Anda di halaman 1dari 22

MULTIKULURALISME, KEARIFAN UNIVERSAL DAN PENTINGNYA

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
MATAKULIAH KEARIFAN LOKAL

Dosen Pengampu:
Haris Firmansyah, M.Pd

Disusun Oleh:
Aldian Tomia F1221191029
Agustian F1221191020
Arif Antasalah F1221191008
Ahmad Daim F1221191021
Deviana Ariska F1221191033
Nida Sausan F1221191031
Putri Safitri F1221191036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “MULTIKULURALISME, KEARIFAN
UNIVERSAL DAN PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL” bisa selesai pada
waktunya.
Dalam kesempatan ini kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Multikultural yakni Haris Firmansyah,
M.Pd yang telah bersedia menerima makalah ini meskipun banyak terdapat kekurangan
didalamnya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Pontianak, 10 Februari 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan....................................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................2

BAB II Pembahasan...................................................................................................................3

A. Multikulturalisme...........................................................................................................3
B. Kearifan Universal.........................................................................................................9
C. Pentingnya Pendidikan Multikultural.............................................................................9

BAB III Penutup.......................................................................................................................17

A. Kesimpulan...................................................................................................................17
B. Saran.............................................................................................................................18

Daftar Pustaka .........................................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain dalam
mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam
kompetisi kehidupannya. Dalam aktifitas pendidikan, peserta didik merupakan
sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, dalam
memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang
ciri-ciri umum peserta didik, yaitu: (1) Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya,
maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuannya,
kemauannya, dan sebagainya, (2) Peserta didik memiliki keinginan untuk berkembang
kearah dewasa, (3) Peserta didik memiliki latar belakang budaya, etnis dan agama
yang berbeda, (4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya
dengan potensi-potensi dasar yang dimilikinya secara individu.Telah banyak pakar
pendidikan mendefenisikan konsep pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik. Sedangkan multikultural diartikan sebagai
keragaman kebudayaan, aneka kesopanan. Dalam perspektif Tilaar, pendidikan
multikultural berawal dari berkembangnya gagasan tentang “interkulturalisme” seusai
perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain
terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan
dari kolonialisme serta diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya
pluralitas di Negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari
Negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Struktur masyarakat Indonesia
juga dapat menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia
terintegrasi pada tingkat nasional. Suatu masyarakat yang multikultural tidak dapat
disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat
segmenter, dan tidak dapat disamakan pula dengan masyarakat yang memiliki
diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi yang merupakan masyarakat yang terbagi-
bagi ke dalam berbagai kelompok. Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan
membahas hal-hal berikut.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Multikulturalisme ?
2. Bagaimana yang di maksud dengan Kearifan Universal ?
3. Apa pentingnya Pendidikan Multikultural ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana Multikulturalisme
2. Untuk mengetahui bagaimana Kearifan Universal
3. Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Multikultural

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Multikulturalisme
1. Hakikat multikulturalisme
Dunia adalah tempat untuk multikulturalisme. suatu wilayah daerah dan
negara adalah tempat untuk multikulturalisme. Multikulturalisme ditemukan di
mana saja di permukaan bumi ini. Menurut May, multikulturalisme adalah suatu
pendekatan yang menggantikan unversalisme dan yang memperkenalkan etnik
yang tidak perlu dan tidak mendukung ke dalam wilayah perhatian atau kegiatan
‘masyakarat sipil’. Steinberg menguraikan bahwa multikulturalisme adalah suatu
posisi multicultural untuk menjawab perbedaan yang berkaitan dengan rasial,
golongan sosial-ekonomi, jender, bahasa, budaya, jenis kelamin, dan ketunaan.
Calhoun, Light, & Keller mendefinisikan bahwa multikulturalisme adalah suatu
pendekatan untuk kehidupan dalam suatu masyarakat pluralistic, yang menuntut
untuk menemukan cara-cara bagi orang-orang untuk memahami dan berhubungan
dengan yang lainnya yang tidak tergantung kepada persamaan mereka, tetapi lebih
pada penghargaan dari perbedaan merekaTidak ada satu negara pun di permukaan
bumi ini tanpa multikulturalisme. Hal itu dibuktikan dengan banyak negara seperti
the United States, Canada, Australia, French, United Kingdom, dan Indonesia
sebagai contoh negara yang ditumbuhi dengan multikulturalisme. Di negara-
negara tersebut, multikulturalisme merupakan kebijakan, doktrin, filosofis,
ideologi, dan sekaligus realitas yang menekankan pada karakteristik unik budaya
yang berbeda asal dari berbagai etnik, agama, dan bangsa namun dengan status
yang sama. Semuanya berkumpul dan hidup secara damai dan adil dalam suatu
negara. Kondisi hidup seperti itu mengandung makna bahwa setiap orang atau
kelompok orang harus saling menghargai perbedaan perspektif yang berkembang
dan bertahan melalui berbagai macam pengalaman dan latar belakang
perbedaannya.
Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa bergantung pada orang lain
dalam memenuhi keperluan hidupnya. Disadari atau tidak, kita semua memiliki
sifat saling membutuhkan yang begitu kuat. Kebutuhan manusia dapat dipenuhi
ketika antara manusia yang satu dan yang lain memiliki kesadaran dan
penghormatan terhadap hak-hak orang lain Di tengah tengah masyarakat kita

