Anda di halaman 1dari 23

MATERI DAN PEMBELAJARAN FIKIH MI KELAS IV SEMESTER 2

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata Kuliah Fikih MI

Dosen Pengampu : Tri Wibowo, M.Pd.I

Disusun Oleh Kelompok 12

1. CINDY FEBI SAUFIKA 1817405098

2. ISNA LUTHFIYAH RETNO PANGESTI 1817405112

3. QORINA NADIATUS SALAMAH 1817405126

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO


2020

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah yang berjudul “Materi dan
Pembelajaran Fikih Di MI Kelas IV Semester 2” penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Fikih MI.

Dan tak lupa dalam menyelesaikan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu, khususnya kepada Bapak Tri Wibowo
M.Pd.I. selaku dosen Fikih MI di IAIN Purwokerto yang telah memberikan petunjuk,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian kepada seluruh teman-
teman sejawat khususnya anggota kelompok 12 yang ikut andil dalam penulisan dan
penyempurnaan makalah ini penulis ucapkan terima kasih.

Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun pembahasan, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak yang sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini menjadi sesuatu
yang bermanfaat dalam pembelajaran sekolah di Tanah Air dalam bidang pendidikan di
Indonesia.

Purwokerto, 14 Oktober 2020

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Jual Beli..................................................................................................... 3
B. Pinjam Meminjam..................................................................................... 6
C. Larangan Ghashab..................................................................................... 9
D. Ketentuan Brang Temuan (Lugathah)....................................................... 13
E. Metode Pembelajaran Fikih Materi Jual Beli, Pinjam Meminjam, Lrangan
Gashab, Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)....................................... 16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fikih secara etimologis berarti mengetahui sesuatu secara mendalam
yang menghendaki pengarahan potensi akal. Selanjutnya pengertian fikih
menurut al-Ghazali yaitu hukum syariat yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf. Sedangkan definisi fikih menurut ahli fikih (fuqoha) fikih
adalah ilmu yang menerangkan hukum syariat Islam yang diambil dari dalil
terperinci.
Untuk definisi Fikih MI sendiri maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Fikih MI merupakan suatu pemahaman yang diberikan kepada siswa agar dapat
mengamalkan atau mempraktekkan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari.
Mata pelajaran Fikih merupakan salah satu pembelajaran yang
membahas pengenalan serta pemahaman tentang tata cara pelaksanaan rukun
Islam dan juga praktek atau pembiasaan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan juga materi Fikih muamalah yang didalamnya membahas
pengenalan dan pemahaman terkait makanan dan minuman yang halal dan
haram, khitan, qurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam
meminjam.
Berikut akan kita ulas beberapa materi diantaranya adalah tentang jual
beli, pinjam meminjam, larangan ghashab, ketentuan barang temuan (lugathah)
serta metode pembelajarannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang dibahas dalam materi jual beli untuk anak MI?.
2. Apa saja yang dibahas dalam materi pinjam meminjam untuk anak MI?.
3. Bagaimana pembahasan terkait larangan ghashab untuk ranah anak MI?.
4. Bagaimana ketentuan barang temuan jika di simpan?.

1
5. Metode apa yang digunakan dalam memaparkan materi terkait jual beli,
pinjam meminjam, larangan ghashab serta ketentuan barang temuan
(lugathah) di kalangan MI/SD?.

