Anda di halaman 1dari 14

Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi, Religi (Agama)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Pendidikan Multikultural


Dosen : Dr. H. Ahmad Yani, M.Ag

Kelompok 3
Meli Puspita Sari (1808101254)

Tri Nur Haeti (1808101273)


Sairoh (1808101281)
Kelas/semester : PAI G/VII

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon-Jawa Barat 45132
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya makalah ini yang berjudul
“Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi, Religi (Agama)” dari
mata kuliah Pendidikan Multikultural. Alhamdulillah akhirnya dapat terselesaikan. Sholawat
beserta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang merupakan inspirator
terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada dosen
mata kuliah Pendidikan Kurikulum, Dr. H. Ahmad Yani, M.Ag yang telah memberikan ilmu
tentang Pendidikan Multikultural. Khususnya kepada kami mahasiswa kelas PAI G. Semoga
apa yang beliau ajarkan kepada kami menjadi manfaat di akhirat kelak.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Multikultural, kami sampaikan terimakasih atas perhatiannya terhadap makalah ini dan kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Dengan segala kerendahan hati saran
dan kritik sangat kami harapkan dari pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada
tugas lain pada waktu mendatang.

Penulis,

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... iii
BAB I.......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................................................4
BAB II .....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN .....................................................................................................................................5
2.1 Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi, Religi (Agama...
BAB III ...................................................................................................................................................9
PENUTUP ..............................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu negara
multikultural terbesar di dunia. Menurut Atho’ Mudzhar multikulturalitas bangsa Indonesia ini
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbedaan vertikal dan perbedaan horizontal. Perbedaan
vertikal ditandai dengan realitas adanya pelapisan sosial atas-bawah dalam struktur kemasyarakan
sebagai akibat perbedaan masing-masing individu di bidang politik, ekonomi, sosial dan
pendidikan. Sedangkan perbedaan horizontal adalah perbedaan masyarakat berdasarkan kesatuan
sosial budaya suku, ras, bahasa, adat-istiadat dan agama.
Multikulturalitas bangsa Indonesia ini bisa diibaratkan pisau bermata ganda. Di satu sisi ia
menjadi potensi yang berharga dalam membangun peradaban bangsa, disisi lain apabila tidak dapat
dikelola dengan baik, multikulturalitas tersebut akan memunculkan konflik yang mampu
menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan disintegrasi bangsa.
Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi beban atau kekayaan tergantung bagaimana cara
mengolahnya. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah dicetuskan oleh para founding
fathers bangsa ini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup bersama berdampingan dalam
suasana aman, damai, dan sejahtera.
Sungguhpun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa
dalam kehidupan masyarakat yang plural seringkali terjadinya konflik yang pada akhirnya akan
menyebabkan terganggunya stabilitas dan ketidakharmonisan. Di Indonesia seringkali muncul
fenomena kekerasan seperti konflik etnis, konflik antar umat beragama, dan konflik lainnya. Salah
satu contoh masalah yang dapat kita temui dalam kehidupan beragama yang plural ini adalah
kecurigaan dan kesalahfahaman dari satu penganut agama terhadap sikap dan perilaku agama lain,
malah juga terhadap sesama penganut agama tertentu. Hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu
menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.

Agaknya menarik perhatian kita untuk berfikir ulang tentang peran agama, lebih khusus
pendidikan agama Islam dalam mewarnai kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Pendidikan
Islam harus mampu menumbuhkan kesadaran pluralism-multikulturalisme sebagai upaya untuk
memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, apa pun jenis perbedaannya, serta
bagaimana agar perbedaan tersebut diterima sebagai hal yang alamiah (natural, sunnatullah) dan
tidak menimbulkan tindakan diskriminatif, sebagai buah dari pola perilaku dan sikap hidup yang
mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka.
Makalah ini berusaha membahas tentang Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya,
gender, Sosial Ekonomi, Religi (Agama). Indonesia adalah salah satu negara multikultural

4
(Kebudayaan) terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Pada prinsipnya, bahwasanya multikultural atau yang di
sebut dengan kebudayaan adalah sesuatu yang menghargai perbedaan. Sehingga nantinya
perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah
yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan budaya yang menjadi jati
diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan Masalahnya adalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi, Religi
(Agama) ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisannya adalah sebagai berikut :

