Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAKIKAT PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI


LEMBAGA PAUD

DISUSUN OLEH :
1. Nur Annisa Amalia ( 1183313018 )
2. Irma Walida Hasugian ( 1183313007 )
3. Erma Yuliani Tanjung (1181113004)
4. Djannah Zaen Br. Ginting ( 1182113015 )
5. Fery Refmil Hutasoit (1183113023)

MATA KULIAH :

PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA LOKAL


DOSEN PENGAMPU :

Drs. Jasper Simanjuntak., M.Pd / May Sari Lubis., S.Pd, M.Pd

PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

T.A 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul “Hakikat Pendidikan Multikultural Di Lembaga Paud”. Atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu Drs. Jasper Simanjuntak., M.Pd
/ May Sari Lubis., S.Pd, M.Pd selaku dosen mata kuliah Pembelajaran Berbasis Budaya
Lokal yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan untuk menganalisis
keterpaduan proses sosial, emosional dan moral dalam belajar.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca agar kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah untuk menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 20 Februari 2020

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................... Error! Bookmark not defined.
1.1. Latar Belakang ............................................ Error! Bookmark not defined.
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3. Tujuan Pembahasan ...................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 6
“ HAKIKAT PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI LEMBAGA PAUD” .......... 6
2.1. Paragdima Pendidikan Multikultural ......................................................... 6
2.2. Urgensi Pendidikan Multikultural .............................................................. 7
2.3. Pendekatan Pendidikan Multikultural Individu ...................................... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 18
3.1. Kesimpulan .................................................................................................. 18
3.2. Saran........................................................... Error! Bookmark not defined.8
DAFTAR PUSTAKA ............................................... Error! Bookmark not defined.9

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat menentukan dalam kemajuan
suatu Negara.Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam suku,
adat, agama, bahasa, dan lain-lain. Kesatuan ini akan menjadi bentuk Negara secara
plural melalui pendidikan. Perbedaan ini dapat disatukan agar tidak terjadi diskriminasi
yang menyudutkan pada salah satu golongan sehingga pembangunan Indonesia
terlambat. Pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan
proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Tentu saja untuk mendesain
pendidikan multicultural secara praksis, itu tidaklah mudah.Tetapi, paling tidak kita
mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan
multikulturalisme. Setidaknya ada dua hal bila kita akan mewujudkan pendidikan
multikulturalisme yang mampu memberikan ruang kebebasan bagi semua kebudayaan
untuk berekspresi.

Pertama adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa


dialog. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan yang ada
berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi
atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. Dialog meniscayakan
adanya persamaan dan kesamaan diantara pihak-pihak yang terlibat. Aanggapan bahwa
kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme,
nativisme,dan chauvinisme. Dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran
yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan.
Di samping sebagai pengkayaan, dialog juga sangat penting untuk mencari titik temu
antar peradaban dan kebudayaan yang ada. Pendidikan multikultural dapat dirumuskan

4
sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta
pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudise untuk
membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.

1.2. RUMUSAN MASALAH

 Apakah Yang Dimaksud Pendidikan Multikultural


 Mengapa Pendidikan Multikultural Penting
 Bagaimana Pendekatan Pendidikan Multikultural Individu

1.3. TUJUAN PEMBAHASAN

Agar kita mengetahui apakah Pendidikan Multikultural, mengapa Pendidikan


Multikultural itu penting, dan bagaimana Pendekatan Pendidikan Multicultural
Individu tersebut.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PARAGDIMA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui Indonesia


merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia. Pada satu sisi
kemajemukan masyarakat memberikan side effect (dampak) secara positif namun pada
sisi lain juga menimbulkan dampak negatif, karena kemajemukan itulah justru
terkadang sering menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya,
konflik-konflik antar kelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas
keamanan, sosioekonomi, dan ketidakharmonisan social (social disharmony).

Dalam menghadapi fluralism budaya diperlukan paradigma baru yang lebih toleran
yaitu paradigma Pendidikan Multikultural. Paradigma Pendidikan Multikultural itu
penting sebab dapat mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran
dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam baik dalam hal budaya, suku,
ras, etnis, maupun agama.

