama lain.

5
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan
yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan
kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-
undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan
memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas
tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa
negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok
kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya
dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang
secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk
mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan
kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra
sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang
kelompok_kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan
kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang
mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha
menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah
masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu,
sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan
sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

B. Hakekat Pendidikan Multikultural


1. Pengertian pendidikan multikultural

James Banks dalam Choirul Mahfud, mendefinisikan pendidikan


multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan
multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
Tuhan). Kemudian, bagaimana seseorang mampu mensikapi perbedaan tersebut
dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Pendidikan multikultural adalah
konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik,


sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan
manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya
budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan

6
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan lain kata,
bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme
dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang ragam (plural),
baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya. (Anam &
Marlina, 2022)

Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire (pakar


pendidikan pembebasan)pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus
mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan
sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural
(Multicutural Education) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman
populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan
kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah,
prestasi dan perhatian terhadap orang-orang nn Eropa. Sedangkan secara luas,
pendidikan multikultural itu mencakup seluru siswa tanpa membeda- bedakan
kelompok-kelompoknya seperti, gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan
agama.

2. Prinsip-prinsip Pendidikan Multikultural

Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan


lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, pendidikan multikultural
memiliki prinsip- prinsip sebagai berikut.

a. Prinsip pertama: pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang


bertujuan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa
memandang latar belakang yang ada. Prinsip kedua : pendidikan multikultural
mengandung dua dimensi: pembelajaran (kelas) dan kelembagaan (sekolah)
dan antara keduaanya tidak bisa dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat
reformasi yang komprehensif
b. Prinsip ketiga : pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan
yang komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem
kekuasaan dan privileges untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif
dalam pendidikan.
c. Prinsip keempat : berdasarkan analisis kritis ini, maka tujuan pendidikan
multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa jaminan memperoleh
kesempatan guna mencapai prestasi maksimal sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki Prinsip
d. kelima : pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh
siswa, tanpa memandang latar belakangnya.
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Multikultural

7
Menurut James A. Banks dalam Zubaedi, merumuskan tujuan dari
pendidikan multikultural yaitu: “The goal of multicultural education is an
education for freedom.

. . . Multicultural education should help students to develop the knowledge,


attitudes, and skills toparticipate in a democratic and free society Multicultural
education
promotes the freedom, abilities and skills to cross ethnic and cultural boundaries
to participation in other cultures and groups.”

Artinya:

“Tujuan pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan. Pendidikan


multikultural dimaksudkan untuk membantu para siswa dalam mengembangkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang
bebas dan demokratis. Pendidikan multikultural mengembangkan kebebasan,
kemampuan dan keterampilan dalam menerobos batas batas budaya dan etnis agar
dapat berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok lain”.

Tujuan dari pendidikan multikultural adalah: “Membantu anak didik dalam


mengembangkan pemahaman dan sikap secara memandai terhadap masyarakat
yang beraneka ragam budaya. Anak didik memiliki budaya sendiri yang hakiki,
namun tetap memberikan andil terhadap kesejahteraan masyarakat.
Mengembangkan pendidikan yang wajar, tanpa memandang perbedaan,
membantu peserta didik untuk berpartisipasi dalam suasana kultur yang berbeda.
Membantu anak didik dalam memberdayakan potensi yang optimal”.

Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan
akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi
sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Tujuan awal
pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil
kebijakan dalam dunia pendidikan dan peserta didik. Harapannya adalah apabila
mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak
mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural
yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi
secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya (Arifudin, 2018).

Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak


hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan
tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang
kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal
tersebut adalah ruh pendidikan multikultural.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan


multikultural bertujuan agar peserta didik dapat menghormati keanekaragaman
budaya

8
yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan
melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. Pada intinya
pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan, yaitu:

a. Proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di


semua bidang kehidupan manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak
terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan
hidup, kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan
manusia.
b. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM,
menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan menyuarakan nilai-nilai yang
membangun keseimbangan.