1.3.1 Untuk Mengetahui Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi,
Religi (Agama)

BAB II

5
PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Multikulturalisme, Pluralitas budaya, gender, Sosial Ekonomi, Religi (Agama)

A. Hakekat Multikulturalisme
Multikultural berartiberanekaragamkebudayaan. Menurut ParsudiSuparlan (2002) akar
kata darI multikulturalisme adalah kebudayaan atau kultur,yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagaipedoman bagikehidupanmanusia. Dalamkonteks pembangunan bangsa, istilah
multikultural ini telah membentuk suatu ideologiyang disebutmultikulturalisme. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa
atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Dalam model multikulturalisme ini,
sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik.
Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil
yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan
seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata
kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri dari beraneka ragam latar
belakang kebudayan.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun


kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam
budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan.
Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat
yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam undang-undang dasar.1
B. Pluralitas Budaya
Pluralitas budaya sering disamakan dengan istilah multikulturalisme, dua istilah tersebut
memang memiliki makna yang mirip.Akan tetapi, multikulturalisme merupakan paham atau
ideology yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap keanekaragaman
budaya adalah hal yang ada dalam suatu wilayah.Ada pula istilah pluralitas kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat, pluralisme kebudayaan adalah dua macam tradisi kebudayaan atau lebih
yang membagi masyarakat kedalam golongan sosial yang berbeda-beda.

1
MIFBAKHUDIN.2011.Pendidikan Multikultural Pada Bahasa dan Budaya.vol.1. No.2

6
Menurut E. B. Y. Tylor kebudayaan merupakan sesuatu yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum adat istiadat kesanggupan, serta kebiasaannya, maka dengan
adanya pluralitas budaya dalam suatu negara diperlukan nilai dan norma budaya untuk mengatur
unsur-unsur yang mencakup dalam kebudayaan tersebut.

Pluralisme budaya adalah kondisi budaya yang majemuk, yang mana istilah ini digunakan
untuk menggambarkan penerimaan budaya alternatif. Maksudnya, orang-orang hidup bersama
dengan saling toleransi terhadap budaya orang lain yang berbeda-beda agar tercapai pluralitas.
Karena, sering sekali keberagaman budaya ini menyebabkan konflik. Hal ini disebabkan
oleh munculnya persaingan, sikap egosentrisme dan primordialisme yang mengklaim bahwa
kebudayaan mereka paling terbaik dibandingkan budaya lain.

C. Pluralitas gender
Pluralisme Gender berbicara mengenai gender tentu tidak dapat dilepaskan dengan
seksualitas. Pluralisme gender baik yang dijumpai dalam konteks budaya lokal maupun LGBTIQ
juga sangat berkaitan dengan seksualitas yang mereka miliki. Seksualitas menyangkut seluruh
keberadaan diri sebagai manusia yang diciptakan Tuhan, yang tidak sekadar berbicara mengenai
hubungan seks. Seksualitas menyangkut penampilan tubuh, bagaimana merasa aman dan bangga
terhadap diri sendiri (penerimaan diri), bagaimana membangun relasi mendalam dengan diri
sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan. Seksualitas merupakan energi yang indah, baik yang
diberikan Tuhan untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, solider,
berempati.9 Abineno mempertegas seksualitas manusia secara lebih luas sebagai seksualitas yang
bertanggung jawab sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Tanggung jawab
sebagai makhluk ciptaan Allah juga harus dinyatakan kepada sesama dan seluruh alam (Kej 1:28).
Walau hubungan seksualitas yang dipahami Abineno hanya 2 dalam lingkup laki-laki dan
perempuan, namun ia mau memperlihatkan bahwa seksualitas yang dimiliki setiap manusia harus
saling menghargai, saling membantu, saling melengkapi. Seksualitas dalam arti yang sempit
dimaknainya sebagai hubungan seksual (persetubuhan) dalam konteks sebagai suami dan isteri. 3
Seksualitas merupakan anugerah dari Pencipta. Seksualitas dimaknai sebagai given dan alamiah
(a natural force) yang mendahului kehidupan sosial dan membentuk institusi. Namun esensialisme
seksual yang menganggap seks tidak berubah, asosial, dan transhistoris seringkali menjadi baku

2Paul Suparno, Seksualitas Kaum Berjubah, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 18-19.