Pendidikan multikultural sebagai pendidikan alternatif patut dikembangan dan


dijadikan sebagai model pendidikan di Indonesia dengan alasan, Pertama, realitas
bahwa Indonesa adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku, bangsa, etnis agama,
dengan bahasa yang beragam dan membawa budaya yang heterogen serta tradisi dan
perdaban yang beraneka ragam. Kedua, pluralitas tersebut secara inheren sudah ada
sejak bangsa Indonesia ini ada. Ketiga, masyarakat menentang pendidikan yang
berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis, yang mengutamakan golongan atau
orang tertentu. Keempat, masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-
wenangan pelaksanaan hak setiap orang. Kelima, pendidikan multikultur sebagai
resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan dan kesewenang-
wenangan. Keenam, pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi

6
berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. ketujuh, pendidikan
multikultutral sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, social, kalaman, dan keTuhanan.

2.2. URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

a. Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik


Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan intoleransi yang terjadi di masyarakat.
Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial budaya. Spektrum kultural masyarakat indonesia yang
amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan
tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan
multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu: menyiapkan bangsa
Indonesia untuk menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan
bangsa yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Pendidikan kebangsaan dan ideologi telah banyak diberikan di perguruan tinggi,
namun pendidikan multikultural belum diberikan dengan proporsi yang benar.
Maka sekolah sebagai institusi pendidikan dapatmengembangkan pendidikan
multikultural dengan model masing-masing sesuai asas otonomi pendidikan.
Menurut penulis, pendidikan multikultural tersebut sebaiknya lebih ditekankan
pada mata pelajaran agama, kebangsaan, dan moral. Pada dasarnya model
pembelajaran seperti itu memang sudah ada. Namun, hal itu masih sekedar teori
sedangkan dalam prakteknya belum terlaksana dengan baik.
Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang terjadi pada kehidupan
berbangsa saat ini dimana pemahaman toleransi masih amat kurang. Hingga detik
ini, jumlah siswa dan mahasiswa yang memahami makna budaya bangsa masih
sangat sedikit. Padahal dalam konteks pendidikan multikultural, memahami makna
dibalik realitas budaya suku bangsa merupakan hal yang esensial. Maka,
penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila berbentuk
pada diri siswa sikap hidup saling toleransi, tenggang rasa, tepo seliro, tidak

7
bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku,
bahasa, adat istiadat atau lainnya.
Menurut Stephen Hill, Direktur PBB bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan
budaya, UNESCO untuk kawasan Indonesia, pendidikan multikultural dapat
dikatakan berhasil bila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Secara
konkret, pendidikan ini tidak hanya melibatkan guru atau pemerintah saja, namun
seluruh elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multi dimensi aspek
kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural. Perubahan yang
diharapkan dalam konteks pendidikan multikultural ini tidak terletak pada angka
(kognitif) sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan pendidikan di negeri ini.
Namun, lebih dari itu yakni terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam
kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya dan SARA. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa hasil
pendidikan multikultural tidak bisa diukur oleh waktu tertentu. Maka, di Indonesia
sudah saatnya memberikan perhatian besar terhadap pendidikan multikultural.
Secara tidak langsung, hal itu dapat memberikan solusi bagi permasalahan sosial
dimasa mendatang.

b. Supaya siswa tidak tercerabut dari akar budaya


Pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak
tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, takala ia berhadapan dengan
realitas sosial budaya di era globalisasi. Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan
antar budaya menjadi ancaman bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global
tersebut, siswa hendaknya dibekali pengetahuan dan agama yang cukup, sehingga
mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek
kebudayaan.
Menurut Fuad Hasan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap tantangan
globalisasi, utamanya dalam aspek kebudayaan. Sebab anak didik masa kini jauh
berbeda dengan anak-anak seusianya di masa lalu. Beragam budaya yang ada di
negeri ini, berbaur dengan budaya asing yang kian mudah diperoleh melalui