3
sering terjadi kondisi nyata yang menunjukkan adanya perbedaan dengan orang
lain. Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya hal yang sangat lumrah. Namun,
perbedaan sering menimbulkan konflik dalam masyarakat. Apabila konflik
tersebut tidak dapat dikendalikan, maka akan menimbulkan tindak kekerasan.
Hakikat kehidupan adalah perubahan, dan jika ada yang abadi dalam kehidupan,
maka keabadian itu adalah perubahan. Kehidupan tidak pernah ada tanpa
perubahan dan dalam perubahan dengan sendirinya selalu memunculkan konflik,
yaitu konflik antara yang akan diubah, pengubah dan kebaruan yang lahir dari
perubahan itu sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbagai jenis konflik
adalah suatu keniscayaan. Suatu masyarakat pasti pernah mengalami konflik, baik
antara anggotanya maupun dengan kelompok masyarakat lain. Istilah konflik
sering mengandung pengertian negatif, sebab cenderung dimaknai sebagai lawan
kata dari keserasian, kedamaian, dan keteraturan. Konflik sering pula
diasosiasikan dengan ancaman ataupun penggunaan kekerasan. Padahal jika
dikelola dengan baik, konflik tidak selamanya diakhir dengan kekerasan.
2. Indonesia Sebagai Masyarakat Multikultural
Indonesia dipandang sebagai contoh masyarakat majemuk dengan pandangan
pluralisme karena anekaragam masyarakat dan kebudayaannya, setidak-tidaknya
pada masa lampau, kurang berinteraksi satu sama lain, antara lain karena faktor
geografis kepulauan. Hipotesa ahli ilmu politik seperti P. Laslettt mungkin benar
bahwa sistem kekuasaan otoritarian adalah bentuk adaptif dari suatu pengaturan
masyarakat majemuk dengan populasi besar yang terikat sebagai suatu negara-
bangsa yang tinggal di pulau-pulau yang banyak dan tersebar luas. Melonggarkan
kekuasaan otoritarian itu akan membawa persoalan besar bagi integrasi nasional.
Kritik orang atas konsep pluralitas itu datang silih berganti. Namun tak satu pun
yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Konsep Furnivall itu kemudian diadopsi oleh M.G. Smith , salah seorang
tokoh penting yang mengembangkan teori tentang masyarakat majemuk dalam
antropologi. Smith menemukan konsep masyarakat majemuk ini penting untuk
kepentingan analisa ketika untuk pertama kali ia menemukan anekaragam bentuk
struktural pada masyarakat Karibia yang ditelitinya, dan kemudian membanding-
bandingkannya. Menurut Smith, model masyarakat majemuk yang berlandaskan
ras mengabaikan kemungkinan landasan lain, seperti kelas sosial atau agama.
Smith berargumen konsep pluralisme diperlukan sebagai konsep payung yang