C. Tujuan
1. Agar mengetahui materi jual beli untuk anak MI.
2. Agar mengetahui materi pinjam meminjam untuk anak MI.
3. Agar mengetahui pembahasan materi terkait larangan ghashab untuk ranah
anak MI.
4. Agar mengetahui ketentuan barang temuan jika di simpan.
5. Agar mengetahui metode yang digunakan dalam memaparkan materi terkait
jual beli, pinjam meminjam, larangan ghashab serta ketentuan barang
temuan (lugathah) di kalangan MI/SD.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam
bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-
syira (beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga
berarti beli.1

2. Dasar Hukum Jual Beli


Dasar hukum jual beli ialah ijma’, yaitu karena manusia sebagai anggota
masyariatat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang
lain. Oleh karena itu, jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkan suatu
objek secara sah. Berdasarkan hal tersebut, maka mudahlah bagi setiap individu
memenuhi kebutuhannya. Ekonomi Islam berdiri di atas prinsip perdagangan
yang berdasarkan syari’at, yaitu dengan mengembangkan harta melalui cara-cara
yang dihalalkan oleh Allah SWT, sesuai dengan kaidahkaidah dan ketentuan-
ketentuan muamalah syar’iyyah, yang didasarkan pada hukum pokok (boleh dan
halal dalam berbagai mu’amalat) dan menjauhi segala yang diharamkan oleh
Allah Ta’ala, misalnya, riba. Allah SWT berfirman QS. Al-Baqarah: 275, yang
artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun jual beli adalah sesuatu yang harus ada dalam setiap perbuatan
hukum. Rukun jual beli tersebut terdapat tiga macam:

a. Ijab kabul (akad), yaitu ikatan kata antara penjual dan pembeli, syarat
kabul antara lain:
1) Jangan ada tenggang waktu yang memisahkan antara ucapan penjual
dan pembeli.
1
Haroen Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 111.

3
2) Jangan diselangi kata-kata lain antara penjual dan pembeli.
b. Orang-orang yang berakad, penjual dan pembeli.
c. Objek akad (ma’qud alaih).
Adapun syarat jual beli dibagi menjadi dua, yaitu syarat untuk objek jual
beli dan syarat untuk orang yang melakukan transaksi jual beli. Adapun syarat
untuk objeknya, di antaranya:
a. Suci dan bisa disucikan.
b. Bermanfaat menurut hukum islam.
c. Tidak digantungkan pada suatu kondisi tertentu.
d. Tidak dibatasi tenggang waktu tertentu.
e. Dapat diserahkan.
f. Milik sendiri.
g. Tertentu atau dapat diindra.2

Kontrak jual beli menjadi sempurna (tamn) dengan terjadinya


penyerahan barang (taqabud). Pengakuan untung atau rugi dari salah satu pihak
yang tidak berkenan dengan tujuan kontrak (misalkan bahwa pembeli harus
membebaskan budak yang dia beli) adalah tidak sah dan itu berarti membuat
kontrak menjadi cacat. Fikih muamalah, telah mengidentifikasi dan menguraikan
macam-macam jual beli, termasuk jenisjenis jual beli yang dilarang oleh Islam.
Macam atau jenis jual beli tersebut ialah:

1) Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang.
Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua
produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.
2) Bai’ al muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang
dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan
sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan
valuta asing (devisa). karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang
yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut
Counter trade.

2
Hendi Suhendi, Fiqih Mualmalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 70.

4
3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing
dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar
dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat
berupa uang kartal (bank notes) ataupun bentuk uang giral (telegrafic
transfer atau mail transfer).
4) Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5) Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
6) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, dimana penjual tidak
memberitahukan haga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
7) Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan
(discount). penjualan semacam ini biasanya. hanya dilakukan untuk
barangbarang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
8) Bai’ as salam adalah akad jual beli di mana pembeli membayar uang
(sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan
barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada
tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-
produk pertanian jangka pendek.
9) Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli
dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur
sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan
barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.

Di antara jenis-jenis jual beli tersebut, yang lazim digunakan dalam


bertransaksi adalah yang berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as salam
dan bai’ al istishna’.3

B. Pinjam Meminjam

3
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2012), hlm. 26.

5
1. Definisi pinjam meminjam
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Dalam istilah
ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda.
Ulama hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa
imbalan.” Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Hanbilah dan Zahiriyya,
mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut: “Izin menggunakan barang yang halal
dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai
imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi
hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah
adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu
tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak
untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain
tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang
tersebut. Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa
‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki
hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau
menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
2. Hukum Pinjam Meminjam

‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada


kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika
peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak
menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak
menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.

Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam


keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika
meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang,
atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka,
jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib

6
karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya
tidak dipinjami baju.

Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam meminjam hukumnya bisa


menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan
hamba sahaya untuk seorang kafir. ‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika
berdampak pada perbuatan yang dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk
membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan
lain-lain.

3. Syarat Barang Pinjaman

Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika


memenuhi dua syarat berikut:

a. Barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau


menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang
dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun,
lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut
dengan qardh.
b. Barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk
dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.
4. Hak dan Kewajiban Peminjam

Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak


memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka
peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang
dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas
menggunakannya untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam
batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih: “Sesuatu yang dianggap
sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.” Contohnya, seseorang
meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak
memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh
menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai

7
pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan
lain-lain.

Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk


mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara
‘urf hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran. Jika pemilik barang
memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya,
maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam
dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya memperbolehkan
mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama dua hari dan
lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi.

5. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman

Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam?


Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada
waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua
pendapat.

a. Pendapat Pertama Ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah


dan Zhahiriyyah, memandang bahwa pemilik barang boleh meminta
barangnya dari peminjam kapan pun dia mau. Dengan syarat tidak
menimbulkan mudarat bagi si peminjam.
b. Pendapat Kedua Sedangkan Malikiyyah berpendapat, pemilik barang tidak
boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah
disepakati. Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada
ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari pemilik barang. Atau
setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk peminjam.
Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan
akad atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat
al-Maidah ayat 1 yang artinya sebagai berikut ini: ِ”Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqadaqad itu.” Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad
“Muslim itu terikat dengan syarat-syarat (yang disepakati di antara
mereka).”4
4
Moch Abdul Wahab, Fiqih Pinjam Meminjam, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm. 5.

8
C. Larangan Ghashab
1. Pemahaman Ghasab dari Hukum Islam

Ghasab menurut bahasa ialah mengambil sesuatu (benda atau barang)


dengan cara zalim secara terang-terangan. Sedangkan menurut istilah syara’
ialah menguasai hak orang lain secara aniaya. Ulama fiqih sepakat menyatakan
bahwa perbuatan ghasab hukumnya haram dan orang yang melakukannya
berdosa. Barangsiapa yang ghasab berupa harta, maka ia wajib mengembalikan
harta tersebut kepada pemiliknya, walaupun ia harus menanggung beban
pengembalian (dengan harga) berlipat ganda. Dan wajib ia (membayar ganti
rugi) menambal kekurangan barang yang dighasab, misalnya kain yang dipakai,
atau barang yang berkurang walau tidak dipakai. Tentu si pelaku tindakan
tersebut mendapat dosa atas perbuatannya.

Diantara ayat yang melarang melakukan perbuatan ghasab adalah firman


Allah dalam surah al-Baqarah ayat 188 “Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat ini tersirat secara tegas
bahwa Allah melarang memakan harta antara satu orang dengan orang lain
secara batil. Termasuk kedalam kategori memakan harta sesama dengan cara
batil ini adalah perbuatan ghasab karena didalamnya terdapat unsur yang
merugikan orang lain atau lebih tepatnya ghasab termasuk melanggar larangan
Allah. Ketika menafsirkan ayat ini al-Qurthubi secara tegas memasukan ghasab
sebagai salah satu bentuk perbuatan yang dilarang dan masuk kedalam kategori
memakan harta sesama dengan cara batil.5

Dalam pemahaman yang umum dikenal, ghasab adalah suatu tindakan


mengambil atau menggunakan sesuatu yang bukan haknya tanpa seizin si
pemilik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “ghasab” berarti
”mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri”.
5
M Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 105.

