Anda di halaman 1dari 7

Tugas Artikel Kearifan Lokal

KUPATAN: Lebaran Ketupat Tradisi Masyarakat Durenan


Trenggalek Penuh Nilai Islami

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Studi Keruangan dan
Sistem Sosial
Prof. Dr. Hj. Enok Maryani, M.S.

Nanda William 1706570

PROGRAM PENDIDIKAN DASAR S2


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
KUPATAN: Lebaran Ketupat Tradisi Masyarakat Durenan Trenggalek
Penuh Nilai Islami
Pendahuluan
Tradisi tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dimana masyarakat
tersebut tinggal. Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat adalah aspek utama dalam
kehidupan manusia dan dari masyarakat tersebut muncullah nilai yang merupakan
ciri khas dari masyarakat. Nilai dari masyarakat tersebut dapat diterima orang-
orang dalam masyarakat tersebut sehingga nilai tersebut menjadi bersifat universal
bagi masyarakat sehingga dipanuti dan diwariskan secara turun-temurun pada
generasi-generasi setelahnya. Karl Mannheim (dalam Abidin, 2012: 44)
menyatakan pandangan sosiologi berusaha untuk menemukan sebab-sebab sosial
dari suatu kepercayaan masyarakat yang dikembangkan pikiran-pikiran
masyarakat tentang sebab-sebab sosial itu. Hal tersebut bisa ditemui pada
masyarakat kecamatan durenan Kabupaten Trenggalek Propinsi Jawa Timur.
Kondisi lingkungan dimana pondok pesentren tersebar sebagian besar desa-desa
di kecamatan durenan. Hal tersebut menghasilkan kultur masyarakat Durenan
yang taat kepada Kyai turut mempengaruhi keyakinan mereka, bahwa ajaran-
ajaran yang telah disampaikan oleh para Kyai terdahulu memiliki barokah
tersendiri bagi yang mau menjalankannya secara istiqomah. Kondisi tersebut
memberikan pengaruh kuat terhadap tradisi yang sudah turun temurun
dilaksanakan masyarakat durenan yaitu kupatan (Lebaran Ketupat).
Tradisi Kupatan tersebut merupakan kegiatan sosial yang melibatkan
seluruh masyarakat dalam usaha bersama untuk memperoleh keselamatan, dan
ketentraman bersama, yang biasa dilakukan pada bulan Syawal. Kupatan
merupakan perayaan pada hari kedelapan Hari Raya Idul Fitri. Tidak hanya
dilakukan masyarakat durenan saja, Kupatan ini menjadi salah satu tradisi
masyarakat muslim Jawa yang masih dilestarikan sampai sekarang, salah satu
masyarakat jawa lainnya yang melaksanakan tradisi kupatan adalah masyarakat
Jepara (Faisol, 2017). Ciri dalam kegiatan kupatan terdapat makanan khas yaitu
ketupat. Ketupat adalah makanan khas dari bahan baku beras, dibungkus dengan
selongsong dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal),
kemudian direbus.
Ketupat itu sendiri memiliki makna filosofi bagi masyarakat Jawa. Ketupat
dibuat dari tiga bahan utama yaitu janur kuning, beras dan santan. Janur kuning
atau pelepah daun kelapa muda, merupakan lambang tolak bala atau penolakan
bahaya. Kemudian beras sebagai simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar
masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Sementara santan
(sari buah kelapa) yang dalam bahasa Jawa disebut santen, berima dengan kata
ngapunten yang berarti memohon maaf. Makna lain dari ketupat (kupat) berasal
dari singkatan kata “Ngaku Lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya
dengan tradisi ketupat diharap setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga
memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Bentuk kupat itu sendiri
juga memiliki arti sebagai simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima
pancer. Cara pandang itu menghasilan adanya keharmonisan dan keseimbangan
alam: 4 arah mata angin yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya manusia
dalam kehidupan, kearah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan
pancer yaitu Tuhan yang Maha Esa. (Widodo, A. dan Gunawan, 2015: 118).
Tradisi kupatan di desa Durenan merupakan kearifan lokal yang memiliki
makna pada masyarakat durenan. Menurut (Rosidi, 2011:29), istilah kearifan lokal
berarti kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh
kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Pendapat lain
oleh Rahyono (dalam Fajarini, 2014: 124) kearifan lokal merupakan kecerdasan
manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui
pengalaman masyarakat.
Tradisi kupatan di desa Durenan adalah untuk memperkuat tali silaturahmi
antar sesama warga. Namun demikian, masyarakat juga meyakini bahwa kupatan
sebagai tradisi luhur, yang harus dijaga dan dilestarikan warisan ajaran Mbah
Mesir yang di dalamnya berisi tentang ajaran untuk bersedekah dan memuliakan
tamu. Tradisi kupatan bukanlah hal baru bagi masyarakat desa Durenan. Hasil
wawancara oleh anggota reporter detiknews, Fattah Mu'in menjelaskan,
munculnya tradisi kupatan di lingkunganya dimulai sejak 200 tahun silam, saat
pesantrennya dipimpin oleh Kyai Abdul Masyir atau yang biasa disebut Mbah
Mesir. "Dulu, Mbah Mesir itu setelah Salat Id pada tanggal 1 Syawal, beliau
diundang untuk mendampingi Bupati di pendapa hingga lebaran ke tujuh,"
katanya. Selama mendampingi bupati dan menjalankan ibadan sunnah itulah,
Mbah Mesir tidak melakukan "open house". Kegiatan tersebut baru dilaksanakan
pada lebaran ke-8. Saat itulah, warga sekitar dan para santrinya banyak yang
berdatangan untuk bersilaturrahmi. Tradisi tersebut akhirnya terus berkembang
dan terjaga hingga sekarang. Tradisi ini diyakini sebagai wujud praktik dari
keutamaan ajaran hadith Nabi yang berkaitan dengan silaturahmi, sedekah, dan
memuliakan tamu yang dituangkan dalam bentuk praktek kupatan buka rumah
(open house). (Muttaqin, 2017; Amin, W. J. 2017: 275)

Nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Kupatan


Tradisi Kupatan di Durenan tersebut diawali dengan puasa syawal 6 hari
setelah hari raya idul fitri kemudian pada hari kedelapan bulan syawal warga
masyarakat sekitar, santri, dan masyarakat dari luar durenan berkunjung ke rumah
para kyai dan sanak saudara, serta kegiatan open house yang dilakukan
masyarakat durenan. Jika dilihat lebih mendalam, dari motif tujuan masyarakat
Durenan mempraktikkan tradisi kupatan, seperti hasil penelitian Amin, W. J.
(2017: 276-281) antara lain:
Puasa Syawal
Puasa enam hari di bulan syawal ini merupakan bagian dari puasa sunnah
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Kegiatan ini sudah menjadi bagian dari
adat masyarakat Durenan sebelum menyambut datangnya hari kupatan.
Masyarakat Durenan menjalani aktifitas puasa syawal ini dengan penuh kesadaran
dan keyakinan bahwa itu bagian dari mengikuti ajaran leluhur sebagaimana telah
dicontohkan oleh Mbah Mesir. Meskipun sebagian dari mereka, terutama
masyarakat awamnya, tidak mengetahui adanya dalil dari hadith yang
menganjurkan untuk berpuasa syawal. Meski puasa syawal dapat dilakukan pada
awal, pertengahan, atau akhir bulan syawal, bahkan boleh pula dilaksanakan
secara berurutan hari maupun terpisah-pisah, tetapi masyarakat desa Durenan
lebih memilih hari ke dua syawal hingga datangnya hari raya kupatan. Hal ini
lebih didasarkan karena adanya keyakinan menyesuaikan seperti yang telah
dicontohkan oleh Mbah Mesir.
Berkunjung ke rumah para kyai dan sanak saudara
Tradisi berkunjung ke rumah para kyai dan sanak saudara merupakan
perwujudan dari nilai silaturahmi yang ada pada agama islam. Silaturahmi
menjadi hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat melalui praktik kupatan.
Melalui tradisi inilah silaturahmi antara warga, santri, dan Kyai terjalin lebih kuat.
Melalui tradisi kupatan inilah diyakini akan tercipta ukhuwah islamiyah yang
semakin kuat.