4
akan digunakan secara komparatif dalam antropologi sosial. Akan tetapi, ada
sebagian antropolog yang mengkritik pendapat Smith bahwa ia tidak berhasil
menjelaskan konteks historis dari apa yang disebutnya masyarakat majemuk itu.
Mereka mengemukakan bahwa masyarakat majemuk itu akan lebih berguna jika
dilihat sebagai konteks historis daripada sebagai bentukbentuk struktural.
Sebagian antropolog lain menaruh curiga bahwa konsep masyarakat majemuk
adalah konstruksi kolonial. Dengan konsep ini muncul kemudahan bagi kaum
kolonialis untuk mengembangkan pengaturan keanekaragaman masyarakat dan
kebudayaan dengan mengatasnamakan integrasi nasional. Dengan konsep tersebut
terbuka kemungkinan potensi untuk mempraktikkan diskriminasi ras – dan
kadang-kadang etnik – kategorisasi dan kodifikasi hukum. Dalam bentuk yang
paling ekstrim, pluralisme rasial digunakan untuk melakukan segregasi,
mengisolasi, dan menyingkirkan suatu etnik, misalnya seperti yang terjadi dalam
politik perbedaan warna kulit di Afrika Selatan pada abad yang lalu.
Teori masyarakat majemuk mengabaikan ciri polietnik kebanyakan
masyarakat di Dunia Ketiga sehingga kurang mempengaruhi kecenderungan
kajian pascakolonial maupun kajian etnik. Seraya terus menyesuaikan diri
terhadap kritik-kritik yang dilancarkan kepadanya, teori Smith mengalami
kemunduran secara konseptual karena terdesak olehteori-teori pluralisme
kebudayaan. Berkembangnya teori-teori pluralisme kebudayaan didorong antara
lain oleh:
1. Lahirnya negara-negara baru merdeka setelah Perang Dunia II;
2. Semakin majunya teknologi komunikasi yang membebaskan masyarakat-
masyarakat yang tadinya terisolasi;
3. Meningkatnya kesadaran akan hak-hak sebagai bangsa dalam tatanan
dunia;
4. Menguat dan menyebarnya pemikiran demokrasi dan hak-hak asasi
manusia di seluruh dunia.

Keempat faktor pendorong ini turut melandasi dibangunnya teori-teori pluralisme


kebudayaan yang secara praktis menghendaki pengakuan akan hak-hak yang sama
sebagai warga kebudayaan dunia. Pluralisme kebudayaan mencakupi gagasan bahwa
perbedaan-perbedaan kebudayaan secara historis di antara berbagai masyarakat
seharusnya dihargai oleh penguasa (baca: pemerintah) yang menjamin persamaan

5
hak-hak mereka dalam masyarakat bangsa. Banyak orang kemudian berpandangan
bahwa konsep pluralisme kebudayaan dapat diterapkan secara lebih universal
daripada model masyarakat majemuk yang dianggap mempertahankan status-quo
kekuasaan kolonial.

3. Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Dalam konteks
masyarakat multkultural, upaya mencegah konflik dan adanya anggapan bahwa
berkonflik merupakan hal negatif adalah sama sekali tidak relevan. Konflik
bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan, tetap harus diakui
keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi kekuatan untuk perubahan yang
positif Indonesia sebagai negara yang dihuni oleh masyarakat multikultural
ditunjukkan antara lain dengan:
1. Lebih dari 700 bahasa yang digunakan sehari-hari oleh setiap kelompok
masyarakat pemakainya;
2. Penduduk yang berbeda agama yang terdiri atas Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Budha; dan
3. Tradisi yang berasal dari nenek moyang setiap suku bangsa.

Keberagaman masyarakat Indonesia dituangkan dalam moto nasional “Bhinneka


Tunggal Ika” Moto tersebut melambangkan segala perbedaan kultural sebagai dasar
kebijakan masional, doktrin, filosofis, ideologis, dan realitas sejak awal pembentukan
bangsa dan Negara Indonesia. Kemajemukan kebudayaan, negara-bangsa, dan
nasionalisme. Negara-bangsa seperti Indonesia dapat dikatakan lahir dan berkembang
bersamaan dengan menguatnya semangat nasionalisme di dunia yakni pada separuh
pertama abad keduapuluh. Konsep nasionalisme sendiri bersendikan tiga unsur, yaitu
kesadaran identitas bersama, suatu ideologi mengenai kesejarahan bersama dan rasa
senasib sepenanggungan, dan adanya suatu gerakan sosial bersama demi mencapai
satu tujuan bersama. Nasionalisme akan menguat apabila setiap unsur di atas
mengalami peningkatan akibat adanya kekuatan dari luar yang dianggap mengancam.
Hadirnya musuh dari luar, misalnya, akan dapat memperkuat nasionalisme itu.