8
beragam media, seperti televisi, internet,dll. Kemajuan IPTEK memperpendek
jarak dan memudahkan persentuhan antar-budaya. Dan dimungkinkan terjadinya
gesekan yang saling mempengaruhi budaya. Maka tantangan dalam dunia
pendidikan kita saat ini sangat berat dan kompleks. Upaya antisipasi perlu
dipikirkan secara serius, jika tidak maka generasi bangsa ini bisa kehilangan arah,
tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Menurut H.A.R. Tilaar, pendidikan multikultural telah menjadi suatu tuntutan
yang tidak dapat ditawar-tawar dalam membangun Indonesia baru. Menurutnya,
pendidikan multikultural memerlukan kajian yang mendalam mengenai konsep dan
praksis pelaksanaannya baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Ada baiknya apabila kita melihat pengalaman negara-negara yang telah
mengaplikasikan pendidikan multikultural dalam masyarakat pluralistik serta
terbuka di era globalisasi ini. Sebetulnya, realitas multikultural yang ada di
indonesia merupakan kekayaan yang bisa menjadi model untuk mengembangkan
kekuatan budaya. Maka, jelas bahwa kekayaan tersebut patut kita jaga dan
lestarikan.

c. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional


Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses
belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi yang harus dikuasai oleh
siswa dengan ukuran tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan
pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. Pengembangan kurikulum masa
depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan berdasarkan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengubah filosofi kurikulum saat ini pada yang lebih sesuai dengan tujuan,
misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan.
2) Teori kurikulum (curriculum content), harus berubah dari teori yang
mengartikan konten sebagai aspek substantif ke pengertian yang mencakup
nilai moral, proses dan keterampilan (skill) yang harus dimiliki generasi
muda.

9
3) Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang
memperhatikan keragaman social, budaya, ekonomi, dan politik.
4) Proses belajar yang dikembangan untuk siswa harus berdasarkan proses
yang memiliki daya saing secara kompetitif dengan kelompok lain.
5) Evaluasi yang digunakan meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik, sesuai dengan konten yang dikembangkan.
Alat evaluasi yang digunakan harus beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan
informasi yang ingin dikumpulkan. Indonesia sebagai negara majemuk perlu
menyusun konsep pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk
memperkuat indentitas nasional. Dengan cara ini diharapkan generasi muda
setidaknya memiliki identitas nasional, sehingga mereka tidak mudah dipecah
belah, dan mampu bersaing di era globalisasi.
Negara yang berpenduduk majemuk seperti Amerika,Australia,dan Kanada
telah mengajarkan pendidikan multibudaya pada sekolah formal dan informal.
Menurut Hamid Hasan, masyarakat Indonesia memiliki keragaman social budaya,
aspirasi politik dan kemampuan politik. Keragaman ini pula menjadi pengaruh
terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikukulum, kemampuan sekolah
dalam menyediakan pengalaman belajar, kemampuan siswa dalam proses belajar,
serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat di terjemahkan sebagai hasil
belajar.
Para ahli pendidikan menyadari bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan
pengembangan kurikulum. Ki Hajar Dewantara menyatakan kebudayaan
merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Kebudayaan
merupakan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya
sehingga ia tidak saja menjadi landasan dimana kurikulum dikembangkan tetapi
menjadi target hasil pengembangan kurikulum. Dalam buku yang berjudul
Sociocutural Origins of Achievment, Maehr (1974) mengatakan keterkaitan
kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi,
kebudayan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan motivasi berprestasi,
merupakan factor-faktor yang berpengaruh terhadap siswa.

10
Studi Webb (1990) dan Burnet (1994) menunjukkan bahwa proses belajar siswa
yang dikembangkan melalui budaya menunjukkan hasil yang lebih baik. Oleh
karena itu, sudah saatnya untuk memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai
landasan dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses, evaluasi, kegiatan
belajar siswa. Konsekuensinya pengembang kurikulum ditingkat pusat, daerah, dan
sekolah harus memanfaatkan kebudayaan sebagai landasan kurikulum secara lebih
sistematis.
Indonesia adalah negara kaya budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional
Bhineka Tunggal Ika. Oleh sebab itu proses pengembangan kurikulum harus
memperhatikan keragaman kebudayaan yang ada, seharusnya di Indonesia
harusnya memakai pendekatan multicultural sebagai pengembang kurikulum.
Menurut UU nomor 22 tahun 1999 dan No. 32/2004 tentang otonomi daerah tidak
akan secara langsung menjadikan pendidikan multicultural berlaku dalam
pengembangan kurikulum di Indonesia.

d. Menuju masyarakat Indonesia yang multicultural


Dalam masyarakat multikultural ditegaskan corak masyarakat Indonesia yang
beragam bukan hanya dimaksudkan pada keanekaragaman suku bangsa, melainkan
juga keanekaragaman budaya yang ada pada masyarakat. Eksistensi keragaman
budaya tersebut tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati, toleransi
antara budaya satu dengan lainnya. Dalam konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan
bukan menjadi penghalang untuk bersatu mewujudkan cita-cita dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan oleh para pendiri bangsa
(founding fathers) dalam mendesain kebudayaan bangsa, sebagaimana yang
terungkap dalam penjelasaan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak kebudayaan di daerah.”