Dalam konteks pembelajaran, pendidikan multikultural bertujuan untuk


transformasi pembelajaran kooperatif di mana dalam proses pembelajaran setiap
individu mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan, transformasi
pembelajaran kooperatif itu sendiri mencakup pendidikan belajar mengajar,
konseptualisasi dan organisasi belajar. Belajar kooperatif mengandung pengertian
sebagai suatu strategi pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil, di mana
pembelajar bekerja bersama, belajar satu sama lain, berdiskusi dan saling
membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahami
materi pembelajaran, sehingga dalam pembelajaran kooperatif setiap anggota
kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan setiap anggota kelompoknya.

Menurut The National Council for Social Studies dalam, fungsi


Pendidikan Multikultural adalah sebagai berikut:

a. memberi konsep diri yang jelas


b. membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari
sejarahnya
c. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada
pada setiap masyarakat
d. membantu mengembangkan pembuatan keputusan ( decision making),
partisipasi sosial, dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills).

C. Paradigma pendidikan Multikultural

Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal, Ali Maksum menggambarkan


bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau
pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu
Horizontal dan vertikal. Dalam perspektif horizontal , kemajemukan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan
budayanya.

9
Sementara, dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari
perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial
budaya. (Taat Wulandari, 2020)

Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui,


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang
mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka
wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan
yang tidak bisa dielakan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan
karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly menyatakan bahwa,
meskipun setiap warga Negara Indonesia (WNI) berbicara dalam satu bahasa
nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat dan
cara_cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.

Pada satu sisi, kemajemukan masyarakat memberikan side efffect (dampak)


secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negatif,
karena faktor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan konflik
antarkelompok masyarakt. Pada akhirnya, konflik-konflik antarkelompok masyarakat
tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi dan
ketidakharmonisan sosial (social disharmony). Akar-akar konflik dalam masyarakat
majemuk, yakni : 1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan
ekonomi (acces to economic resources and to means of production 2) perluasan batas-
batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion) 3) benturan kepentingan
politik, ideologi dan agama (conflict of political, ideology and religius Interest).

Menurut pandangan Mahfud, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut,


diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan
multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab
akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif
terhadap realistas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis
maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif
terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan
khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang
selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri
(truth claim) dengan menyalahkan pandangan ddan pilihan orang lain dapat
dihilangkan atau diminimalisir.

Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang
berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras dan agama). Fakta tersebut sebetulnya
menunjukkan kegagalan pendidikan dalam meciptakan kesadaran pluralisme dan
multikulturalisme. Simbol budaya, agama, ideologi, bendera, baju dan sebagainya, itu
sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita
setuju dalam perbedaan (agree in disagreement). Pada dasarnya, manusia diciptakan
Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan
sebagainya agar

1
diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal
perbuatannya (bertaqwa).

Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang


sebagai mahluk makro dan sekaligus mahluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar
budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan
manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusianya. Sedangkan akar mikro yang
kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat dan dengan
demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang
menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:

1. Tujuannya membentuk “Manusia budaya” dan meciptakan “Masyarakat


Berbudaya”
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan
nilai_nilai kelompok etnis (kultural)
3. Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalisme)
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang
meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Paradigma multikultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif


dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya
masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum maupun pemerintah, dalam
tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang
merupakan indikasi nyata hal ikhwan di atas.

Sebagai tamsil adalah fenomena di munculkannya UU “Kontroversi”


Sisdiknas yang sengaja didesakkan “Kelompok Mayoritas”. Masih munculnya
keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang
dipeluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi
(Formalisasi Syariah). Kasus RUU intervensi negara yang deterministik dalam
kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multikultural dalam
‘nalar’ bangsa ini.

Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali


latar_sosiologgis-antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk,
baik secara horizontal, berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan
sebagai “Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa,
kelompok penutur bahasa atau kedalam golongan penganut ajaran agama yang
berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan secara vertikal, berbagai kelompok
masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx Mode of
Production yang bermuara pada perbedaan kelas sosial dan budaya. Dalam realitas-
empirik, kenyataan ini justru kerap diterabaikan.