Kemajemukan kebudayaan, selain merupakan ciri yang melekat pada negara-


bangsa Indonesia, juga menjadi factor pendorong dikembangkan dan diterapkannya
model kebijakan masyarakat majemuk karena model itu dapat diharapkan mampu

6
mengikat keanekaragaman yang ada. Akan tetapi, karena unsur-unsur pembentuk
negara-bangsa Indonesia itu sangat beranekaragam baik secara geografi, fisik,
populasi, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, maka model kebijakan pluralistik pada
masa itu dianggap paling masuk akal dan memenuhi kebutuhan sebagai pengikat
kesatuan nasional yang terintegrasi. Akan tetapi, di pihak lain, unsur dari negara-
bangsa yang dominan akan memperoleh posisi yang lebih diuntungkan daripada unsur
yang tidak dominan. Secara teoretis, unsur dominan kerapkali diasosiasikan dengan
unsur mayoritas, meskipun hal ini tidaklah selalu benar. Banyak contoh Konsep
kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah seolah terlupakan
pada masa reformasi, dan bahkan konsep ini seolah dicurigai sebagai politik
kebudayaan Orde Baru yang otoritarian, di mana kontrol oleh pemerintah pusat sangat
besar sehingga peluang untuk mencapai kesetaraan itu menjadi minimal. Di sisi lain,
upaya menemukan model multikulturalisme Indonesia yang mempu merekat kembali
persatuan dan integrasi nasional juga belum berhasil. menunjukkan bahwa unsur
mayoritas bukan unsur dominan dalam ekonomi, atau unsur minoritas justru dominan
dalam konteks ekonomi. Nasionalisme dalam konteks negara bangsa ini sebagai
landasan integrasi nasional menjadi signifikan dan instrumental dalam
mempersatukan seluruh rakyat dalam batas-batas wilayah negara-bangsa, dan dalam
memobilisasi rakyat untuk melawan pihak atau bangsa lain yang mengancam
kedaulatan negara bangsa. Menurut (Asmuri, 2017) bahwa kemajemukan budaya di
Indonesai, karena Indonesia memiliki sekitar 300 suku, 200 bahasa daerah dan ribuan
aspirasi kultural, maka dalam interaksi social dituntut untuk bersikap toleran. Sejalan
dengan pendapat tersebut,(Slamet et al., 2017) menyatakan bahwa nilai-nilai
pendidkan multicultural berasl dari keanekaragama budaya, bahasa, suku, agama.
Sehingga untuk membangun harmoni social perlu toleransi dan menghapuskan sikap
primordial.

Multikulturalisme sebagai Pendekatan dan sebagai Kebijakan Nasional


Sebagaimana dikemukakan di atas multikulturalisme adalah suatu ideologi jalan
keluar dari persoa lan mundurnya kekuatan integrasi dan kesadaran nasionalisme
suatu bangsa sebagai akibat dari perubahan-perubahan di tingkat global. Indonesia,
khususnya, mengalami perubahan tersebut belakangan ini. Setidak-tidaknya
kekhawatiran terjadinya kemunduran dalam kesadaran nasionalisme telah terbukti
akhir-akhir ini. Contoh yang paling nyata adalah semakin meningkatnya keinginan