Open House yang dilakukan masyarakat durenan saat perayaan lebaran


kupatan.
Masyarakat desa Durenan dalam mempraktikkan tradisi open house saat
acara kupatan merupakan mewujudkan nilai bersedekah dalam ajaran islam.
Sehingga, meski tamu yang berkunjung ke rumahnya sangat banyak, tidak lantas
membuat mereka terbebani. Justru, semakin banyak tamu yang berkunjung ke
rumah mereka untuk menikmati hidangan kupat, diyakini akan semakin banyak
pula berkah yang mereka dapatkan. Dalam tradisi Kupatan di desa Durenan,
hadith tentang sedekah terwujud dalam bentuk praktik open house. Masyarakat
mempraktikkan hadith tersebut dalam bentuk hidangan ketupat yang mereka
berikan kepada siapapun yang berkunjung ke rumahnya.
Hidangan Ketupat untuk Memuliakan Tamu
Masyarakat desa Durenan sangat antusias dalam menyambut dan
memuliakan para tamu yang datang ke rumahnya saat pelaksanaan tradisi
kupatan. Memuliakan tamu, mereka wujudkan dalam bentuk sambutan hangat,
serta senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang
diberikan. Sikap ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka.
Melayani tamu dengan berbagai macam hidangan ketupat itulah yang mereka
maknai sebagai sikap memuliakan tamu. Bahkan mereka mempersilahkan
siapapun yang lewat di depan rumahnya untuk menikmati hidangan yang sudah
disiapkan, sampai ada pula sebagian dari mereka yang tidak segan untuk ‘merayu’
para tamunya supaya mau menambah makanan yang sudah dihabiskan. Biasanya
mereka mengatakan dengan istilah “monggo, ditanduk kupatipun” (silahkan
ditambah ketupatnya).
Masyarakat desa Durenan menganggap, siapapun yang melintasi rumah,
bahkan jalan raya Durenan sebagai tamu mereka, tanpa memandang asal, bahkan
agamanya. Masyarakat non-muslim pun turut berkunjung ke rumah-rumah warga.
Di sinilah terlihat wujud nyata dari praktik memuliakan tamu. Tanpa mengenal
istilah tamu khusus, warga mana, dan agamanya apa. Dengan kata lain, tradisi ini
mendorong orang untuk lebih mengedepankan prinsip kearifan lokal, tidak hanya
menunjukkan wajah dan orientasi agama, tetapi juga berwajah dan berorientasi
sosial. Sebagaimana terjadi dalam praktik tradisi lokal masyarakat di Jawa yang
sudah mengalami akulturasi dengan budaya Islam. Sekat agama dan status sosial
melebur menjadi satu, ke dalam prinsip menghormati dan memuliakan tamu.
Tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan
kemampuan, tanpa ada unsur paksaan ketika memuliakan tamu. Masyarakat pun
tidak pernah merasa terbebani dengan adanya tradisi ini. Bahkan atas keinginan
sendiri, mereka menabung jauh-jauh hari sebelum diselenggarakannya acara
tersebut, dengan tujuan agar saat tiba hari raya kupatan mereka bisa memberikan
jamuan terbaik kepada para tamunya. Sebaliknya, orang yang bertamu pun harus
senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik, agar orang yang menerimanya pun
senang untuk melayani. Meskipun tamu tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh
sang pemilik rumah sekalipun. Hal terpenting bagi warga desa Durenan adalah
memberikan sambutan yang hangat kepada siapapun yang berkunjung.
Ketentuan-ketentuan tersebut telah dipraktikkan oleh oleh masyarakat desa
Durenan melalui tradisi kupatan. Dari sini terjalin keharmonisan diantara warga,
baik yang muslim maupun non-muslim. Keharmonisan inilah yang pada tahap
selanjutnya, menjadi modal sosial mereka dalam mewujudkan tatanan kehidupan
yang aman dan damai.

Kesimpulan:
Kupatan merupakan merupakan perayaan pada hari kedelapan Hari Raya
Idul Fitri oleh masyarakat muslim Jawa. Perayaan Kupatan di Kecamatan
Durenan Kabupaten Trenggalek memiliki ciri khas tersediri dibandingkan dengan
perayaan di tempat lain. Perayaan kupatan di Kecamatan Durenan Kabupaten
Trenggalek syarat dengan nilai-nilai islami. Tradisi Kupatan di Durenan tersebut
diawali dengan puasa syawal 6 hari setelah hari raya idul fitri kemudian pada hari
kedelapan bulan syawal warga masyarakat sekitar, santri, dan masyarakat dari luar
durenan berkunjung ke rumah para kyai dan sanak saudara, serta kegiatan open
house yang dilakukan masyarakat durenan. Nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi
Kupatan di Durenan Trenggalek adalah pentingnya menjalankan ajaran-ajaran
Nabi yaitu puasa sunnah syawal, menjalin silaturahmi, bersedakah, dan
memuliakan tamu.

Daftar Pustaka:

Abidin, M. Z. 2012. Tradisi Bahilah pada Masyarakat Banjar Puhuluan. Al-


Banjari. Vol.11 (1). Hlm. 39-50.

Amin, W. J. 2017. Kupatan, Tradisi Untuk Melestarikan Ajaran Bersedekah,


Memperkuat Tali Silaturahmi, dan Memuliakan Tamu. AL-A’RAF: Journal
Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol. XIV, No. 2. Hal. 267-282.
DOI:10.22515/ajpif.v14i2.893
Faisol, E. 2017. Tradisi Kupatan Menjadi Lebaran Semua Umat DI Jepara. Artikel
Online diunduk pada tanggal 10 Maret 2018. https://nasional.tempo.co/

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses pada tanggala 10 Maret
2018. https://www.kbbi.web.id/

Muttaqin, A. 2017. Mengenal Tradisi Kupatan di Trenggalek. Artikel Online


diakses pada tanggal 15 Maret 2018. https://news.detik.com/berita-jawa-
timur/d-3545477/mengenal-tradisi-kupatan-di-trenggalek

Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter. Sosio


Didaktika: 1 (2). hlm.123-130.

Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung:
Kiblat Buku Utama.

Wibowo, A. dan Gunawan. 2015. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal


Di Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai