MAKALAH
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah yang berjudul “Materi dan
Pembelajaran Fikih Di MI Kelas IV Semester 2” penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Fikih MI.
Dan tak lupa dalam menyelesaikan makalah ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu, khususnya kepada Bapak Tri Wibowo
M.Pd.I. selaku dosen Fikih MI di IAIN Purwokerto yang telah memberikan petunjuk,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Kemudian kepada seluruh teman-
teman sejawat khususnya anggota kelompok 12 yang ikut andil dalam penulisan dan
penyempurnaan makalah ini penulis ucapkan terima kasih.
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun pembahasan, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak yang sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini menjadi sesuatu
yang bermanfaat dalam pembelajaran sekolah di Tanah Air dalam bidang pendidikan di
Indonesia.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Jual Beli..................................................................................................... 3
B. Pinjam Meminjam..................................................................................... 6
C. Larangan Ghashab..................................................................................... 9
D. Ketentuan Brang Temuan (Lugathah)....................................................... 13
E. Metode Pembelajaran Fikih Materi Jual Beli, Pinjam Meminjam, Lrangan
Gashab, Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)....................................... 16
A. Kesimpulan................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fikih secara etimologis berarti mengetahui sesuatu secara mendalam
yang menghendaki pengarahan potensi akal. Selanjutnya pengertian fikih
menurut al-Ghazali yaitu hukum syariat yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf. Sedangkan definisi fikih menurut ahli fikih (fuqoha) fikih
adalah ilmu yang menerangkan hukum syariat Islam yang diambil dari dalil
terperinci.
Untuk definisi Fikih MI sendiri maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Fikih MI merupakan suatu pemahaman yang diberikan kepada siswa agar dapat
mengamalkan atau mempraktekkan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari.
Mata pelajaran Fikih merupakan salah satu pembelajaran yang
membahas pengenalan serta pemahaman tentang tata cara pelaksanaan rukun
Islam dan juga praktek atau pembiasaan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan juga materi Fikih muamalah yang didalamnya membahas
pengenalan dan pemahaman terkait makanan dan minuman yang halal dan
haram, khitan, qurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam
meminjam.
Berikut akan kita ulas beberapa materi diantaranya adalah tentang jual
beli, pinjam meminjam, larangan ghashab, ketentuan barang temuan (lugathah)
serta metode pembelajarannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang dibahas dalam materi jual beli untuk anak MI?.
2. Apa saja yang dibahas dalam materi pinjam meminjam untuk anak MI?.
3. Bagaimana pembahasan terkait larangan ghashab untuk ranah anak MI?.
4. Bagaimana ketentuan barang temuan jika di simpan?.
1
5. Metode apa yang digunakan dalam memaparkan materi terkait jual beli,
pinjam meminjam, larangan ghashab serta ketentuan barang temuan
(lugathah) di kalangan MI/SD?.
C. Tujuan
1. Agar mengetahui materi jual beli untuk anak MI.
2. Agar mengetahui materi pinjam meminjam untuk anak MI.
3. Agar mengetahui pembahasan materi terkait larangan ghashab untuk ranah
anak MI.
4. Agar mengetahui ketentuan barang temuan jika di simpan.
5. Agar mengetahui metode yang digunakan dalam memaparkan materi terkait
jual beli, pinjam meminjam, larangan ghashab serta ketentuan barang
temuan (lugathah) di kalangan MI/SD.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal albai’ dalam
bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata asy-
syira (beli). Dengan demikian, kata al-bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga
berarti beli.1
Rukun jual beli adalah sesuatu yang harus ada dalam setiap perbuatan
hukum. Rukun jual beli tersebut terdapat tiga macam:
a. Ijab kabul (akad), yaitu ikatan kata antara penjual dan pembeli, syarat
kabul antara lain:
1) Jangan ada tenggang waktu yang memisahkan antara ucapan penjual
dan pembeli.
1
Haroen Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 111.
3
2) Jangan diselangi kata-kata lain antara penjual dan pembeli.
b. Orang-orang yang berakad, penjual dan pembeli.
c. Objek akad (ma’qud alaih).
Adapun syarat jual beli dibagi menjadi dua, yaitu syarat untuk objek jual
beli dan syarat untuk orang yang melakukan transaksi jual beli. Adapun syarat
untuk objeknya, di antaranya:
a. Suci dan bisa disucikan.
b. Bermanfaat menurut hukum islam.
c. Tidak digantungkan pada suatu kondisi tertentu.
d. Tidak dibatasi tenggang waktu tertentu.
e. Dapat diserahkan.
f. Milik sendiri.
g. Tertentu atau dapat diindra.2
1) Bai’ al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang.
Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua
produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli.
2) Bai’ al muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadi antara barang
dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan
sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan
valuta asing (devisa). karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang
yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut
Counter trade.
2
Hendi Suhendi, Fiqih Mualmalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 70.
4
3) Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing
dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar
dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat
berupa uang kartal (bank notes) ataupun bentuk uang giral (telegrafic
transfer atau mail transfer).
4) Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5) Bai’ al murabahah adalah akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi
jual beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang
diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
6) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, dimana penjual tidak
memberitahukan haga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
7) Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan
(discount). penjualan semacam ini biasanya. hanya dilakukan untuk
barangbarang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
8) Bai’ as salam adalah akad jual beli di mana pembeli membayar uang
(sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan
barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada
tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-
produk pertanian jangka pendek.
9) Bai’ al istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli
dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur
sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan
barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
B. Pinjam Meminjam
3
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2012), hlm. 26.
5
1. Definisi pinjam meminjam
‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Dalam istilah
ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda.
Ulama hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa
imbalan.” Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Hanbilah dan Zahiriyya,
mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut: “Izin menggunakan barang yang halal
dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai
imbalan.”
Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi
hukum yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah
adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu
tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak
untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain
tanpa seizin pemilik barang. sebab dia dianggap memiliki hak guna barang
tersebut. Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa
‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki
hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau
menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
2. Hukum Pinjam Meminjam
6
karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya
tidak dipinjami baju.
7
pemakaian wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan
lain-lain.
8
C. Larangan Ghashab
1. Pemahaman Ghasab dari Hukum Islam
9
Pada kajian ilmu fiqih sendiri, ada beberapa pengertian tentang ghasab yang
dikemukakan oleh ulama. Dan menurut Mazhab Maliki, ghasab adalah
mengambil harta orang lain secara paksa dan sewenang-wenang, bukan dalam
arti merampok. Definisi ini membedakan antara mengambil barang dan
mengambil manfaat. Menurut mereka, perbuatan sewenang-wenang itu ada
empat bentuk, yaitu:
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa ghasab itu dilarang oleh
agama. Islam melarang berbuat zalim apapun bentuknya. Pelakunya mendapat
ancaman siksa yang amat berat. Dan orang yang meng-ghasab wajib bertobat
kepada Allah dan juga mengembalikan apa yang ia ghasab kepada pemiliknya
dan meminta maaf kepadanya.
Sudah menjadi hal yang umum bagi santri di suatu pondok pesantren
mempunyai kebiasaan unik yaitu menggunakan sesuatu milik santri lain
seenaknya. Kebiasaan ini dikenal dengan ghasab. Setiap santri menganggap
benda dan barang yang ada adalah milik bersama, sehingga dapat digunakan
secara bersama. Bila ada satu barang atau benda yang dibutuhkan langsung
dipakai, tidak peduli siapa pemiliknya. Tindakan ghasab tidak terbatas pada satu
jenis barang seperti sandal, baju, sarung, kopyah, handuk dan sebagainya, tetapi
10
berlaku juga pada makanan. Jika ada santri yang masuk ke kamar temannya dan
kebetulan di situ ada makanan, santri tersebut langsung menyantapnya,
meskipun pemiliknya tidak ada. Sehingga fenomena ghasab yang ada di pondok
pesantren bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena yang wajar pada lingkup
lingkungan tersebut. Sikap dan perilaku manusia yang menjadi akhlak sangat
erat sekali dengan kebiasaannya. Seperti halnya pengertian akhlak bahwa akhlak
itu adalah membiasakan kehendak.