7
beberapa daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, meskipun sebegitu jauh pemerintah masih mampu meredam kehendak
tersebut sehingga perceraian daerah-daerah tersebut belum terwujud pada saat ini.
Selain itu, konflik-konflik yang terjadi akibat etidaksetaraan sosial dan ekonomi juga
meningkat pada awal abad keduapuluh satu ini. Sebagian orang berpendapat bahwa
konflik-konflik itu terjadi karena kontrol negara yang selama otoriter telah melonggar,
tetapi menjadikan kontrol itu kembali ketat nampaknya bukan jalan keluar yang
terbaik karena Indonesia (pemerintah) akan berhadapan dengan arus kekuatan global
yang lebih menyukai demokrasi, sehingga secara politik negara ini akan tersingkir
dari pergaulan dunia. Akan tetapi, membuka lebih lebar lagi “keran-keran”
keterbukaan juga mengandung risiko jangka panjang, yakni kemungkinan tercerai-
berainya negara-bangsa ini menjadi sejumlah negara-negara yang lebih kecil. Hal ini
yang mendorong sebagian ahli untuk memikirkan alternatif solusi terbaik agar tidak
terjebak kedalam perpecahan, yakni jalan multikulturalisme. Sebagian besar
kebudayaan multikultural di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu dari tiga
model multikulturalisme .

Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru


yang dibangun bersama tanpa memperhatikan anekaragam suku bangsa, agama, dan
bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Model ini memandang
setiap orang – bukan kolektif – berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara.
Sebagai konsekuensi dari diterapkannya model ini adalah tidak diperhatikannya akar
kebudayaan etnik-etnik penyusun negara, dan menjadikannya dengan akibat yang tak
terbayangkan sebelumnya. sebagai masa lampau saja. Banyak orang menuding model
ini sebagai penghancur kebudayaan etnik. Model kebijakan multikulturalisme ini
rentan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsurunsur integrasi nasional tersebut berada di tangan suatu kelompok
elite tertentu yang menguasai negara. Nasionalitas dan nasionalisme menjadi tameng
bagi para elite untuk mencapai tujuannya. Perancis adalah contoh negara yang
menerapkan model ini. Di negara ini diberlakukan aturan-aturan bagi semua individu
warga negara Perancis tanpa memperhatikan latar belakang etnik, dan sekaligus
larangan untuk memanifestasikan identitas kebudayaan etnik atau agama ke tatanan
publik. Larangan menggunakan jilbab di Perancis baru-baru ini adalah salah satu
contoh bekerjanya model nasionalitas tersebut.

8
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang
kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para founders.
Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap
sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan
darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir menjadi orang luar dan
diperlakukan 6 sebagai orang asing. Jerman dikenal sebagai bangsa yang
menggunakan model multikulturalisme ini secara konsisten. Khususnya pada masa
lampau, orang Jerman yang diakui sebagai bangsa Jerman adalah orang yang berasal
dari etnik Arya, dan tindakan pemurnian ras Jerman menjelang Perang Dunia II
adalah sebuah contoh ekstrim bekerjanya model multikulturalisme nasionalitas-etnik.

Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga


etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas yang harus
diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara
diperhatikan. Model ini diterapkan terutama oleh negara-negara yang memiliki
persoalan orang pribumi (aborigines) dan orang pendatang (migrants) seperti Kanada
dan Australia. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya
keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-
tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas
tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas
justru dominan dalam ekonomi. Apabila kekuasaan negara lemah, karena prioritas
kekuasaan dilimpahkan kepada anekaragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan
negara, maka negara mungkin diramaikan oleh konflik-konflik internal
berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

B. Kearifan Universal
Kearifan universal adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika
ditambahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri.
sebagai contohnya adalah kegotoroyongan dalam menyelesaikandalam menyelesaikan
suatu persoalan bangsa, toleransi dan saling menghargai sesama warga, dan
kerukunan hidup antarumat beragama. Kebudayaan Universal
Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
1. Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan
hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan.

9
2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi
dan perkumpulan, sistem keanekaragaman, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
3. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang: flora dan fauna, waktu, ruang
dan bilangan, tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia.
4. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk: lisan dan tulisan
5. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vokal,
musik, bangunan, kesusastraan, drama.
6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu dan
mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, perdagangan.
7. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi: produksi, distribusi,
transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah,
pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, senjata.