11
Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat
terwujud bila: Pertama, konsep multikulturalisme dipahami urgensinya oleh bangsa
Indonesia dan menjadikannya pedoman hidup. Kedua, adanya kesamaan
pemahaman mengenai makna multikulturalisme bagi kehidupan berbangsa. Ketiga,
kajian multikulturalisme meliputi berbagai permasalahan, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM,
hak budaya prinsip-prinsip etika dan moral.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang
harus diperjuangkan. Karena, multikulturalisme sangat di butuhkan sebagai
landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup suatu
masyarakat yang majemuk (plural society). Multikulturalisme bukan sebuah
ideologi yang berdiri sendiri tetapi membutuhkan konsep lain yang dijadikan acuan
untuk memahami dalam kehidupan bermasyarakat.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah
demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa,
keyakinan keagamaan, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya
yang relevan. Masalah yang dihadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat
Indonesia yang multikultural sangatlah kompleks.
Dalam kesempatan ini, ada baiknya bila semua melakukan instrospeksi
mengenai kesiapan tersebut. Pertama, kita mempersiapkan diri melalui berbagai
kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah ilmu pengetahuan, dan
mempertajam metodologi yang relevan mengenai masyarakat multikultural. Kedua,
secara metodologi, berbagai kajian etnografi tradisional pada penelitian mahasiswa
untuk skripsi sebaiknya ditinjau kembali untuk diubah sesuai perkembangan
antropologi yang ada. Ketiga, ada baiknya para ahli secara bersama-sama melihat,
mengembangkan dan menciptakan model penerapan multikulturalisme dalam
masyarakat. Sehingga, upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu
dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil diwujudkan.

12
2.3. PENDEKATAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL INDIVIDU

Kurikulum menjadi faktor yang menentukan dalam Pendidikan Multikultural. Di


sekolah-sekolah Amerika Serikat terdapat berbagai pendekatan dalam melakukan
reformasi kurikulum multikultural. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai pendekatan
Pendidikan Multikultural. Setiap negara, termasuk Indonesia mempunyai permasalahan
unik yang berbeda-beda, namun ada sejumlah permasalahan yang sama dan kita bisa
banyak belajar negara lain, termasuk Amerika Serikat yang sudah lama mendalami dan
mengembangkannya. Kita tahu bahwa perintis Pendidikan Multikultural berasal dari
negara ini.
a. Tahap-tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum
Sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang
mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum: Pertama,
pendekatan kontribusi (the contributions approach). Level 1 ini adalah satu dari
yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan
kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan jika sekolah
mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum
aliran utama.
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan
benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan
menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks,
Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai
pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka
dibahas saat pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick Henry, George
Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum
inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok
etnis dipelajari, namun hanya sedikit memberi perhatian pada makna dan
pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum
aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik.

13
Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup
pengetahuan dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan
etnis dan peranan dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS. Individu
yang menentang ideologi, nilai dan konsepsi masyarakat yang dominan dan yang
mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi radikal jarang dimasukkan
dalam pendekatan kontribusi. Jadi Booker T. Washington lebih mungkin dipilih
untuk studi dibandingkan dengan W.E.B Du Bois, dan Sacajawea lebih mungkin
dipilih daripada Geronimo. Kriteria yang digunakan untuk memilih pahlawan etnis
untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan perjuangannya berasal dari
masyarakat aliran utama dan bukan dari komunitas etnis. Akibatnya, pemakaian
pendekatan kontribusi biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang
hanya menggambarkan satu perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam
pendekatan kontribusi, individu yang lebih radikal dan kurang konformis yang
hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung untuk diabaikan dalam
buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang dipakai.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk
mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi
pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar
yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum hanya
memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi
kurikulum. Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan kontribusi saat
mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong,
mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan
menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif.
Pendekatan kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar
untuk digunakan untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum.
Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi
kurikulum dilengkapi terutama dengan memasukkan pahlawan dan kontribusi
etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global tentang peranan kelompok etnis

14
dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka melihat isu dan peristiwa
etnis terutama sebagai tambahan terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu
hanya berkedudukan sebagai tempelan terhadap sejarah utama perkembangan
bangsa dan terhadap kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang
pelajaran yang lain.
Pendekatan kontribusi terhadap integrasi materi dapat memberi siswa dengan
pengalaman sesaat yang dapat diingat dengan pahlawan etnis, namun seringkali
gagal untuk membantunya memahami peran dan pengaruh pahlawan itu dalam
konteks keseluruhan dari sejarah dan masyarakat Amerika. Jika pahlawan etnis
dipelajari terpisah dan menjadi bagian dari konteks sosial dan politis di mana
mereka hidup dan bekerja, siswa hanya memperoleh pemahaman parsial tentang
peranan dan signifikannya dalam masyarakat. Jika Martin Luther King, Jr.
dipelajari di luar konteks sosial dan politik rasisme pelembagaan di AS Selatan
pada tahun 1940 dan 1950 an, dan tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme
pelembagaan di Utara selama periode ini, signifikansi utuhnya sebagai pembaharu
sosial tidak ternyatakan ataupun dimengerti oleh siswa.

b. Kedua, Pendekatan Aditif (Additive Approach)


Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap
kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap
kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan
Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau
bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh
pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu unit
tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit tentang
1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika selama
studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat. Pendekatan aditif
memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum
tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan
pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial.

15
Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum
transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk
mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Namun pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan seperti dari pendekatan
kontribusi. Yang paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari
perspektif sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak
memerlukan restrukturisasi kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang
diseleksi untuk studi diseleksi dengan Handout Pendidikan Multikultural 40
menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris.

c. Ketiga, Pendekatan Transformasi


Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda secara
mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi
etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi
dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam
tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan
menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem
dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran
utama adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah,
konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap
isu, konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS.
Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan
isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang
dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang
paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).

d. Keempat, Pendekatan Aksi Sosial


Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua
elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang

16
mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan
dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari
pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik
sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan
keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh
kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang
reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional
dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga
mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam
masyarakat dan negara.
Pendidikan politik di Amerika Serikat secara tradisional meningkatkan
kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial
adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan ketrampilan
yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga
kelompok-kelompok ras dan etnis yang terabaikan dan menjadi korban ini dapat
menjadi berpartisipan penuh dalam masyarakat AS dan negara akan lebih dekat
dalam mencapai ide demokrasi. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah agen
perubahan sosial (agents of social change) yang meningkatkan nilai-nilai
demokratis dan kekuatan siswa.
Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum
sering dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti
pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain,
yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan
pendekatan aksi sosial. Tidak realistis untuk mengharapkan guru berpindah secara
langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada aliran utama ke pendekatan yang
berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi sosial. Pergerakan dari tahap awal ke
tahap lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara
bertahap dan kumulatif.

17
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dalam menghadapi fluralism budaya diperlukan paradigma baru yang lebih toleran
yaitu paradigma Pendidikan Multikultural. Paradigma Pendidikan Multikultural itu
penting sebab dapat mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran
dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam baik dalam hal budaya, suku,
ras, etnis, maupun agama.

3.2. SARAN

Saran kami kelompok 3 yaitu agar Pendidikan Multikultural diterapkan di PAUD,


dikarenakan Pendidikan Multikultural dapat mengarahkan anak didik untuk bersikap
dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam baik
dalam hal budaya, suku, ras, etnis, maupun agama. Oleh karena itu, kita sebagai guru
PAUD harus memahami konsep Pendidikan Multikultural tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

Eka Prasetiawati. 2017. Urgensi Pendidikan Multikultural Untuk Menumbuhkan Nilai


Toleransi Agama Di Indonesia. TAPIS. Vol. 01, No. 02. http://e-
journal.metrouniv.ac.id/index.php/tapis/article/download/876/779/
Gapurakampus.20 november 2017."Makalah pendidikan multikultural".Diperoleh dari
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-pendidikan-
multikultural.html?m=1
Kawuryan, Sekar Purbariani. 2009. Bahan Ajar Pendidikan Multikultural. di akses pada
tanggal 19 Februari 2020 pukul 21.22 WIB.

19

Anda mungkin juga menyukai