Faktor lain yang turut andil yaitu, karena adanya kecenderungan hati
kepada perbuatan ghasab, dia merasa senang ataupun efiensi waktu untuk
melakukannya, dengan perkataan lain dia tertarik oleh sikap dan perbuatan
tersebut. Dan juga diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang
diulang-ulang, sehingga menjadi biasa. Walaupun, mungkin perbuatan tersebut
diketahui tidak sesuai atau melanggar norma-norma yang ada, tapi apabila tidak
ada kesempatan untuk berbuat, semisal ada pencegahan atau halangan, maka
kecenderungan itu tidak akan terturutkan. Sebaliknya mungkin asalnya tidak ada
kecenderungan hati untuk melakukannya, atau mungkin pertama kali
dipaksakannya untuk berbuat, sedikit demi sedikit dia mengenalnya dan apabila
terus menerus dilakukannya, kebiasaannya itu akan memberi pengaruh juga
kepada perasaan hatinya, karena terbiasa.
11
boleh memakai barang milik santri lain tanpa harus izin. Hal ini juga diperkuat
dengan fakta bahwa sering santri kecewa karena saat akan memakai sesuatu
miliknya, barang tersebut sudah tidak ada dan akhirnya menimbulkan niat yang
sama atas barang orang lain sebagai bentuk kekecewaan. Kalaupun korban dari
tindakan ghasab telah mengikhlaskan barang miliknya untuk dighasab, itu
semata-mata adalah kebaikan serta kepandaian si korban dalam mengelola
hatinya atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukan berarti pelaku ghasab
terbebas dari penetapan hukum bahwa ia telah mengghasab, ia tetap
dikategorikan telah mengghasab.
Oleh karena itu, persepsi santri tentang ghasab perlu diubah, karena hal
Ini adalah hal mendasar yang perlu segera dilakukan perubahan dengan
mengubah persepsi para santri yang memandang bahwa perilaku ghasab yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang wajar, sehingga seolaholah menganggap
bahwa ghasab menjadi sesuatu yang sah untuk dikerjakan. Selain itu perlunya
peranan pengurus dan ustadz dalam membuat aturan disiplin tentang ghasab,
maka terjadinya tindakan ghasab dapat diharapkan semakin berkurang. Bagi
santri yang melakukan tindakan ghasab harus diberi hukuman. Misalnya, santri
yang melakukan tindakan ghasab diberi hukuman seperti membersihkan kamar
mandi asrama, membuang sampah atau membaca Al Qur’an sambil berdiri. Dan
peraturan yang sudah dibuat nantinya tidak hanya menjadi aturan tertulis saja,
tetapi juga harus benar-benar dilaksanakan dan dipatuhi. Pengurus asrama harus
benar-benar menegakkan kedisiplinan yang ada di pondok pesantren agar tata
tertib yang sudah dibuat bias berjalan. Jajaran pengurus serta ustadz harus
mampu menjadi teladan yang baik atas rekan-rekan santri yang lain. Pembinaan
12
akhlak bagi santri sangatlah penting untuk meningkatkan mutu akhlak santri
agar tidak melakukan tindakan ghasab kembali.6
6
Ernawati, Erwan Baharudin, “Peningkatan Kesadaran Santri Terhadap Perilaku Ghasab
Dan Pemaknaannya Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif”, Jurnal Abdimas, Vol. 4 No. 2, Maret
2018, hlm. 208.