3J.L.Ch.Abineno, Seksualitas dan Pendidikan Seksual, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), h. 5-7.

7
dan dianggap sebagai penjelasan yang sah dan agamis tentang seksualitas. Namun di sisi lain
seksualitas juga bisa dipahami terbentuk secara sosial-diskursif dan direproduksi secara
performatif. Yasir Alimi, seorang penggiat isu gender, berbicara mengenai seksualitas yang
mengutip pemikiran Spivak dan Foucault, memahami seksualitas sebagai efek wacana (Spivak)
atau akibat relasi kuasa – pengetahuan – kenikmatan (Foucault). Hegemoni dari heteroseksualitas
tidak sekadar dipahami sebagai hal yang natural dan berciri prokreasi, juga sebagai patologisasi,
abnormalisasi setiap bentuk seksual yang nonprokreatif seperti onani, masturbasi, dan
homoseksualitas4Berbicara mengenai seksualitas, kebakuan pemahaman seksualitas dalam agama
hanya dalam bingkai heteroseksual, padahal dalam realita budaya dan masyarakat dapat dijumpai
kaum homoseksual maupun biseksual. Homoseksual5 dipahami sebagai orientasi seksual yakni
memiliki ketertarikan seksual kepada sesama jenis kelaminnya. Lesbian merupakan istilah
homoseksual yang seringkali dikenakan kepada perempuan, sedangkan gay untuk homoseks laki-
laki. Biseksual dimaknai orang yang memiliki ketertarikan seksual keduanya baik kepada lelaki
maupun perempuan. Istilah LGB (Lesbian, Gay, Biseksual) yang mulai digunakan pada 1990-an
di Indonesia kemudian berkembang dengan hadirnya pergerakan waria (transgender) sehingga
istilahnya menjadi LGBT. Saat ini, istilah yang umum digunakan adalah LGBTIQ, dengan
tambahan interseks yang merujuk pada keadaan biologis di mana seseorang secara fisik maupun
psikologis berada pada dua jenis kelamin, dan queer yang merupakan istilah yang memayungi
semua label seksual maupun gender minoritas lainnya seperti panseksual (ketertarikan seksual
pada semua gender, termasuk kepada transgender), demiseksual (ketertarikan sekual kepada orang
yang memiliki kedekatan secara emosional), dan aseksual (tidak memiliki ketertarikan seksual
sama sekali).

Gender adalah cara pandang atau persepsi manusia terhadap perempuan atau laki-laki yang
bukan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin secarakodrat biologis. Gender dalam segala aspek
kehidupan manusia mengkreasikan perbedaan antara perempuan dan laki-laki termasuk kreasi
sosial dimana kedudukan perempuan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Misalnya, perempuan
itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,

4Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama,
(Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 11
5Mutya Widia Lestari, dkk, “LGBITIQ: Keberagaman Seksual Dalam Praduga dan Stigma” dalam majalah

suara mahasiswa edisi XIX (Mei,2012) rubrik budaya

8
rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Maksudnya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan sementara juga ada perempuan
yang kuat, rasional dan perkasa. 6

Kata gender berasal dari bahasa inggris, yang berarti jenis kelamin. Dalam webster’ new
world dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
bekembang di masyarakat. SedangkanM. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men). Pendapat
ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang
kajian gender (what a given society defines as masculine or feminim as a component of gender). 7

H.T. Wilson dalam sex and gender mengertikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan dan kolektif dalam membedakan laki-laki dan
perempuan. Agak sejalan dengan pendapat dan yg di kutip Showalther yang mengartikan gender
lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan di lihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi
menekankan gender sebagai konsep analisa yg kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan
sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate and a subject matter
we proceed to study as we try to define it). 8

Jadi dapat dipahami bahwa gender dan seks merupakan dua hal yang berbeda, karena seks
atau jenis kelamin merupakan sifat alamiah, sedangkan gender ialah peran dan fungsinya dibentuk
oleh keadaan di masyarakat, sosial dan budaya. Gender pada hakikatnya lebih menekankan pada
aspek maskulinitas dan feminitas seseorang dalam budaya tertentu.