9
Pada kajian ilmu fiqih sendiri, ada beberapa pengertian tentang ghasab yang
dikemukakan oleh ulama. Dan menurut Mazhab Maliki, ghasab adalah
mengambil harta orang lain secara paksa dan sewenang-wenang, bukan dalam
arti merampok. Definisi ini membedakan antara mengambil barang dan
mengambil manfaat. Menurut mereka, perbuatan sewenang-wenang itu ada
empat bentuk, yaitu:

a. Mengambil harta tanpa izin mereka menyebutnya sebagai ghasab


b. Mengambil manfaat suatu benda, bukan materinya juga dinamakan ghasab,
c. Memanfaatkan suatu benda sehingga merusak atau menghilangkannya,
seperti membunuh hewan, yang bukan miliknya tidak termasuk ghasab
d. Melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan rusak atau hilangnya milik
orang lain tidak termasuk ghasab, tapi disebut ta’addi.

Sedangkan ulama Mazhab Hanafi menambahkan definisi ghasab dengan


kalimat ”dengan terang-terangan” untuk membedakannya dengan pencurian,
karena pencurian dilakukan secara diam-diam atau sembunyisembunyi. Tapi
ulama Mazhab Hanafi tidak mengkategorikan dalam perbuatan ghasab jika
hanya mengambil manfaat barang saja.

Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa ghasab itu dilarang oleh
agama. Islam melarang berbuat zalim apapun bentuknya. Pelakunya mendapat
ancaman siksa yang amat berat. Dan orang yang meng-ghasab wajib bertobat
kepada Allah dan juga mengembalikan apa yang ia ghasab kepada pemiliknya
dan meminta maaf kepadanya.

2. Dampak yang Ditimbulkan oleh Ghasab

Sudah menjadi hal yang umum bagi santri di suatu pondok pesantren
mempunyai kebiasaan unik yaitu menggunakan sesuatu milik santri lain
seenaknya. Kebiasaan ini dikenal dengan ghasab. Setiap santri menganggap
benda dan barang yang ada adalah milik bersama, sehingga dapat digunakan
secara bersama. Bila ada satu barang atau benda yang dibutuhkan langsung
dipakai, tidak peduli siapa pemiliknya. Tindakan ghasab tidak terbatas pada satu
jenis barang seperti sandal, baju, sarung, kopyah, handuk dan sebagainya, tetapi

10
berlaku juga pada makanan. Jika ada santri yang masuk ke kamar temannya dan
kebetulan di situ ada makanan, santri tersebut langsung menyantapnya,
meskipun pemiliknya tidak ada. Sehingga fenomena ghasab yang ada di pondok
pesantren bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena yang wajar pada lingkup
lingkungan tersebut. Sikap dan perilaku manusia yang menjadi akhlak sangat
erat sekali dengan kebiasaannya. Seperti halnya pengertian akhlak bahwa akhlak
itu adalah membiasakan kehendak.

Fenomena ghasab yang sudah ada di lingkungan pesantren pada


umumnya bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena budaya yang telah
membudaya, karena sudah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai sesuatu
yang wajar pada lingkup lingkungan tersebut. Sikap dan perilaku manusia yang
menjadi akhlak sangat erat sekali dengan kebiasaannya. Banyak faktor yang
menjadikan adat kebiasaan antara lain sebab kebiasaan yang sudah ada sejak
generasi-generasi sebelumnya, sehingga dia menerima sebagai sesuatu yang
sudah ada kemudian melanjutkannya karena peninggalan orang sebelumnya;
mungkin juga karena melalui tempat pergaulan yang membawa dan memberi
pengaruh cukup kuat dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor lain yang turut andil yaitu, karena adanya kecenderungan hati
kepada perbuatan ghasab, dia merasa senang ataupun efiensi waktu untuk
melakukannya, dengan perkataan lain dia tertarik oleh sikap dan perbuatan
tersebut. Dan juga diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang
diulang-ulang, sehingga menjadi biasa. Walaupun, mungkin perbuatan tersebut
diketahui tidak sesuai atau melanggar norma-norma yang ada, tapi apabila tidak
ada kesempatan untuk berbuat, semisal ada pencegahan atau halangan, maka
kecenderungan itu tidak akan terturutkan. Sebaliknya mungkin asalnya tidak ada
kecenderungan hati untuk melakukannya, atau mungkin pertama kali
dipaksakannya untuk berbuat, sedikit demi sedikit dia mengenalnya dan apabila
terus menerus dilakukannya, kebiasaannya itu akan memberi pengaruh juga
kepada perasaan hatinya, karena terbiasa.

Dari kebiasaan ghasab yang hidup dilingkungan pesantren ini kenyataan


bahwa tidak ada kesepakatan bersama yang menyatakan bahwa seorang santri

11
boleh memakai barang milik santri lain tanpa harus izin. Hal ini juga diperkuat
dengan fakta bahwa sering santri kecewa karena saat akan memakai sesuatu
miliknya, barang tersebut sudah tidak ada dan akhirnya menimbulkan niat yang
sama atas barang orang lain sebagai bentuk kekecewaan. Kalaupun korban dari
tindakan ghasab telah mengikhlaskan barang miliknya untuk dighasab, itu
semata-mata adalah kebaikan serta kepandaian si korban dalam mengelola
hatinya atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukan berarti pelaku ghasab
terbebas dari penetapan hukum bahwa ia telah mengghasab, ia tetap
dikategorikan telah mengghasab.

Walaupun secara harfiah berbeda antara makna ghasab dan mencuri,


namun dalam konteks kebendaan mempunyai makna yang serupa yaitu
mengambil hak milik orang lain tanpa seijin dan sepengetahuannya. Banyak
yang dirugikan akan adanya perilaku ghasab dalam kehidupan pesantren,
dimana banyak benda-benda milik santri yang hilang tanpa diketahui siapa yang
telah mengambilnya. Bukan hanya kerugian materil bisa juga kerugian lain yang
diderita oleh santri akibat perilaku ghasab ini.

Oleh karena itu, persepsi santri tentang ghasab perlu diubah, karena hal
Ini adalah hal mendasar yang perlu segera dilakukan perubahan dengan
mengubah persepsi para santri yang memandang bahwa perilaku ghasab yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar, sehingga seolaholah menganggap
bahwa ghasab menjadi sesuatu yang sah untuk dikerjakan. Selain itu perlunya
peranan pengurus dan ustadz dalam membuat aturan disiplin tentang ghasab,
maka terjadinya tindakan ghasab dapat diharapkan semakin berkurang. Bagi
santri yang melakukan tindakan ghasab harus diberi hukuman. Misalnya, santri
yang melakukan tindakan ghasab diberi hukuman seperti membersihkan kamar
mandi asrama, membuang sampah atau membaca Al Qur’an sambil berdiri. Dan
peraturan yang sudah dibuat nantinya tidak hanya menjadi aturan tertulis saja,
tetapi juga harus benar-benar dilaksanakan dan dipatuhi. Pengurus asrama harus
benar-benar menegakkan kedisiplinan yang ada di pondok pesantren agar tata
tertib yang sudah dibuat bias berjalan. Jajaran pengurus serta ustadz harus
mampu menjadi teladan yang baik atas rekan-rekan santri yang lain. Pembinaan

12
akhlak bagi santri sangatlah penting untuk meningkatkan mutu akhlak santri
agar tidak melakukan tindakan ghasab kembali.6

D. Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)


Barang temuan termasuk harta yang jarang mendapat perhatian public
dalam berbagai diskusi keilmuan, bahkan undang-undang yang berlaku di
Indonesia belum mengatur secara khusus terkait barang temuan.
1. Status Barang Temuan Di Tangan Penemu

Para ulama fiqh berbeda pendapat, menurut ulama Hanafiyah


mengatakan bahwa barang temuan berstatus amanah ditangan penemunya dan ia
berkewajiban untuk mengumumkan barang temuan tersebut. Ketika barang itu di
temukan wajib disaksikan oleh dua orang saksi, sehingga tidak muncul dugaan
bahwa barang itu di pungut untuk dirinya sendiri.7 Sabda Rasullah SAW.

Artinya : “Siapa yang menemukan barang temuan, maka hendaklah


disaksikan dua orang yang hadir”. (HR. Ahmad Ibnu Hambal, Ibnu
Majah, Annasai, Abu Daud dan Al-baihaqi).
Sabda Rasullah SAW diatas bertujuan agar barang yang di pungut jangan
sampai di klaim oleh penemunya sebagai barangnya sendiri atau dia
memanfaatkan untuk kepentingannya, padahal pemiliknya belum diketahui.
Ulama hanafiyah juga mengatakan apabila barang itu hilang atau rusak di tangan
penemunya dan itu dilakukan secara sengaja, maka dia dikenakan ganti.8
Menurut ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa
barang yang ditemukan dijalan menjadi amanah di tangan penemunya, tetapi
tidak diwajibkan menghadirkan dua orang saksi. Alasanya adalah sebuah sabda
Rasul SAW yang memrintahkan Zaid Ibnu khalid dan Ubai  Ibnu
Ka’ab(keduamua sahabat Rasul SAW).
Untuk mengumumukan barang temuan itu dan Rasul tidak meminta agar barang
disaksikan (HR.Bukhari dan Muslim). Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh

6
Ernawati, Erwan Baharudin, “Peningkatan Kesadaran Santri Terhadap Perilaku Ghasab
Dan Pemaknaannya Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif”, Jurnal Abdimas, Vol. 4 No. 2, Maret
2018, hlm. 208.
7
Haroen Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 262.
8
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 198.

13
muslim bersama-sama Ahmad Ibnu Hanbaldan At-Tarmidzi. Mereka juga
mengatakan bahwa sifat amanah dengan penemu barang itu sama dengan sifat
wadi’ah(barang titipan), tidak mengandung resiko apa-apa. Prosedur
pengumuman barang temuan
2. Prosedur Pengumuman Barang Temuan
Zaman dahulu pengumuman itu dilakukan di pintu-pintu masjid dan
tempatnya berkumpul orang-orang seperti pasar dan lain sebagainya. Akan tetapi
sekarang teknologi informasi semakin canggih eperti di era sekarang ini,
mengumumkan barang temuan maka semakin mudah. Semisal diumumkan
lewat social media seperti lewat WA, BBM, Facebook, lewat Koran, Radio atau
bisa tetap manual, yakni ditempel lewat Masjid, Pasar, Kantor
RT/RW/Kecamatan atau tempat-tempat strategis lainnya.
a. Jika barang temuan tersebut berupa barag yang sangat remeh sekali
seperti satu butir kurma, maka tidak perlu diumumkan akan tetapi dia
boleh langsung memilikinya dan langsung memakannya.
b. Jika barang temuan tersebut berupa sesuatu yang sedikit sekiranya
pemiliknya tidak menggubrisnya atau menyesali karena barang itu telah
hilang darinya, seperti uang Rp 1000 hingga Rp 10.000 maka harus
diumumkan dalam waktu tertentu sekiranya setelah berlalunya waktu
tersebut pemiliknya sudah tidak memikirkannya lagi, baru setelah itu dia
boleh memilikinya, dengan catatan dia wajib mengembalikannya kepada
pemiliknya tatkala bertemu dengannya suatu waktu nanti, dengan
perincian hukum jika masih ada barangnya harus dikembalikan atau
memberi harga dari barang tersebut jika telah digunakan atau telah telah
lepas kepemilikannya.
c. Jika barang temuan tersebut termasuk barang yang berharga seperti
mobil, motor, gelang emas, uang tunai dalam jumlah yang banyak dan
lain-lain maka harus mengumumkannya hingga setahun lamanya baru
kemudian dia boleh memilikinya, dengan catatan dia wajib
mengembalikannya kepada pemiliknya tatkala dia bertemu dengannya
suatu waktu nanti, dengan peincian hukum tersebut di atas, yaitu jika

14
masih ada barangnya tersebut atau dengan memberikan harga dari barang
temuan itu jika telah digunakan atau telah telah lepas kepemilikannya.
3. Biaya pemeliharaan luqathah
Resiko dari barang temuan yang belum diketahui pemiliknya sebenarnya
disaranya barang temuan itu memerlukan biaya, seperti hewan ternak yang di
beri makan dans ebagainya. Untuk menentukan siapa yang bertangung jawab
atas seluruh biaya barang temuan yang memmerlukan biaya ini dapat perbedaan
pendapat dalam ulama fiqh.9
Ulama malikiyah mengatakan bahwa seluruh biaya yang di perlukan
penangung oleh penemunya. Apabila pemilik barang itu datang, ia boleh
meminta ganti rugi biaya itu kepada pemilik barang. Apabila penemunya tidak
datang dengan sendirinya ia boleh mengeluarkan biaya yang telah ia
keluarkanharta itu dan sisanya disedekahkan.
Akan tetapi, ulama syafi’iyah mengatakan bahwa biaya untuk
mengumumkan atau memelihara barang temuan itu di bebankan kepada
bendahara negara (bait al-mal). Apabila barang temuan itu berupa hewan ternak,
maka menurut ulama malikiyah segala biaya yang di keluarkan dalam
memelihara dan mengumumkan di bebankan kepada pemiliknya. Sementara itu
ulama syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa segala biayanya yang di
perlukan itu biaya sukarela dari penemu, dan tidak harus di minta gantinya dari
pemilik ternak itu. Kecuali ada izin dari hakim.
Demikian juga ulama hanafiyah berpendapat jika biaya yang dikeluarkan
tidak sepengetahuan hakim, maka biaya itu menjadi tangung jawab penemu.
Akan tetapi jika pengeluaran biaya itu diketahui oleh hakim maka penemu
berhak menunutut ganti rugi kepada pemilik ternak itu juga sudah diketahui.

E. Metode Pembelajaran Fikih Materi Jual Beli, Pinjam Meminjam,


Larangan Ghashab Serta Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)
Pada setiap pelaksanaan proses pembelajaran tentu saja diperlukan
berbagai cara yang dilakukan oeh guru untuk dapat mencapai tujuan dari

9
Haroen Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Purnama, 2007), hlm. 268.

15
dilaksanakannya pembelajaran. Maka sebelum itu, perlu kita ketahui bahwa apa
itu metode pembelajaran? Jadi, metode pembelajaran yang dimaksudkan disini
adalah suatu hal atau cara yang dilakukan oleh guru dalam proses penyampaian
materi sehingga dapat tercapai tujuan dari dilaksanakannya pembelajaran.
Dalam metode pembelajaran tentu saja memiliki banyak macam dalam
penyampaiannya. Yang mana penggunaan dari setiap metode disesuaikamn
dengan kebutuhan materi yang sedang di pelajari. Untuk pelaksanaan
pembelajaran Fikih MI yang memiliki banyak atau berbagai macam komponen
materi, tentu akan mencakup berbagai macam metode pembelajaran juga.
Metode dalam proses pembelajaran pada dasarnya merupakan uatu cara
kerja yang sistematis dan juga umum digunakan oleh guru, serta pemilihan dan
penggunaan metode sangatlah menentukan kegiatan belajar peserta didiknya.
Adanya metode dalam proses pembelajaran ini juga sangat penting demi
tercapainya tujuan pembelajaran, karena tanpa adanya metode yang baik maka
materi yang disampaikan tidak berproses secara efektif ke arah tujuan yang akan
dicapai.
Tetapi, pembahasan inti dari materi Fikih yang ada pada kelas IV
semester 2 adalah materi terkait Jual-Beli, Pinjam-Meminjam, Larangan
Ghashab dan Ketentuan barang temuan (Lugathah). Maka akan kita ulas terkait
metode pembelajaran yang tepat untuk materi ini.
Dari penjabaran materi diatas dapat disimpulkan bahwa setiap
pembahasan materi ini Sebagian besar memerlukan suatu contoh dikehidupan
nyata. Maka untuk penggunaan metode yang tepat adalah Metode sosiodrama
atau Role Playing, memang tidak sepenuhnya menggunakan metode sosiodrama
karena sebelum menerapkan metode ini tentusaja ada materi yang perlu di
pelajari dan didiskusikan.
Oleh karena itu metode yang cocok untuk pembahasan materi-materi ini
diantaranya adalah:
1. Metode Resitasi, yakni cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru
memberikan sejumlah tugas kepada siswanya untuk mempelajari sesuatu,
lalu mereka di perintah agar mempertanggung jawabkannya dengan
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

16
2. Metode Tanya Jawab, adalah penyampaian pesan pengajaran dengan cara
mengajukan pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau berlaku pula
sebaliknya.10
3. Metode kerja kelompok adalah suatu cara menyajikan materi pelajaran
dimana guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok untuk
menyelesaikan tugas yang telah di berikan secara bersama-sama.
4. Metode Sosiodrama atau Role Playing, adalah salah satu cara mengajar
dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan
social.

Gambaran pelaksanaan pembelajaran dengan mengaplikasikan metode-metode


yang telah dipilih diatas.

1. Pada kegiatan awal pembelajaran guru memerintahkan siswanya untuk


mempelajari materi yang akan diulas pada pertemuan kali ini (contoh: Jual
Beli).
2. Setelah siswa diberi waktu untuk mempelajari materi, guru akan menerapkan
metode tanya jawab untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa
siswa setelah membaca materi.
3. Setelah mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa, maka guru membentuk
beberapa kelompok kecil untuk lebih mendalami materi dan juga sebagai
pembagian kerja untuk tugas selanjutnya.
4. Untuk tugas akhir, maka siswa diperintah untuk melakukan minidrama
melalui metode sosiodrama, dimana materi jual beli ini sangat tepat untuk
dilakukan pembentukan minidrama. Dengan tujuan agar anak-anak lebih
faham bagaimana jual beli yang benar yang sesuai syariat Islam untuk dapat
diterapkan dikehidupan sehari-hari.

10
Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 43.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Mata pelajaran Fikih merupakan salah satu pembelajaran yang


membahas pengenalan serta pemahaman tentang tata cara pelaksanaan rukun
Islam dan juga praktek atau pembiasaan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Materi yang dibahas pada kelas IV semester 2, diantaranya:

 Jual Beli
 Pinjam Meminjam
 Larangan Ghashab
 Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)

Selain membahas materi diatas, dalam penulisan makalah ini juga


dituliskan metode pembelajaran yang tepat untuk diaplikasikan di sekolah
SD/MI sehingga memunculkan rasa tertarik dan rasa ingin tahu dari peserta
didik. Dengan terjadinya rasa ingin tahu yang tinggi maka akan meningkatkan
semangat belajar siswa sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainul. 2012. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alfabet.

Ernawati dan Erwan Baharudin. 2018. “Peningkatan Kesadaran Santri Terhadap


Perilaku Ghasab Dan Pemaknaannya Dalam Hukum Islam Dan Hukum
Positif”,
Jurnal Abdimas, Vol. 4 No. 2.

Irfan, M Nurul. 2014. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.

Nasroen, Haroen. 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Purnama.

Nasrun, Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Suhendi, Hendi. 2002. Fikih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wahab, Moch Abdul. 2018. Fiqih Pinjam Meminjam. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.

Usman, Basyirudin. 2002. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat

Press

19

Anda mungkin juga menyukai