7
Haroen Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 262.
8
Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 198.
13
muslim bersama-sama Ahmad Ibnu Hanbaldan At-Tarmidzi. Mereka juga
mengatakan bahwa sifat amanah dengan penemu barang itu sama dengan sifat
wadi’ah(barang titipan), tidak mengandung resiko apa-apa. Prosedur
pengumuman barang temuan
2. Prosedur Pengumuman Barang Temuan
Zaman dahulu pengumuman itu dilakukan di pintu-pintu masjid dan
tempatnya berkumpul orang-orang seperti pasar dan lain sebagainya. Akan tetapi
sekarang teknologi informasi semakin canggih eperti di era sekarang ini,
mengumumkan barang temuan maka semakin mudah. Semisal diumumkan
lewat social media seperti lewat WA, BBM, Facebook, lewat Koran, Radio atau
bisa tetap manual, yakni ditempel lewat Masjid, Pasar, Kantor
RT/RW/Kecamatan atau tempat-tempat strategis lainnya.
a. Jika barang temuan tersebut berupa barag yang sangat remeh sekali
seperti satu butir kurma, maka tidak perlu diumumkan akan tetapi dia
boleh langsung memilikinya dan langsung memakannya.
b. Jika barang temuan tersebut berupa sesuatu yang sedikit sekiranya
pemiliknya tidak menggubrisnya atau menyesali karena barang itu telah
hilang darinya, seperti uang Rp 1000 hingga Rp 10.000 maka harus
diumumkan dalam waktu tertentu sekiranya setelah berlalunya waktu
tersebut pemiliknya sudah tidak memikirkannya lagi, baru setelah itu dia
boleh memilikinya, dengan catatan dia wajib mengembalikannya kepada
pemiliknya tatkala bertemu dengannya suatu waktu nanti, dengan
perincian hukum jika masih ada barangnya harus dikembalikan atau
memberi harga dari barang tersebut jika telah digunakan atau telah telah
lepas kepemilikannya.
c. Jika barang temuan tersebut termasuk barang yang berharga seperti
mobil, motor, gelang emas, uang tunai dalam jumlah yang banyak dan
lain-lain maka harus mengumumkannya hingga setahun lamanya baru
kemudian dia boleh memilikinya, dengan catatan dia wajib
mengembalikannya kepada pemiliknya tatkala dia bertemu dengannya
suatu waktu nanti, dengan peincian hukum tersebut di atas, yaitu jika
14
masih ada barangnya tersebut atau dengan memberikan harga dari barang
temuan itu jika telah digunakan atau telah telah lepas kepemilikannya.
3. Biaya pemeliharaan luqathah
Resiko dari barang temuan yang belum diketahui pemiliknya sebenarnya
disaranya barang temuan itu memerlukan biaya, seperti hewan ternak yang di
beri makan dans ebagainya. Untuk menentukan siapa yang bertangung jawab
atas seluruh biaya barang temuan yang memmerlukan biaya ini dapat perbedaan
pendapat dalam ulama fiqh.9
Ulama malikiyah mengatakan bahwa seluruh biaya yang di perlukan
penangung oleh penemunya. Apabila pemilik barang itu datang, ia boleh
meminta ganti rugi biaya itu kepada pemilik barang. Apabila penemunya tidak
datang dengan sendirinya ia boleh mengeluarkan biaya yang telah ia
keluarkanharta itu dan sisanya disedekahkan.
Akan tetapi, ulama syafi’iyah mengatakan bahwa biaya untuk
mengumumkan atau memelihara barang temuan itu di bebankan kepada
bendahara negara (bait al-mal). Apabila barang temuan itu berupa hewan ternak,
maka menurut ulama malikiyah segala biaya yang di keluarkan dalam
memelihara dan mengumumkan di bebankan kepada pemiliknya. Sementara itu
ulama syafi’iyah dan hanabilah berpendapat bahwa segala biayanya yang di
perlukan itu biaya sukarela dari penemu, dan tidak harus di minta gantinya dari
pemilik ternak itu. Kecuali ada izin dari hakim.