6
Moerti Hadiati Soeroso, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif YuridisViktimologis”,
(Surabaya: Sinar Grafika, 2010), 15.
7
Yuni Sulistyowati, KESETARAAN GENDER DALAM LINGKUP PENDIDIKAN DAN TATASOSIAL.
: Indonesian Journal of Gender Studies | Volume 1 No. 2 Tahun 2020. Hal. 3.
8
Faidur Rachman, “Kesetaraan Gender”, 2018, dalam https://reseachgate.ner/publication/3292333930
diakses pada 10 November2021 pukul17.05 WIB.

9
Adapun kesetaraan gender memiliki makna terealisasinya kesamaan kondisi bagi
perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan ikut andil dalam pembangnan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan,
pertahanan dan keamanan dalam menikmati hasil pembagunan tersebut.

D. Pluralitas Sosial Ekonomi


Pluralisme sosial adalah sebuah paham yang menerima keberagaman berupa sikap saling
menghormati dalam interaksi sosial yang terjadi antar individu atau kelompok pada sebuah tatanan
sosial.Dalam kehidupan bersosial, pluralisme akan tercapai bila masyarakat saling hidup
berdampingan dan menunjukkan sikap menghargai maupun menghormati dengan orang lainnya.

Pluralisme ekonomi dimaknai sebagai komunikasi terbuka, sikap kritis, dan keinginan
bekerjasama antar teori, metodologi, pendekatan empiris dalam pengumpulan dan analisis data,
serta membuat rekomendasi kebijakan (Staveren, 2011: 4). Keberadaan pluralisme ekonomi ini
berdasarkan pada anggapan bahwa tidak ada satu teoripun yang dapat menjelaskan keadaan dunia
yang begitu kompleks (ontologi) dan (epitemologikal) menyatakan bahwa tidak ada satu
standarpun yang bisa menyatakan bahwa satu teori itu adalah yang terbaik, sementara yang lainnya
merupakan kekeliruan (Budzinski, 2008; Mearman, 2007).

Dalam pluralime ekonomi, perspektif heterodoks dan persspektif ortodoks saling


bekerjasama dalam menyelesesaikan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi dunia.
Disamping itu, pluralisme ekonomi dianggap penting untuk meningkatkan kemampuan berfikir
kritis dan reflektif mahasiswa. Pluralisme ekonomi juga melatih dan mengajak mahasiswa untuk
lebih aktif dalam konten pembelajaran dalam konteks teori, metode, metodologi, model dan
lainnya yang berbeda. Pluralisme dianggap penting untuk meningkatkan kemampuan berfikir
kritis dan refleksif mahasiswa. Pluralisme mengajak mahasiswa untuk aktif terlibat dalam konten
pembelajaran. Bahkan Mclennan (1995: 25) mengemukakan bahwa pluralisme menggemakan
preferensi untuk keberagaman daripada keseragaman yang bermanfaat secara sosial. Dengan
memperkenalkan pluralisme ekonomi yang menghasilkan pendidikan yang beragam, mahasiswa
akan lebih banyak memiliki pengetahuan berbagai perspektif dan metodologi dalam ekonomi dan

10
dampaknya adalah mahasiswa akan lebih bersikap kritis dan reflektif dalam membandingkan antar
perspektif yang berbeda (O’Donnell, 2009).

E. Pluralitas agama

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-
agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya
disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan
sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama
yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan
dalam studi agama agama (religious studies).

Masyarakat Indonesia menganut berbagai agama. Terdapat enam agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha,
Konghuchu. Meskipun terdapat perbedaan agama kita hendaknya saling menghargai dan
menghormati antar pemeluknya. Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang memiliki makna
luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama yang berbeda dan digunakan dalam cara yang
berbeda-beda.

Pluralitas agama ini mengingatkan bahwa semua keyakinan itu sama, karena kebenaran
setiap agama adalah relatif. Karena itu, setiap umat beragama tak boleh mengklaim bahwa
keyakinan yang dianutnya paling benar dan lainnya salah.