Budaya Dalam era globalisasi seperti sekarang ini kebudayaan barat yang masuk ke
Indonesia semakin berkembang pesat. Hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya
rakyat Indonesia yang bergaya hidup kebarat-baratan seperti mabuk-mabukkan,
clubbing, memakai pakaian mini, bahkan berciuman di tempat umum seperti sudah
lumrah di Indonesia. Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang
siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam
ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of
humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan
menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara
positif. Proses filtrasi perlu dilakukan sedini mungkin supaya kebudayaan barat yang
masuk ke Indonesia tidak akan merusak identitas kebudayaan nasional bangsa kita.
Tetapi bukan berarti kita harus menutup pintu akses bangsa barat yang ingin masuk ke
Indonesia, karena tidak semua kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia
berpengaruh negatif, tetapi juga ada yang memberi pengaruh positif seperti
memajukan perkembangan IPTEK di Indonesia. Prioritas yang perlu kita lakukan
terhadap kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia adalah kita harus lebih selektif
kepada kebudayaan barat. Ketegangan antara universalisme dan multikulturalisme
telah diingatkan oleh Charles Taylor (1994) yang mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai
universalisme akan menenggelamkan nilai-nilai multikulturalisme. Universalisme
memberikan penekanan pada nilai-nilai dignity dan nilai-nilai kebenaran yang berlaku

10
secara universal (azasi, umum, dimanapun, kapanpun), sedangkan multikulturalisme
menekankan pada nilai-nilai otentisitas atau nilai-nilai keunikan.

Universalisme menciptakan kebersamaan dalam payung keseragaman,


sedangkan multikulturalisme menciptakan kebersamaan dalam keberagaman.
Tantangan ini menjadi sangat serius karena dia menyusup secara halus dalam
kehidupan masyarakat moderen menusuk kedalam alam pikiran para pemilik dan
pelaku multikultur, sehingga pada akhirnya para pemilik dan pelaku multikultur
dengan kesadarannya sendiri meninggalkan atau melemahkan keunikan-keunikan
yang menjadi identitas atau jatidirinya. Keikhlasan untuk tidak perduli lagi pada
pentingnya jatidiri barangkali tercermin pada anekdot populer yang beberapa tahun ini
sering kita dengar: “Hari gini kok masih sibuk bicara jati diri tho ..........”.

Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya


sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera
muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan
melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan
dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang
lebih kompleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam
realitas dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak,
diingkari, apalagi dimusnahkan (Musa Asy’arie, 2004).

C. Pentingnya Pendidikan Multikultural


Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain dalam
mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam
kompetisi kehidupannya. Dalam aktifitas pendidikan, peserta didik merupakan
sasaran (objek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik. Sedangkan multikultural diartikan sebagai
keragaman kebudayaan, aneka kesopanan. Sedangkan secara terminologi, pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku

11
dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas
dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berlandaskan pada asas dan
prinsip konsep multikulturalisme yakni konsep keberagaman yang
mengakui,menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang
dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas,agama berdasarkan nilai dan paham
demokratis yang membangun pluralisme budaya dalam usaha memerangi prasangka
dan diskriminasi (Sleeter dan Grant, 1988:67).
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat 1, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Ada tiga prinsip pendidikan multikultural yang
dikemukakan oleh Tilaar (2004:12), antara lain sebagai berikut:
1) Pendidikan multikultural didasar pada pedagogik kesetaraan
manusia (equity pedagogy).
2) Pendidikan multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia
Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi
Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-
baiknya.
3) Prinsip globalisasi tidak perlu ditakuti bangsa ini terhadap arah
serta nilai- nilai baik buruk yang dibawanya.
Ketiga prinsip pendidikan multikultural yang dikemukakan Tilaar tersebut di atas
sudah dapat menggambarkan bahwa arah dari wawasan multikulturalisme adalah
menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam perkembangan zaman dan
keragaman berbagai aspek dalam kehidupan modern.
Tujuan pendidikan multikultural dalam UU Sisdiknas ialah: menambahkan
sikap simpati, respek, apresiasi dan empati terhadap penganut agama dan kultur yang
berbeda.Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap
simpatik, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang

12
berbeda. Gorski dalam Budianta, (2003:13) pendidikan multikultural bertujuan untuk
memfasilitasi pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik mencapai
potensi maksimal sebagai pelajar dan sebagai pribadi yang aktif dan memiliki
kepekaan sosial tinggi di tingkat lokal,nasional dan global serta mewujudkan sebuah
bangsa yang kuat, maju, adil, makmur dan sejahtera tanpa perbedaan etnik, ras, agama
dan budaya. Dengan semangat membangun kekuatan diseluruh sektor sehingga
tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri yang tinggi dan dihargai bangsa
lain.
Adapun pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia yaitu sebagai sarana
alternatif pemecahan konflik, peserta didik diharapkan tidak meninggalkan akar
budayanya, dan pendidikan multikultural sangat relevan digunakan untuk demokrasi
yang ada seperti sekarang.
1) Sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diakui dapat menjadi
solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya di
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam unsur sosial dan budaya.
Dengan kata laun, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial-budaya
Struktur kultural masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan untuk mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan
sumber perpecahan. Saat ini pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung
jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk mengahadapi arus budaya luar
di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam
budaya
Pada kenyataannya pendidikan multikultural belum digunakan dalam proporsi
yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi sebagai instirusi pendidikan dapat
mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural dengan model masing-masing
sesuai dengan otonomi pendidikan atau sekolahnya sendiri.
Model-model pembelajaran mengenai kebangsaan memang sudah ada.
Namun, hal itu masih kurang untuk dapat mengahargai perbedaan masing-masing
suku, budaya maupun etnis. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai konflik dari
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini berarti bahwa
pemahaman mengenai toleransi di masyarakat masih sangat kurang.

13
Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakann berhasil apabila
terbentuk pada diri setiap peserta didik sikap saling toleransi, tidak bermusuhan, dan
tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, dan lain
sebagainya.
Menurut Sleeter dan Grant (1988:46), pendidikan multikultural dikatakan
berhasil apabila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan
adanya multidimensi aspek kehidupan yang tercakup dalam pendidikan multikultural.
Perubahan yang diharapkan adalah pada terciptanya kondisi yang nyaman, damai,
toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang
disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.
2) Agar peserta didik tidak meninggalkan akar budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga
signifikan dalam upaya membina peserta didik agar tidak meninggalkan akar
budaya yang ia miliki sebelumnya, saat ia berhubungan dengan realitas sosial-
budaya di era globalisasi.
Pertemuan antar budaya di era globalisasi ini bisa menjadi ‘ancaman’ serius
bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas tersebut, peserta didik tersebut
hendaknya diberikan pengetahuan yang beragam. Sehingga peserta didik tersebut
memiliki kemampuan global, termasuk kebudayaan. Dengan beragamnya
kebudayaan baik di dalam maupun di luar negeri, peserta didik perlu diberi
pemahaman yang luas tentang banyak budaya, agar siswa tidak melupakan asal
budayanya.
Menurut Fuad Hassan, saat ini diperlukan langkah antisipatif terhadap
tantangan globalisasi, terutama dalam aspek kebudayaan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi (iptek) dapat memperpendek jarak dan memudahkan
adanya persentuhan antar budaya.
Tantangan dalam dunia pendidikan kita, saat ini sangat berat dan kompleks.
Maka, upaya untuk mengantisipasinya harus dengan serius dan disertai solusi
konkret. Jika tidak ditanggapi dengan serius terutama dalam bidang pendidikan
yang bertanggung jawab atas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka,
peserta didik tersebut akan kehilangan arah dan melupakan asal budayanya
sendiri.
Sehingga dengan pendidikan multikultural itulah, diharapkan mampu
membangun Indonesia yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

14
Karena keanekaragaman budaya dan ras yang ada di Indonesia itu merupakan
sebuah kekayaan yang harus kita jaga dan lestarikan.
3) Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi
sangat penting apabila dalam memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang
harus dikuasai oleh peserta didik dengan ukuran dan tingkatan tertentu.
Pengembangan kurikulum yang berdasarkan pendidikan multikultural dapat
dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku secara serentak seperti
sekarang menjadi filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b. Harus merubah teori tentang konten (curriculum content) yang
mengartikannya sebagai aspek substantif yang berisi fakta, teori, generalisasi,
menuju pengertian yang mencakup nilai moral, prosedur, proses, dan
keterampilan (skills) yang harus dimiliki generasi muda.
c. Teori belajar yang digunakan harus memperhatikan unsur keragaman sosial,
budaya, ekonomi, dan politik.
d. Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan cara belajar
berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam situasi yang positif.
Dengan cara tersebut, perbedaan antarindividu dapat dikembangkan sebagai
suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa untuk hidup dengan
keberanekaragaman budaya.
e. Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan
kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang
dikembangkan.
4) Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural
Inti dari cita-cita reformasi Indonesia adalah mewujudkan masyarakat sipil
yang demokratis, dan ditegakkan hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah
yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial serta rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan hanya
merupakan keanekaragaman suku bangsa saja melainkan juga menyangkut
tentang keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat Indonesia secara