Demikian juga ulama hanafiyah berpendapat jika biaya yang dikeluarkan
tidak sepengetahuan hakim, maka biaya itu menjadi tangung jawab penemu.
Akan tetapi jika pengeluaran biaya itu diketahui oleh hakim maka penemu
berhak menunutut ganti rugi kepada pemilik ternak itu juga sudah diketahui.
9
Haroen Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Purnama, 2007), hlm. 268.
15
dilaksanakannya pembelajaran. Maka sebelum itu, perlu kita ketahui bahwa apa
itu metode pembelajaran? Jadi, metode pembelajaran yang dimaksudkan disini
adalah suatu hal atau cara yang dilakukan oleh guru dalam proses penyampaian
materi sehingga dapat tercapai tujuan dari dilaksanakannya pembelajaran.
Dalam metode pembelajaran tentu saja memiliki banyak macam dalam
penyampaiannya. Yang mana penggunaan dari setiap metode disesuaikamn
dengan kebutuhan materi yang sedang di pelajari. Untuk pelaksanaan
pembelajaran Fikih MI yang memiliki banyak atau berbagai macam komponen
materi, tentu akan mencakup berbagai macam metode pembelajaran juga.
Metode dalam proses pembelajaran pada dasarnya merupakan uatu cara
kerja yang sistematis dan juga umum digunakan oleh guru, serta pemilihan dan
penggunaan metode sangatlah menentukan kegiatan belajar peserta didiknya.
Adanya metode dalam proses pembelajaran ini juga sangat penting demi
tercapainya tujuan pembelajaran, karena tanpa adanya metode yang baik maka
materi yang disampaikan tidak berproses secara efektif ke arah tujuan yang akan
dicapai.
Tetapi, pembahasan inti dari materi Fikih yang ada pada kelas IV
semester 2 adalah materi terkait Jual-Beli, Pinjam-Meminjam, Larangan
Ghashab dan Ketentuan barang temuan (Lugathah). Maka akan kita ulas terkait
metode pembelajaran yang tepat untuk materi ini.
Dari penjabaran materi diatas dapat disimpulkan bahwa setiap
pembahasan materi ini Sebagian besar memerlukan suatu contoh dikehidupan
nyata. Maka untuk penggunaan metode yang tepat adalah Metode sosiodrama
atau Role Playing, memang tidak sepenuhnya menggunakan metode sosiodrama
karena sebelum menerapkan metode ini tentusaja ada materi yang perlu di
pelajari dan didiskusikan.
Oleh karena itu metode yang cocok untuk pembahasan materi-materi ini
diantaranya adalah:
1. Metode Resitasi, yakni cara menyajikan bahan pelajaran dimana guru
memberikan sejumlah tugas kepada siswanya untuk mempelajari sesuatu,
lalu mereka di perintah agar mempertanggung jawabkannya dengan
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
16
2. Metode Tanya Jawab, adalah penyampaian pesan pengajaran dengan cara
mengajukan pertanyaan dan siswa memberikan jawaban, atau berlaku pula
sebaliknya.10
3. Metode kerja kelompok adalah suatu cara menyajikan materi pelajaran
dimana guru mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok untuk
menyelesaikan tugas yang telah di berikan secara bersama-sama.
4. Metode Sosiodrama atau Role Playing, adalah salah satu cara mengajar
dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan
social.
10
Basyirudin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 43.
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jual Beli
Pinjam Meminjam
Larangan Ghashab
Ketentuan Barang Temuan (Lugathah)
18
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. 2012. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alfabet.
Irfan, M Nurul. 2014. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Wahab, Moch Abdul. 2018. Fiqih Pinjam Meminjam. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing.
Press
19