1
Yang terjadi seringkali bukanya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang
lain, tetapi upaya untuk “Mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan
kesatuan.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan


prinsip solidaritas, yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan
demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas
menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut
kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan
multikultural yang dilandasi kesadaran dakan eksistensi diri tanpa merendahkan yang
lain diharapkan segera terwujud.

Adapun bangunan paradigma pendidikan multikultural adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraan


pendidikan bagi seluruh warga masyarakat
2. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan
metode pembelajaran
3. Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah
kemana transformasi praktik pendidikan harus menuju
4. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan
salah arah yang justru menciptakan ketimpangan semakin membesar
5. Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu membangun
jembatan antara kurikulum dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan kultur
sekolah guna membangun visi sekolah yang menjunjung kesetaraan sekolah.

D. Pendekatan Pendidikan Multikultural

Ada beberapa pendeketan dalam proses pendidikan multikultural yaitu:

1. Tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan


(schooling), atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah
formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi
kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik
semata_mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang
bertanggung jawab, karena program –program sekolah seharusnya terkait dengan
pembelajaran informal diluar sekolah. (Rosada, 2014)
2. Menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
Artinya, tidak perlu lagi mengasosialisasikan kebudayaan semata-mata dengan
kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
3. Pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, maka dapat

1
diliat lebi jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah_sekolah yang terpisah
secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi
secara proporsional.
5. Kemungkinan bahwa pendidikan (baik formal maupun non formal) meningkatkan
kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini
kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara
pribumi dan non-pribumi.

Empat pendekatan yang mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke


dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah yang bila dicermati relevan untuk
diimplementasikan di sekolah di Indonesia, bahkan pendekatan pertama sudah biasa
dilakukan, yaitu:

1. Pendekatan kontribusi (the contributions approach). Level ini yang paling sering
dilakukan dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan
etnis. Ciri pendekatan kontribusi ini adalah dengan memasukkan
pahlawanpahlawan dari suku bangsa/ etnis dan benda-benda budaya ke dalam
pelajaran yang sesuai. Hal inilah yang sampai saat ini yang dilakukan di
Indonesia.
2. Pendekatan Aditif (Aditive Approach). Pada tahap ini dilakukan penambahan
materi, konsep, tema, dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur,
tujuan dan karakteristik dasarnya. Pendekatan aditif ini sering dilengkapi dengan
penambahan buku, modul atau bidang bahasan terhadap kurikulum tanpa
mengubahnya secara substansif.
3. Pendekatan Transformasi (the transformation approach). Pendekatan tranformasi
berbeda secara mendasar dengan pendekatan kontribusi dan aditif. Pada
pendekatan transformasi mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan
kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema, dan problem dari beberapa
perspektif dan sudut pandang etnis. Proses multiple acculturation sehingga rasa
saling menghargai, kebersamaan dan cinta sesama dapat dirasakan melalui
pengalaman belajar.
4. Pendekatan Aksi Sosial (the social action approach) mencakup semua elemen dari
pendekatan transformasi, namun menambah komponen yang mempersyaratkan
siswa membuat aksi yang berkaitan dengan konsep, isu atau masalah yang
dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah
mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan mengajari mereka keterampilan
pembuatan keputusan untuk memperkuat siswa dan membantu mereka
memperoleh pendidikan politis, sekolah membantu mereka menjadi kritikus sosial
yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial.

E. Pendidikan Berbasis Multikultural

1
Sejak kemunculunnya sebagai sebuah disiplin ilmu pada dekade 1960-an dan
1970- an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education,
selanjutnya disingkat (MBE), telah didefinisikan dalam banyak arah dan dari berbagai
perspektif. Dalam terminologi ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang
hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multikultural (multicultural education)
seperti yang dipakai dalam konteks keidupan multikultural negara-negara Barat.

Sejumla definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan


antroplogi, sosiologi, psikologi, dan lain sebagainya. Hilda Hernandez pakar
pendidikan multikulturaldi California State University, Amerika Serikat, dalam buku
Mlticultural Education: A Teaher Guide to Linking Context, Process, and Content
mengungkapkan dua definisi ‘klasik’ untuk menekankan dimensikonseptual MBE
yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai
perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam
(plural) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya,
ras, gender, etinitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengeualian-pengeualian
dalam proses pendidikan.