15
menyeluruh. Eksistensi keberanekaragaman tersebut dapat terlihat dari
terwujudnya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar
kebudayaan satu sama lain.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah
demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku
bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan
publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lain yang relevan.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa Multikulturalisme itu
adalah multikulturalisme adalah suatu pendekatan yang menggantikan unversalisme
dan yang memperkenalkan etnik yang tidak perlu dan tidak mendukung ke dalam
wilayah perhatian atau kegiatan ‘masyakarat sipil’. Steinberg menguraikan bahwa
multikulturalisme adalah suatu posisi multicultural untuk menjawab perbedaan yang
berkaitan dengan rasial, golongan sosial-ekonomi, jender, bahasa, budaya, jenis
kelamin, dan ketunaan. Multikulturalisme sebagai Pendekatan dan sebagai Kebijakan
Nasional Sebagaimana dikemukakan di atas multikulturalisme adalah suatu ideologi
jalan keluar dari persoa lan mundurnya kekuatan integrasi dan kesadaran nasionalisme
suatu bangsa sebagai akibat dari perubahan-perubahan di tingkat global. Indonesia,
khususnya, mengalami perubahan tersebut belakangan ini. Setidak-tidaknya
kekhawatiran terjadinya kemunduran dalam kesadaran nasionalisme telah terbukti
akhir-akhir ini.
Kemudian Kearifan universal adalah kebenaran yang bersifat universal
sehingga jika ditambahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian
kearifan itu sendiri. sebagai contohnya adalah kegotoroyongan dalam
menyelesaikandalam menyelesaikan suatu persoalan bangsa, toleransi dan saling
menghargai sesama warga, dan kerukunan hidup antarumat beragama.
Dan yang terakhir yaitu pentingnya pendidikan multikultural itu sendiri ialah
untuk mengembangkan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia. Karena Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang berlandaskan pada
asas dan prinsip konsep multikulturalisme yakni konsep keberagaman yang
mengakui,menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang
dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas,agama berdasarkan nilai dan paham

17
demokratis yang membangun pluralisme budaya dalam usaha memerangi prasangka
dan diskriminasi (Sleeter dan Grant, 1988:67).

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan berpedoman
pada sumber-sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka
daripada itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini selanjutnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Puspita, Y. (2018). PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL. PROSIDING


SEMINAR NASIONAL 21 UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG, 285-291.

Asmuri, A. (2017). PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (Telaah Terhadap Sistem


Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama Islam). POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam,
2(1), 25. https://doi.org/10.24014/potensia.v2i1.2530

Towards critical multiculturalism,Critical multiculturalism: rethinking multicultural and


antiracist education. Falmer Press.

Slamet, Masrukhi, Haryono, & Wasino. (2017). The Implementation of Multicultural Values
in The Educational Insitution. The Journal of Educational Development, 5(1), 118–127.

Parekh, B. National Culture and Multiculturalism. In Kenneth Thompson (ed.) Media and
Cultural Regulation.

London-Thousand Oaks, Calif.: Sage Publications in association with the Open University.
1997.

Steinberg, R. Shirley, Perkembangan Multikulturalisme, Jakarta: Bina Ilmu, 2009,. h. 217

Sunarto, Kamanto, Russel Hiang-Khng Heng, Multicultural Education in Indonesia and


Southeast Asia. Stepping into the Unfamiliar. Depok: Jurnal Antropologi Indonesia, 2004,

19

Anda mungkin juga menyukai