Selain itu, keberagaman agama dalam masyarakat ini menjadikan hidup lebih berwarna.
Keberagaman ini juga bisa diimbangi dengan sikap toleransi. Tanpa sikap toleransi, keberagaman
agama ini bisa mengakibatkan perpecahan maupun konflik dalam masyarakat.

Seperti yang kita tahu, di Indonesia ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah, yakni islam,
Kristen, katolik, hindu, budha dan konghucu. Setiap warga negara Indonesia berhak memeluk
salah satu dari keenam agama tersebut.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Multikultural berartiberanekaragamkebudayaan. Menurut ParsudiSuparlan (2002) akar


kata darI multikulturalisme adalah kebudayaan atau kultur,yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagaipedoman bagikehidupanmanusia.Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan
sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.

Pluralisme budaya, adalah kondisi budaya yang majemuk, yang mana istilah ini digunakan
untuk menggambarkan penerimaan budaya alternatif. Maksudnya, orang-orang hidup bersama
dengan saling toleransi terhadap budaya orang lain yang berbeda-beda agar tercapai pluralitas.

Pluralisme Gender berbicara mengenai gender tentu tidak dapat dilepaskan dengan
seksualitas. Pluralisme gender baik yang dijumpai dalam konteks budaya lokal maupun LGBTIQ
juga sangat berkaitan dengan seksualitas yang mereka miliki. Seksualitas menyangkut seluruh
keberadaan diri sebagai manusia yang diciptakan Tuhan, yang tidak sekadar berbicara mengenai
hubungan seks. Seksualitas menyangkut penampilan tubuh, bagaimana merasa aman dan bangga
terhadap diri sendiri (penerimaan diri), bagaimana membangun relasi mendalam dengan diri
sendiri, orang lain, alam semesta, dan Tuhan.

bahwa gender dan seks merupakan dua hal yang berbeda, karena seks atau jenis kelamin
merupakan sifat alamiah, sedangkan gender ialah peran dan fungsinya dibentuk oleh keadaan di
masyarakat, sosial dan budaya. Gender pada hakikatnya lebih menekankan pada aspek
maskulinitas dan feminitas seseorang dalam budaya tertentu.

Adapun kesetaraan gender memiliki makna terealisasinya kesamaan kondisi bagi


perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan ikut andil dalam pembangnan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan,
pertahanan dan keamanan dalam menikmati hasil pembagunan tersebut.

Pluralisme sosial adalah sebuah paham yang menerima keberagaman berupa sikap saling
menghormati dalam interaksi sosial yang terjadi antar individu atau kelompok pada sebuah tatanan

12
sosial.Dalam kehidupan bersosial, pluralisme akan tercapai bila masyarakat saling hidup
berdampingan dan menunjukkan sikap menghargai maupun menghormati dengan orang lainnya.

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-
agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya
disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan
sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama
yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan
dalam studi agama agama (religious studies).

13
DAFTAR PUSTAKA

Mohammad Muchlis Solichin.Pendidikan Agama Islam Berbasis Kesetaraan Gender.jurnal


Tadris. Vol 1 No. 1, 2006.

Nasarudin Umar.Argumen Kesetaraan Jender (Perspektif AlQur’an).Jakarta:


PARAMADINA,2001

Paul Suparno, Seksualitas Kaum Berjubah, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)


J.L.Ch.Abineno, Seksualitas dan Pendidikan Seksual, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002)

Moh. Yasir Alimi, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana
Agama, (Yogyakarta: LkiS, 2004)

Mutya Widia Lestari, dkk, “LGBITIQ: Keberagaman Seksual Dalam Praduga dan Stigma”
dalam majalah suara mahasiswa edisi XIX (Mei,2012) rubrik budaya

Moerti Hadiati Soeroso, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif


YuridisViktimologis”, (Surabaya: Sinar Grafika, 2010)

Yuni Sulistyowati, KESETARAAN GENDER DALAM LINGKUP PENDIDIKAN DAN


TATASOSIAL. : Indonesian Journal of Gender Studies .

Faidur Rachman, “Kesetaraan Gender”, 2018, dalam


https://reseachgate.ner/publication/3292333930 diakses pada 10 November2021

14

Anda mungkin juga menyukai