Dalam satu dekade terakhir, Hernandez mengembangkan sebuah definisi


operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan
pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez,
adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk
semua anak didik.

Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas,
bahasa, agama, dan perkecualian-perkeualian yang memengaruhi, membentuk dan
mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil
perkembanganseutunya dari konstelasi/interaksi unik masing-masing individu yang
memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi
kewarganegaraan (citizenship) dalam komunitasbudaya dan bahasa yang majemuk
dan saling terkait.

MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia


menggambarkan realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang
secara luas dan sistematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah
dan luar ruangan. Ia menyangkut seluru aset pendidikan yang termanifestasikan
melalui konteks, proses, dan muatan (content). MBE menegaskan dan memperluas
kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan
pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptaan lembaga-
lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang
mencerminkan cita-ita persamaan, kesataraan dan keunggulan.

1
1
B

A. Kesimpulan B

Dari uraian di atas, diharapkan gagasan dan konsep pendidikan multikultural


dapat merekonstruksi kembali ”kebudayaan nasional Indonesia” yang terdiri dari
beragam etnis, suku bangsa, budaya dan agama serta strata sosial, sebagai kenyataan
yang tak dapat ditolak dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikan
multikulturalisme diharapkan dapat mengubah “paradigma monokultural” yang penuh
dengan prasangka dan diskriminatif ke paradigma multikulturalisme yang menghargai
perbedaan, keragaman, toleransi dan sikap terbuka, membangun masyarakat yang
berperadaban, toleransi terhadap sesama manusia, mandiri dan mampu mengatur diri
sendiri, bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan untuk menuju dan tercipta
masyarakat baru Indonesia, dimana kelompok minoritas dapat menikmati pendidikan
yang mereka cita-citakan tanpa ada pembedaan sedikitpun dari kelompok mayoritas.

Multikulturalisme merupakan suatu bentuk pemahaman yang berpihak pada


wujud dari kehidupan yaitu plural (beragam) tanpa mengesampingkan atau
memberikan pengecualian terhadap budaya tertentu. Pendidikan multikultural adalah
wujud kesadaran mengenai pluralisme serta merupakan sebuah strategi yang dapat
dilakukan untuk menciptakan suasana saling menghargai didalam perbedaan. Dalam
menghadapi pluralisme budaya perlu dilakukan pembentukan paradigma baru yang
menjunjung tinggi nilai perbedaan. Pendidikan di Indonesia akan menjadi fleksibel
ketika dalam prosesnya mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural.

1
Bimbingan dan konseling memiliki peranan penting dalam menciptakan pendidikan
multikultural. Dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural di Indonesia
menggunakan beberapa pendekatan yang pertama yaitu mengajarkan perbedaan
budaya, hubungan manusia, studi etnis, pendekatan pendidikan multikultural,
rekonstruksi multikultural dan sosial.

B. Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya. Tentulah penulis menyadari akan kekurangan dalam makalah ini, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi
perbaikan makalah yang akan datang.

1
DAFTRA PUSTAKA

Anam, C., & Marlina, T. (2022). Implementasi Pendidikan Multikultural dalam


Pembelajaran. Awwaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 5(1), 8–16.
https://doi.org/10.58518/awwaliyah.v5i1.919
Arifudin, I. (2018). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah. INSANIA :
Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 12(2), 220–
233. https://doi.org/10.24090/insania.v12i2.252
Ibrahim, R. (2019). Pendidikan Multikultural. Addin, 7(1), 1–26.
Rosada, A. (2014). Pendidikan Multikultural: Strategi Mengelola Keberagaman di Sekolah.
PT Karnisius.
Supriatin, A., & Nasution, A. R. (2017). Multikulturalisme di Indonesia dan Pengaruhnya
Bagi Masyarakat. Elementary: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 3(1), 1.
Taat Wulandari. (2020). Konsep dan Praksis Pendidikan Multikultural. UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai